Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Modernisasi hukum merupakan usaha untuk membuat hukum menjadi lebih


baik sesuai dengan perkembangan serta kemajuan disegala bidang. Pada masa
penjajahan Belanda hukum yang diberlakukan di Indonesia merupakan hasil
menjiplak, atau dengan penyesuaian dari hukum di negeri Belanda. Harus diakui
bahwa kaedah-kaedah hukum zaman belanda seperti KUHPerdata KUHP dan
KUHD, cukup baik untuk ukuran waktu itu namun tidak cukup baik untuk ukuran
zaman sekarang.
Selain itu ketulusan dan kedisiplinan pemerintah dan hakim-hakim zaman
belanda dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum tersebut membuat penegakan
hukum pada zaman itu relatif cukup baik, jauh lebih baik dari penegakan hukum
pada zaman kemerdekaan, baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
maupun pada masa Presiden Soeharto. Bahkan pada masa reformasi ditengarai
bahwa penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan terpuruk, sudah sampai pada
titik nadir. Dalam hubungannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia ini, ada
majalah internasional yang menyebutkan bahwa kasus korupsi di Indonesia
menempati urutan pertama terparah di Asia.
Penegakan hukum untuk memberantas korupsi sangat buruk, tidak
terpolakan, tidak jelas arahnya dan sama sekali tidak kelihatan hasilnya, bahkan
korupsi justru terjadi ditataran pejabat yang mempunyai tugas untuk memberantas
korupsi itu sendiri. Dalam prinsip hukumnya indonesia memakai asas legalitas dan
asas nulum delictum sine privea lege poenaly. Menurut asas ini tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang
yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. Indonesia yang lebih dikenal memakai
paradigma positivisme dalam hukum, seharusnya tidak dapat memberi peluang
undang-undang berlaku surut.

1
PARADIGMA HUKUM INDONESIA SEBAGAI PENGANTAR
MEMAHAMI PERILAKU MANUSIA TERHADAP HUKUM

A. Pengertian dan Pendapat para Ahli tentang Paradigma Hukum


Secara etimologis, paradigma berasal dari kata dalam bahasa Yunani,
para yang artinya di samping atau berdampingan dan diegma yang artinya
contoh. Sedangkan secara sosiologis istilah ini banyak dipakai sebagai cara
pandang, pola, model, anutan dan sebagainya.1 Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia paradigma juga diartikan sebagai model dalam ilmu pengetahuan
juga kerangka berpikir.
Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai
ilmuan dalam kegiatan keilmunnya untuk menentukan jenis-jenis persoalan
yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang
bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.
Konsep paradigma muncul karena kegundahan Thomas S. Khun ketika
melikat terkotak-kotaknya ilmuan sosial sebagai akibat dari perselisihan
pendapat yang menyangkut sifat masalah dan metode ilmiah yang diakui valid.
Khun melihat sumber perselisihan tersebut terletak dari perbedaan paradigma
yang dianut masing-masing ilmuan tersebut. Meskipun Khun dapat disebut
sebagai pencetus konsep paradigma, tetapi dia lebih memilih menggunakan
istilah disciplinary matrixs dan exemplar dibandingkan kata 'paradigma' itu
sendiri.2
Hukum mempunyai paradigma, yang oleh Satjipto Raharjo diartikan
sebagai perspektif dasar. Dengan adanya paradigma tersebut membawa kita
kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang
mengekspresikan paradigma tersebut. Dengan mengetahui paradigma yang ada
di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita
tidak dapat mengetahunya.

1
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum (Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm. 83-84.
2
Ibid., hlm. 84-85.

2
Lebih lanjut Satjipto Raharjo juga mengemukakan adanya paradigma
hukum yang bermacam-macam. Sebagai akibatnya, maka hukum juga
mengekspresikan bermacam-macam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.3
Menurut Otje Salman yang dikutip oleh Zainuddin Ali, Paradigma Sosiologi
hukum merupakan pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala sosial
lainnya.4
B. Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan
Bernegara
Positivisme merupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang
berkembang di Eropa kontinental, khususnya di Prancis. Positivisme adalah
suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk
menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu
yang eksis, suatu obyek yang harus dilepaskan dari sembarang macam para
konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.5 Diaplikasikan kedalam pemikiran
tentang hukum positiv menghendaki dilepaskannya pemikiran meta yuridis
mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat.
Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif
sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan
kontraktual yang konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat (atau
wakil-wakilnya).
Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai asas-asas moral meta
yuridis yang niskala (abstrak) tentang hakekat keadilan melainkan ius yang
telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian
mengenai apa yang dibilang hukum dan apapula yang sekalipun normatif harus
dinyatakan sebagai hal-hal yang terbilang hukum.6
Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk
segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang

3
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah
(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 65-66.
4
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 10.
5
Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya
(Jakarta : Elsam, 2002), hlm. 96.
6
Ibid., hlm. 97.

3
dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan
(ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk
mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang
terintegrasi kukuh secara sentral yang tak pula banyak bisa dijabarkan secara
meluas. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivisasi hukum selalu
memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum
dinegara-negera yng tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan
atau penyatuan, tak hanya yang menuju ke nation state melainkan juga yang
dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu
berakibat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka
penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk memonopoli
kontrak sosial yang formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum
positif.
Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun
terbilang positif, dalam arti obyektifitasnya di akui dan di “ya” kan dengan
tegas pada hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang
fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses
obyektivitas sejumlah norma meta yuridis menjadi sejumlah norma yang
positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap saja
berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika normologis yang induktif
untuk menemukan berjumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris
yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural bagimanapun juga
hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dalam ilmu hukum
aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen, bukan hasil observasi-
observasi yang mendayagunakan metode sain guna menjamin obyektifitas dan
realibilitas.7 Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut positivisme
dalam paradigma pembentukan hukumnya. Tentunya banyak hal yang dapat
menjadi satu kelemahan dalam penerapan hukumnya, dalam pandangan
positivisme, yang dikatakan hukum adalah satu norma-norma yang telah

7
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum
di Indonesia (Surakarta : UMS Press, 2004), hlm. 240.

4
dipositifkan, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis sekalipun itu baik dan
bagus bukan disebut sebagai hukum. Hal inilah yang sering kali indonesia
mengalami persoalan ketika harus menghadapi kejahatan-kejahatan
internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya. Kasus-kasus terorisme
yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk keindonesia yang mau-tidak
mau dengan tekanan Internasional mengharuskan negara Indonesia terlibat
dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut, namun yang menjadi
masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda indonesia, ternyata
indonesia dalam hukum positifnya belum mampu mengakomodir kejahatan
tersebut. Sehingga mengharuskannya dalam waktu singkat membuat aturan
hukumnya. Walaupun harus melanggar asas-asas umum dalam hukum
indonesia.
C. Fungsi dan Peran Hukum
1. Hukum Sebagai Sistem Nilai
Menurut Satjipto Rahardjo, nilai merupakan salah satu paradigma
hukum, sehingga nilai dapat dilihat sebagai sosok hukum juga. Nilai
sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya
adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat.8 Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang
secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar atau basic norm.
Norma dasar inilah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus
penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar tersebut
merupakan sumber nilai dan juga pembatas dalam penerapan hukum.9
2. Hukum Sebagai Ideologi
Sebagai paradigma, ideologi tidak membiarkan hukum sebagai
suatu lembaga yang netral. Ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang
menyetujui seperangkat norma.Jika norma menetapkan bagaimana cara
orang berperilaku, maka tugas ideologi adalah untuk menjelaskan

8
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode, dan Pilihan Masalah
(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 66.
9
Esmi Warassih, Pranata Hukum : Sebuah Telaah Sosiologis (Semarang : PT Suryandaru
Utama, 2005), hlm. 80.

5
mengapa harus bertindak demikian dan mengapa mereka seringkali gagal
bertindak bagaimana semestinya.
Newman berpendapat bahwa ideologi merupakan seperangkat
gagasan yang menjelaskan atau yang melegalisasikan tatanan sosial,
struktur kekuasaan atau cara hidup dilihat dari segi tujuan, kepentingan
atau kolektifitas di mana ideologi itu muncul.
3. Hukum Sebagai Institusi
Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai institusi sosial dimana
hukum menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat agar tercipta keadilan
dan ketentraman. Sehingga masyarakat dapat hidup dengan damai tanpa
ada konflik. Institusi merupakan suatu sistem hubungan sosial yang
menciptakan keteraturan dengan mendefinisikan dan membagikan peran-
peran yang saling berhubungan didalam institusi.10
Institusi sosial merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan
pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia. Hukum sebagai suatu lembaga atau institusi sosial, hidup
berdampingan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling
mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi.11
4. Hukum Sebagai Rekayasa Sosial
Pound mengatakan bahwa tugas pokok pemikiran modern
mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Dalam banyak karangan
pound berusaha memudahkan dan menguatkan tugas rekayas sosial ini
dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial,
yang keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang. Pound
menggolongkan kepentingan-kepentingan yang secara sah dilindungi,
dalam tiga golongan, yakni kepentingan umum, sosial dan pribadi.12

10
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode, dan Pilihan Masalah
(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 82.
11
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 4.
12
W. Friedmann, Terjemah, Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, idealisme
filosofis dan Problema keadilan (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hlm. 141.

6
Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa hukum sebagai sarana
rekayasa sosial adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai
suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau
untuk melakukan perubhan-perubahan yang diinginkan. Setiap peraturan
hukum tentulah mempunyai tujuannya sendiri, rekayasa sosial merupakan
suatu usaha yang lebih sistematis dan cendekia tentang bagaimana cara
mencapai tujun tersebut.13
Hukum sebagai rekayasa sosial, menurut Chairuddin, berfungsi
sebagai independent variebel, dimana masyarakat berfungsi sebagai
variebel yang dipengaruhi oleh hukum. Jika demikian halnya maka perlu
ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang diinginkan itu
diwujudkan melalu arah kebijaksanaan yang ditetapkan.14 Podgorecki,
yang dikutip oleh Satjipto Raharjo, mengembangkan empat asas pokok
rekayasa sosial sebagai berikut :
1. Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan
menempatkannya dm suatu urutan hirarki. Analisa di sini meliputi
pula pemikiran mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak
akan lebih menimbulkan suatu efek yang malah memperburuk
keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa, seperti apakah suatu cara
yang dipikirkan untuk dilakukan pada akhirnya nanti memang akan
membawa kepada tujuan sebagaimana dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.15
Untuk menjamin agar tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa
sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan
ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau perturan, melainkan juga
adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut dalam praktek

13
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung : Penerbit Alumni, 1979),
hlm. 142.
14
Chaeruddin, Sosiologi Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 1989), hlm. 144.
15
Ibid., hlm. 150-151.

7
hukum, atau dengan perkataan lain, jaminan akan adanya law enforcement
yang baik.16
Hukum sebagai social engineering, tentu harus ada subjek yang
merubah, yang biasa disebut dengan agen of change. Agen of change atau
pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga
kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam
mengubah sistem sosial dan bahkan menyebabkan perubahan-perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.17
D. Membangun Paradigma pemikiran Hukum di Indonesia menuju Modernisasi
Hukum
Teori positivisme hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta
proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif dan oleh karena
sangat terbatas, untuk tidak mengatakan gagal, apabila dihadapkan dengan
suasana kemelut dan keguncangan seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab
itu indonesia tidak boleh berlarut-larut dalam cara penegakan hukum
sebagaimana selama ini dijalankan. Menurut Satcipto Rahardjo dalam buku
teorisasi hukum karangan Khudzaifah Dimyati mengatakan Indonesia
membutuhkan suatu tipe penegakan hukum progresif, karena pengamatan
selama ini menunjukkan ,meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan
keras namun hasilnya tetaplah mengecewakan.18
Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika
terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan, reformsi 1998
misalnya merupakan perubahan paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan
yang dibangun berdasarkan pardigma kekuasaan digantikan oleh paradigm
moral akal budi selain itu juga Satcipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum
bukan suatu institusi yang selesai tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus

16
Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 40.
17
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 4.
18
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum
di Indonesia (Surakarta : UMS Press, 2004), hlm. 134.

8
menerus. Pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan berbasis
peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap kebenaran, karena
memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang
legalistik positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang komplek telah
direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik
terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia.
Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori
legismenya – Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme melihat dunia hukum dari
teleskop perundang-undangan untuk kemudin meng-hakimi peristiwa-
peristiwa yang terjadi.19 Untuk mulai membangun hukum indonesia maka
paradigma yang harus dipakai dalam pemikiran tersebut adalah harus mencoba
meninggalkan paradigma positivis menuju kepada paradigma sosial artinya
menempatkan hukum pada kontek sosialnya yang lebih besar dengan kata lain,
hukum tidak dipahami sebagai institusi yang esoterik dan otonom tetapi
sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sehingga terbangun
konstruksi hukum yang benar-benar responsif terhadap kemungkinan yang
akan terjadi.

19
Satcipto Rahardjo, Sosiologi Pembangunan Peradilan yang Bersih dan Berwibawa
(Surakarta : UMS Press, 2000), hlm. 9.

9
KESIMPULAN

Paradigma hukum di indonesia yang mendasarkan pada paradigma


positivisme, mempunyai keterbatasan serta banyak permasalahan, karena
paradigma ini hanya menganggap bahwa hukum itu adalah norma-norma yang di
positifkan saja, sehingga tidak dapat merespon perubahan sosial yang semakin
berkembang.
Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat
memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat mengetahunya. Adanya
paradigma hukum yang bermacam-macam. Sebagai akibatnya, maka hukum juga
mengekspresikan bermacam-macam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.
Sehingga merujuk pada kenyataan tersebut perlu kiranya melakukan satu
pemikiran hukum yang dapat merespon perkembangan sosial, serta hubungan
internasional, sehingga paradigma yang dibangun pun harus sesuai dengan kondisi
masyarakat dan perkembangan zaman.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. 2009.


Chaeruddin. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. 1989.
Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia. Surakarta : UMS Press. 2004.
Friedmann, W. Terjemah, Muhammad Arifin. Teori dan Filsafat Hukum, idealisme
filosofis dan Problema keadilan. Jakarta : Rajawali Pers. 1990
Fuadi, Munir. Aliran Hukum Kritis. Bandung : Citra Aditya Bakti. 2003
Rahardjo, Satjipto. Sosiologi Pembangunan Peradilan yang Bersih Berwibawa.
Surakarta : UMS Press. 2000
________. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung : Penerbit Alumni. 1979.
________. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Yogyakarta : Genta Publishing. 2010.
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung : Refika Aditama. 2007
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 2006
Warassih, Esmi. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : PT
Suryandaru Utama. 2005.
Wignyosoebroto, Soetandyo. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta : Elsam. 2002.

11

Anda mungkin juga menyukai