Anda di halaman 1dari 11

TEORI HABITUS DAN MODALITAS BOURDIEU

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Pendekatan Ilmu Sosial dalam Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu : M. Masrur, M.Ag

Disusun Oleh:

Nopriani Hasibuan ( 2004026012)

Risma Alfianti (2004026047)

ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik baik usaha kami.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang penuh dengan cahaya
iman dan islam.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen Mata Kuliah Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Studi Al-Qur’an yaitu, Bapak M. Masrur, M.Ag yang telah membimbing kami agar dapat
mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun makalah ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. oleh
karena itu, penulis sangat menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan
penyusunan makalah untuk kedepannya . Dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat
dan dapat digunakan dengan baik.

Semarang, 23 September 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Pendekatan teoritis dan metodologis Pierre Bourdieu terhadap selera dalam magnum
opusnya Distinction A Social Critique of the Judgement of Taste (1984 –selanjutnya disebut
Distinction), telah memicu perdebatan yang kompleks dalam sosiologi budaya kontemporer
mengenai relasi antara selera dan kelas sosial. Perdebatan ini dirangsang oleh riset-riset empiris
dalam sosiologi budaya kontemporer yang menyanggah aktualitas homologi struktural antara
selera budaya dengan kelas sosial. Sanggahan datang dari dua perspektif berbeda yaitu oleh tesis
omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian.

Pemikiran Pierre Bourdieu bukanlah sebuah ide atau gagasan yang belum ada
sebelumnya, tetapi berupa pembaharuan pandangan dari pemikir sebelumnya yang dirasanya
tidak tepat. Misalanya saja gagasan Bourdieu dipengaruhi oleh pemikiran Marx muda.Selain itu,
ia berusaha menemukan kekurangan dari pandangan subjektivisme dan objektivisme baik dari
Levi-Strauss mengenai paradigma strukturalisme dan juga pandangan dari fenomenologi dan
hermeniotik.

Pandangan Bourdieu tidak hanya difokuskan pada perkembangan ilmu sosiologi dan
atropologi tetapi ia juga mengritik dan melihat pada bidang seni, sastra, jurnalistik, dan juga
politik.
II. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Riwayat Singkat Bourdieu?

2. Apa saja teori yang diungkap oleh Bourdieu?

3. Bagaimana Relevansi teori Bourdieu dengan studi Al-Qur’an?

III. Tujuan Makalah

1. Mengetahui Riwayat Singkat Bourdieu.

2. Untuk mengetahui dan memahami teori yang diungkap oleh Bourdieu.

3. Untuk mengetahui dan memahami relevansi dari teori Bourdieu dengan studi Al-Qur’an.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Singkat Bourdieu

Pierre Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik PyreneesAtlanticues), di selatan


Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan
pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan
akhirnya masuk ke Ecole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser
di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru
Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim
ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.1

Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang
jabatan Direktur Kajian di École Pratique des Hautes Études (yang kemudian menjadi École des
Hautes Études en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia
menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di Prancis, ia mendirikan
Centre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain
Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984),
Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State
Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar
kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual,
dan televisi.

Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra.
Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002.2

B. Teori yang Diungkap Oleh Beurdieu

1. Teori Habitus

1
M. Chairul Basrun Umanailo, MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE
BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN, hal 1
2
Ibid, hal 2
Pemikiran Bourdieu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam sosiologi. Alih-alih
jatuh pada salah satu dualisme di atas, Bourdieu memposisikan dirinya dalam upaya
mendamaikan “oposisi absurd antara individu dan masyarakat”. 3 Untuk mengatasi pertentangan
ini, Bourdieu memilih menggunakan cara berpikir rasonal4 bahwa struktur objektif dan
representasi subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara
timbal-balik (dualitas).5 Keduanya tidak saling menafikan, tapi saling berpaut dalam sebuah
praktik. Di samping model pendekatan Bourdieu, berkembang individualisme-metodelogi
Raymond Boudon.

Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri
(appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal
tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu,
seperti yang ditemukan dalam pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada (being).

Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan


syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem- sistem disposisi tahan waktu dan dapat
diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai
struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus. Dengan demikian,
habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari)
yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan
berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Bourdieu mencontohkan dalam hal penguasaan
bahasa, penulisan atau pemikiran. Seniman, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu
menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kreatifnya karena mereka tidak lagi
menyadari tanda-tanda atau gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang
dipercaya sebagai kebebebasan kereatif sebetulnya merupakan buah pembatasan struktur-
struktur. Jadi habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.

Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas
kembali konsep habitus yang dikemukakan Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber,

3
Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity Press, 1990), 31.
4
Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1997),
62.
5
Anthony Giddens, Central Problem in Social Theoty, (Berkeley & Los Angeles: University of Callifornia Press, 1997),
53;
Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna
yang sama. Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas
Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilah habitus. Habitus juga dapat dirumuskan sebagai
sebuah sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan
yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai
(values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian
habitus dikembangkan melalui pengalaman.6

Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk memadukan semangat antara
objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada
peranan struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, disini kaum objektivisme
lebih melihat secara makro atau biasa disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim,Marx,
Saussure dan lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro, yaitu
menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme misalnya seperti
Weber, Sartre, dan lainnya.

Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian
dipaksakan kelas dominan kepada kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan
habitusnya melalui berbagai mekanisme kekuasaan.7

2. Modalitas

A. Pierre Bourdieu (1986), dalam bukunya The Forms of Capital, membedakan tiga
bentuk modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Menurut Bourdieu (1986),
definisi modal sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik),
serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi).
modal budaya dapat mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan, dan
bentukbentuk bahasa. Bagi Bourdieu, modal berperan sebagai relasi sosial yang terdapat di
dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik materiil
maupun simbol, tanpa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang
dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.8
6
M. Chairul Basrun Umanailo, MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE
BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN, hal 4
7
Ibid, hal 5
8
Resky Brando Wanta, MODALITAS DAN STRATEGI KANDIDAT PADA PILKADA MITRA 2018,hal 2
Keterkaitan antara ranah, habitus, modal bersifat langsung. Nilai yang diberikan modal
dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus. Ranah dikitari oleh relasi
kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis modal yang dikenali dalam ranah-
ranah tertentu dan yang digabungkan ke dalam habitus, sebagian juga dihasilkan oleh basis
material tersebut. Modal juga dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi. Beragam jenis modal
dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya. Yang artinya modal bersifat dapat ditukar.
Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik, sebab dalam
bentuk.

inilah modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimate. Agar
dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus dan mempunyai prestise, berarti ia harus
diterima sebagai sesuatu yang legitimate. Posisi semacam itu membawa kekuasaan untuk
memberi nama (aktivitas, kelompok) kekuasaan mewakili pendapat umum dan utamanya,
kekuasaan menciptakan versi dunia sosial yang resmi.

C. Relevansi teori Bourdieu dengan studi Al-Qur’an

 Kajian Teoritis atas Motif pada Konflik Keagamaan

Motif merupakan dorongan untuk melakukan suatu tujuan tertentu berupa alasan-alasan dan
penggerak dalam diri manusia untuk mendapatkan afiliasi, prestasi atau pun kekuasaan. Setiap
perilaku manusia memiliki motif yang berbeda-beda dan dapat dianalisa sebagai satu fenomena
keagamaan, seperti konflik keagamaan di Desa Sundoluhur Pati. Alex Shobur (2003, p. 298)
menyebut bahwa motif dari sisi ilmu sosial terbagi menjadi empat. Yaitu motif tunggal, motif
biogenetis, motif teogenetis dan motif sosiogenetis (Muchlas,1994). Dorongan kuat untuk
merespon doktrin agama dan teksnya bisa disebut motif teogenetis (Hilman, 2018, p. 168).
Sedang dorongan melakukan sesuatu karena pengaruh keadaan sosial sekitar disebut sosiogenetis
(Amalia, 2013, p.7). Dua motif ini yang nampak dalam konflik pemahaman Alquran dan Hadis
di Desa Sundoluhur Pati.9

Menurut Pierre Bourdieu dalam Jones (2016, p. 215), motif yang terjadi dan membentuk
perilaku dengan terulang-ulang hingga menjadi kekuatan dalam diri seseorang itu disebut

9
Mohammad Agus Zuhurul Fuqohak, Konflik Sosial Kegamaan di Pati: dari Motif Teogenetis ke Sosiogenetis atas al
Quran dan Hadis, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 9 Nomor 1 2021,hal 138
sebagai habitus. Habitus adalah pengetahuan yang tidak disadari merujuk berdasarkan rutinitas
yang dialami oleh seseorang. Habitus bisa dikembangkan untuk mendapatkan field (arena;
ranah). Untuk mendapatkan ranah ini, seseorang harus menguasai modalmodalnya (capital).
Kapital itu bermacam-macam. Ada kalanya kapital pengetahuan, kapital ekonomi, kapital relasi
dan jaringan atau bahkan ada juga namanya kapital sosial. Berhasil tidaknya seseorang
mendapatkan arena dengan kapitalnya tergantung pula dengan strategi (Irianto, 2015, p. 30).
Adapun konflik di Desa Sundoluhur Pati belum cukup strategi untuk memainkan modal di
panggung sosial, sehingga resistensi masyarakat menjadi kuat dan lemahnya kharisma. Adanya
kesalah dalam memilih strategi menyebabkan konflik yang awalnya bersifat teogenetis menjadi
sosiogenetis yang melibatkan orang banyak.

BAB III

KESIMPULAN

A. Biografi Beurdieu

Pierre Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik PyreneesAtlanticues), di selatan


Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan
pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan
akhirnya masuk ke Ecole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser
di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru
Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim
ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.

B. Teori Habitus

Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan


syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem- sistem disposisi tahan waktu dan dapat
diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai
struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus.

C.Modalitas

A. Pierre Bourdieu (1986), dalam bukunya The Forms of Capital, membedakan tiga bentuk
modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial.

DAFTAR PUSTAKA

M. Chairul Basrun Umanailo, Mengurai Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Pemikiran


Pierre Bourdiu Tentang Habitus dalam Pendidikan

Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity
Press, 1990).
Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (Chicago & London: The University of
Chicago Press, 1997).

Anthony Giddens, Central Problem in Social Theoty, (Berkeley & Los Angeles: University of
Callifornia Press, 1997).

Resky Brando Wanta, Modalitas dan Strategi Kandidat pada Pilkada Mitra 2018.

Mohammad Agus Zuhurul Fuqohak, Konflik Sosial Kegamaan di Pati: dari Motif Teogenetis ke
Sosiogenetis atas al Quran dan Hadis, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume
9 Nomor 1 2021.

Anda mungkin juga menyukai