Anda di halaman 1dari 35

PERBANDINGAN MAZHAB

“TALAK SUNNI DAN TALAK BID’IY ”

Dosen Pengampu : Drs. Sarbini Anim, Lc, DPL, MA

Kelompok 6 :

Ahmad Sahal (1120190002)


Muhammad Aqsha (1120190027)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

JL. RAYA JATIWARINGIN NO. 12 JAKARTA 17411

2021
Kata Pengantar

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
tanpa pertolongan-nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan


nikmat sehat-nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah ilmu
komunikasi dengan judul “TALAK SUNNI DAN TALAK BID’IY”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat. terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 01 November 2021


DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................5
C. Tujuan Masalah.........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
A. Pengertian Talak........................................................................................................................6
B. Hukum Talak Dalam Hukum Islam Dan Perpektif 4 Mazhab....................................................9
C. Rukun Talak Menurut Perpektif 4 Mazhab..............................................................................13
D. Syarat Sah Talak Dalam Perpektif 4 Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam...........................20
E. Macam-Macam Talak..............................................................................................................22
F. Talak Sunni Dalam Perpektif 4 Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam...................................27
G. Talak Bid’iy Dalam Perpektif 4 Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam..................................32
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................35
A. Kesimpulan..............................................................................................................................35
B. Saran........................................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Talak merupakan salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah, namun didalamnya
terdapat hikmah di antaranya Ibn Sina berkata dalam kitab asy-syifa seharusnya jalan
untuk bercerai itu dibuka dan jangan ditutup sama sekali karena menutup mati jalan
perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan. Diantaranya karena
tabiat suami isteri sudah tidak saling berkasih sayang lagi. Jika terus menerus
dipaksakan untuk tetap bersatu, justru akan tambah tidak baik, dan kehidupannya
akan menjadi kalut. Itulah salah satu yang menjadi alasan mengapa talak itu tetap
diperbolehkan walaupun suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT.

Pada dasarnya talak itu tidak hanya mutlak menjadi satu jenis saja, tetapi dalam
klasifikasian talak terbagi kepada beberapa bagian di antaranya talak sunni 1, talak
bid’iy2, talak tanjiz3 , talak ta’liq/mua’allaq4, talak raj’i5 dan talak ba’in6. Keseluruhan
dari pembagian talak di atas mempunyai kedudukan yang sama yaitu jika talak sudah
diucapkan dari seorang suami maka talak itu sudah jatuh terhadap istrinya, akan tetapi
pengklarifikasiannya itu dilihat dari sisi lafaz yang dilafazkan sang suami dalam
mentalak istrinya atau dilihat dari sisi sifat talak apakah yang dijatuhkan oleh
1
Talak sunni ialah perceraian yang terjadi sebagaimana disyariatkan dalam Islam baik bersumber dari Allah dan
RasulNya. Artinya, seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri sebanyak satu kali, sementara istri
tersebut dalam keadaan suci dan belum digauli. Kemudian, istri itu meninggalkan suaminya sampai habis masa
idahnya.
2
Talak bid’i ialah talak yang terjadi dalam keadaan haram yaitu talak yang di jatuhkan suami pada istrinya, dan
istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar’i. Misalnya seorang suami mentalak
isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau
menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis.
3
Talak Tanjiz/Munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap
bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya :
“Engkau tertalak”.Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang
bersangkutan dan tepat sasarannya.
4
Talak Mu’allaq ialah seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata
kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
5
Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari
isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua. Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk
dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk
kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha
dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya.
6
Talak ba’in ialah Suami melafazkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya
tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami
barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis idah dengan suami barunya
suaminya atau talak yang dilihat dari masa berlakunya yang dijatuhkan oleh sang
suami.

Pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang talak sunni dan talak bid’iy
yang dijatuhkan oleh seorang suami tehadap istrinya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian talak ?


2. Apa hukum talak dalam hukum islam dan perpektif 4 mazhab ?
3. Apa saja rukun talak menurut perpektif 4 mazhab ?
4. Apa saja syarat sah talak dalam perpektif 4 mazhab dan kompilasi hukum islam ?
5. Apa saja macam-macam talak ?
6. Bagaimana talak sunni dalam perpektif 4 mazhab dan kompilasi hukum islam ?
7. Bagaimana talak bid’iy dalam perpektif 4 mazhab dan kompilasi hukum islam ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui mengenai pengertian talak


2. Untuk mengetahu mengenai hukum talak dalam hukum islam dan perpektif 4 mazhab
3. Untuk mengetahui mengenai rukun talak menurut perpektif 4 mazhab
4. Untuk mengetahui syarat sah talak dalam perpektif 4 mazhab dan kompilasi hukum
islam
5. Untuk mengetahui mengenai macam-macam talak
6. Untuk mengetahui mengenai talak sunni dalam perpektif 4 mazhab dan kompilasi
hukum islam
7. Untuk mengetahui mengenai talak bid’iy dalam perpektif 4 mazhab dan kompilasi
hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Talak

Perceraian dalam ilmu fiqh dikenal dengan istilah talak. Secara etimologis talak
berasal dari akar kata thallaqa artinya hillu al-qiyyadi al-irsal dan al-tarqi atau fakka,
yang semuanya berarti melepas ikatan. Makna ikatan disini adalah ikatan yang
bersifat bisa diraba, seperti ikatan hewan, ataupun yang bersifat maknawi, seperti
ikatan batin7. Dalam istilah fiqh, talak mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan
arti yang khusus. Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh Hakim, maupun
perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah
seorang dari suami atau istri. Sedang dalam pengertian khusus yang dimaksud talak
ialah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang
oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau cara lain yang
menggantikan kedudukan kata-kata tersebut.8

Pengertian talak dalam kompilasi hukum islam atau KHI disebutkan dalam pasal
117 yang berbunyi: talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 KHI.

Para ulama fiqh sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Al-Jaziry dalam kitab
Fiqh ‘Ala Madzhab al-Arba’ah juga memberikan definisi talak dengan pengertian
yang berbeda diantaranya:9
1) Mazhab Hambali dan Hanafi
Talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang
akan datang dengan lafal khusus. Ungkapan “secara langsung” dalam definisi
tersebut adalah talak yang hukumnya langsung berlaku ketika lafal talak selesai
diucapkan, tanpa terkait dengan syarat atau masa yang akan datang.

7
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. M. Thalib, Jilid 7, hlm. 72.
8
Ibid., hlm. 73.
9
Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Fiqh `Ala Madzhab al-Arba`ah, Jilid IV (Bairut: tp, 1969), hlm.556
2) Mazhab Syafi’i
Talak menurut Imam Syafi’i adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau
yang semakna dengan itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa hukum
talak itu berlaku secara langsung, baik dalam talak raj’i maupun dalam talak ba’in.
3) Mazhab Maliki
Talak menurut pendapat imam Malik adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan
gugurnya kehalalan suami-istri. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa talak adalah lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri
secara langsung akibat pengucapan lafal talak yang dilakukan oleh suami sehingga
gugurnya kehalalan hubungan antara suami dan istri sampai diadakan rujuk
terlebih dahulu dalam masa iddahnya.

Sebagai sumber hukum dalam Islam, al-qur’an dan al-sunnah telah mengatur
secara eksplisit tentang talak. Diantara ayat-ayat yang menjadi dasar hukum bolehnya
menjatuhkan talak adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 231 : 10
۟ ‫ف َأ ْو َسرِّ حُوهُنَّ ِب َمعْ رُوفٍ ۚ َواَل ُت ْمسِ ُكوهُنَّ ضِ َرارً ا لِّ َتعْ َت ُد‬
‫وا ۚ َو َمن‬ ٍ ‫َوِإ َذا َطلَّ ْق ُت ُم ٱل ِّن َسٓا َء َف َبلَ ْغ َن َأ َجلَهُنَّ َفَأ ْمسِ ُكوهُنَّ ِب َمعْ رُو‬
ِ ‫ت ٱهَّلل‬ ۟ ‫ت ٱهَّلل ِ ُه ُز ًوا ۚ َو ْٱذ ُكر‬
َ ‫ُوا نِعْ َم‬ َ ِ‫َي ْف َع ْل ٰ َذل‬
ِ ‫ك َف َق ْد َظلَ َم َن ْف َسهُۥ ۚ َواَل َت َّتخ ُِذ ٓو ۟ا َءا ٰ َي‬

‫وا ٱهَّلل َ َوٱعْ لَم ُٓو ۟ا َأنَّ ٱهَّلل َ ِب ُك ِّل َشىْ ٍء َعلِي ٌم‬
۟ ُ‫ِظ ُكم ِبهِۦ ۚ َوٱ َّتق‬ ِ ‫نز َل َعلَ ْي ُكم م َِّن ْٱل ِك ٰ َت‬
ُ ‫ب َو ْٱلح ِْك َم ِة َيع‬ َ ‫َعلَ ْي ُك ْم َو َمٓا َأ‬
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa
berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

10
Referensi: https://tafsirweb.com/920-surat-al-baqarah-ayat-231.html
Selain surah Al-Baqarah ayat 231, konsep talak juga terdapat dalam QS. At-Thalaq
(65): 1 yang berbunyi : 11

‫وا ٱهَّلل َ َربَّ ُك ْم ۖ اَل تُ ْخ ِرجُوه َُّن ِم ۢن‬ c۟ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى ِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَطَلِّقُوه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن َوَأحْ ص‬
۟ ُ‫ُوا ٱ ْل ِع َّدةَ ۖ َوٱتَّق‬

ۚ ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ ۚ َو َمن يَتَ َع َّد ُحدُو َد ٱهَّلل ِ فَقَ ْد ظَلَ َم نَ ْف َسهُۥ‬ َ ‫بُيُوتِ ِه َّن َواَل يَ ْخرُجْ نَ ِإٓاَّل َأن يَْأتِينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوتِ ْل‬
‫ث بَ ْع َد ٰ َذلِكَ َأ ْمرًا‬
ُ ‫اَل تَ ْد ِرى لَ َع َّل ٱهَّلل َ يُحْ ِد‬
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

Selain dalil al-Qur’an, perkara talak juga diterangkan dalam salah satu hadits Nabi
dari Ibnu Umar:
‫ اِبغض الِحالَل عند هلال عز وجل الطالق‬:‫عن اِبن َع ُمر ان النبى صلى هلل عليه َوسلم قاَل‬
“Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang sangat
dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak”(HR. Muslim)

Berdasarkan ayat dan hadits tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya talak itu
diperbolehkan, namun di sisi lain Islam juga mengharapkan agar proses perceraian
tidak dilakukan oleh pasangan suami istri. Hal ini seperti tersirat dalam tata aturan
Islam mengenai proses perceraian. Pada saat pasangan akan melakukan perceraian
atau dalam proses perselisihan pasangan suami-istri, Islam mengajarkan agar dikirim
hakam yang bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan demikian, sejatinya
Islam lebih menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan suami-istri dari pada
memisahkan keduanya.

Perihal anjuran penunjukan hakam untuk mendamaikan perselisihan antara suami-


istri dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya QS. An-Nisaa’ (4): 35 yang berbunyi : 12

11
Referensi: https://tafsirweb.com/10981-surat-at-talaq-ayat-1.html
12
Referensi : https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-35
cِ ِّ‫ َح َك ًما ِم ْن َأ ْهلِ ِه َو َح َك ًما ِم ْن َأ ْهلِهَا ِإ ْن ي ُِريدَا ِإصْ اَل حًا يُ َوف‬c‫ق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوا‬
ۗ ‫ق هَّللا ُ بَ ْينَهُ َما‬ َ ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا‬
َ َ‫ِإ َّن هَّللا َ َكان‬
‫علِي ًما خَ بِي ًرا‬

Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”

Pada dasarnya Islam sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga itu tentram
dan terhindar dari keretakan, bahkan diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan
yang baik dan saling mencintai. Dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya
karena menginginkan kehidupan yang menurut anggapannya lebih baik, dia berdosa
dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan pada
hakikatnya merupakan salah satu anugerah Ilahi yang patut disyukuri dan dengan
bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut (kufur nikmat). Hal itu tentu
dilarang agama dan tidak halal dilakukan kecuali dengan sangat terpaksa (darurat).

B. Hukum Talak Dalam Hukum Islam Dan Perpektif 4 Mazhab


Dalam kajian hukum Islam dan berbagai literatur kepustakaan, para ulama
membagi Hukum talak menjadi lima bagian. Berikut klasifikasi hukum talak yang
telah dirumuskan :13
1) Wajib
a. Jika pihak suami isteri tidak dapat didamaikan lagi, seperti misalnya dalam
sebuah hubungan suami istri terjadi suatu permasalahan yang sudah fatal atau
telah digunakan segala upaya untuk didamaikan ternyata upaya damai tersebut
tidak berhasil,

maka jalan terakhir yang harus diambil adalah bercerai atau talak walaupun hal

13
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, dikutip dalam Elyanur, Elyanur. "ANALISIS KOMPERATIF PENDAPAT IBN
HAZM DAN IMAM SYAFI’I TENTANG TALLAQ MUALLAQ." Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundangan-
Undangan dan Ekonomi Islam 9.2 (2017): h,,82-85
tersebut sangat dibenci oleh Allah. Hal tersebut sejalan dengan arti dari kaidah
fiqhiyah yang berbunyi: “Mudharat itu dapat membolehkan yang diharamkan”.14
b. Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat
untuk perdamaian rumah tangga mereka. Tidak berbeda jauh dari penjelasan
sebelumnya yaitu kedua belah pihak suami istri artinya wali mereka tidak dapat
mendamaikan atau menyelesaikan permasalahan rumah tangga kedua suami istri
tersebut sehingga dalam penyelesaiannya tidak mencapai kata sepakat untuk
kembali membangun rumah tangga bersama-sama.
c. Apabila pihak qadi berpendapat bahawa (Sic!) talak adalah lebih baik. Oleh
karena permasalahan rumah tangga yang dialami oleh suami istri dibawa
kepengadilan untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan namun dalam
menangani perkara tersebut menurut hakim perceraian atau talak merupakan jalan
yang terbaik untuk kedua belah pihak maka jalan satu-satunya adalah talak untuk
rumah tangga mereka.
d. Jika tidak diceraikan keadaan sedemikian, maka berdosalah suami. Artinya jika
kehidupan rumah tangga suami istri tetap diertahankan (Sic!) maka terdapat kedua
hal yang sangat fatal yaitu suami akan terus menerus menyakiti istrinya secara
terus menerus dan suami akan terus menerus menampung dosa perbuatan-
perbuatan yang telah dilakukannya kepada istrinya yang membuat sakit lahir dan
batin seorang istri.

2) Sunah
a. Suami tidak mampu menanggung nafkah istrinya. Ketika suami tidak sanggup
untuk memenuhi nafkah bagi istri maupun keluarga mereka maka sunnah bagi
sang suami untuk menceraikan agar istrinya mendapatkan kehidupan yang lebih
baik dari pada kehidupan yang dirasakan istrinya ketika hidup bersamanya.
b. Istrinya tidak menjaga maruah dirinya. Ketika sang istri mengabaikan
kewajibannya sebagai istri baik itu didalam maupun diluar rumah serta
mencoreng wajah suami dengan perbuatan-perbuatan yang tidak seharusnya
dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya, maka sunnah bagi sang suami
untuk menceraikannya.

14
Djazuli,Kaidah-Kaidah Fiqh, dikutip dalam Elyanur, Elyanur. "ANALISIS KOMPERATIF PENDAPAT IBN HAZM
DAN IMAM SYAFI’I TENTANG TALLAQ MUALLAQ." Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundangan-Undangan
dan Ekonomi Islam 9.2 (2017): h,,82
3) Mahzur (terlarang)
a. Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas. Allah berfirman didalam Al-
Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 1 yang berbunyi :
‫وا ٱهَّلل َ َربَّ ُك ْم ۖ اَل تُ ْخ ِرجُوه َُّن‬ c۟ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى ِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَطَلِّقُوه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن َوَأحْ ص‬
۟ ُ‫ُوا ٱ ْل ِع َّدةَ ۖ َوٱتَّق‬

‫ِم ۢن بُيُوتِ ِه َّن َواَل يَ ْخرُجْ نَ ِإٓاَّل َأن يَْأتِينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوتِ ْلكَ ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ ۚ َو َمن يَتَ َع َّد ُحدُو َد ٱهَّلل ِ فَقَ ْد‬
‫ك َأ ْمرًا‬ َ ِ‫ث بَ ْع َد ٰ َذل‬
ُ ‫ لَ َع َّل ٱهَّلل َ يُحْ ِد‬c‫ظَلَ َم نَ ْف َسهُۥ ۚ اَل تَ ْد ِرى‬
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal
yang baru.”(QS.Ath-Thalaq : 1)
Pada ayat ini Allah melarang para suami untuk menceraikan istrinya pada masa-
masa tertentu sehingga ketika sang istri dijatuhi talak maka pada saat itu talak
seorang istri bisa lebih lama atau bisa.
b. Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi. Keadaan seperti ini ditakuti nantinya
ketika telah bercerai benih yang ada dirahim sang istri menjadi darah daging dan
membuat iddah sang istri menjadi lebih lama lagi karena secara otomatis iddah
yang akan dijalankn oleh sang istri yang ditalak dalam keadaan suci namun telah
disetubuhi semakin lama yaitu menunggu hingga sang istri melahirkan anak yang
dikandungnya.
c. Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut
berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih.

4) Makruh
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan
mempunyai pengetahuan agama. Artinya talak yang dijatuhkan oleh suami kepada
istrinya tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Misalnya suami yang menjatuhkan
talak kepada istrinya yang taat terhadap perintah Allah menjalankan semua
perintahnya dan menjauhi larangan yang telah Allah gariskan didalam kitabullah
yakni Al-Qur’an. Maka dalam hal mencereaikan istri yang memiliki akhlak yang baik
ini makruh.

5) Mubah
Talak yang dijatuhkan seorang suami terhadap istrinya karena ada unsur kebutuhan
disana misalnya dikarenakan buruknya akhlak si istri.

Sedangkan, hukum talak dalam kajian mazhab Hanafiyah, mazhab malikiyah,


mazhab syafi’iyah dan mazhab hanabilah/hambali. Yaitu :
1) Mazhab Syafi'iyah dan Hanabilah/Hambali mengatakan bahwa talak adalah
makruh tapi sah-sah saja jika suami ingin menggunakan hak tersebut. baik dengan
persetujuan istri maupun tidak.
2) Mazhab Hanafiyyah mengatakan bahwa walaupun hak talak ada ditangan suami,
tapi suami tidak dapat mentalak istrinya begitu saja tanpa sebab. Hal ini dikatakan
oleh ulama Hanafiyyah sebagai sebuah bentuk kufur ni'mat. Oleh karena itu,
mereka mengatakan bahwa hukum asal talak adalah makruh littahrim. dari sini,
suami tidak diperbolehkan mentalak istrinya tanpa adanya sebab yang
membolehkannya untuk menggunakan haknya.
3) Mazhab Malikiyah mengatakan bahwa hukum asal talak adalah lebih dari sekedar
"al-man'u", dengan khilaf aula maka boleh jadi talak tersebut dihuku,i haram
yakni tatkala seorang suami menceraikan istrinya tanpa sebab-sebab yang dapat
dibenarkan.15

C. Rukun Talak Menurut Perpektif 4 Mazhab

15
Abd al-Rahman al-jaziri, al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-'Arba'ah, dikutip dalam Ernawati, Eli Ms. "Hak istri untuk
menolak talak perspektif fiqih dan hukum positif." h,,72
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak sebagaimana
dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqh Munakahat ada empat,
sebagai berikut:16
1) Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya,
selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat
menghilangkan ikatan perkawinan maka talak tidak mungkin terwujud kecuali
setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Oleh karena itu untuk sahnya
talak suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
a. Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak, yang dimaksuddengan
gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk
kedalamnya (sakit pitam), hilang akal karena sakit panas atau sakit ingatan
karena rusak syaraf otaknya.
b. Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh yang belum dewasa.
c. Atas Kemauan Sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah
adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan
atas pilihan sendiri bukan dipaksa orang lain.

2) Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri.
Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk
sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:
a. Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang
sah.
b. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang
menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang
masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila masa
‘iddah itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga
menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang
dimiliki suami.

3) Sighat (Perkataan Thalak)


16
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Cet. II (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 201-205
Sighat talak ialah kata-kata yang di ucapkan oleh suami terhadap istrinya yang
menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa
ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suamituna wicara ataupun dengan suruhan orang
lain.

4) Sengaja
Sengaja artinya bahwa dalam ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang
mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Agar menjadi sah, talak
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan mutalliq
(suami yang mentalak), mutallaqah (istri yang ditalak) dan yang diucapkan.17

Dan ada perbedaan rukun talak dalam Mazhab Hanafi , Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi’i, dan Mazhab hanabilah (Hambali). Yaitu :
1) Mazhab Hanafi
Menurut ulama mazhab Hanafi seperti al-Sarakhsi, rukun dan syarat-syarat
talak tidak begitu penting untuk dibahas dan faktanya memang ia tidak
menguraikan rukun dan syarat talak. Dalam membahas masalah talak al-Sarakhsi
memulainya dengan materi pokok talak adalah perbuatan halal tapi pada
prinsipnya sangat dibenci.
Menurutnya talak itu tidak boleh dijatuhkan kecuali dalam keadaaan darurat.
Kebolehan menjatuhkan talak itu menurut al-Sarakhsi didasarkan atas dalil-dalil,
antara lain ayat al-Qur’an. Misalnya surat al-Baqarah ayat 236;18
‫ضةً ۚ َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى‬ ۟ ‫اَّل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإن طَلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء ما لَ ْم تَمسُّوه َُّن َأوْ تَ ْفرض‬
َ ‫ُوا لَه َُّن فَ ِري‬ ِ َ َ
cِ ‫وس ِع قَ َد ُر ۥهُ َو َعلَى ْٱل ُم ْقتِ ِر قَ َد ُرهۥُ َم ٰتَ ۢ ًعا بِ ْٱل َم ْعر‬
َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْٱل ُمحْ ِسنِين‬ ِ ‫ْٱل ُم‬

17
Yusuf Qardhawi, Fikih Wanita, dikutip dalam Afifi, Romdhan. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan Ekonomi di
Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020. h,,7

18
Referensi: https://tafsirweb.com/930-surat-al-baqarah-ayat-236.html
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.”

Dalil lainnya adalah perbuatan Nabi yang pernah menceraikan isterinya Hafsah
sampai datangnya perintah untuk rujuk. Umar Ibn Khattab juga pernah
menceraikan isterinya Ummu Asim, dan abdur Rahman Ibn Auf pernah
menceraikan isterinya Tumadir, serta Hasan Ibn Ali sewaktu berada di Kufah
sering kawin dan cerai.19

Uraian-uraian di atas memberikan gambaran yang jelas, bahwa al-Sarakhsi


cenderung memperketat terjadinya talak, sebab ia menyatakan bahwa talak tidak
boleh dijatuhkan kembali kecuali dalam keadaan darurat. 20
Namun disayangkan
dalam uraian selanjutnya tidak ditemui penjelasan tentang kriteria-kriteria darurat
tersebut, sehingga terasa masih ada yang tidak cukup jelas. Apabila lafaz darurat
tersebut diberi konotasi dengan akan hilangnya nyawa atau dekat pada
kebinasaan, maka kesan yang akan timbul hukum itu (talak baru boleh dijatuhkan
jika nyawa akan binasa atau dekat dengan kebinasaan) terlalu berat.

Sebaliknya bila darurat tersebut diberi konotasi dengan kesulitan yang sudah
sampai pada klimaksnya sehingga benar-benar mengganggu ketentraman lahir dan
batin, itu lebih dapat diterima, tapi seharusnya tidak perlu memakai terminologi
darurat, cukup dengan masyaqqah (kesulitan).

19
Asmuni, Asmuni. "Kedudukan Saksi Dalam Perspektif Ulama Fikih Dan Hukum Perkawinan Nasional: Aspek
Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk." (2020). ,,71
20
Ibid..h,,71
Ulama mazhab Hanafi lainnya mengatakan bahwa rukun talak itu hanya satu
yaitu lafaz yang khusus baik sarih atau kinayah. Lafaz sarih adalah lafaz yang
tidak dipakai kecuali memang untuk itu yakni kata-kata talaq dan semua jenis kata
sebagai pecahan dari kata tersebut. Misalnya mutallaqah (anti mutallaqah), talaqtu
(talaqtuki), taliq (anti taliq) dan lainnya asal mempunya makna talak, sekalipun
diucapkan dengan tidak fasih, seperti diucapkan dengan talag, talag, talak, talak,
atau talaq basy. Tentang lafaz kinayah ialah setiap lafaz yang mengandung makna
untuk talak atau untuk lainnya. Misalnya kata kata “ukhrajii” artinya; keluarlah
engkau, “izhabii” artinya;pergilah engkau, “quumii artinya berdirilah engkau.
Lafaz kinayah dapat dipergunakan untuk menjatuhkan talak, apabila disertai
dengan niat, sedang lafaz sarih tidak harus disertai dengan niat.21

Selanjutnya syarat talak menurut mazhab Hanafi juga hanya satu, yaitu
perkawinan. Tanpa adanya perkawinan legalitas talak tidak mungkin terwujud,
sebagaimana tanpa talak idah tidak akan ada. Dengan adanya kata-kata pernikahan
sebenarnya suami-isteri sudah inklusif di dalamnya, sebab suatu perkawinan tidak
mugkin terjadi tanpa ada calon suami-isteri.

2) Mazhab Maliki
Imam Malik dalam kitabnya Muwatta’ tidak pernah membahas rukun dan
syarat-syarat talak, namun ulama-ulama pengikutnya telah berupaya melakukan
sistematisasi dan membuat kategori rukun dan syarat-syarat talak.
Dengan demikian ada upaya pengembangan di kalangan mazhab Malik, dan ini
menjadi jelas sekali bila dilihat penentuan rukun talak di kalangan mereka al-
Ghirnatiy bermazhab Malikiy mengatakan 3 yaitu :22
1. Mutalliq, yaitu orang yang menjatuhkan talak,
2. Mutallaqah, yaitu orang yang dijatuhi talak dalam hal ini adalah isteri,
3. Sighat, yaitu lafaz untuk menjatuhkan talak.

21
Asmuni, Asmuni. "Kedudukan Saksi Dalam Perspektif Ulama Fikih Dan Hukum Perkawinan Nasional: Aspek
Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk." (2020). h,,72
22
Asmuni, Asmuni. "Kedudukan Saksi Dalam Perspektif Ulama Fikih Dan Hukum Perkawinan Nasional: Aspek
Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk." (2020). h,,67-68
Menurut pendapat al-Dusukiy dari mazhab Malikiy, rukun talak itu ada empat,
yaitu :23

1. Ahlun, ialah orang yang mempunyai wewenang menjatuhkan talak, baik suami
langsung, atau orang yang telah menerima pendelegasian hak dari suami, atau
walinya.
2. Qasad, ialah unsur kesengajaan menuturkan lafaz talak, dengan lafaz sarih
(jelas) atau dengan lafaz kinayah (sindiran).
3. Mahal, ialah tempat menjatuhkan talak dalam hal ini adalah isteri.
4. Lafaz, yaitu kata-kata yang dipergunakan untuk menjatuhkan talak, baik sarih
maupun kinayah. Apabila lafaz yang dipakai adalah sarih, tidak perlu disertai
dengan niat. Misal pemakaian lafaz sarih perkataan suami terhadap isterinya;
engkau saya ceraikan dengan talak satu. Sedang misal penggunaan lafaz
kinayah seperti; sekarang pulanglah ke rumah orang tuamu, atau sekarang
engkau bebas. Perkataan “pulanglah” dan “bebas” dapat bermakna talak
apabila suami waktu melafazkannya berniat untuk talak, namun jika tidak
diniatkan untuk talak, tidak bermakna talak

Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa ulama dari mazhab Malikiy
tidak membuat uraian tentang syarat talak di luar rukun yang ada. Walaupun
penjelasan dua syarat sahnya talak tersebut dibuat terpisah dari rukun talak,
namun dapat dipastikan kedua syarat itu adalah syarat dari rukun, tegasnya syarat
sahnya orang yang menjatuhkan talak. Orang yang berhak menjatuhkan talak
tersebut menurut al-Dusukiy dimunculkan dengan term ahlun, sedang al-Ghirnatiy
menyebutkan dengan term mutalliq, substansi keduanya tetap sama.

3) Mazhab Syafi’i
Dikutip dalam Asmuni (2020) mengatakan Imam Syafi’iy dalam kitabnya al-
Um, tidak mengemukakan rukun dan syarat-syarat talak, tapi langsung membahas
masalah kebolehan suami menjatuhkan talak kepada isterinya. Menurutnya, suami
yang ingin menjatuhkan talak kepada isterinya seyogyanya suami dia
menjatuhkan talak satu saja sehingga ada kesempatan rujuk, kalaupun nikah lagi
ia masih memiliki dua talak lagi.

23
Ibdi..h,,67
Namun demikian, tidak haram suami menjatuhkan talak dua dan tiga sekaligus,
sebab talak itu memang dibenarkan oleh Allah, setiap yang dibolehkan tidak
diharamkan atas orang yang memiliki wewenang.24

Al-Ramliy, salah seorang ulama mazhab Syafi’iy telah berusaha melaksanakan


sistematisasi dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar Imam Syafi’iy. Dengan
optimisme dan sikapnya yang inovatif, al-Ramliy mengatakan bahwa rukun talak
itu ada lima, yaitu :25
1. Suami, orang yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan talak
2. Sighat, adalah lafaz yang dipakai untuk menjatuhkan talak,
3. Qasad, adalah unsur kesengajaan untuk menjatuhkan talak,
4. Mahal, adalah tempat menjatuhkan talak yakni isteri,
5. Wilayah, yakni wewenang untuk menjatuhkan talak.

Setelah itu al-Ramliy menyatakan bahwa syarat legalitas talak itu adalah taklif,
yaitu orang yang sudah mukalaf. Dengan demikian tidak sah talak anak-anak,
orang gila, orang yang sedang pitam, dan orang yang mengigau waktu tidur, sebab
mereka orang yang tidak diberati hukum.

Uraian di atas, merupakan fakta bahwa dalam mazhab Syafi’iy terdapat


semangat ijtihad, dan al-Ramliy sebagai ulama mujtahid telah melakukan ijtihad
baru, yaitu membuat kategori rukun talak.26 Imam Syafi’iy yang dinyatakan orang
pendiri mazhab Syafi’iy tidak membuat rincian seperti itu. Namun demikian, al-
Ramliy juga belum membuat syarat talak tidak inheren dengan rukunnya, sebab
mukallaf tetap merupakan syarat bagi suami yang menjatuhkan talak. Dalam
uraian selanjutnya, al-Ramliy juga tidak memberikan penjelasan secara detail
tentang syarat dari rukun-rukun lainnya.

24
Asmuni, Asmuni. "Kedudukan Saksi Dalam Perspektif Ulama Fikih Dan Hukum Perkawinan Nasional: Aspek
Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk." (2020). h,,68
25
Ibid..h,,69
26
Asmuni, Asmuni. "Kedudukan Saksi Dalam Perspektif Ulama Fikih Dan Hukum Perkawinan Nasional: Aspek
Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk." (2020). h,,69
Kemungkinan hal itu tidak dirasa sebagai sesuatu yang substansial, sebab dengan
rumusan tersebut sudah dapat ditentukan legal dan illegalnya talak. Kuat dugaan
dengan rumusan seperti itu komunitas muslim di masanya sudah dapat
memahaminya dengan baik, sehingga al-Ramliy tidak merasa perlu membuat
uraian yang sifatnya lebih filosofis dan mendetail.

4) Mazhab Hanabilah (Hambali)


Ulama dari mazhab Hambaliy, seperti Ibn Qudamah tidak ada menguraikan
rukun dan syarat-syarat talak. Ibn Qudamah tampaknya tidak merasa penting
dengan uraian-uraian tersebut. Dalam kitabnya al-Mughniy, Ibn Qudamah
membahas permasalahan talak di bawah judul kitabat-talaq. Akan tetapi
sebelumnya ia membahas masalah khulu’ di bawah judul kitab al-khul’i.27

Mayoritas ulama membahas khulu’ itu setelah terlebih dahulu menampilkan


pembahasan talak. Di antara sub pokok bahasan kitab khulu’ tersebut ada
pembahasan tentang talak mu’allaq, ta’lik talak, dan lafaz-lafaz talak. Kemudian
di bawah judul kitab al-talaq, Ibn Qudamah antara lain mengemukakan
pembahasan tentang hukum-hukum talak, talak sunniy dan bid’iy, talak orang
mabuk, talak anak-anak, talak orang yang dipaksa, talak dengan lafaz sarih dan
kinayah, talak dengan perantaraan surat dan syarat-syaratnya. Walaupun Ibn
Qudamah tidak mengemukakan rukun dan syarat-syarat talak, namun bukan
berarti tidak mencerminkan adanya talak yang sah dan tidak sah, sebab uraian-
uraian yang ada, sudah menyinggung legalitas suatu talak.

Dari uraian-uraian di atas dapat dinyatakan bahwa sistematisasi penulisan


menurut Ibn Qudamah tidak begitu penting. Faktanya, ia membahas talak
mu’allaq, ta’lik talak, dan lafaz-lafaz talak di bawah pokok bahasan khulu’, 28
kemudian ketiga-tiga sub bab pokok pembahasan tersebut dibahas lagi waktu
menguraikan permasalahan talak.

27
Ibid..h,,69
28
Asmuni, Asmuni. "Kedudukan Saksi Dalam Perspektif Ulama Fikih Dan Hukum Perkawinan Nasional: Aspek
Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk." (2020). h,,70
Dengan demikian ada materi pembahasan yang berulang tidak dalam rangka
pengembangan materi terdahulu. Selain itu dapat pula dikatakan, menurut Ibn
Qudamah pembahasan rukun dan syarat talak begitu penting, setidak-tidaknya
tidak ada uraian secara eksplisit dan detail tentang kedua konsep tersebut.

D. Syarat Sah Talak Dalam Perpektif 4 Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam

1) Menurut Kompilasi Hukum Islam


a. "Pasal 117" Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.
 pasal 129 berbunyi “seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada
istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
 pasal 130 yang berbunyi “Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau
menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat
dimintai upaya hukum banding dan kasasi.
 Pasal 131 berbunyi “
(1). Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambatlambatnya tiga puluh hari
memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2). Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah
pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talak.
(3). Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama dihadiri oleh
istri atau kuasanya.
(4). Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo enam bulan
terhitung sejak putusan pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5). Setelah sidang penyaksian ikrar talak pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
percerian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar
talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-
masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh
Pengadilan Agama .

2) Menurut Mazhab Hanafi


a. Sahnya talak jika diucapkan oleh seorang suami yang telah baligh, berakal,
meskipun dalam keadaan mabuk dan terpaksa, talak tersebut dinyatakan sah.
b. Talak dijatuhkan kepada istri yang baligh dan telah dicampuri.

3) Menurut Mazhab Maliki


a. Sahnya talak jika diucapkan oleh seorang suami yang telah baligh, berakal,
meskipun dalam keadaan mabuk, talak tersebut dinyatakan sah dan talak yang
dipaksa juga sah.
b. Istri yang telah dicampuri, tidak dalam keadaan haidh atau nifas.

4) Menurut Mazhab Syafi’i


a. Sahnya talak itu apabila dilakukan oleh tiap-tiap suami yang baligh (dewasa),
berakal dan terpilih. Selain suami tidak sah talaknya, demikian pula anak-anak
tidak sah talaknya. Orang yang hilang akalnya disebabkan oleh sesuatu udzur,
seperti mabuk atau orang yang meminum sesuatu yang dapat menghilangkan
akalnya bukan karena hajat, maka talaknya jatuh. Tapi orang yang melakukan
talak dengan kekerasan, misalnya diancam akan dibunuh atau dipotong atau
dipukul dengan pukulan yang membahayakan, maka talaknya tidak jatuh.
Sedangkan orang yang dipaksa dengan ancaman sedikit, atau cacian, dan ia
bisa melawannya, maka menurut mazhab, talaknya tidak jatuh.
b. Talak jatuh kepada istri yang telah dicampuri, serta bukan wanita yang
mengalami menopause dan tidak dalam keadaan hamil.

5) Menurut Mazhab Hambali


a. Sahnya talak jika diucapkan oleh seorang suami berakal, dan talak yang
dijatuhkan dalam kadaan mabuk tidak sah, dan talak yang dijatuhkan dalam
keadaan terpaksa juga tidak sah.
b. Istri yang telah dicampuri dan dalam keadaan suci.

E. Macam-Macam Talak

Perceraian dapat dilihat dalam beberapa bentuk, dalam Fiqih Islam bentuk
perceraian ini akan menentukan proses dan prosedur perceraiannya. Ditinjau dari segi
tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak
dibagi menjadi dua macam yaitu:
1) Talak Sharih
Talak Sharih adalah talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan
tegas.29 Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak
sharih ada tiga, yaitu talak, firaq dan sarah, ketiga hal itu disebut dalam Al-Qur’an
dan hadits.30 Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak
ṣharih maka jatuhlah talak itu dengan sendirinya sepanjang ucapannya itu
dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.

2) Talak Kinayah
Talak kinayah adalah talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau
samar-samar, seperti suami berkata kepada istrinya: “Selesaikan sendiri segala
urusanmu”, “Janganlah engkau mendekati aku lagi” atau “Pergilah engkau dari
tempat ini sekarang juga”. Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan
29
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), dikutip
dalam Afifi, Romdhan. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep.
Diss. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020. h,,7
30
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, dikutip dalam Afifi, Romdhan. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan
Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020.
h,,7
cerai dan mengandung kemungkinan lain. Apabila lafadh-lafadh ini keluar dari
mulut seorang suami disertai niat talak maka jatuhlah talak bagi sang istri. Namun
jika tidak disertai dengan niat maka tidak jatuh talak.31

Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan mantan suami merujuk
kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Talak Raj’i
Talak raj’i yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istri yang telah
digauli tanpa ganti rugi. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya
tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa iddah.32

Pengertian ini senada dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 118 yang
menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan talak raj’i adalah talak kesatu atau
kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Ketentuan mengenai talak raj’i terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 229 :33
‫ ِم َّما آتَ ْيتُ ُموه َُّن‬c‫ان ۗ َواَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم َأ ْن تَْأ ُخ ُذوا‬ ٍ ‫ْري ٌح بِِإحْ َس‬ ِ ‫ُوف َأوْ تَس‬ cٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ُ ‫الطَّاَل‬
cٌ ‫ق َم َّرتَا ِن ۖ فَِإ ْم َسا‬
ْ ‫َاح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬
‫َت‬ َ ‫ َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَاَل ُجن‬c‫َش ْيًئا ِإاَّل َأ ْن يَخَافَا‬
َ‫ك هُ ُم الظَّالِ ُمون‬ cَ ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ فَاَل تَ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْن يَتَ َع َّد ُحدُو َد هَّللا ِ فَُأو ٰلَِئ‬ َ ‫بِ ِه ۗ تِ ْل‬
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”

31
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, dikutip dalam Afifi, Romdhan. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan
Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020.
h,,7-8
32
Tp, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. VI (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), dikutip dalam Afifi,
Romdhan. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020. h,,8
33
Referensi : https://www.mushaf.id/surat/al-baqarah/229/286/
Maksud ayat tersebut bahwa seorang suami berhak merujuk istrinya baik setelah
talak yang pertama, maupun talak kedua sepanjang istrinya masih dalam masa
iddah. Setelah itu suami boleh memilih apakah meneruskan pernikahannya atau
bercerai, tetapi jika memilih bercerai maka ia menjatuhkan talak ketiga dan tidak
berhak rujuk dengan istrinya kembali. Kriteria talak raj’i terdiri atas:
a) Talak satu atau talak dua tanpa ‘iwadh dan telah kumpul.
b) Talak karena ila’ yang dilakukan Hakim.
c) Talak Hakamain artinya talak yang diputuskan oleh juru damai (hakam) dari
pihak suami maupun dari pihak istri.

2) Talak Ba’in
Talak ba’in yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dimana suami
berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Talak ba’in terdiri atas
dua jenis yaitu:
a) Talak Ba’in Sughra
Menurut KHI Talak ba’in sughra diatur dalam pasal 119 ayat 1 dan 2.
Berdasarkan KHI Pasal 119 ayat 1 Talak ba’in sughra didefinisikan sebagai talak
yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah.34

Ada empat alasan terjadinya talak ba’in sughra, yaitu:


1) Talak yang terjadi qobla al-dukhul. Pada dasarnya wanita yang ditalak
sebelum digauli tidak memiliki masa iddah, dengan demikian talak yang
dijatuhkan menjadi talak ba’in Sughra.
2) Talak dengan tebusan atau khuluk.
3) Suami mentalak istrinya dengan talak raj’i, tetapi membiarkannya tanpa
merujuknya hingga masa iddahnya habis. Dengan demikian talak yang
dijatuhkan kepada istrinya menjadi talak ba’in Sughra.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada talak ba’in sughra
suami tidak memiliki hak lagi merujuki istrinya, akan tetapi suami masih berhak

34
Abdurrahaman, KHI di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), dikutip dalam Afifi, Romdhan. Gugat
Cerai Istri Karena Kesulitan Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MADURA, 2020. h,,9
untuk berkumpul kembali dengan istrinya dengan akad nikah yang baru dan
dengan maskawin yang baru pula.

b) Talak Ba’in Kubra


Talak ba’in kubra ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang dijatuhkan oleh
suami. Talak ba’in kubra mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau
menikahi kembali istrinya baik dalam masa iddah maupun sesudah masa iddah
habis kecuali mantan istrinya telah menikah lagi dengan laakilaki lain dan
bercerai, sebagaimana diterangkan dalam salah satu firman Allah dalam QS. Al-
Baqarah (2): 230 :
c‫َاح َعلَ ْي ِه َما َأ ْن يَت ََرا َج َعا‬
َ ‫طلَّقَهَا فَاَل ت َِحلُّ لَهُ ِم ْن بَ ْع ُد َحتَّ ٰى تَ ْن ِك َح َزوْ جًا َغي َْرهُ ۗ فَِإ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ُجن‬ َ ‫فَِإ ْن‬
َ‫ِإ ْن ظَنَّا َأ ْن يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ ۗ َوتِ ْلكَ ُحدُو ُد هَّللا ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Seorang suami yang mentalak ba’in kubra istrinya hanya boleh menikahi
mantan istrinya kembali apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Istri telah kawin dengan laki-laki lain.
(2) Istri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
(3) Istri telah dicerai oleh suami yang baru.
(4) Telah habis masa iddahnya.

Persoalan talak tiga memunculkan ikhtilaf dikalangan ulama mengenai hukum


talak tiga yang dijatuhkan sekaligus. Menurut Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-
Umm menyebutkan “Apabila berkata seorang laki-laki kepada istrinya yang
belum digaulinya: “Engkau tertalak tiga”, maka haramlah perempuan itu baginya
sehingga ia kawin dengan suami yang lain. 35 Hukum haram perempuan kembali

35
Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz VI (Beirut: Dar el Ma’rifah, 1990), dikutip dalam Afifi, Romdhan. Gugat
Cerai Istri Karena Kesulitan Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MADURA, 2020. h,,11
dengan suami yang menceraikanya kecuali perempuan tersebut terlebih dahulu
kawin dengan laki-laki lain, hanya terjadi pada kasus jatuh talak tiga. Dengan
demikian, pada pernyataan Imam Syafi’i di atas, seolah-olah beliau mengatakan:
“Apabila seorang laki-laki mengatakan: “Engkau tertalak tiga, maka jatuh talak
tiga.”

Salah satu firman Allah yang menjadi dasar jatuhnya talak tiga sekaligus
terdapat dalam QS. Al- Baqarah (2): 236 :
‫ضةً ۚ َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى‬ ۟ ‫اَّل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإن طَلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء ما لَ ْم تَمسُّوه َُّن َأوْ تَ ْفرض‬
َ ‫ُوا لَه َُّن فَ ِري‬ ِ َ َ
cِ ‫وس ِع قَ َد ُر ۥهُ َو َعلَى ْٱل ُم ْقتِ ِر قَ َد ُرهۥُ َم ٰتَ ۢ ًعا بِ ْٱل َم ْعر‬
َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْٱل ُمحْ ِسنِين‬ ِ ‫ْٱل ُم‬
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.”

Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, talak terbagi menjadi dua
kategori yaitu:
1) Talak Sunni : Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan
sunnah.
2) Talak Bid’i : Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.
3) Talak La Sunni wa La Bid’i : Talak la sunni wa la bid’i yaitu talak yang tidak
termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i yaitu:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli,
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang
telah lepas haid,
c) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.36

36
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, dikutip dalam Afifi, Romdhan. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan
Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020.
h,,13
Dan Di lihat dari jangka berlakunya talak dibagi dua :
a. Talak munjiz yaitu talak yang dijatuhkan dan berlaku seketika seperti talak
dengan memakai lafaz sarih. Misalnya suami berkata; hari ini engkau saya
ceraikan dengan talak satu, maka pada saat itu juga dipandang telah terjadi talak.
b. Talak mu’allaq, yaitu talak yang dikaitkan dengan berhasilnya suatu perbuatan.
Misalnya, suami berkata kepada isterinya; jika engkau pergi ke rumah orang
tuamu pada hari ini atau besok, jatuh talak satu. Menurut jumhur ulama talak
seperti ini berlaku manakala isteri benar pergi ke rumah orang tuanya. Namun
demikian, talak seperti ini di Indonesia tidak diberlakukan dan yang diberlakukan
hanyalah talak munjiz (seketika).

F. Talak Sunni Dalam Perpektif 4 Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam


Secara umum, istilah sunnî yang terambil dari kata sanna-yasunnu berarti “sesuatu
yang diizinkan oleh Syâri'”. Jadi yang dimaksud dengan talak sunnî adalah talak yang
dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syara’.

Peristiwa perceraian, khususnya pada talak sunni, dapat dipandang dari beberapa
segi. Pertama, segi jumlah yang artinya suami menjatuhkan talak kepada istri
sebanyak satu kali dan meninggalkannya sampai masa iddah habis. Kedua, segi waktu
yang artinya suami menjatuhkan talak kepada istri yang masih dalam keadaan suci
dan belum digauli.

Allah SWT berfirman dalam QS. Ath-Thalaq ayat 1 yang artinya:


‫وا ٱهَّلل َ َربَّ ُك ْم ۖ اَل تُ ْخ ِرجُوه َُّن ِم ۢن‬ c۟ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى ِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَطَلِّقُوه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن َوَأحْ ص‬
۟ ُ‫ُوا ٱ ْل ِع َّدةَ ۖ َوٱتَّق‬

ۚ ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ ۚ َو َمن يَتَ َع َّد ُحدُو َد ٱهَّلل ِ فَقَ ْد ظَلَ َم نَ ْف َسهُۥ‬ َ ‫بُيُوتِ ِه َّن َواَل يَ ْخرُجْ نَ ِإٓاَّل َأن يَْأتِينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوتِ ْل‬
‫ث بَ ْع َد ٰ َذلِكَ َأ ْمرًا‬
ُ ‫اَل تَ ْد ِرى لَ َع َّل ٱهَّلل َ يُحْ ِد‬
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru.”(QS.Ath-Thalaq : 1)

Dalam hal ini, jika suami mengatakan, "Aku akan ceraikan kamu," kemudian ia akan
membiarkan istrinya sampai tiga kali haid, suami dan istri bisa kembali rujuk.
Artinya, dalam masa iddah itu, Allah SWT memberikan kesempatan kepada istri
untuk memikirkan apa mungkin bisa rujuk kembali. Jika suami menyesali usai
menjatuhkan talak dan tidak menyia-nyiakan kesempatan, maka mereka bisa kembali
rujuk.

Dikatakan sebagai talak sunni mempunyai tiga syarat berikut :


a) Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli, bila talak dijatuhkan pada istri yang
belum pernah dikumpuli, tidak termasuk talak sunni.
b) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu istri dalam keadaan
suci dari haid.
c) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci. dalam masa suci itu suami
tidak pernah mengumpulinya.37

Sedangkan, talak sunni dalam pandangan Mazhab Hanafi , Mazhab Maliki,


Mazhab Syafi’i, dan Mazhab hanabilah (Hambali), dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Yaitu :
1) Menurut Mazhab Hanafi
a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak Sunnah (Sunni)
adalah menjatuhkan talak satu kepada istri yang dalam masa suci dan belum
dikumpuli pada masa suci tersebut, kemudian tidak diikuti dengan talak lagi
dalam masa "iddah".
b. Adapun ulama Hanafiyah, mengklasifikasikan talak sunnî tersebut kepada dua
kategori, yaitu talak ahsan (lebih baik) dan talak hasan (baik). Menurut
mereka, talak ahsan adalah seseorang menjatuhkan talak isterinya satu kali
sebagai (talak) raj’i pada waktu suci, yang mana pada waktu suci itu belum
disetubuhinya dan belum dijatuhi talak (sebelumnya), (talak itu) tidak
dijatuhkan pada waktu haid dan tidak pula disetubuhi dan ia meninggalkan

37
Nur, Djaman, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993) hlm. 136
(tidak menyetubuhi) isterinya itu sampai habis masa ‘iddah-nya, yaitu tiga kali
haid jika isterinya itu merdeka, atau dua kali haid jika isterinya itu budak.38

Sedangkan talak hasan menurut mereka adalah seseorang menjatuhkan


talak kepada isterinya yang telah disetubuhi sebanyak tiga kali pada waktu tiga
kali suci"39

Jadi substansi yang membedakan antara kedua macam talak sunnî yang
dikemukakan oleh ulama Hanafiyah di atas terletak pada jumlah talak yang
dijatuhkan satu kali sampai habis masa ‘iddah-nya, talak sunnî itu dinamakan
sunnî ahsan. Apabila dijatuhkan tiga kali pada waktu tiga kali suci, dinamakan
dengan talak sunnî hasan.

Menurut ulama Hanafiyah, pembeda antara talak sunnî ahsan dan talak
sunnî hasan tersebut didasarkan kepada riwayat yang diterima dari Ibrahim al-
Nakh'i yang menjelaskan bahwa para sahabat Rasulullah SAW menyukai talak
hanya satu sampai habis masa ‘iddah isterinya.40 al-Kasaniy (W 587 H.)
menjelaskan bahwa talak sunnî ahsan, merupakan talak seorang suami hanya
menjatuhkan satu talak sampai habis masa ‘iddah isterinya, lebih memberi
peluang kepada suami tersebut untuk menyesali tindakannya, dibandingkan
talak sunnî hasan, seorang suami menjatuhkan tiga talak pada tiga kali suci.
Karena itu, menurut al- Kasaniy, mesti dibedakan antara kedua macam talak
sunnî tersebut.41

Al-Marghinani (W. 539 H) menguraikan pembeda klasifikasi talak sunnî


itu dengan mengatakan bahwa hukum asal dari talak itu adalah haram. Sebab
talak tersebut memutuskan ikatan pernikahan yang memuat dan sarat akan
dimensi kemaslahatan duniawi dan religi. Sedangkan pembolehan karena

38
'Ala al-Din Abi Bakr ibn Mas'ud al-Kasaniy (selanjutnya disebut al-Kasaniy), Badâ`i' al-Shanâ`i', (Beirut: Dâr al-
Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, hlm. 88. Lihat juga: al- Hasariy, Ibid., hlm. 212
39
Al-Marghinaniy, al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mujtahid, (Beirut: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiyyah, 1990), Jilid 1, hlm.
247. Lihat Juga: al-Zuhayliy, op.cit., hlm. 426
40
Al-Kasaniy, op.cit., hlm. 88. Lihat Juga: al-Hushariy, op.cit., hlm. 212
41
Al-Kasaniy, op.cit hlm. 8
hâjjah hanya sekedar melepaskannya saja (talak satu), bukan mengumpulkan
talak itu sampai tiga meskipun pada masa tiga kali suci.42

Oleh karena itu, menurutnya, tidak dapat disamakan antara talak sunnî
ahsan, yaitu menjatuhkan satu talak, dengan talak sunnî hasan di mana
seorang suami menjatuhkan talak isterinya tiga kali pada masa tiga kali suci.

Apabila diperhatikan formulasi fikih tentang talak sunnî yang telah


ditemukan oleh para ulama terdahulu, dapat disimpulkan bahwa kategori talak
sunnî ahsan versi ulama Hanafiyah tersebut jelas merupakan talak sunnî
menurut Jumhur Ulama. Kategori talak sunnî hasan versi ulama Hanafiyah itu,
sudah termasuk talak bid’î menurut ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah.43

2) Menurut Mazhab Maliki


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak sunnah adalah
talak seorang suami kepada istri dalam keadaan bersih atau belum disentuh.
b. Menurut ulama Malikiyyah, yang dikemukakan oleh al- Kasynawi, talak sunnî
adalah talak yang dijatuhkan satu kali pada waktu suci yang belum "disentuh"
(disetubuhi) pada waktu suci itu, bukan talak yang diiringi oleh masa haid
yang mana ia menjatuhkan talak pada waktu itu, kemudian ia tidak
mengikutinya dengan talak lain sampai habis masa ‘iddah-nya."44

Lebih jelas, al-Kasynawiy45 menguraikan 5 syarat yang mesti terpenuhi


untuk menyatakan bahwa talak tersebut termasuk kategori talak sunnî, yaitu
a) Talak yang dijatuhkan itu hanya satu
b) Talak itu dijatuhkan pada waktu yang belum ia setubuhi
c) Talak yang dijatuhkan itu secara utuh, bukan sebahagiannya, seperti
separoh talak.
d) Talak tersebut tidak dijatuhkan kepada perempuan yang sedang berada
dalam masa ‘iddah talak raj’i. Jika ia mengiringnya dengan talak lain pada

42
Ibid..
43
Al-Kasaniy, Ibid. Lihat juga: al-Hushariy, op.cit., hlm. 213 dan 244
44
Abu Bakr ibn Hasan al-Kasynawiy (selanjutnya disebut al- Kasynawiy), Ashal al- Madârik, (Libanon: Dâr al-Fikr,
t.th.), cet. ke-2, Juz 3, hlm. 139-140
45
Ibid..
masa ‘iddah-nya maka talak yang kedua tersebut tidak dinamakan dengan
talak sunnî.
e) Talak tersebut dijatuhkan kepada seorang wanita secara utuh, bukan
sebahagiannya, seperti tangannya saja.

3) Menurut Mazhab Syafi’i


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak sunnah adalah
talak yang sesuai dengan sunnah, yang sesuai dengan sunnah adalah
menceraikan istrinya tanpa hubungan intim dan dia menceraikannya dalam
keadaan suci atau tidak hamil atau sebelum berhubungan intim secara mutlak.
b. Dalam formulasi fikih Syafi’iyyah terjadi perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan talak sunnî tersebut. Sebahagian ulama Syafi’iyyah
mendefinisikan talak sunnî, yang dikemukakan oleh Ahmad al-Hushari bahwa
talak Sunnî adalah talak (yang dijatuhkan kepada isteri yang telah) disetubuhi
yang dijatuhkan pada waktu suci yang belum disetubuhinya pada waktu suci
tersebut, bukan (dijatuhkan) pada waktu haid sebelumnya, wanita itu tidak
hamil, tidak anak kecil dan tidak pula wanita monopouse, sementara ia
ber-’iddah dengan qurû.46

Menurut sebahagian ulama Syafi’iyyah yang lain, talak sunnî adalah talak
yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang dijatuhkan pada
waktu suci dan ia belum disetubuhi pada waktu suci tersebut. 47 Adapun talak
yang dijatuhkan kepada isteri yang masih kecil (sebelum baligh), sudah tua
yang telah monopouse, hamil, atau isteri yang belum disetubuhi, menurut
kelompok ini, tidak dinamakan talak sunnî dan tidak pula bid'i, tetapi antara
keduanya. 48

4) Menurut Mazhab Hanabilah (Hambali)


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak sunnah adalah
talak yang sesuai dengan sunnah, yang sesuai dengan sunnah adalah
46
Ahmad al-Hushariy (selanjutnya disebut al-Hushariy), al-Wilâyah al-Washâyah, al- Thalâq fi al-Fiqh al-Islâmiy
li Ahwâl al-Syakhshiyyah, (Beirut: Dâr al-Jîl, 1992), cet. ke-2, hlm. 653
47
Musthafa Dib al-Bugha, al-Tadzhîb fi Adillah min al-Ghâyah wa al-Taqrîb, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), cet. ke-2,
hlm. 173
48
Mahmud Mathrajiy (selanjutnya disebut Mathrajiy), al-Majmû' Syarh al- Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), Jilid 18, hlm. 277-278
menceraikan istrinya tanpa hubungan intim dan dia menceraikannya dalam
keadaan suci atau tidak hamil atau sebelum berhubungan intim secara mutlak.
b. Menurut ulama Hanabilla, talak sunnî adalah seseorang menjatuhkan talak
isterinya yang belum disetubuhinya (pada waktu suci itu) satu kali, kemudian
ia meninggalkan isterinya itu sampai habis masa ‘iddah-nya .49

5) Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)50


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan d"Pasal 121" Talak sunny
adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang
sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

G. Talak Bid’iy Dalam Perpektif 4 Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam


Secara umum, istilah talak bid’î yang terambil dari kata “bada'a - yabda'u “ yang
berarti (sesuatu yang dilarang syara’). Jadi yang dimaksud dengan talak bid’îy adalah
talak yang dijatuhkan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan
syara’.

Talak bid'iy merupakan talak yang dilakukan bukan menurut syariah, baik
mengenai waktunya maupun cara-cara penjatuhannya. Ulama sepakat bahwa talak
bid'iy itu haram dan melakukannya dosa.51 Talak bid'iy antara lain :
a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada istri yang sedang haid (menstruasi).

b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri dalam keadaan suci, tetapi
sudah pernah dikumpuli suaminya ketika dia dalam keadaan suci tersebut.52

Sedangkan, talak bid’iy dalam pandangan Mazhab Hanafi , Mazhab Maliki,


Mazhab Syafi’i, dan Mazhab hanabilah (Hambali), dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Yaitu :
1) Menurut Mazhab Hanafi

49
Al-Hasyariy, op.cit., hlm. 243
50
KHI ini merupakan peraturan yang diberlakukan khusus bagi umat Islam Indonesia, yang ditetapkan melalui
Inpres Nomor 1 Tahun 1991
51
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm, 331
52
Ibid..
a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak bid'ah (bid'iy)
adalah talak yang dijatuhkan dalam keadaan haidh atau nifas.
b. Menurut ulama Hanafiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah al-
Zuhaili, adalah yaitu seorang suami menjatuhkan talak istrinya tiga atau dua
dengan satu kata, atau ia menjauhkan talaknya tiga pada masa satu kali suci.53

2) Menurut Mazhab Maliki


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak bid'ah (bid'iy)
adalah talak yang diharamkan, maksud yang diharamkan adalah dalam
keadaan haidh atau nifas seorang wanita tersebut ditalak.
b. Ulama Malikiyyah membagi talak bid’î kepada dua pembagian, yaitu talak
yang haram dijatuhkan dan talak yang makruh dijatuhkan. Adapun kategori
talak yang haram dijatuhkan adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang
telah disetubuhi, yang memenuhi persyaratan berikut:
a) Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan haid atau
nifas. Oleh karena menurut ulama Malikiyyah, wanita haid atau nifas baru
boleh melakukan ibadah yang sifatnya ta'abudiyyah setelah ia mandi, di
samping telah habis keluar darah haid dan nifas. Ketika seorang suami
menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah terputus darah haid dan
nifasnya dan belum mandi, hukumnya termasuk ke dalam kategori ini, yaitu
haram. Adapun mengenai isteri yang tidak haid, seperti wanita yang telah
monopouse atau tidak/belum haid, termasuk kategori talak bid’î yang
diharamkan baginya, tidak ada dalam poin ini, namun hanya pada dua bentuk
yang terakhir.
b) Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya tiga kali pada satu
tempat, baik isteri itu pada masa haid atau dalam masa suci. Tentu saja
menjatuhkan talak tiga kepada isteri ketika ia berada dalam masa haid, berarti
ia melakukan dua dosa sekaligus, yaitu menjatuhkan talak dan kepada isteri
yang sedang berada dalam masa haid.
c) Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya sebagai talak saja,
misalnya, seorang suami berkata kepada isterinya; Engkau tertalak sebagian
talak, atau suami tersebut menjatuhkan talak kepada sebagian anggota
tubuhnya saja, seperti suami tersebut berkata: "tangan kamu tertalak."
53
Al-Zuhayliy, op.cit., hlm. 462
Sedangkan yang termasuk talak bid’î yang makruh dijatuhkan terwujud
dengan dua syarat, yaitu:
a) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya pada masa suci yang telah
disetubuhinya pada masa suci itu, dan
b) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya dua kali pada satu tempat.54

3) Menurut Mazhab Syafi’i


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak bid’ah (bid’iy)
adalah talak yang dijatuhkan dalam keadaan haidh atau nifas.

4) Menurut Mazhab hanabilah (Hambali)


a. Mengutip dalam Zakiyah Hayati (2017) mengatakan Talak bid’ah (bid’iy)
adalah talak yang dijatuhkan dalam keadaan haidh atau nifas.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

54
Al-Jaziriy, op.cit., hlm. 300-301
DAFTAR PUSTAKA

Elyanur, Elyanur. "ANALISIS KOMPERATIF PENDAPAT IBN HAZM DAN IMAM SYAFI’I TENTANG
TALLAQ MUALLAQ." Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundangan-Undangan dan
Ekonomi Islam 9.2 (2017): 79-110.
Asmuni, Asmuni. "Perceraian dalam Perspektif Fikih Klasik dan Kompilasi Hukum Islam." Warta
Dharmawangsa 48 (2016).

Lailiyah, Roselatul. Pemahaman hakim tentang thalaq bid'i dan penerapannya di Pengadilan


Agama Mojokerto. Diss. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2014.

Ernawati, Eli Ms. "Hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih dan hukum positif."

Romdhan, Afifi. Gugat Cerai Istri Karena Kesulitan Ekonomi di Kecamatan Ganding Kabupaten
Sumenep. Diss. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA, 2020.

Hayati, Zakiyah. "PENGATURAN TALAK DAN ‘IDDAH (STUDI KOMPARATIF PRESPEKTIF


FIKIH EMPAT MAZHAB DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI))." Qiyas: Jurnal Hukum
Islam dan Peradilan 2.1 (2017).

Anda mungkin juga menyukai