Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEORI SOSIOLOGI KLASIK: MAX WEBER


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosiologi Klasik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si.
Sri Wahyuni Tanshzil S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:
Anggota Kelompok 1
Arisca Dwi Putri 2109820
Auliya Nirmala A. 2102155
Nadya Setiawati 2102593
Sultan Akmal Hibrizi 2104601

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Illahi Rabbi, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Teori Sosiologi Klasik: Max Weber.”
Adapun dalam proses penulisan makalah ini, kami sebagai penulis tidak
dapat terlepas dari kesalahan atau kekeliruan, baik dalam cara penulisan maupun
penyampaian. Hal tersebut terjadi karena masih terbatasnya pengetahuan,
keterampilan, serta pengalaman tim penulis yang masih ada pada tahap belajar.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun terhadap tim penulis menjadi
harapan kami. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosiologi Klasik,
penulisan makalah ini ditujukan untuk berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan
serta sebagai upaya untuk memperluas cara pandang pembaca maupun penulis
terhadap ilmu sosiologi serta beragam pendekatan yang ada di dalamnya.

Bandung, 27 Februari 2023

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................1
1.3. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
2.1. Biografi Max Weber................................................................................................5
2.2. Etika Protestan dan Kapitalisme..............................................................................6
2.3. Rasionalisasi dan Birokrasi.....................................................................................7
2.4. Teori Tindakan Sosial Weber..................................................................................8
2.5. Teori Tindakan Sosial Weber dalam Membahas Isu di Indonesia...........................8
BAB III............................................................................................................................10
SIMPULAN....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setelah jatuhnya abad kegelapan atau the dark age dan dunia eropa
memasuki masa enlightment atau abad pencerahan, para intelektual dari dunia
bagian barat berupaya untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di dunia
melalui ilmu pengetahuan. Misalnya saja dalam memahami asal usul manusia,
para intelektual menggunakan disiplin ilmu Biologi. Kemudian untuk memahami
hukum-hukum alam yang dapat dikalkulasi, para intelektual menggunakan
disiplin ilmu Fisika dan Matematika. Pada dasarnya, disiplin-disiplin ilmu tersebut
muncul akibat adanya keingintahuan yang muncul dalam benak para intelektual
setelah sekian lama pemikirannya dicekal dan didoktrinasi oleh dogma agama
tanpa diperbolehkan untuk berpikir bebas. Saat itu, setiap disiplin ilmu berlomba-
lomba untuk mengembangkan khazanah pengetahuan manusia melalui penelitian
yang bersifat empiris dengan menggunakan metode yang dianggap ilmiah.
Hingga suatu saat seorang filsuf berkebangsaan perancis bernama lengkap
Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte atau yang lebih dikenal sebagai
Auguste Comte mulai untuk memiliki ketertarikan terhadap masyarakat dan
mencoba untuk menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat dengan cara empiris dan dengan metode yang ilmiah, karena pada saat
itu belum ada ilmu yang mempelajari mengenai manusia dalam suatu kelompok
dan hanya terdapat ilmu yang mempelajari masusia sebagai individu, yakni
disiplin ilmu Psikologi. Pada awalnya, Auguste Comte berusaha untuk
menjelaskan perkembangan intelektual masyarakat tiga tahap, yakni tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap positivis. Pemikiran Comte mengenai
perkembangan intelektual masyarakat tersebut dipengaruhi oleh filsafat
positivisme yang dianutnya. Sehingga bagi Comte, segala hal yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat dapat dianggap sebagai pola umum atau suatu hukum
layaknya hukum yang digunakan pada disiplin ilmu eksakta. Oleh karena itu pada
masa awal pengembangannya, Comte mengenalkan disiplin ilmu Sosiologi
sebagai disiplin ilmu Fisika Sosial, karena kesamaan karakteristik keduanya yang

1
berusaha untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi dengan menggunakan
rumusan hukum yang pasti.
Pemikiran Comte terkait penggunaan metode penelitian disiplin ilmu eksakta
untuk mempelajari masyarakat mendapatkan banyak kritikan dan tentangan dari
para intelektual lainnya. Salah satunya adalah Max Weber yang berperan besar
dalam perkembangan disiplin ilmu Sosiologi. Weber berpendapat bahwasannya
dalam mempelajari masyarakat, tidak bisa digunakan metode ilmiah yang sama
dengan yang digunakan pada disiplin ilmu eksakta seperti fisika. Faktanya,
masyarakat merupakan objek dinamis dan bukan objek statis layaknya hukum
alam. Suatu teori tidak dapat secara pasti menjelaskan suatu masyarakat, karena
pada dasarnya kehidupan masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
misalnya faktor geografis, faktor sosial-ekonomi, kebudayaan, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, Max Weber mengenalkan metode verstehen yang
secara bahasa artinya memahami. Menurut Weber, masyarakat harus dipahami
dengan melakukan observasi atau pengamatan secara langsung di lapangan dan
tidak bisa dilakukan dengan melalui penalaran belaka layaknya filsafat seperti
yang dilakukan oleh Comte (Ritzer, 2007). Hingga saat ini, dasar dari metode
verstehen dalam disiplin ilmu sosiologi masih digunakan dan akan terus
digunakan sebagai metode yang dinilai tepat dalam penelitian sosial. Oleh karena
itu, meskipun Weber tidak murni berlatarbelakang Sosiolog, namun ia memiliki
peran yang sangat besar dalam perkembangan disiplin ilmu sosiologi. Dalam
makalah ini akan dijelaskan lebih mendalam terkait biografi Max Weber, teori
yang dikembangkan oleh Max Weber (Teori Tindakan Sosial), dan juga
pemikiran-pemikiran Weber terhadap masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
1. Siapakah Max Weber?
2. Bagaimana pemikiran Weber terkait Etika Protestan dan Kapitalisme?
3. Apa itu konsep Rasionalisasi dan Birokrasi yang dikembangkan Weber?
4. Apa itu Teori Tindakan Sosial Weber?
5. Bagaimana Teori Tindakan Sosial Weber disesuaikan dengan konteks isu
sosial yang terjadi di Indonesia?
1.3. Tujuan

2
1. Untuk mengenalkan siapa itu Max Weber;
2. Untuk menjelaskan pemikiran Weber terkait Etika Protestan dan
Kapitalisme;
3. Untuk menjelaskan konsep Rasionalisasi dan Birokrasi Weber;
4. Untuk menjelaskan Teori Tindakan Sosial Weber;
5. Untuk memberikan contoh penggunaan Teori Tindakan Sosial Weber dalam
menjelaskan isu sosial yang terjadi di Indonesia.

BAB II

3
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Max Weber
Maximilian Karl Emil Weber atau yang dikenal sebagai Max Weber
merupakan seorang sosiolog yang memiliki peran sangat penting terhadap
perkembangan dan eksistensi sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu yang mapan.
Max Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 di Erfurt, Jerman dari pasangan
Helene Fallenstein dan Max Weber Senior. Kehidupan Weber kecil diwarnai
dengan pertentangan keyakinan dan sifat dari kedua orang tuanya. Ibu Weber,
Helene Fallenstein merupakan seorang penganut Calvinisme yang sangat religius.
Pada dasarnya keyakinan Calvinis adalah keyakinan yang mengajarkan kepada
penganutnya untuk meninggalkan kenikmatan dunia yang fana. Sedangkan ayah
Weber, Max Weber Senior merupakan seorang birokrat yang memiliki posisi
penting. Berbeda dengan istrinya, ia memiliki obsesi yang lebih tinggi terhadap
kenikmatan duniawi. Perbedaan pandangan tersebut lah yang pada akhirnya
menyebabkan pertentangan yang kelak mempengaruhi perspektif intelektual
Weber dalam memandang masyarakat dan juga berpengaruh terhadap kondisi
psikologisnya.
Perjalanan pengembangan intelektual Weber dimulai pada saat dirinya
berumur 18 tahun, tepatnya pada tahun 1882 ia pergi meninggalkan rumah
orangtuanya untuk berkuliah di Universitas Heidelberg sebagai mahasiswa
jurusan Hukum. Sembari menjadi Mahasiswa, Max Weber juga menjadi seorang
asisten pengacara. Pada tahun 1884, Weber melaksanakan wajib militernya di
Strassburg dan menjadi dekat dengan keluarga dari kakak Ibunya, yakni Ida
Baumgarten dan suaminya yang merupakan seorang sejarahwan Hermann
Baumgarten yang kemudian juga memberikan pengaruh yang besar terhadap
perkembangan intelektual Weber. Setelah selesai menjalani masa wajib militer
dan masa studinya di Universitas Heridelberg, Weber kembali ke rumah
orangtuanya untuk berkuliah di Universitas Berlin. Kiprahnya di Universitas
Berlin lah yang menjadi landasan Weber untuk menjadi seorang pemikir. Saat itu
Weber muda menjadi asisten pengacara sekaligus pengajar di Universitas Berlin.
Dalam proses itu ia mengembangkan ketertarikannya pada ekonomi, sejarah, serta
ilmu sosiologi. Setelah 8 tahun menjalani masa akademiknya, Weber meraih gelar

4
Doktor dan menjadi pengacara sekaligus dosen di Universitas Berlin dan pada
tahun 1896 karir Weber mencapai puncaknya dan menjadi seorang profesor
ekonomi di Universitas Heidelberg.
Selama Weber tinggal bersama orang tuanya kembali ketika berkuliah di
Universitas Berlin, ia menjadi lebih condong kepada pemikiran ibunya yang
seorang religius. Namun tidak terlepas juga dari pengaruh pemikiran birokratis
ayahnya. Pada tahun 1904, Weber menerbitkan karya pertamanya yang popular
yang berjudul The Protestant Ethnic and The Spirit of Capitalism. Sejak saat itu
Weber berusaha untuk mengembangkan cara untuk mempelajari masyarakat,
yakni dengan mengembangkan metodologi komparatif. Pemikiran Weber yang
dipengaruhi oleh religiusitas ibunya membuat Weber tertarik terhadap Sosiologi
Agama yang mempelajari bagaimana agama dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh masyarakat. Dengan menggunakan disiplin ilmu Sosiologi,
Weber mencoba untuk membandingkan kultur keberagamaan di India dan China
dengan kultur keberagamaan di dunia Barat. Selain itu, Weber juga membentuk
masyarakat Sosiologi Jerman pada tahun 1910. Kediaman Weber pada saat itu
menjadi pusat berkumpulnya para intelektual sosiologi maupun filsuf dan
sastrawan kenamaan seperti George Simmel, Robert Michels, George Lucas, dan
saudaranya Alfred Weber. Pada tahun 1920, diusianya yang ke 56 Tahun, Weber
meninggal dunia karena penyakit paru-parunya dan mengakhiri perjalanan
intelektualnya (Arthur Mitzman, 2023).
2.2. Etika Protestan dan Kapitalisme
Max Weber dalam karyanya “The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism” (1930) atau “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”, telah
memberikan pemahaman bahwasannya ide dapat menjadi salah satu hal yang
berperan penting dalam gerak sejarah masyarakat. Karyanya dimulai dengan ia
yang menyodorkan realitas adanya keterkaitan antara agama dan stratifikasi sosial
masyarakat. Realitas tersebut menyatakan bahwa para pemimpin perusahaan,
pemilik modal dan pekerja terdidik pada umumnya menganut Kristen Protestan.
Weber juga memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang mencolok antara
Prostantisme dan kapitalisme. Kemudian, Weber melakukan investigasi terkait
hubungan antara agama yang dianut dengan etika ekonomi penganutnya. Hal

5
inilah yang menjadi pokok persoalan yang ingin dikemukakan Weber. Di dalam
buku ini ia mengemukakan secara luas mengenai korelasi antara agama dengan
berbagai karakteristik ekonomi masyarakat penganutnya.
Menurut pengamatan fenomenologis Weber, yang menjadi perbedaan utama
antara pengajaran Katolik dan Protestan ialah nilai-nilai yang dimiliki oleh
Protestantisme. Etika Protestan ialah satu etos kerja yang berorientasi pada dunia,
yang meliputi kerja keras. Etos kerja yang ada tersebut didasari dari doktrin
Protestan yang kurang lebih terangkum dalam tiga ajaran, yaitu konsep the
calling (panggilan), doktrin predestinasi, dan asketisme duniawi.
a. The Calling (Panggilan)
Konsep panggilan menurut Prostestan ialah ketika munculnya gagasan
bahwa kewajiban moral individu yang paling tinggi ialah dengan
memenuhi kewajibannya di dunia. Konsep dari nilai panggilan ini adalah
memproyeksikan perilaku religius ke dalam dunia sehari-hari.
b. Doktrin Predestinasi
Konsep panggilan akhirnya membawa mereka kepada nilai yang kedua
yaitu predestinasi. Doktrin predestinasi ini merupakan suatu keyakinan
bahwa Tuhan telah menentukan nasib dan status keselamatan seseorang di
akhirat kelak. Namun, setiap orang tidak mengetahui nasib mereka ketika
di akhirat. Setiap orang tidak mengetahui apakah mereka akan masuk ke
dalam kelompok yang diselamatkan atau dikutuk, sehingga hal ini
memunculkan ketakutan dan pertanyaan bagi penganutnya, seperti
“apakah saya adalah orang pilihan Tuhan?” dan tidak ada pula yang
mengetahui bukti bahwa seseorang tersebut merupakan manusia pilihan
Tuhan. Sampai pada akhirnya, Richard Baxter, seorang penerus
puritanisme, mengakumulasikan kekayaan dan dan investasi ulang
keuntungan atau keberhasilan seseorang dari segi ekonomi (kapitalisme)
yang dilakukan seseorang merupakan bentuk nyata bahwa orang tersebut
termasuk ke dalam orang-orang pilihan yang sudah ditakdirkan. Menurut
Weber, kaum Protestan menempatkan keberadaan dunia sebagai medan
atau panggung untuk melayani dan memuliakan Tuhan. Tuhan hanya akan
memberikan anugerah (kekayaan) yang berlimpah kepada orang-orang

6
yang diselamatkan-Nya. Pengembangan ajaran itu termanifestasi menjadi
doktrin bahwa kekayaan seseorang di dunia menjadi bukti keselamatan
mereka di akhirat. Implikasinya, orang-orang saleh harus bekerja lebih
keras agar menghasilkan keuntungan dan kekayaan untuk memastikan diri
mereka bahwa mereka termasuk bagian dari orang-orang yang
diselamatkan itu.
c. Asketisme Duniawi
Nilai yang ketiga merupakan asketisme dimana ketika seseorang telah
mendapatkan kekayaannya, sekali pun dalam skala besar, tetapi jika
seseorang tersebut menikmati kekayaannya tersebut justru akan menjadi
perbuatan yang tercela. Kekayaan yang dimiliki akan menjadi buruk
apabila membawa seseorang kepada kesenangan yang mewah atau untuk
kesenangan diri sendiri. Mereka akan membatasi konsumsi (terutama
barang mewah) dan gaya hidup yang sederhana. Mereka mengejar
kekayaan bukan sebagai sarana untuk kepuasan atau memenuhi kebutuhan
materialnya, melainkan spiritualitasnya.
Etika protestan tersebut akhirnya menciptakan satu gaya hidup aksetis yang
khas. Menurut Weber, nilai asketisme khas Protestan itulah yang menjadi faktor
penting dalam tumbuhnya semangat kapitalisme. Semangat ini menurut Weber
dapat memberikan dorongan penting dalam perubahan struktur masyarakat.
Weber menunjukkan seberapa kuat pengaruh etika Protestan-Calvsinis itu dengan
keberhasilan Belanda dan Inggris dalam menguasai perekonomian dunia abad 18-
19. Ini adalah dampak paling penting bagi Weber karena berimplikasi pada
lahirnya ekonomi modern di Eropa. Ini yang juga merupakan elemen fundamental
dari semangat kapitalisme modern. Weber berasumsi bahwa telah terjadi suatu
transformasi orientasi terhadap kerja, yang tadinya dianggap duniawi.
2.3. Rasionalisasi dan Birokrasi
Rasionalisasi berasal dari kata "rasio" yang mengacu pada Bahasa Yunani
kuno.yaitu yang berarti kemampuan kognitif untuk memilah antara hal yang benar
dan yang salah yang ada dalam kenyataan. Rasionalisasi merupakan salah satu
konsep teori yang dicetuskan oleh Max Weber. Pada saat Weber mencetuskan
teori ini Weber terpengaruh oleh kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat

7
barat pada saat itu. Pada saat itu kondisi sosial budaya masyarakat barat
khususnya dalam segi pemikiran sudah mulai bergeser dari yang awalnya berpikir
non-rasional menuju ke pemikiran rasional. Perkembangan rasionalisasi
masyarakat juga berkaitan dengan pelembagaan ilmu dan teknologi kedalam
aspek-aspek kehidupan. Jadi rasionalisasi dalam pengertian Weber yaitu suatu
proses meluasnya penggunaan rasionalitas ke dalam segenap aspek kehidupan
masyarakat. Menurut Weber, rasionalisasi secara garis besar terdapat dua jenis
rasionalisasi manusia yaitu rasionalisasi tujuan dan rasionalisasi nilai.
Rasionalisasi tujuan yaitu suatu rasionalisasi yang menyebabkan seseorang atau
kelompok orang dalam suatu tindakan yang berorientasi pada suatu tujuan
tindakan, bagaimana cara menggapainya, dan akibat-akibatnya. Ciri khas dari
rasionalisasi tujuan ini yaitu bersifat formal,karena rasionalisasi tujuan ini hanya
mementingkan suatu tujuan dan tidak mengindahkan pertimbangan nilai.
Rasionalisasi nilai yaitu suatu rasionalisasi yang mempertimbangkan nilai-nilai
atau norma-norma yang membenarkan bahkan menyalahkan suatu penggunaan
suatu cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Ciri khas dari rasionalisasi nilai
ini yaitu bersifat substantif, orang yang bertindak dengan rasionalisasi ini maka
akan mementingkan komitmen rasionalisasinya terhadap nilai yang dihayati oleh
seorang pribadi tersebut.
Birokrasi merupakan kata yang berasal dari bureaucarry yang artinya yaitu
suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida dimana
lebih banyak orang yang berada di tingkat bawah di bandingkan berada di tingkat
atas. Sistem organisasi ini biasanya ditemui pada instansi yang bersifat
administratif maupun militer. Birokrasi ini sendiri merupakan suatu konsep yang
dicetuskan oleh Max Weber.Weber berpendapat bahwa birokrasi ini merupakan
suatu bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan tujuan yang akan
dicapai. Birokrasi ini yaitu sebagai suatu sistem otoritas yang diterapkan secara
rasional oleh berbagai macam peraturan untuk mengorganisir pekerjaan yang
dilakukan oleh orang banyak. Weber tidak pernah mendrfinisikan birokrasi itu
sendiri secara jelas berdiri sendiri weber hanya mengemukakan ciri-ciri, gejala-
gejala, proposisi-proposisi dan hanya dari pengalaman yang ia lihat sehari-hari.
Dari ciri-ciri yang telah di kemukakan oleh weber maka dapat di tarik kesimpulan

8
yaitu birokrasi merupakan suatu badan administratif tentang pejabat yang
diangkat, dan membentuk suatu hubungan kolektif bagi golongan pejabat itu
sebagai suatu kelompok tertentu yang berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya
dapat dilihat dalam organisasi tertentu, khususnya menurut prosedur
pengangkatannya.
2.4. Teori Tindakan Sosial Weber
Sebagai pendiri paradigma definisi sosial, Max Weber memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan
memahami tindakan sosial dan penjelasan kausal hubungan sosial (pemahaman
interpretatif). Bagi Max Weber, menyelidiki tindakan sosial berarti mencari
pemahaman subjektif atau motivasi dalam hubungannya dengan tindakan sosial. 
Weber memandang aktivitas sosial yang bermakna sebagai subjek sosiologi.
Menurut Weber, memandang perkembangan lembaga dari luar tanpa
mempertimbangkan aktivitas manusia itu sendiri berarti mengabaikan aspek-aspek
esensial kehidupan sosial. Perkembangan hubungan sosial juga dapat dijelaskan
dengan tujuan orang yang melakukan hubungan sosial ketika ia menggunakan
aktivitas itu sendiri dalam tindakannya; memberikan arti yang berbeda untuk
aktivitas itu sendiri dari waktu ke waktu. Singkatnya, paradigma ini memiliki tiga
premis yaitu: 
1. Manusia adalah aktor kreatif
2. Fakta sosial memiliki arti subyektif (motivasi & tujuan)
3. Cara aktor mendefiniskan fakta sosial adalah cara mereka mendefinisikan
situasi.
Paradigma ini didasarkan pada analisis tindakan sosial Weber. Analisis Weber
dengan Durkheim sangat jelas, jika Durkheim memisahkan struktur dan pranata
sosial, Weber sebaliknya memandangnya sebagai satu kesatuan pembentuk
tindakan manusia yang bermakna. Tindakan sosial yang disebutkan oleh Max
Weber dapat berupa tindakan yang jelas-jelas ditujukan kepada orang lain, tetapi
juga dapat berupa tindakan mental atau subyektif yang dapat terjadi karena efek
positif dari situasi tertentu. Apakah itu tindakan berulang yang disengaja yang
merupakan hasil dari pengaruh situasi serupa atau dalam bentuk persetujuan pasif
dalam situasi tertentu. Bertolak dari konsep dasar tindakan sosial dan antar

9
hubungan sosial, Max Weber mengemukakan lima ciri utama yang menjadi pokok
bahasan penelitian sosiologi, yaitu: 
1. Tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna yang
subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat
subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang
sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan pada seseorang atau pada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang
lain itu (Prastowo & Rokhmad, 2008)
Tindakan sosial adalah tindakan individu yang memiliki makna subyektif bagi
dirinya dan diarahkan pada tindakan orang lain. Di sisi lain, tindakan individu
yang diarahkan pada benda mati atau benda fisik semata, yang tidak terkait
dengan tindakan orang lain, bukanlah tindakan sosial. Dalam mengkaji
perkembangan regulasi, menurut Weber, aktivitas manusia juga harus
diperhitungkan. Karena tindakan orang adalah bagian terpenting dari kehidupan
sosial.  Gagasan Weber tentang verstehen lebih umum di kalangan sejarawan
Jerman pada masanya dan berasal dari bidang yang dikenal sebagai hermeneutika.
Hermeneutika adalah pendekatan khusus untuk memahami dan mengungkapkan
tulisan-tulisan yang diterbitkan. Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran
penulis dan struktur dasar teks. Weber dan yang lainnya mencoba memperluas
pemahaman teks menjadi pemahaman tentang kehidupan sosial:
untuk memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia.
Pemahaman umum tentang verstehen adalah bahwa itu dipahami hanya
sebagai penggunaan intuitif, irasional, dan subyektif. Namun Weber dengan tegas
menyangkal bahwa verstehen hanya berarti partisipas. Partisipasi yang didasarkan
atas simpati atau empati. Baginya, penelitian harus dilakukan secara konsisten dan
sistematis, bukan sekadar memahami teks atau fenomena sosial.  Dengan kata
lain, bagi Weber, verstehen adalah proses belajar yang rasional. Banyak orang
bersembunyi dalam verstehen, hambatan Weber tampaknya terbukti kuat pada
tingkat individu dari sisi keterbatasan pemahaman. Tetapi juga banyak yang tidak

10
menyebutkan bahwa pengertian yang dikemukakan oleh Weber adalah suatu
teknik yang ditujukan untuk memahami kebudayaan. Selain itu, W. G. Runciman
(1972) dan Murray Weax (1976) menggunakan verstehen sebagai alat untuk
mempelajari budaya dan bahasa tertentu. 
2.5. Teori Tindakan Sosial Weber dalam Membahas Isu di Indonesia
Seperti yang dijelaskan pada poin teori Tindakan Sosial Weber sebelumnya,
pada dasarnya Weber memahami Sosiologi sebagai ilmu yang digunakan untuk
memahami rasionalitas dibalik tindakan yang dilakukan individu dalam
masyarakat. Meskipun pada dasarnya motif tindakan sosial individu merupakan
sesuatu yang abstrak dan memunculkan kontroversi atas status objektifitas atau
subjektifitas, namun Weber meyakinkan bahwa tindakan sosial merupakan
sesuatu yang bisa diamati, karena tindakan subjektif jika dilakukan oleh banyak
individu maka tindakan tersebut dapat diamati secara objektif. Dalam
pengamatannya terhadap tindakan sosial, Weber mengklasifikasikan jenis
tindakan sosial yang dilakukan oleh individu berdasarkan rasionalitasnya. Seperti
yang dijelaskan sebelumnya juga bahwa tindakan sosial secara garis besar terbagi
menjadi 2 jenis, yakni tindakan sosial rasional dan tindakan sosial non-rasional.
Tindakan rasional terbagi menjadi 2 jenis, yakni tindakan rasionalitas instrumental
(zweck-rationalitat) dan tindakan rasional berorientasi nilai (wert-rationalitat).
Sedangkan tindakan sosial non-rasional juga terbagi menjadi 2 jenis, yakni
tindakan tradisional (traditional action) dan tindakan afektif (affectual action).
Dalam disiplin ilmu Sosiologi, teori tindakan sosial Weber dapat digunakan untuk
mengetahui alasan atau motif individu maupun kelompok dalam melakukan suatu
tindakan yang berdampak pada masyarakat.
Contoh dari penggunaan teori tindakan sosial dalam memahami motif idnividu
maupun kelompok dalam melakukan suatu tindakan sosial adalah penelitian yang
dilakukan oleh Ahmad Putra (2020) yang berjudul Menelaah Fenomena Klitih di
Yogyakarta dalam Perspektif Tindakan Sosial dan Perubahan Sosial Max Weber.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa tindakan klitih yang dilakukan
umumnya oleh penduduk Yogyakarta usia remaja, yakni tindakan menyakiti
orang-orang yang tidak bersalah dengan menggunakan senjata tajam merupakan
suatu bentuk tindakan non-rasional. Tindakan klitih pada dasarnya dilakukan

11
tanpa memiliki motif yang benar-benar konkrit dari para pelakunya. Namun
tindakan tersebut pada umumnya didasari atas alasan memenuhi hasrat atau emosi
yang meluap untuk menyakiti orang lain belaka. Sehingga jika diklasifikasikan
kedalam jenis tindakan sosial yang dikemukakan oleh Weber, tindakan klitih
setidaknya pada penelitian ini masuk ke dalam tindakan afektif (affectual action)
yang tentunya bersifat irasional atau dalam proses tindakannya individu tindak
memerhitungkan rasio, tujuan, serta alat untuk mencapai tujuan yang benar-benar
jelas.
Penelitian lain yang menggunakan teori tindakan sosial Weber dalam
memahami suatu fenomena dalam kehidupan masyarakat juga dilakukan oleh
Tatik Atiyatul Mufiroh (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Tradisi
Nyadran di Dusun Pomahan Desa Pomahan Kecamatan Baureno Kabupaten
Bojonegoro dalam Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber.” Nyadran
merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Bojonegoro sebagai
bentuk ritual sedekah bumi bagi masyarakat dusun Pomahan yang mayoritas
berprofesi sebagai petani. Pada awalnya, nyadran dilakukan oleh masyarakat
dusun Pomahan sebagai suatu bentuk persembahan sesaji kepada arwah yang
dianggap oleh masyarakat setempat sebagai arwah dari pembuka desa atau dusun
yang disebut sebagai dhanyang sing bahurekso. Namun seiring berubahnya
keyakinan religius masyarakat yang pada awalnya bertumpu pada keyakinan
animisme atau penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang, menjadi bertumpu
pada keyakinan agama, yakni utamanya agama Islam. Tradisi nyadran pun
kemudian dimaknai sebagai perwujudan dari rasa syukur masyarakat dusun
Pomahan kepada Allah SWT yang telah nemberikan rezeki berupa kesuburan
dalam pertanian. Meskipun orientasi masyarakat berubah, namun jika tindakan
sosial masyarakat dusun Pomahan diklasifikasikan kedalam teori tindakan sosial
Weber, maka baik dulu maupun saat ini jenis tindakan sosial yang dilakukan
mereka adalah tindakan sosial rasional berorientasi nilai (wert-rationalitat) dan
tindakan tradisional (traditional action). Masyarakat dusun Pomahan berpendapat
bahwa nyadran dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT,
namun di sisi lain, masyarakat juga berpendapat bahwa nyadran juga dilakukan

12
sebagai wujud untuk mempertahankan tradisi yang telah dilakukan sejak dulu,
meskipun orientasinya berbeda.

BAB III
SIMPULAN

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai