Anda di halaman 1dari 28

IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Evaluasi Pembelajaran Fisika
Dosen : Hariman Surya Siregar, M.Ag

Disusun oleh:

Kelompok 1

Melinda Kristiana Putri 1162070043


Puji Kurnia 1162070055
Rentin Hilmi Hisanah 1162070058
Sri Rohimah 1162070069

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa
menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang
lurus dan cahaya ilmu berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang
indah.
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Ilmu Fiqih. Dalam menyusun makalah ini tentunya tidak sedikit hambatan
yang kami hadapi, namun kami sadari bahwa kelancaran dalam menyusun makalah
ini tidak lain karena kerja sama dari kelompok kami, sehingga segala sesuatu
hambatan bisa teratasi, dengan mengucapkan syukur alhamdulillah penyusunan
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusun makalah ini tentu memahami bahwa penulisan makalah ini jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran saya sambut dengan tangan terbuka
dan senang hati untuk upaya perbaikan penulisan saya selanjutnya. Akhir kata saya
ucapkan terima kasih.

Bandung, 25 September 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan .............................................................................................................. 2
BAB 2 PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. Pengertian Ijma’ ............................................................................................. 3
B. Syarat-syarat dan Rukun ijma’ ..................................................................... 7
C. Macam – macam Ijma ................................................................................. 10
D. Kehujjahan Ijma’ .......................................................................................... 13
E. Landasan Ijma’ ............................................................................................. 20
BAB 3 PENUTUP ............................................................................................ 23
A. Kesimpulan ................................................................................................... 23
B. Saran............................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 25

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari
lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-
kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih
klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam
oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti
dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.1
Adapun yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum
syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan
hukum.2 Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para
ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber
hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur`an, Hadits, Ijma’
dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di
atas (al Qur`an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di
kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah
istishan, maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi, syar’u
man qablana. Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh,
empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang
diperselisihkan.3 Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang
masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun
yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.

1
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat, 1999, hlm. 82.
2
al-Zuhaili Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus, 1996, hlm. 401.
3
Abdul Wahhab al-Khallaf, ilmu Ushul Fiqh, Kuwait, 1978, hlm. 21-22.

1
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang
mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu
hukum mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian
dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil
bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini
ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW, karena sewaktu beliau
masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam,
sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan
tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak
akan terwujud keculi dari beberapa orang.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Apa pengertian Ijma’ ?
2. Apa macam-macam ijma ?
3. Apa unsur-unsur yang terdapat dalam ijma’
4. Apakah syarat-syarat dan rukun Ijma’ ?
5. Bagaimana kehujahan ijma’ dalam Islam ?
6. Bagaimana contoh ijma’ dslsm kehidupan sehari-hari ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Ijma’
2. Mengetahui macam-macam ijma
3. Mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam ijma’
4. Mengetahui syarat-syarat dan rukun Ijma’
5. Mengetahui kehujahan ijma’ dalam Islam
6. Mengetahui contoh ijma’ dslsm kehidupan sehari-hari

2
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut bahasa, Ittifaq artinya kesepakatan ulama. Ijma’ berarti


menghimpun, mengumpulkan dan menyatukan pendapat. Menurut istilah Ijma’
adalah kesepakatan para mujtahid atau ulama tentang hukum suatu masalah yang
tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis. Contohnya adalah para ulama
sepakat tentang haramnya pernikahan antara wanita muslimah dan laki-laki non-
Muslim.4 Secara etimologi, ijma‘ mengandung dua arti.5 Pertama berarti ketetapan
hati untuk melakukan sesuatu, atau memutuskan berbuat sesuatu (al-‘azm ‘ala al-
syay’). Ijma‘ dalam artian pengambilan keputusan ini dapat dilihat dalam firman
Allah pada surat Yunus (10): 71:

ُ ‫ث ُ َّم اَل يا ُك ْن أ ا ْم ُر ُك ْم اعلا ْي ُك ْم‬....


َّ ‫ُغ ََّّمًة ث ُ َّم ا ْْقُضُوا ِإَلا‬
‫َّي اَو اَل ت ُ ْنظ ُرَون‬

Artinya : “…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-


sekutumu (untuk membinasakanku)”. (QS. Yunus [10]: 71).
Ijma’ dalam arti ini juga dapat dilihat pada Hadis Nabi saw. yang bunyinya:
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam. Kedua,
ijma‘ dengan arti sepakat. Dalam arti ini kata ijma‘ dapat dilihat penggunaannya
dalam Alquran pada surat Yusuf (12): 15:

‫فالا ََّّما ذا اهبُوا به اَوأاجْ اَّمعُوا أ ا ْن ياجْ اعلُوهُ فَّي اُغياابات ْاَل ُجب ۚ اَوأ ا َْو اح ْيناا ِإَلايْه َلاتُنابئانَّ ُه ْم بأ ا ْمره ْم َٰ اهذاا اَو ُه ْم اَل يا ْشعُ ُرَونا‬
Artinya : “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka masukkan dia)”. (QS. Yusuf [12]: 15)

4
Ridwan, Hidayat, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Luhur, Perpustakaan
Nasional, 2014, Cet. 1, hlm, 76.
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, Edisi I, Cet. 4, hlm, 131-132.

3
Adapun menurut Ahmad Hasan, istilah ijma‘ dalam arti etimologisnya
menunjukkan bahwa konsep ini tentunya muncul pada saat terjadi pertentangan
di dalam Islam. Artinya, dasar dari kata ijma‘ adalah mengumpulkan,
menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik
bersama-sama. Istilah ini mungkin sekali berasal dari idiom bahasa Arab:
“ajma‘tu al-nahabi” (saya mengumpulkan dari setiap penjuru unta-unta yang
merupakan barang rampasan dari orang-orang yang sebelumnya adalah
pemilik mereka, dan menggiring mereka pergi). Singkatnya, ia berarti
penggiringan unta secara bersama-sama.6
Idiom bahasa Arab tersebut merupakan contoh yang tepat untuk
menunjukkan arti kata ijma‘ secara etimologi. Ungkapan ini berarti suatu
lapangan terbuka di mana orang-orang berkumpul, dan mereka tidak terpisah
satu dari yang lain agar tidak tersesat. Lapangan itu dinamakan mujmi‘ah
karena ia menyatukan mereka. Kata ijma‘ juga digunakan untuk mengikat jadi
satu puting susu unta betina dengan sebuah tali. Ini membuktikan bahwa istilah
itu mengandung akar makna menyatukan benda-benda yang terpisah.7 Di
samping itu, istilah tersebut juga mempunyai arti lain. Ia juga berarti menyusun
dan membereskan sesuatu yang sebelumnya tercerai berai, sebagai suatu
pendapat yang diputuskan oleh seseorang. Karena itu ia berarti menentukan,
menetapkan atau memutuskan suatu perkara agar menjadi benar-benar beres.
Istilah ini mengandung dua arti yang telah dikemukakan, yaitu kesatuan dan
keputusan hati.8
Adapun pengertian ijma‘ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar‘i
terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu dapat dilihat dalam beberapa
rumusan atau, antara lain definisi al-Ghazzali yang merumuskan ijma‘
sebagai:9 Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan

6
Ahmad Hasan, Ijma‘ , Bandung, hlm, 19.
7
Ahmad Hasan, Ibid, hlm. 19.
8
Ahmad Hasan, Ibid, hlm, 19.
9
Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Beirut, 2008, Cet. 1, hlm, 219.

4
agama. Bukti adanya ijma‘, menurut al-Ghazzali, misalnya kesepakatan umat
Muhammad tentang kewajiban salat lima waktu dan puasa bulan Ramadan.
Alasannya, karena seluruh umat Muhammad mengikuti nas dan dalil yang pasti
dalam ibadah. Mereka menghindar dari siksaan akibat berseberangan dengan
dalil-dalil tersebut. Hal ini sebagaimana kesepakatan mereka untuk makan dan
minum karena dituntun oleh jiwa mereka, begitu juga kesepakatan untuk
mengikuti kebenaran dan menjaga jiwa agar tidak terjerumus ke dalam neraka.
Pendapat Imam al-Ghazzali ini mengikuti pandangan Imam al-Syafi‘i yang
menetapkan ijma‘ itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan
pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara
keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam al-Syafi‘i ini
mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikut-pengikutnya di
kemudian hari.10 Definisi sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazzali di atas
yang menetapkan kesepakatan dari seluruh masyarakat muslim sejak
kedatangan Islam sampai hari kiamat mendapat kritikan keras dari para ahli
hukum. Alasannya karena menurut mereka ijma‘ seperti ini tidak mungkin
terjadi dalam prakteknya.11 Tetapi dalam penjelasan al-Ghazzali selanjutnya,
yang dimaksud dengan umat Muhammad di sini ialah setiap mujtahid yang
diterima fatwanya, yakni ahl al-hill wa al-‘aqd (para ahli yang berkompeten
dalam mengurusi umat). Jadi di sini tidak termasuk anak-anak, orang gila dan
orang pikun. Walaupun mereka juga termasuk umat tetapi tidak dimaksudkan
oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Umatku tidak pernah bersepakat untuk
membuat kesesatan.”12 Tokoh lain yang pendapatnya dikutip di sini adalah al-
Amidi (juga pengikut mazhab al-Syafi‘i), ia merumuskan ijma‘ sebagai
berikut:

10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, 2009, Edisi I, Cet. 4 hlm, 132-133.
11
Ahmad Hasan, Op Cit, hlm, 82.
12
Al-Ghazzali, Op Cit, hlm, 228.

5
“Ijma‘ adalah kesepakatan sejumlah ahlul hill wa al ‘aqd (para ahli yang
berkompeten mengurusi umat)dari umat Muhammad pada suatu masa atas
hukum suatu kasus”.
Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi ijma‘ itu pada kesepakatan
orang-orang tertentu dari umat Muhammad saw., yaitu orang-orang yang
mempunyai fungsi sebagai pengurai dan pengikat, atau para ulama yang
membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang awam
tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun, lebih lanjut terlihat bahwa al-
Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam
penetapan ijma‘ dengan ketentuan telah mampu berbuat hukum. Untuk maksud
ini al-Amidi memberikan alternatif definisi ijma‘ sebagai berikut:
“Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas
hukum suatu kasus.”
Definisi yang dikemukakan oleh al-Amudi di atas dapat dikatakan
mewakili pendapat ulama sunni, meski ada perbedaan dalam perumusannya
secara redaksional, yaitu kesepakatan orang yang disebut ahl al-hill wa al-
‘aqd.13 Definisi di atas mengandung lima komponen, yaitu kesepakatan, ahl al-
hill wa al-‘aqd, umat Muhammad, pada suatu masa, dan masalah atau kasus
yang muncul. Kata “kesepakatan” mencakup kesepakatan secara diam-diam.
Istilah ahl al-hill wa al-‘aqd menunjukkan kesepakatan bulat dari para ahli
hukum, atau ulama. Persyaratan “umat Muhammad” mengimplikasikan
pengecualian orang-orang yang termasuk dalam umat lain. Ungkapan “pada
suatu masa” berarti ulama yang hidup pada masa tertentu, tidak termasuk
ulama yang hidup pada masa sebelumnya atau sesudahnya. Dan terakhir
ungkapan menyangkut “masalah atau kasus yang muncul” mencakup aspek
kesepakatan yang positif dan peraturan-peraturan mengenai masalah - masalah
hukum.14 Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian ahl al-sunnah

13
Amir Syarifuddin, Op Cit, hlm. 133
14
Ahmad Hasan, Loc Cit, hlm. 82-83

6
adalah apa yang dikemukakan ‘Abd al Wahhab Khallaf, yang juga dikutip
ulama lainnya, yaitu:15
Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas
suatu hukum syara‘ mengenai suatu kasus.
Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma‘ itu adalah kesepakatan, dan yang
sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa
tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”,
karena selama Nabi masih hidup, Alquran lah yang akan menjawab semua
persoalan hukum karena ayat Al-quran masih turun dan Nabi sebagai tempat
untuk bertanya tentang hukum syarak, maka tidak diperlukan adanya ijma‘.
Dari definisi di atas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu
ijma‘.

B. Syarat-syarat dan Rukun ijma’


Dari definisi ijma dapat diketahui bahwa ijma itu bisa terjadi bila memenuhi
syarat-syarat berikut:
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid
Secara umum mujtahid diarikan sebagai para ulama yang mempunyai
kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalil syara. Apabila dalam
suatu masa tidak seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi
ijma. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa dikatakan ijma.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
3. Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariat.
Kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah,
makruh, haram, dll.16

15
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (terj. Halimuddin), Jakarta, Cet. 3, 1995,
hlm. 49.
16
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, 2015, Cet 5. hlm. 70-72

7
Menurut Prof. Dr. Abdul wahhab Khallaf (55-63, 2003) ada beberapa syarat atau
rukun ijhma diantaranya adalah :
1. Di saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karna
kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling
memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid atau tidak
ada sama sekali atau hanya ada seorang mujtahid saja , maka menurut syara’ ijma’
tersebut tidak sah. Oleh sebab itu masa rosulullah tidak ada ijma’ karna beliau
sendiri sebagai Mujtahid.
2. Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh
seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan, atau
kelompok.Bila kesepakatanya hanya oleh Mujtahid dari kalangan tertentu saja
maka tidak sah menurut hukum syara’. Karna ijma’ tidak sah kecuali dengan
kesepakatan umum dari semua ( yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia
islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3. Adanya kesepakatan tersebut jelas. Dalam artian tidak ada pertentangan dari
sebagian atau minoritas mujtahid.
4. Kesepakatan mereka di awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing
mujtahid. Pendapat itu di ungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas
suatu peristiwa atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Bisa juga di
ungkapkan secara perorangan mujtahid , kemudian setelah pendaptnya masing-
masing di kumpulkan di temukan adanya kesepakatan.
Menurut Jumhur Ulama (Romli As, 1999) rukun ijma terdiri dari lima
unsur:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma itu adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid itu tidak setuju sekalipun jumlahnya
kecil, maka hukum yang dihasilkan tidak dinamakan hukum ijma.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa itu dari belahan dunia Islam
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pendapatnya dengan jelas

8
4. Hukum yang disepakati adalah hukum syara yang bersifat aktual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam Al Quran
5. Sandaran hukum ijma tersebut haruslah Al Quran dan Hadits Rasulullah Saw.
Disamping kelima rukun di atas, jumhur ulama ushul fiqhi juga
mengemukakan syarat-syarat ijma yaitu kesepakan itu muncul dari mujtahid yang
bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agama) dan berusaha menghindarkan diri
dari ucapan atau perbuatan bid’ah.17
Selain itu terdapat pendapat lain mengenai rukun- rukun ijma‘, yaitu:
1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma‘, terdapat
sejumlah orang yang berkualitas mujtahid; karena kesepakatan itu tidak
berarti jika yang sepakat hanya satu orang.
2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang
kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai
kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu,
wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat
disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara
terang-terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan
dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk
perbuatan dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam
kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam
bentuk perseorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau secara
bersama-sama dalam satu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyata
terdapat kesamaan pendapat.
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh
mujtahid. Jadi, kalau kesepakatan itu hanya dari kebanyakan mujtahid saja

17
Abdul wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam, Jakarta, 2003, cet.1, hal.
55-63

9
sedang sebagian mujtahid lainnya terdapat perbedaan, maka bukanlah
merupakan ijma‘ yang dapat dijadikan hujah syar‘iyyah.18
Apabila rukun-rukun ijma‘ tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil
dari ijma‘ itu merupakan undang-undang syarak yang wajib ditaati, dan para
mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati
itu sebagai tempat berijtihad baru. Sebab hukumnya sudah tetap atas dasar
bahwa ijma‘ itu telah menjadi hukum syarak yang qath‘i, sehingga tidak dapat
dihapus atau ditukar dengan ijtihad yang lain. Namun menurut satu pendapat,
tidak mungkin terjadi ijma‘ pada kebiasaan. Ini dapat dilihat seperti pada
penyataan Ibn Hazm yang mengatakan bahwa munculnya ijma‘ supaya
jangan ada lagi orang yang berijtihad pada masalah tersebut, dan ijma‘ asumsi
dasarnya adalah bohong. Adapun argumen orang yang berpendapat tidak
mungkin terjadi ijma‘ adalah dengan dianalogikan seperti tidak mungkin
sama selera semua orang dalam hal memakan makanan yang sama atau tidak
mungkin mengucapkan kalimat yang sama dalam waktu yang sama oleh
semua orang. Adapun menurut pendapat yang kuat, terjadinya ijma‘ sangat
memungkinkan. Pernyataan tersebut (tidak mungkin terjadi ijma‘ dan
argumennya) dibantah oleh Zakariyya’ al-Ansari dengan pernyataannya
bahwa analogi semacam itu tidak sesuai (qiyas ma‘a al-fariq). Alasannya,
karena berbeda keinginan dan kesukaan setiap orang dalam hal makanan dan
ucapan yang ingin dikeluarkan. Hal ini berbeda dengan hukum syarak karena
kesamaan dan kesepakatan yang terjadi (ijma‘) dimunculkan oleh dalil yang
mereka sepakati dalam. 19

C. Macam – macam Ijma


Ijma, ditinjau dari cara penetapannya ada tiga yaitu:
1) Ijma Sharih

18
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Bandung,
1986, Cet. 1, hlm. 60.
19
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, 2009, Edisi I, Cet. 4, hlm. 135-136. Lihat juga
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh…, 49-50.

10
Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu
kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat
dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan
pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan
pendapatnya. 20
2) Ijma Sukuti
Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang
lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap
pendapat yang telah dikemukakan. Tentang ijma sukuti, ulama berbeda pendapat
boleehkah ijma sukuti menjadi hujjah atau tidak:
a. Imam Syafe’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan
Imama Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyatakan, bahwa ijma
sukuti tidak dapat menjadi hujjah sebab kemungkinan ada ulama yang tidak
setuju atau ada pula yang setuju.
b. Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma sukuti tetap menganggapnya hujjah
sebagaimana halnya ijma qauli/amali.
c. Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma sukuti
hukumnya zhanni dan kehujjahannya dzahiri bukan qath’i.
Ijma sharih adalah ijma yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur
ulama ia adalah suatu hujjah hukum syara’. Sedangkan ijma sukuti adalah ijma
yang seakan-akan, karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan
pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma. Dengan demikian
kehujjahan ijma ini masih diperselisihkan: Jumhur ulama berpendapat bahwa
ijma sukuti bukan ijma, ia hanyalah pendapat sebagian mujtahid secara individu.
Ulama kelompok hanafi berpendapat bahwa ijma sukuti adalah ijma jika
mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya kejadian yang dimaksud,
sudah ditunjukkan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid,
sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan

20
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,, Jakarta, 2003, hlm.62

11
pendapatnya, tetapi ia diam. Tidak ditemukan alasan mengenai diamnya; apakah
karna takut, terkena bujukan, payah, atau karena mendapat ejekan. Karena
diamnya seorang mujtahid dalam kedudukannya sebagai pemberi fatwa,
penjelas, dan pembentuk hukum syara’ dalam waktu yang cukup untuk
membahas dan mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan
pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatannya dengan
pendapat yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain). Sebab, jika
pendapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.
Menurut pendapat penulis, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
jumhur ulama; karena seorang mujtahid yang diam, kemungkinan terpengaruh
beberapa masalah dan keragu-raguan, baik masalah pribadi atau bukan masalah
pribadi. Tidak mungkin meneliti semua masalah dan keragu-raguan yang
mempengaruhinya lalu memutuskan bahwa diamnya adalah setuju dan dapat
menerima pendapat yang lain. Mujtahid yang diam berarti tidak mempunyai
pendapat dan tidak dapat dikatakan setuju atau menentang. Sedangkan sebagian
besar yang dinamakan ijma adalah ijma sukuti.
Ijma ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau dugaan, ada dua
macam: Pertama, ijma yang mempunyai petunjuk hukum pasti, yaitu ijma
sharih. Yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan untuk menetapkan hukum
yag lain yang bertentangan dari peristiwa hukumnya dan tidak boleh menjadikan
obyek ijtihad pada peristiwa yang telah ditetapkan dalam ijma sharih atas
hukumnya. Kedua, ijma yang mempunyai petunjuk hukum dugaan, yaitu ijma
sukuti. Yakni, hukumnya masih dugaan menurut dugaan yang kuat. Masih
terbuka kesempatan untuk melakukan ijtihad pada peristiwa yang telah diduga
hukumnya, karena ijma ini cerminan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan
seluruhnya.21

21
Andewi Suhartini, Ushul Fikih, Banten, 2009, Cet. 1 hlm. 36

12
3) Ijma qath’i
Yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu
masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma qath’i ini dapat dijadikan
dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.22

D. Kehujjahan Ijma’
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’ misalnya,
apakah ijma’ itu hujjah Syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul fiqih
atau bukan ? bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’ ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut , para ulama berbeda
pendapat. Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang hawa tidak menjadikan
ijma’ itu sebagai Hujjah, bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu
bukan hujjah secara mutlak.
Menurut amidi, para ulama telah bersepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah
yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan syi’ah Khawarij dan
Nizam dari golongan Mu’tazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa
menanggapi pendapat Nizzam, Khawarij, dan Syi’ah. Adapun ar-Rahawi
berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab
Qawa’idul Ushul dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa Ijma’ itu hujjah pada
setiap masa. Namun, pendapat itu ditentang oleh Daud yang mengatakan bahwa
Ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.23
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu
Sharih, dan sukuti. Berdasarkan pembagian ijma’ kehujjahannya ditinjau
berdasarkan ijma’ itu sendiri yaitu sebagai berikut :
1. Kehujjahan Ijma’ Sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ Sharih itu merupakan hujjah secara
Qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi

22
Andewi Suhartini, ibid, hlm. 87-89
23
Andewi Suhartini, ibid, hlm.

13
ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum Qath’i yang tidak boleh
ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh di ijtihadi lagi. Ibrahim An-
Nidzam, Sebagian dari golongan syi’ah dan khwarij berkata bahwa ijma’ itu
tidak termasuk hujjah. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah
yang wajib diamalkan, dengan alasan :
1) Firman Allah SWT. surat An-Nisa ayat 115 :
ْ ُ‫سبيِل ْاَل َُّمْؤْ منينا ُنُ اوَله اما ت ااوَلَّ َٰٰى اَوُن‬
ۖ ‫صله اج اهنَّ ام‬ ‫سو ال م ْن با ْعد اما تا ابيَّنا َلاهُ ْاَل ُهدا َٰى اَوياتَّب ْع اُغي اْر ا‬ َّ ‫اَو ام ْن يُشااْقق‬
ُ ‫اَلر‬
ْ ‫سا اء‬
‫ت امصيرا‬ ‫اَو ا‬

Artinya : “ dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali”. (An-Nisa : 115)
Dalil yang digunakan oleh jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam
ijma’. Bahwa yang dimaksud jalnnya orang-orang mukmin di atas adalah para
pengikut Rasulallah SAW., penolongnya dan penjaga dari musuh-musuhnya,
bukan legalisasi hukum terhadap kesepakatan ulama mujtahid. Maka
makdudnya ayat diatas, sesuai dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan,
adalah “sesungguhnya orang-orang yang beriman yang menolong Rasulallah
SAW., dan para penentang jalan orang-orang beriman yang menolong
Rasulnya dan menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan oleh Allah
mengikuti hawa nafsunya, dan akan disiksa di akhirat dengan dimasukan
kedalam neraka jahannam dan ditempatkan pada tempat yang hina.24
Dalam ayat di atas, Allah mengancam orang yang mengikuti bukana
jalan kaum muslimin dengan measukan kedalam neraka jahannam. Hal ini
menunjukan akan haramnya mengikuti bukan jalannya orang mukmin itu dan
wajibnya mengikuti jalan orang mukmin dan apa yang disepakati umat islam
(sebagai tamsil dari mujtahid dan mereka yang memiliki spesialisasi dalam
bidang tasyri’) wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya. Zamakhsari

24
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 2015,hlm 74-75

14
mengomentari bahwa ayat ini menunjukan bahwa ijma’ ,merupakan hujjah
yang tak boleh diperselisihkan sebagaimana tak boleh diperselisihkannya Al-
Qur’an dan Sunnah. Sedang amidi mengomentarinya bahwa ayat ini
merupakan ayat yang amat kuat petunjuknya tentang kehujjahan ijma’ dan
dengan ayat inilah Imam Syafi’i berpegang, sedangkan Imam Ghazali
berpendapat lain, yaitu bahwa yang dimaksud dengan “bukan jalan orang
mukmin” itu ialah tidak membantu dan membela Nabi.

2) Firman Allah Surat An-Nisa’ Ayat 59 :


‫سو ال اَوأَُوَلَّي ْاْل ا ْمر م ْن ُك ْم ۖ فاإ ْن تاناازا ْعت ُ ْم فَّي ا‬
َّ ‫ش َّْيءٍ فا ُردَُّوهُ ِإَلاٰى‬
‫َّللا‬ َّ ‫َّللاا اَوأاطيعُوا‬
ُ ‫اَلر‬ َّ ‫ياا أايُّ اها اَلَّذينا آ امنُوا أاطيعُوا‬
‫سنُ ت اأَْويل‬ ‫اَّلل اَو ْاَل اي ْوم ْاْلخر ۚ َٰذاَلكا اخي ٌْر اَوأاحْ ا‬
َّ ‫سول ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُْؤْ منُونا ب‬
ُ ‫اَلر‬
َّ ‫اَو‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian Jika kamu berlawanan
berpendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Quran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih
baik akibatnya”. (An-Nisa: 59)
Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri yaitu mereka yang
mempunyai spesialisasi dalam berbagai bidang pengetahuan. Maka ulil amri
dalam urusan hukum adalah hakim, sedangkan dalam memperkenalkan
hukum Allah SWT. dan mengistinbatkannya adalah para mujtahid, dan
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah para pakar spesialis.
Berdasarkan pendapat Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan ulil amri itu
dengan ulama, maka menaati apa yang diijma’kan adalah wajib.
Kehujjahan ayat di atas adalah bahwa adanya pertentangan merupakan
syarat dikembalikannya permasalahan kepada Allah SWT. dan Rasulnya.
Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan ada bila telah terjadi
kesepakatan terhadap hukum yang diambil dari kitab dan sunnah. Oleh
sebab itu, tidak diragukan lagi bawa ijma’ itu adalah hujjah. Terhadap

15
tafsiran ini, sebenarnya telah difirmankan Allah SWT. dalam surat An-Nisa
ayat 83 :

‫سول اَوِإَلا َٰٰى أَُوَلَّي ْاْل ا ْمر م ْن ُه ْم َلا اعل اَّمهُ اَلَّذينا‬ُ ‫َلر‬ َّ ‫اَوِإذاا اجا اء ُه ْم أا ْم ٌر منا ْاْل ا ْمن أاَو ْاَلخ ْاوف أاذااعُوا به ۖ اَوَلا ْو اردَُّوهُ ِإَلاٰى ا‬
‫طانا ِإ ََّل ْقاليل‬‫ش ْي ا‬َّ ‫َّللا اعلا ْي ُك ْم اَو ارحْ اَّمتُهُ اَلتَّبا ْعت ُ ُم اَل‬ ُ ‫يا ْست ا ْنب‬
ْ ‫طوُناهُ م ْن ُه ْم ۗ اَوَلا ْو اَل فا‬
َّ ‫ُض ُِل‬

Artina: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa : 83)
Kemudian diiringi dengan ayat yang memerintahkan pengembalian
urusan yang diperselisihkan kepada Allah SWT. dan Rasulallah.
Pengertiannya bahwa pendapat yang disepakati Ulil Amri itu adalah benar.
3) Beberapa hadits yang menunjukan terpeliharanya dari kesalahan dan
kesesatan, yaitu hadis yang saling memperkokoh dan diterima oleh umat,
serta mutawatir maknanya sehingga dijadikan hujjah. Hadis-hadis ini datang
melalui idah para sahabat, seperti umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abi Sa’id,
Al-Khudri, Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain, yang telah dikemukakan
pada masalah ijma’ aktasariyah. Hadis Nabi saw.
Bahwa hukum yang telah mendapatkan kesepakatan dari seluruh
mujtahid muslimin pada hakikatnya adalah hukum umat Islam seluruh dunia
yang tercermin pada para mujtahid. Banyak sekali dalil-dalil Hadis dalam
berbagai periwayatan yang berbeda rumusannya, namun sama maksudnya,
yaitu umat Nabi Muhammad saw. tidak akan bersepakat dalam membuat
kesalahan dan kesesatan. Antara lain sabda Nabi berikut: “Umatku tidak
sepakat untuk membuat kesalahan. (HR. Ibnu Majah”). Dalam Hadis ini
dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-sama
sepakat tetang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma‘ itu terpelihara

16
dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat
Islam.
4) Argumen bahwa ijma‘ berlandaskan syariat
Ijma‘ terhadap hukum syarak harus dibina di atas sandaran syariat.
Sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak
boleh dilampauinya. Jelasnya, jika di dalam menjalankan ijtihad dia
mendapatkan suatu nas, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman
dari nas itu dan dia harus mengetahui benar-benar apa yang ditunjuknya.
Akan tetapi jika di dalam kejadian yang diijtihadkan tidak ada nasnya, maka
ijtihadnya tidak boleh melampaui cara pengistimbatan suatu hukum. Ia
dituntut untuk mengkiaskannya kepada yang ada nas, atau menyesuaikannya
dengan kaidah-kaidah syariat dan dasar-dasar hukum umum atau dengan
menggunakan dalil-dalil yang ditegakkan oleh syariat, seperti istihsan,
istishab, memelihara ‘urf dan masalih al-mursalah.
5) Kesepakatan mujtahid dalam suatu pendapat yang sebagian pemikiran dan
pengetahuan mereka berbeda, menunjukan bahwa pendapat ini merupakan
kebenaran dan ketepatan yang benar-benar nyata, dan menunjukan bahwa
tidak terdapat dalil yang menentangnya. Jika dalil itu ada tentulah sebagian
mereka akan mengingatkannya dan tidak akan menghasilkan perbedaan di
kalangan mereka karena tidak semuua anggota jemaah itu lalai. Di dalam
kejemaah tidak terjadi kelalaian dari kitabullah, sunnah dan qiyas. Kelalaian
itu terjadi jika umat terkelompok-kelompok.

Al-Nazham, sebagian mu’tazilah dan syi’ah berpendapat bahwa ijma’


bukan hujjah, dengan alasan:
a) Setiap individu mujtahid itu mungkin saja tersalah dan hal ini bisa juga
terjadi dalam jamaah mereka. Penggabungan satu sama lain mungkin
tersalah itu tidak mustahil memungkinkan mereka menjadi salah juga.
b) Firman Allah SWT. yang memerintahkan taat kepada Allah SWT., Rasul
dan Ulil amri itu menunjukan bahwa adanya perintah pengembalian urusan
yang disengketakan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah. Karena itu,

17
jika fuqaha generasi terdahulu ijma’ tentang suatu urusan lalu ditentang
oleh fuqaha generasi sesudahnya, maka wajib mengembalikan
permasalahannya kepada kitabullah dan Sunah Rasul-nya. Oleh karena itu,
ijma’ generasi terdahulu itu, tidak menjadi hujjah terhadap generasi
sesudahnya. Karena itu pula argumentasi jumhur tentang kehujjahan ijma’
dengan ayat ini dan bahwa kesepakatan itu tidak perlu kembali pada kitab
dan sunah adalah tidak benar karena adakalanya kesepakatan mustahid itu
terjadi dalam hukum yang mereka perselisihkan, sehingga mau tidak mau
harus dikembalikan kepada kitab dan sunnah.
c) Mu’az bin Jabbal ketika diutus Rasulallah SAW. Ke Yaman tidak
menyebutkan ijma’ diantara dalil-dalil tempat rujuknya dalam
memutuskan hukum, sementara pernyataan Mu’az itu diakui oleh
Rasulallah SAW. Yang demikian mennjukan bahwa ijma’ bukan menjadi
hujjah.
Selanjutnnya, mereka menolak semua argumentasi yang dikemukakan
oleh jumhur ulama, dengan alasan beikut :
1) Firman Allah SWT. surat An-Nisa ayat 115 ;
ْ ُ‫سبيِل ْاَل َُّمْؤْ منينا ُنُ اوَله اما ت ااوَلَّ َٰٰى اَوُن‬
‫صل ه‬ ‫سو ال م ْن با ْعد اما تا ابيَّنا َلاهُ ْاَل ُهدا َٰى اَوياتَّب ْع اُغي اْر ا‬ َّ ‫اَو ام ْن يُشااْقق‬
ُ ‫اَلر‬
‫اج اهنَّ ام ۖ اَو ا‬
ْ ‫سا اء‬
‫ت امصيرا‬

Artinya : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas


kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)

Bahwa yang dimaksud dengan “bukan jalan mukminin itu seperti yang
dikatakan oleh Ibn Hazmin, ialah tidak menaati al-Quran, Sunah yang sah
dari Rasul”. Jadi, ia tidak menunjukan tentang kehujahan Ijma’.”
2) Semua hadis yang dipegang oleh jumhur itu adalah hadis ahad, yang tidak
menghasilkan keyakinan tentang kehujahan ijma’. Sekiranya diterima atas

18
dasar mutawatir maknanya, maka ia ditempatkan untuk terpeliharanya umat
dari kesalahan dan kesesatan dalam menyepakati kekufuram dan menyalahi
dalil qath’i saja. Hal ini mengingat bahwa terdapat hadis Nabi yang
menunjukan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam umat.
Sebenarnya semua dalil/argumentaasi jumhur tentang kehujjahan
ijma’tidak satu pun yang qath’i dilalahnya, karena baik ayat maupun hadis
tidak qath’i dilalahnya terhadap kehujjahan ijma’ dan tidak pula secara tegas
tentang itu.
Asy-Syaukani berkomentar bahwa suatu keanehan di kalangan fuqaha
bila mereka menetapkan kehujjjahan ijma’ dengan keumuman (zhanni) ayat
dan hadis lalu mereka ijma’ bahwa orang yang mengingkari terhadap apa
yang dicakup keummuman tersebut tidak kafir dan tidak pula fasi bilamana
keingkaran itu mempunyai ta’wil. Kemudian mereka mengatakan bahwa
hukum yang disimpulkan ijma’ adalah qath’i yang mengakibatkan kafir dan
fasiknya orang yang menyalahi ijma’ itu. Seolah-olah meteka menempatkan
yang cabang lebih utama daripada poko (Chaerul Uman, 2001:80-85).25
Kalau ditelaah secara teliti, dari kedua golongan yang bertentangan tentang
kehujjahan Ijma’ tersebut, tidak ada yang dapat dipegang landasan
hukumnya. Namun, yang dianggap paling betul adalah dallil yang wajib
kepada kita untuk berpegang pada ijma’ dan melarang untuk
mengingkarinya.
2. Kehujjahan Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti dipertanggung jawabkannya di kalangan para ulama.
Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan
tidak menyatakan sebagai ijma’. Di antara mereka adalah pengikut Maliki
dan Imam Syafi’i yang menyebtkan hal tersebut dalam berbagai
pendapatnya.
Al-Kurthu dari golongan Hanafi dan Al-Amidi dari golongan Syafi’i
menyatakan bahwa Ijma’ Sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni.

25
Andewi Suhartini, Ushul Fiqh, Banten, 2009, Cet. 1, hlm. 89-91

19
Pendapat merekalah yang kita anggap lebih baik. Karena diamnya sebagian
mujtahid untuk menyatakan pendapatnya kalau memenuhi syarat ijma’
Sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap para mujtahid
lainnya. Tetapi boleh dinyatakan diamnya mereka itu antara menyepakati
dan tidak. Sikap tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum ulama
salaf. Mereka tidak melarang untuk menyatakan haq meskipun tidak mampu
melaksanakan dan ada sebagian yang mengingkarinya.
Contohnya, ketika Muadz bin Jabal melaporkan pada Umar bin Khatab
bahwa ia bermaksud menghukum wanita hamil yang melakukan zinah, ia
berkata “seandainya Allah SWT menjadikan kepada kamu keselamatan
pada punggungnya (perempuan), maka kamu tidak akan menjadikan bayi
perempuan itu jalan keselamatan”, maka Umar berkata : kalau bukan Muadz
(yang berkata) maka Umar akan memarahinya”.
Masih banyak contoh lain yang dapat diketahui dengan menelaah
kehidupan mereka. Bila diamnya sebagai mujtahid tidak bisa dikatakan
sebagai ketetapan Qath’i, tetapi zhanni, maka kehujjahan ijma’ Sukuti tidak
bisa dikatakan qath’i, melainkan zhanni.26

E. Landasan Ijma’
Jumhul ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ijma’ merupakan upaya para
mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam
nas, harus mempunyai landasan dari nas atau qiyas (analogi). Apabila ijma’ tidak
memiliki landasan, maka ijma tersebut tidak sah. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat tentang jenis landasan ijma’ tersebut.
Mayoritas ulama ushul fiqih mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa dari
dalil yang qath’i yaitu Al-Quran, sunah mutawatir, serta bisa juga berdasarkan
dalil dzanni, seperti hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu dua atau tiga
orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka
adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah

26
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 2015,hlm 76-77

20
bersetubuh dengan istri. Landasan ijma’ ini menurut mereka, adalah hadis ahad.
Demikian juga kesepakatan para sahabat dalam menetapkan Abu Bakar sebagai
pengganti (khalifah) Nabi SAW dengan mengqiyqskannya kepada sikap Nabi
SAW yang menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat ketika beliau berhalangan.
Para sahabat juga berijma’ bahwa lemak babi adalah haram dengan
menganalogikannya kepada daging babi. Para sahabat di zamar Umar ibn Al-
Khaththab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang
yang meminum-minuman keras. Seluruh kesepakatan yang dikemukakan di atas
dasanya dalah dzanni.
Ulama Dzahiriyah, Syi’ah, dan Ibn Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa
landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang
qath’i. Suatu dalil yang qath’i tidak mungkin didasarkan pada dalil yang dzanni.
Disamping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang
didasarkan kepada qiyas. Apabila sandaran ijma’ tersebut adalah qiyas, maka
seorang mujtahid boleh mengingkarinya.
Sejalan dengan perbedaan pendapat tentang menjadikan qiyas sebagai
landasan ijma’, para ulama juga berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah
mursalah sebagai landasan ijma’, para ulama yang menerima maslahah
murshalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nas yang rinci, tidak pula
ditolak oleh nas, tetapi didikung oleh sejumlah makna nas) sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa didasarkan pada
maslahah murshalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah, maka
ijma’ pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqih madinah
berpendapat bahwa penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya boleh,
sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga.
Landasan kesempatan ini adalah maslahah murshalah.
Demikian juga kesepakatan ulama tentang larang orang yang ada hubungan
kekerabatan dan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau
sebaliknya. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah murshalah. Selain
itu, para sahabat juga sepakat menyatakan bahwa tanah-tanah negri yang
ditaklukkan, seperti Irak dan Syam tidak dibagikan kepada para penakluknya,

21
tetapi diserahkan kepada penduduk setempat dengan syarat penduduk itu
mengeluarkan pajak, sebagai uang masuk bagi kepentingan umat islam, seperti
untuk biaya hidup anak yatim, para janda, gaji para hakim, dan buruh.
Seluruh hukum yang disepakati, baik oleh para sahabat maupun oleh para
mujtahid diatas, dilandaskan kepada maslahah mursalah. Akan tetapi,
Zakiyyudin Sya’ban, bahli ushul fiqih Mesir, mengtakan bahwa ijma’ yang
didasarkan pada maslahah mursalah tidak bersifat tetap dan abadi, tetapi bisa
berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika
terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut boleh dilanggar dan
ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.
Dengan demikian, setiap ijma’ yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah
ijma’ yang mempunyai sandaran dan sandarannya itu qath’i seperti ayat Al-
Quran atau sunah yang mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti
hadis ahad atau qiyas masih dapat dianggap sebagai ijma’, para fuqoha berbeda
pendapat. Menurut Jumhurul Fuqaha, ijma’ seperti itu dapat diterima dan
memang pernah terjadi. Jumhurul Fuqaha memberikan contohnya seperti ijma’
tentang haram memakan lemak babi yang diqiyaskan dengan daging babi, wajib
membuang minyak lampu yang ada didalamnya terdapat bangkai tikus, atau
kekhalifahan Abu Bakar yang diqiyaskan dengan kepercayaan Rasulullah
terhadap imamah Abu Bakar dalam shalat.
Namun ada sekelompok ulama yang berpendapat, ijma’ yang
sandarannya qiyas tidak boleh dan tidak pernah terjadi, adapula yang
mengatakan ijma’ yang sandarannya qiyas jail dapat diterima sedangkan lain
dari itu tidak dapat diterima, ada pula yang berpendapat ijma’ sandarannya qiyas
tidak dijadikan sumber fiqih.27

27
Chaerul uman,ushul fiqh,(Jakarta:2009), 86-88

22
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah disusun , dapat disimpulkan bahwa :
1. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid atau ulama tentang hukum suatu
masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis.
2. Ijma, ditinjau dari cara penetapannya ada tiga yaitu ijma’ Sharih, ijma’
Sukuti, dan ijma’ Qath’i
3. Dari definisi ijma dapat diketahui bahwa ijma itu bisa terjadi bila memenuhi
syarat-syarat, yaitu yang bersepakat adalah para mujtahid dan seluruh
mujtahid, para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW, dilakukan
setelah wafatnya Nabi, dan kesepakatan mereka harus berhubungan dengan
syariat.
4. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang wajib
diamalkan, dengan beberapa alasan diantaranya seperti yang tercantum
dalam surat An-Nisa ayat 59 dan ayat 115, beberapa hadits yang
menunjukan terpeliharanya dari kesalahan dan kesesatan, dan kesepakatan
mujtahid dalam suatu pendapat yang sebagian pemikiran dan pengetahuan
mereka berbeda,
5. Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu
Sharih, dan sukuti. Berdasarkan pembagian ijma’ kehujjahannya ditinjau
berdasarkan ijma’ itu sendiri yaitu sebagai berikut : Kehujjahan ijma’ sharih
dan Kehujjahan Ijma Sukuti.
6. Mayoritas ulama ushul fiqih mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa dari
dalil yang qath’i yaitu Al-Quran, sunah mutawatir, serta bisa juga
berdasarkan dalil dzanni, seperti hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh
satu dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatir) dan
qiyas.

23
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam menyusun makalah
ini. Namun, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca
sekiranya menemukan kesalahan pada makalah ini untuk memeperbaikinya.
Sebab penulis bukanlah orang yang sempurna yang tidak lepas dari kekeliruan.
Jika ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan kajian oleh pembaca maka penulis
akan merasa termotivasi.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan, kedepannya penulis akan lebih banyak memperbaiki dalam
pembuatan makalah Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam, maka dari itu penulis
sangat membutuhkan kritik dan saran yang dapat membangun dan memotivasi
agar lebih baik lagi dalam penulisan makalah kedepannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Wahhab, K. '., 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta.

Amir, S., 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Ashshubli, M., 2016. kedudukan ijma' sebagai dalil hukum kedudukan publik.
Jurnal Hukum, XIII(01), pp. 54-55.

As, R., 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.

hakim, A. h., n.d. Mabadi Awaliyah. Jakarta: Sa'adiyah Putra.

Jafar, M., 2014. Ijma' Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
XIII(12).

Khallaf, A. W., 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani.

Mukhtar Yahya, F. R., 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung:

Al-maarif.

Rahmat, S., 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Suhartini, A., 2009. Ushul Fiqih. Banten: Departemen Agama RI.

25

Anda mungkin juga menyukai