Anda di halaman 1dari 18

TUGAS ILMU KALAM

Aliran Wahabi
Dosen Pengampu : Drs. Khalis Kohari, MA

Disusun oleh :

Ahmad Sahal (1120190002)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

2019/2020
Pertanyaan………………
Di arab sekarang ini jauh dari keyakinan-keyakinan khurafat dan
tahayul, bahkan makam pun di ratakan dengan tanah, aliann yang
bergerak waktu itu dinamai wahabi, silahkan saudara uraikan aliran
atau faham wahabi tersebut?

Jawaban………………
1. Aliran Asy’ariyah

A. Lahirnya Asy’ariyah

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua
abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut
Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal
jama’ah. Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan Ali
bin Ismail al-Asy'ari). Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abu Al-
Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin
Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah
seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Abu Al - Hasan al-
Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324
H/935 M.

Dalam suasana Mu’tazilah yang sedang keruh, Al-Asy'ari dibesarkan dan


dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah sebaik-
baiknya, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya bahkan dianggapnya
sebagai lawan. Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah, dia adalah
murid dari al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat dibanggakan serta pandai
berdebat, sehingga al-Juba’i sering menyuruh alAsy'ari untuk menggantikannya
bila terjadi suatu perdebatan. Dia menjadi pengikut aliran Mu’tazilah sampai
berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu ketika beliau mencapai umur 40 tahun, dia
menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan membentuk aliran teologi sendiri yang
kemudian dikenal dengan nama Asy'ariyah. Sebabnya Imam al-Asy'ari keluar
dari Mu’tazilah tidak begitu jelas. Al-Asy'ari, sungguhpun telah puluhan tahun
menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.

Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir ialah
bahwa pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi
Muhammad saw, mengatakan padanya bahwa madzhab ahli hadits lah yang
benar, dan madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat
dengan gurunya alJubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab
tantangan murid.

Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, sebagai berikut:


Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut : mukmin, kafir, dan
anak diakherat.
Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir
masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy'ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i : tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang
serupa itu.
Al-Asy'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku.
Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “aku tahu bahwa jika Engkau terus hidup
Engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk
kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum Engkau sampai kepada umur
tanggung jawab”.
Al-Asy'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga
kepentinganku? Di sini alJubbai terpaksa diam.

Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki dengan
fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu
dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa alAsy'ari
mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaranajaran
Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar dan
menyatakan: Hadiran sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk
berpikir tentang keterangan-keterangan dari dalil-dalil yang diberikan masing-
masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama
kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-
Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut
keyakinankeyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-
keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.

Di sini timbul soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan ragu dalam diri
al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham
Mu’tazilah? Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini. Menurut
Ahmad Mahmud Subhi keraguan itu timbul karena al-Asy'ari menganut
madzhab Syafi’i. al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpamanya al-Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur'an
tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akherat
nanti. Menurut Hammudah ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh
alAsy'ari dari al-Jubba’i, menimbulkan persoalan-persoalan, yang tak mendapat
penyelesaikan yang memuaskan. Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak
kecil tersebut di atas. Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat
bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang
mungkin membawanya kepada perubahan madzhab itu. Arab padang
pasirbersifat tradisional dan patalistis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasionil
dan percaya kepada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.

Al-Asy'ari, sebagai seorang ulama yang gairah akan keselamatan dan keutuhan
Islam serta kaum muslimin, ia sangat khawatir perbedaan dan pertentangan
pendapat pada waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak diinginkan.
Oleh sebab itu perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi pegangan umat.
Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada kemungkinan, mengapa al-Asy'ari
keluar dari Mu’tazilah, di mana kemudian membentuk aliran teologi baru.

B. Perkembangan Aliran Asy’ariyah

Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antara golongan-


golongan berlawana atau antara aliran rasionalis dan tekstualis. Dalam
mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil akal dan naqli
bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, ia mencari
alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak menganggap
akal pikiran sebagai hakim atas nash-nash agama untuk mena’wilkan dan
melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan
penguat arti lahir nash tersebut.

Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika,
sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-
Asy'ari tetap menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal atau
aliran ahlus sunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu’tazilah
sebelum alAsy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-sahabat
dan tabi’in-tabi’in, terutama dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di
mana mereka tidak memerlukan pena’wilan, pengurangan atau melebihkan atau
melebihkan arti lahirnya.

Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami


perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran
Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran mendahulukannya sebelum nash
dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nash-nash itu
sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan terhadap ayat-ayat
mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian antara dalil akal dengan
dalil syara’ (naqli) ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi sesuatu
bangunan, maka dalil syara’ merupakan bangunan itu sendiri. Fondamen tidak
akan ada artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya, sebagaimana bangunan
tidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen.

Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang pengikut


madzhab Hanbali (ahlussunnah) merasa tidak puas terhadap aliran Asy'ariyah
dan mengadakan perlawanan yang sengit terhadap mereka, seperti yang pernah
dilakukannya terhadap aliran Mu’tazilah, dan puncak perlawanannya terjadi
pada masa Ibnu Taimiah. Biar bagaimanapun juga prinsip yang dipegangi oleh
aliran Asy'ariyah, namun aliran ini dapat menggantikan aliran Mu’tazilah dan
dipeluk oleh kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.

C. Corak dan Pokok-Pokok Pemikiran Al-Asy’ari


Al-Asy'ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazilah, tidak dapat
menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang
dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran
dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-
singgung oleh rasul merupakan suatu kesalahan. Sahabat-sahabat nabi sendiri,
sesudah beliau wafat, banyak membicarkan soal-soal baru dan meskipun
demikian mereka tidak disebut orang-orang yang sesat (bid’ah). Ia menentang
keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam (teologi
Islam) dan argumentasi pikiran, keberatan mana tidak ada dasarnya dalam al-
Qur'an dan Hadits.

Di samping itu, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai


akal pikiran yaitu aliran Mu’tazilah. Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat
Tuhan, maka dikatakannya telah sesat, sebab mereka telah menjauhkan Tuhan
dari sifat-sifat-Nya dan menempatkan-Nya dalam bentuk yang tidak dapat
diterima akal, selain karena mereka mengingkari kemungkinan terlihat Tuhan
dengan mata kepala. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat
penolakan hadits , hadits nabi yang merupakan salah satu tiang agama. Dengan
demikian jelaslah kedudukan Imam al-Asy'ari, seperti yang dilukiskan oleh
pengikutpengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela
kepercayaan dan mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, dengan
menempatkannya sebagai dasar (pokok), di samping menggunakan akal pikiran,
di mana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nas-nas tersebut.

2. Aliran Maturidiyah
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud al-Hanafi al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau dilahirkan di Maturid,
Samarqand, salah satu kota besar di Asia Tengah. Tahun kelahirannya tidak
diketahui dengan pasti. Diduga beliau lahir sekitar tahun 238/853, berdasarkan
keterangan bahwa beliau pernah berguru pada Muhammad ibn Muqatil al-Razi,
yang wafat pada tahun 248/862. Atas asumsi ini, berarti al-Maturidi lahir pada
masa pemerintahan al-Mutawakkil salah seorang Khalifah Abbasiah (232-
247/847-861) (Ceric, 1995: 17-18).
Al-Maturidi menerima pendidikan yang cukup baik dalam berbagai ilmu
pengetahuan keislaman di bawah asuhan empat ulama terkemuka pada masa itu,
yaitu: Syaikh Abu Bakar Ahmad ibn Ishaq, Abu Nashr Ahmad ibn al-„Abbas
ibn al-Husain al-Ayadi al-Ansari alFaqih al-Samarqandi, Nusair ibn Yahya al-
Balkhi (w.268/881), dan Muhammad ibn Muqatil al-Razi (w.248/862). Mereka
adalah muridmurid Abu Hanifah (w.150/767) (Ceric, 1995: 31-33).

Ada beberapa karya tulis yang dihasilkan oleh al-Maturidi meliputi: Tafsir,
Kalam dan Ushul, diantaranya: Kitab Ta‟wilaat alQur‟an, Kitab al-Jadal fiy
Ushl al-Fiqh, Kitab al-Ma‟akhiz alShara‟i‟ fiy al-Fiqh, al-Ma‟akhidz al-
Shara‟i‟ fiy Ushul al-Fiqh, Kitab al-Ushul, Kitab al-Bayan wahm al-
Mu‟tazilah, Kitab al-Radd „ala alQaramithah, Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li
al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahab al-Jadal li al-Ka‟bi, Rad Kitab al-Imamah li Ba‟in
al-Rawafid, Rad al-Ushul al-Khamzah li Abiy Muhammad al-Bahiliy, Rad
wa‟ad al-Fussaq li al-Ka‟bi. Namun, sayang sekali karya-karya ini tak satupun
yang dapat dipublikasikan, belum dicetak dan masih dalam bentuk makhtutat
(Ceric, 1995: 36 dan 41).

Beberapa ulama terkemuka yang menjadi pengikut al-Maturidi, sebagaimana


yang diungkapkan oleh Watt (1985: 104-105) dan Ahmad Amin (1964: 95),
antara lain adalah: Abu al-Qasim alSamarqandi (w.340/951) al-Bazdawi
(w.492/1099), „Umar al-Nasafi (w.537/1142), al-Sabuni (w.580/1184), Ibn al-
Humam (w.861/1457). Dalam lapangan Fiqh, al-Maturidi mengikuti mazhab
Hanafi (Nasution, 1986: 76), dan beliau termasuk ulama Hanafiyah yang
memiliki andil besar di bidang fikih melalui beberapa karya tulisnya, seperti al-
Ma‟akhiz al-Shari‟ah dan Kitab al-Jadal yang dianggap otoritatif di bidang ini
(Syarif 1995: 259).
Demikian beberapa keterangan tentang kehidupan al-Maturidi. Tak ada catatan
mengenai latar belakang keluarganya. Bahkan riwayat hidup beliau sangat
jarang ditemukan dalam buku-buku klasik, sehingga ada anggapan bahwa al-
Maturidi luput dari perhatian para penulis zaman klasik (Nasution, dkk., 1992:
630). Namun yang pasti, para sejarawan sepakat bahwa beliau wafat di
Samarqand pada tahun 333/944 (Ceric, 1995: 19-20).

Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa hasil karya al-Maturidi serta situasi


dan kondisi masyarakat pada masanya, maka dapat dikemukakan faktor-faktor
yang melatarbelakangi munculnya pemikiran teologinya yang pada
perkembangan berikutnya melahirkan aliran Maturidiyah:
1. Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu‟tazilah yang terlalu berlebihan
dalam memberikan otoritas pada akal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul
tulisannya yang secara eksplisit menggambarkan penolakannya terhadap
Mu‟tazilah, seperti Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li al-Ka‟bi, Kitab Radd
Tahdhib al-Jadal li al-Ka‟bi dan Kitab Bayan Wahm al-Mu‟tazilah (Al-
Syahrastani, t.th.,: 76-77). Dan pada saat yang sama al-Maturidi juga tidak puas
atas konsep teologi ulama salaf yang mengabaikan penggunaan akal.
2. Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi‟ah terutama aliran Qaramithah yang
dengan keras menentang ulama-ulama salaf. Khusus di wilayah Asia Tengah
aliran ini banyak dipengaruhi oleh paham Mazdakism, sebuah aliran komunis
yang dicetuskan oleh Mazdak bin Bambadh seorang reformis militan pada abad
ke-5 M pada masa kekuasaan Sasania (lihat Nicholson dalam Hansting (ed.),
t.th. p. 508-509). Ajaran aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran
yang merupakan percampuran antara ajaran Kristen dengan Zoroaster dan
ajaran-ajaran Budha (Baven dalam Hansting (ed.), t.th.,: 394-402). Kitab al-
Radd „ala Qaramitah yang ditulis oleh al-Maturidi merupakan suatu indikasi
akan kekhawatirannya atas pengaruh ajaran ini pada masyarakat.
Terdorong oleh kedua faktor tersebut, al-Maturidi kemudian bangkit
mengembangkan metode sintesis al-Naql dan al-aql dalam pemikiran kalam,
jalan tengah antara aliran rasional ala Mu‟tazilah dan aliran tradisional ala
Hambali.

beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemikiran al-Maturidi, yaitu:


Pertama, al-Maturidi adalah penganut mazhab Hanafi, suatu mazhab yang
dikenal sebagai aliran rasional di bidang fikih. Ditambah lagi dengan latar
belakang pendidikan al-Maturidi di bawah asuhan empat ulama terkemuka pada
masanya yang juga tokoh-tokoh Hanafiyah. Dengan demikian, pengaruh
pemikiran Hanafi tentu cukup “kental” pada diri al-Maturidi, bukan hanya di
bidang fikih, tapi juga dalam bidang Kalam.
Kedua, situasi dan kondisi masyarakat di daerah kediaman alMaturidi
(Samarqand) dan Asia Tengah pada umumnya, cukup heterogen dari segi etnis,
agama dan aliran teologi. Di samping itu, diskusi antar aliran teologi dan fikih
sudah merupakan tradisi di kalangan ulama Samarqand. Oleh karena itu, al-
Maturidi telah akrab dengan penggunaan argumen-argumen rasional, apalagi
dalam menghadapi tokoh-tokoh Mu‟tazilah seperti al-Ka‟bi yang ahli dalam
filsafat (Amin, 1964: 266-267).

MATURIDIYAH SETELAH WAFATNYA AL-MATURIDI

1. Maturidiyah Bukhara (al Bazdawi)

- Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain
bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H. Kakek al Bazdawi
yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al
Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran
Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al
Maturidi lewat ayahnya.Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al
Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada
kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Al Bazdawi
berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai
qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan
meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.

- Pemikiran-pemikiran al Bazdawi
1. Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban
mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui
baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu Dalam
paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat
kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa
mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya
wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
2. Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun
qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat
Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu
melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke
qadiman sifat-sifat itu sendiri.
3. Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan,
sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari
manusia itu sendiri.Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu
daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
2. Maturidiyah Samarkand (Abu Mansur)

A. Pendiri Maturidiyah Samarkand


Maturidiyah Samarkand didirikan oleh Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi al-Samarkandi.
Ia lahir sekitar tahun 859 M di Maturid dekat Samarkand Wilayah Transoxiana
Asia Tengah (sekarang termasuk wilayah Uzbeskistan Uni Sovyet) dan
meninggal pada tahun 944 M. Oleh sebagian penulis, al-Maturidi dinyatakan
sebagai keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, seorang sahabat Rasul di
Madinah. Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa sebagian kaum kerabat al-
Maturidi yang tinggal di Samarkand adalah orang-orang yang berasal dari Arab
Madinah (Depag RI, 1988: 726).

Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio


dalam pandangan-pandangan keagamaannya. Sebagai pengikut Abu Hanifah
tentunya ia juga banyak menggunakan rasio dalam pemikiran teologinya,
apalagi ia dibesarkan di Samarkand. Di daerah ini Hadits tidak berkembang.
Keadaan seperti ini membuat al-Maturidi banyak memakai pertimbangan akal
dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Oleh karena itu, meskipun
al-Maturidi tampil sebagai penentang ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh
Mu’tazilah, namun pemikiran-pemikiran yang dibawanya justru lebih dekat
kepada Mu’tazilah (Ensiklopedi Islam, 2001: 206).

Di kalangan para penganut mazhab Hanafi, hasil pemikiran al-Maturidi dalam


bidang aqidah, dipandang sama dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah.
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Abu Hanifah sebelum memasuki lapangan
fiqih secara intensif dikenal sebagai pemikir teologi. Kedudukannya sebagai
pemikir teologi itu juga melibatkan dirinya ke dalam kancah perdebatan sebagai
yang dituntut oleh suasana zamannya (Yusuf, 1990: 58). Abu Hanifah
meninggalkan beberapa risalah dalam bidang teologi. Di antara risalah tersebut
adalah al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absath, risalah Abu Hanifah kepada Utsman
al-Batti dan pesannya kepada muridnya, Yusuf bin Khalid al-Batti.

Dari risalah ini dapat digali pendapat Abu Hanifah yang original mengenai
segala pembicaraan yang berkisar pada sifat-sifat Tuhan dan hakikat keimanan;
apakah mengetahui Allah itu wajib menurut akal ataukah menurut syara’;
apakah penilaian baik atau buruk suatu perbuatan itu didasarkan atas
substansinya; apakah perbuatan manusia dan kadar keterkaitannya dengan daya
hamba itu tidak bertentangan dengan kekuasaan Allah terhadap semua
makhluk-Nya; mengenai qadla serta qadar dan lain sebagainya.

Dari komparasi ilmiah antara beberapa pendapat yang ditinggalkan Abu


Hanifah dengan pandangan-pandangan al-Maturidi dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam sejumlah pokok pendapat keduanya terdapat persamaan. Karena
itu ulama menetapkan bahwa pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang
aqidah merupakan akar yang menjadi landasan perkembangan pemikiran al-
Maturidi (Zahrah, 1996: 209).

B. Pandangan Teologi Maturidiyah Samarkand


1. Fungsi Akal dan Wahyu Ilmu Kalam adalah ilmu yang secara khusus
membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah terkait
berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Dalil yang digunakan dalam Ilmu
Kalam bersumber dari wahyu dan akal. Pada zaman Arab pra Islam, kata al-
aqlu berarti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang berarti kecakapan
memecahkan masalah. Jadi, orang yang berakal adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, ketika dihadapkan pada problem dan
kemudian dapat melepaskan diri dari bahaya yang dihadapi (Izutsu, tt: 65).
Sedangkan pada masa Islam, terutama setelah masuknya pengaruh Filsafat
Yunani, kata alaqlu mengalami perubahan makna. Pada masa ini kata al-aqlu
mengandung arti yang sama dengan kata Yunani nous yang mempunyai arti
daya berfikir yang terdapat di dalam jiwa manusia (Izutsu, tt: 66). Sedangkan
wahyu adalah sesuatu yang disampaikan oleh Allah berupa kalam-kalam-Nya
yang dipastikan kebenarannya (Jazari, tt: 204).

Dalam kata wahyu ini mengandung arti penyampaian firman Allah kepada
orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan
pedoman hidup (Zarqani, tt: 63). Dalam Islam, yang dimaksud wahyu adalah al-
Qur’an, baik isi maupun teks dari ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an.
Sedangkan penafsiran bukanlah wahyu, melainkan hasil ijtihad (Nasution,
1988: 1).

Persamaan dan Perbedaan Maturidiyah Samarkand an Maturidiyah Bukhara


Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan
Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang
sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:

1. Mengenai pelaku dosa besar


Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan
bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana
dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung
apa yang dilakukannya di dunia.
Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan
sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar
itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
2. Mengenai Iman dan Kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan, dimana suatu
penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa
diimani pula oleh kalbu.Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk
pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda.Al-Bazdawi
menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan
adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut
dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi
sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan
oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-
bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.

3. Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia

a. Mengenai perbuatan Tuhan


Mengenai perbuatan Allah SWT.ini, terdapat perbedaan pandangan antara
Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara.Aliran Maturidiyah
Samarkad, pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai
kewajiban Tuhan.Maturidiyah Bukhara memiliki pandangantentang pengiriman
rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.

b. Mengenai perbuatan Manusia


Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah
mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia,
menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti
kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat
tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya.
Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah
daya.Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya
Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan
yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.

4. Mengenai sifat-sifat Tuhan


Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat
jasmani.Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-
sifat jasmani haruslah diberi ta’wil.
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan,
tetapi tidak lain dari Tuhan.Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi
gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini.Al-Maturidi
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah
kekuasaan Tuhan.

5. Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan


Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh
keadilan Tuhan.Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah
baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-
kewajiban-Nya terhadap manusia.Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat
bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang
atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
E. Beberapa aspek kesamaan pemahaman antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
Sebagai aliran yang se zaman dengan mazhab Asya`irah, jika di tela’ah terdapat
banyak kesamaan antara dua mazhab ini.Keduanya termasuk dalam aliran
Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai
urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga
tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani
Umayah dan Bani Abbas.

Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga
sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri)
wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan
Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat
dengan kaif dan had.

Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan
sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah
kalamnafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalamlafdhi (lafal)
yang bersifat hadits (baru).Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini,
yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara
mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak.

Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan


pandangan dalam masalah akidah. Namun, di saat yang sama, ada pula
beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab ini, yang
membedakan mereka satu sama lain, antara lain:
- Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepada dzati dan fi`li. Namun
Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifat fi`li-
Nya qadim seperti sifat dzati.
- Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak
mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.
- Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik,
sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia
mustahil berbuat zalim.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa
hal tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan
usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu.Itulah satu contoh sehingga
mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah).Di
samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari
berhadapan langsung dengan pikiran yang sangat bertentangan dengan
Mu’tazilah.

Daftar Pustaka
http://makalahkuindonesia.blogspot.com/2017/04/maturidiyah-samarkand-dan-
maturidiyah.html?m=1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/download/177/150&ved=
2ahUKEwjw15eBjIHqAhVVjuYKHc4wDK4QFjANegQIBxAB&usg=AOvVa
w0mRHftVd1F1cg8gRNGrewl

Anda mungkin juga menyukai