Aliran Wahabi
Dosen Pengampu : Drs. Khalis Kohari, MA
Disusun oleh :
2019/2020
Pertanyaan………………
Di arab sekarang ini jauh dari keyakinan-keyakinan khurafat dan
tahayul, bahkan makam pun di ratakan dengan tanah, aliann yang
bergerak waktu itu dinamai wahabi, silahkan saudara uraikan aliran
atau faham wahabi tersebut?
Jawaban………………
1. Aliran Asy’ariyah
A. Lahirnya Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua
abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut
Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal
jama’ah. Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan Ali
bin Ismail al-Asy'ari). Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abu Al-
Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin
Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah
seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Abu Al - Hasan al-
Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324
H/935 M.
Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir ialah
bahwa pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi
Muhammad saw, mengatakan padanya bahwa madzhab ahli hadits lah yang
benar, dan madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat
dengan gurunya alJubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab
tantangan murid.
Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki dengan
fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu
dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa alAsy'ari
mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaranajaran
Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar dan
menyatakan: Hadiran sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk
berpikir tentang keterangan-keterangan dari dalil-dalil yang diberikan masing-
masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama
kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-
Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut
keyakinankeyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-
keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.
Di sini timbul soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan ragu dalam diri
al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham
Mu’tazilah? Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini. Menurut
Ahmad Mahmud Subhi keraguan itu timbul karena al-Asy'ari menganut
madzhab Syafi’i. al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpamanya al-Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur'an
tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akherat
nanti. Menurut Hammudah ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh
alAsy'ari dari al-Jubba’i, menimbulkan persoalan-persoalan, yang tak mendapat
penyelesaikan yang memuaskan. Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak
kecil tersebut di atas. Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat
bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang
mungkin membawanya kepada perubahan madzhab itu. Arab padang
pasirbersifat tradisional dan patalistis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasionil
dan percaya kepada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.
Al-Asy'ari, sebagai seorang ulama yang gairah akan keselamatan dan keutuhan
Islam serta kaum muslimin, ia sangat khawatir perbedaan dan pertentangan
pendapat pada waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak diinginkan.
Oleh sebab itu perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi pegangan umat.
Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada kemungkinan, mengapa al-Asy'ari
keluar dari Mu’tazilah, di mana kemudian membentuk aliran teologi baru.
Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika,
sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-
Asy'ari tetap menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal atau
aliran ahlus sunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu’tazilah
sebelum alAsy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-sahabat
dan tabi’in-tabi’in, terutama dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di
mana mereka tidak memerlukan pena’wilan, pengurangan atau melebihkan atau
melebihkan arti lahirnya.
2. Aliran Maturidiyah
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud al-Hanafi al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau dilahirkan di Maturid,
Samarqand, salah satu kota besar di Asia Tengah. Tahun kelahirannya tidak
diketahui dengan pasti. Diduga beliau lahir sekitar tahun 238/853, berdasarkan
keterangan bahwa beliau pernah berguru pada Muhammad ibn Muqatil al-Razi,
yang wafat pada tahun 248/862. Atas asumsi ini, berarti al-Maturidi lahir pada
masa pemerintahan al-Mutawakkil salah seorang Khalifah Abbasiah (232-
247/847-861) (Ceric, 1995: 17-18).
Al-Maturidi menerima pendidikan yang cukup baik dalam berbagai ilmu
pengetahuan keislaman di bawah asuhan empat ulama terkemuka pada masa itu,
yaitu: Syaikh Abu Bakar Ahmad ibn Ishaq, Abu Nashr Ahmad ibn al-„Abbas
ibn al-Husain al-Ayadi al-Ansari alFaqih al-Samarqandi, Nusair ibn Yahya al-
Balkhi (w.268/881), dan Muhammad ibn Muqatil al-Razi (w.248/862). Mereka
adalah muridmurid Abu Hanifah (w.150/767) (Ceric, 1995: 31-33).
Ada beberapa karya tulis yang dihasilkan oleh al-Maturidi meliputi: Tafsir,
Kalam dan Ushul, diantaranya: Kitab Ta‟wilaat alQur‟an, Kitab al-Jadal fiy
Ushl al-Fiqh, Kitab al-Ma‟akhiz alShara‟i‟ fiy al-Fiqh, al-Ma‟akhidz al-
Shara‟i‟ fiy Ushul al-Fiqh, Kitab al-Ushul, Kitab al-Bayan wahm al-
Mu‟tazilah, Kitab al-Radd „ala alQaramithah, Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li
al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahab al-Jadal li al-Ka‟bi, Rad Kitab al-Imamah li Ba‟in
al-Rawafid, Rad al-Ushul al-Khamzah li Abiy Muhammad al-Bahiliy, Rad
wa‟ad al-Fussaq li al-Ka‟bi. Namun, sayang sekali karya-karya ini tak satupun
yang dapat dipublikasikan, belum dicetak dan masih dalam bentuk makhtutat
(Ceric, 1995: 36 dan 41).
- Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain
bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H. Kakek al Bazdawi
yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al
Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran
Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al
Maturidi lewat ayahnya.Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al
Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada
kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Al Bazdawi
berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai
qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan
meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.
- Pemikiran-pemikiran al Bazdawi
1. Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban
mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui
baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu Dalam
paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat
kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa
mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya
wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
2. Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun
qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat
Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu
melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke
qadiman sifat-sifat itu sendiri.
3. Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan,
sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari
manusia itu sendiri.Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu
daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
2. Maturidiyah Samarkand (Abu Mansur)
Dari risalah ini dapat digali pendapat Abu Hanifah yang original mengenai
segala pembicaraan yang berkisar pada sifat-sifat Tuhan dan hakikat keimanan;
apakah mengetahui Allah itu wajib menurut akal ataukah menurut syara’;
apakah penilaian baik atau buruk suatu perbuatan itu didasarkan atas
substansinya; apakah perbuatan manusia dan kadar keterkaitannya dengan daya
hamba itu tidak bertentangan dengan kekuasaan Allah terhadap semua
makhluk-Nya; mengenai qadla serta qadar dan lain sebagainya.
Dalam kata wahyu ini mengandung arti penyampaian firman Allah kepada
orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan
pedoman hidup (Zarqani, tt: 63). Dalam Islam, yang dimaksud wahyu adalah al-
Qur’an, baik isi maupun teks dari ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an.
Sedangkan penafsiran bukanlah wahyu, melainkan hasil ijtihad (Nasution,
1988: 1).
Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga
sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri)
wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan
Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat
dengan kaif dan had.
Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan
sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah
kalamnafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalamlafdhi (lafal)
yang bersifat hadits (baru).Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini,
yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara
mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak.
Daftar Pustaka
http://makalahkuindonesia.blogspot.com/2017/04/maturidiyah-samarkand-dan-
maturidiyah.html?m=1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/download/177/150&ved=
2ahUKEwjw15eBjIHqAhVVjuYKHc4wDK4QFjANegQIBxAB&usg=AOvVa
w0mRHftVd1F1cg8gRNGrewl