1. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa dalam perkembangan moral ada 4 elemen yang harus
diketahui, yaitu :
a. Peran hukum, Kebiasaan/Tata Krama, dan Aturan dalam Perkembangan Moral
Elemen pertama yang terpenting dalam belajar menjadi individu yang bermoral adalah belajar
apa yang diharapkan kelompok.
Ketika masa kanak-kanak, anak tidak tidak terlalu dituntut untuk tunduk pada hukum dan
kebiasaan sebagaimana pada anak yang lebih besar. Setelah memasuki usia sekolah, anak
mulai diajarkan sedikit demi sedikit tentang hukum yang berlaku di lingkungannya. Hal ini
akan membentuk dasar dari pengetahuan mengenai apa yang diharapkan oleh kelompok yang
berbeda. Dengan demikian, aturan merupakan pedoman bagi perilaku anak dan sebagai
sumber dari motivasi untuk taat pada harapan sosial sebagaimana hukum dan adat kebiasaan
bagi para remaja dan orang dewasa.
Perasaan keagamaan menggerakkan seseorang untuk lebih banyak melakukan perbuatan yang
baik, oleh karena itu perlu memperkenalkan agama sejak dini pada anak dengan cara
memperkenalkan konsep keagamaan yang sering dijumpai dilingkungan sosial sehari-hari, di
rumah maupun di sekolah dengan menggunakan bahasa sehari-hari pula. Misalnya agar anak
dapat memahami cara makan yang benar, adalah tidak boleh sambil bicara atau harus berdoa
dulu sebagai rasa syukur kepada yang maha kuasa.
Dengan mengenal konsep keagamaan, anak akan menghindari perbuatan buruk dan
meningkatkan perbuatan yang baik.
3. Hurlock (1978) mengemukakan beberapa karakteristik kelompok sebaya pada masa usia SD,
yaitu :
4. Pada usia SD, berada pada masa pertumbuhan yang nanti akan sangat berpengaruh pada masa-
masa selanjutnya. Menjelang usia 6-12 tahun anak menjadi lebih tinggi dan berat badannya, ini
dikarenakan perkembangan skeletal dan muscular yang banyak berkaitan dengan tulang
kerangka dan otot seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor
bawaan, selain rangsangan fosoilogis berupa pemberian gizi, juga rangsangan psikologis yang
dapat berupa perhatian dan kasih sayang. Anak yang kekurangan gizi tidak hanya berdampak
pada fisiknya, tetapi juga berdampak pada perkembangan emosional maupun intelektual.
Anak yang kurang mendapatkan rangsangan psikologis dari keluarganya akan mengalami
kegagalan nonorganik dan deprives dwarvism.
5. Belajar menurut teori Behaviorisme, adalah bahwa belajar akan menampakkan hasil yang dapat
diamati dan diukur. Belajar itu sendiri dimodifikasi oleh lingkungan.]
Proses belajar terjadi dengan adanya 3 komponen pokok, yaitu stimulus, respon, dan akibat.
Stimulus adalah sesuatu yang datang dari lingkungan yang dapat membangkitkan respons
individu. Respons menimbulkan perilaku jawaban yang stimulus. Sedangkan akibat adalah
sesuatu yang terjadi setelah individu merespon baik yang bersifat positif maupun negatif.
Teori belajar Humanisme memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya dan
bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuan. Menurut teori ini aktualisasi merupakan
puncak perkembangan indibvidu. Teori belajar Humanisme yakin bahwa motivasi belajar
merupakan harus datang dari diri individu.
Para teoriwan belajar kognitif berpandangan bahwa proses belajar pada manusia melibatkan
proses pengenalan yang bersifat kognitif. Menurutnya cara belajar orang dewasa berbeda dengan
cara belajar anak-anak, dimana orang dewasa melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi
dibanding anak-anak.
Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek-objek, kejadian-kejadian,
kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama (Croser,
1984). Flavell (1970) mengemukakan tujuh dimensi konsep yaitu atribut, struktur, keabstrakan,
keinklusifan, generalitas/keumuman, ketepatan, dan kekuatan atau power. Tingkatan konsep
terdiri dari tingkatan konkret, identitas, klasifikatori, dan tingkat formal.
Ausubel mengklasifikasikan belajar ke dalam 2 dimensi. Yang pertama mnyangkut cara materi
atau informasi diterima peserta didik, yang kedua menyangkut cara bagaimana peserta didik
dapat mengaitkan informasi dengan struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik
menghubungkan informasi atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya
yang telah ada dalam struktur kognitifnya meke terjadilah yang disebut belajar bermakna.