Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323943979

MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN


PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN

Preprint · March 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.24809.80483

CITATIONS READS

26 5,177

1 author:

M Chairul Basrun Umanailo


Universitas Iqra Buru
335 PUBLICATIONS   2,003 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

MULTILINGUAL MATERIAL DEVELOPMENT FOR PESANTREN STUDENTS View project

Sosiologi politik View project

All content following this page was uploaded by M Chairul Basrun Umanailo on 22 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH:
SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG
HABITUS DALAM PENDIDIKAN

Oleh : M. Chairul Basrun Umanailo

Riwayat Singkat Bourdieu

Pierre Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-


Atlanticues), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah
seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan pendidikan Lycée (SMA) di
Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan akhirnya masuk
keEcole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis
Althusser di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah
lulus, ia bekerja sebagai guru Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958,
ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim ke Aljazair. Pada
1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.
Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964.
Bourdieu memegang jabatan Direktur Kajian di École Pratique des Hautes
Études (yang kemudian menjadi École des Hautes Études en Science Sociales),
di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua
jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di Prancis, ia
mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah
menulis beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The
Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique
(1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility,
1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya

1
berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal,
globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan
memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun
pada 23 Januari 2002.

2
Konsep Dasar Bourdieu

Bourdieu merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai


dengan ide-ide filosofis. Berikut ini beberapa konsep-konsep yang
nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan
simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan
sekolah.
1. Modal
Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-
mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan
sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan”
atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu
menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural
capital), modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada
sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan
pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui
yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama.
Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti
pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan
kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah. Modal
budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu,
termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan,
cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk
modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai
modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang
sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal,
pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut
Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.

3
2. Kelas
Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan
agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan
dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada
pengondisian yang serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap,
selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu
membedakan kelas menjadi tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan
pada faktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai
oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu
mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan
dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas
dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua,
kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena
memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki
keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati
kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan
akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga,
kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki
modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik.
Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas
dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas
dominan.

3. Habitus
Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu.
Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan
Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund
Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama.
Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian

4
diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilah
habitus. Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah
sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan
yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup
(lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation)
kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui
pengalaman.
Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk
memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam
aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan struktur
yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, disini kaum
objektivisme lebih melihat secara makro atau biasa disebut dengan aliran
strukturalis seperti Durkheim,Marx, Saussure dan lainnya. Di sisi lain,
pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro, yaitu menekankan
pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme misalnya
seperti Weber, Sartre, dan lainnya.
Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin
menggabungkan diantara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak
semua hal di pengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur
maupun oleh aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya.
Sehingga Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara
struktur objektivisme dan fenomena subjektivisme.
Untuk menggambarkan perhatian Bourdieu terhadap hubungan
dialektika antara struktural dan cara aktor membangun realitas sosialnya,
Bourdieu memberikan nama pada orientasi pemikirannya sebagai
“Strukturalisme Genetis”. Bourdieu mendefinisikan strukturalisme genetis
dengan cara berikut:1

1
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media:
Jakarta. Hal: 519.

5
Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari
analisis asal-usul struktur mental individual yang hingga
taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur
sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul
struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang
menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (di
mana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di
dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang
menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini).

Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut


sebagai objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang
mengandung dominasi dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa
menolaknya. Otomatis dominasi yang dimaksud disini berasal dari
dorongan yang ada pada luar individu itu sendiri, yakni apa yang
dinamakan struktur. Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri
adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak atau melakukan
sesuatu diluar struktur.
Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme
dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang habitus
dan arena ( lingkungan / ranah) dan hubungan dialektik antara
keduanya.2 Habitus berada di dalam pikiran aktor, sedangkan arena (
lingkungan / ranah ) berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya
semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.
Sehingga dalam kasus upacara bendera yang dilakukan
disekolahan oleh murid-murid dan pengajar, dapat dikatakan sekolahan
dan halaman sekolah sebagai tempat upacara sekolah berlangsung
memiliki arti objektitivis karena sekolah disini memiliki peranan sebagai
struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya serta berada
diluar dari pikiran aktor yang disebut Bourdieu sebagai arena atau ranah.

2
Ibid, hal: 522.

6
Sedangkan upacara bendera lebih dipandang sebagai subjektivis, yakni
lebih melihat pada sisi mikro menekankan pada tindakan aktor dalam
analisisnya tentang upacara bendera yang mana disebut Bourdieu sebagai
habitus karena pemaknaan upacara bendera ini berada di dalam pikiran
aktor.
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis
sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus
adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui
proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap
menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri
manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi
tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta
mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis (Reza A.A
Wattimena: 2012).
Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda.
Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada kelas
terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui
berbagai mekanisme kekuasaan.

4. Kekerasan dan Kekuasaan

Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan.


Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah
praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain,
maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan.
Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan
selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan
yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti,
sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek

7
kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang
digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas
tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut
sebagai kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide
teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor
sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas
yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan
absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor
lain tersebut. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme
“penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima
sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut
Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman
yang berlangsung secara terus-menerus.

Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik

Modal (capital) yang dimaksud Bourdieu, secara mendasar tidak


berbeda dengan modal (capital) dalam ekonomi. Bahkan Bourdieu,
membuat kategori atau tipe dari bentuk modal (capital) yakni berupa;
economy capital, social capital, cultural capital (modal ekonomi, sosial dan
budaya). Dan setiap modal memiliki komoditasnya masing-masing,
misalnya; ekonomi berupa sumber daya uang (money resouces), modal
sosial berupa jejaringan sosial, kenalan orang berpengaruh (social network
influence people), dan modal budaya berupa wawasan, pengetahuancara
berpikir yang dianggap dapat membuat suatu identitas, budaya berupa
wawasan, pengetahuan, cara berpikir yang dianggap dapat membuat
suatu identitas, budaya tertentu sebagai budaya yang “tinggi” (high
culture) dan legitmate. Adapun kompetensi-kompetensi keilmuan,

8
penguasaan bahasa atau “lingustic capital” juga merupakan bagian modal
budaya, penguasaan bahasa, gaya, berbicara dengan menggunakan bahas
yang sesuai (properly) dengan kelas sosial tertentu dapat melegitimasi
status sosial tertentu pula.

Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita


dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita
akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan,
menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan
saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik
politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Masih jelas di ingatan kita
berbagai kasus kekerasan terjadi di sepanjang tahun ini antara lain kasus
kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan
terhadap jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa
kekerasan adalah masalah yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya
yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan.
Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan atau bullying di
sekolah, sering dilegitimasi dengan alasan “menegakkan disiplin” di
kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan yang dilakukan guru
karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos serta
kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan
menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa
solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya
gangguan psikologis dalam diri siswa. Misalnya, tawuran antar pelajar
yang dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan
yang membela “teman” atau “membela sekolahnya”. Fenomena ini
disebut oleh Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok
siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswa dari sekolah atau
“gank” yang berbeda, dapat berimbas pada tawuran antarpelajar yang

9
melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang
berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa pelajar.
Uraian di atas merupakan sebuah fenomena kekerasan fisik dan
psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah untuk
diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya
bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari.
Bentuk kekerasan tersebut adalah “kekerasan simbolik”. Konsep ini
dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Perancis.
Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang
digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial
masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya
hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya. Rangkaian
budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus. Akibatnya
masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani,
mempraktikan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan
habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas
bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh-jauh”.
Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas
untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga
pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat
dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-
anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai
atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus
dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas
bawah dipaksa untuk berbusana “layaknya” kelas atas, mereka dipaksa
menerima habitus kelas atas.
Bagi Marx, modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana,
melainkan sebuah proses, di dalam mana berbagai gerakan adalah selalu
(berupa) modal. Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital

10
(seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang
krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang
melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik
modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan
agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen
berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan
terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence).
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-
kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi,
yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil.
Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang
cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang
dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak
yang dominan ini sebagai yang benar. Kekerasan simbolik dalam arti
tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan
simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi
individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial.

Dalam tulisan-tulisan teoretisnya, Bourdieu menggunakan


beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses
reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal
cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi
Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini.
Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan
cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-
akan bersifat non-akademis, seperti: gaya berjalan, busana, atau aksen.

Anak-anak dari kalangan atas (privileged) telah mempelajari


perilaku ini, sebagaimana juga guru-guru mereka. Sedangkan anak-

11
anak berlatar belakang kalangan bawah tidak mempelajarinya. Anak-anak
kalangan atas dengan demikian tanpa banyak kesulitan cocok dengan
pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka. Mereka terkesan
patuh. Sedangkan anak dari kalangan bawah terlihat sulit diatur, bahkan
― suka menentang. Bagaimanapun, kedua macam anak ini berperilaku
sebagaimana yang didiktekan oleh latar belakang asuhannya.
Bourdieu menganggap, kemudahan atau kemampuan alamiah
pembedaan (distinction) pada faktanya adalah produk dari kerja sosial
yang berat, yang sebagian besar dilakukan para orangtua mereka. Hal itu
melengkapi anak-anak mereka dengan kecondongan-kecondongan
perilaku serta pikiran, yang memastikan mereka sanggup berhasil dalam
sistem pendidikan, dan kemudian dapat mereproduksi posisi kelas
orangtuanya dalam sistem sosial yang lebih luas.
Modal budaya (seperti: kompetensi, keterampilan, kualifikasi) juga
dapat menjadi sumber salah-pengenalan dan kekerasan simbolik. Karena
itu, anak-anak dari kelas pekerja dapat melihat keberhasilan pendidikan
teman sebayanya --yang berasal dari kelas menengah-- sebagai sesuatu
yang selalu sah. Mereka melihat hal yang sering merupakan
ketidaksetaraan berdasarkan kelas, dilihat sebagai hasil kerja keras atau
bahkan kemampuan alamiah. Bagian kunci dari proses ini adalah
transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang (seperti: aksen
atau harta milik) menjadi modal budaya (seperti: kualifikasi universitas)
suatu proses di mana logika ranah-ranah budaya dapat menghalangi atau
menghambat, tetapi tidak dapat mencegah.

12
Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik

Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk


mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya
menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah
mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain,
untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi.
Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut
Illich- hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa
dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan
memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya
kelas dominan melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan
budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa dari latar belakang kelas
bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan cara berbicara
dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa
diistilahkan Bourdieu dengan habitus.
Sekolah-sekolah menurut Bourdieu merupakan tempat untuk
menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami
dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai satu-satunya habitus
yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa)
seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut.
Menurut Bourdieu:
… budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga
anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh
sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik –gaya,
selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai
sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas
terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya
karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut.

13
Dengan cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi
bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan
bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses
reproduksi sebuah masyarakat yang hierarkis. Mereka yang memiliki
habitus yang sesuai (dengan habitus kelas dominan) akan menerima
keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan
habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat
mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut-
proses borjuasi, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan
selalu diposisikan sebagai habitus yang paling baik dan paling sempurna.
Pernyataan di atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan
selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat.
Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses
seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak akan
menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan
memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi
Bourdieu, peserta didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena
memiliki modal budaya. Mereka beruntung berkat asal keluarga yang
memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya (membaca, menulis,
diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat mereka lebih
siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan
keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan
budaya yang dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah. Privilese budaya
ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan
sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan
konser serta kegiatan sejenis lainnya.
Sebaliknya, peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-
satunya akses ke budaya luar adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah

14
sekolah merupakan bentuk akulturasi budaya. Perilaku di dalam budaya
universitas mengandaikan isi dan modalitas proyek profesional yang
merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya mengandaikan
corpus pengetahuan, keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau
bertutur kata yang biasanya dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca
tumbuh di perpustakaan rumah, modal budaya berkembang dengan
pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang berkualitas.
Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa ditangkap
oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu.
Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung,
penuh diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau
tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus
kalangan terdidik. Untuk itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan
elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya
dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin
sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite. Sekolah menjadi
satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial,
sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin
pelanggengan privilese mereka.
Selain itu, sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus
tertentu, akan tetapi sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal
yang berubah-ubah. Sekolah selalu beradaptasi dengan kondisi di luar
dirinya, seperti menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, ekonomi,
politik, perkembangan teknologi yang turut memengaruhi kinerja dan
fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai “fungsi” positif yang
dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tetapi sebenarnya fungsi-fungsi
tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan dominasi
kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam
dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan

15
keterampilan bagi individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer,
menjahit, bahasa asing, perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah
tersebut sebenarnya digiring untuk mengikuti habitus kelas dominan,
mereka diciptakan untuk melayani kelas dominan guna memenuhi
kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah diciptakan untuk
menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan
habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang
ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran,
atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan. Sekolah-sekolah
menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi
siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi
yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran
berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara
praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya
materi yang disampaikan guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan
merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti
kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak langsung siswa
yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi
pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan
disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga
tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian.
Sekali lagi, cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti
bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal.
Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling
strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik.
Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa
untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya,
berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi kelas habitus

16
kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal
maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari
siswa kelas terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui
kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka
selalu “dikenalkan” dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan
dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, cara berpakaian, cara
bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, cara bertindak “yang baik”
menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka selalu menganggap hal
tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur
“dari sananya”, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas
dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila
habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap
sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak
boleh dibawa di sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya
kelas dominan. Mereka harus mengenakan berbagai atribut yang
notabene bukanlah habitus mereka: berdasi, bersepatu, mereka juga
dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam
dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali
diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran
olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga.

1. Habitus sebagai latarbelakang yang mengeksistensikan upacara bendera.


3
Habitus adalah struktur mental atau kognitif, yang digunakan aktor untuk
menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian
kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan
bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah,
sebagai warisan dari masa lalu yang dipengaruhi oleh struktur yang ada. Habitus
sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif

3
Ibid.

17
dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan
individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi
tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman
hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi
dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan
4
pikiran dan pilihan tindakan individu).

Upacara bendera sebagai produk dalam sejarah menghasilkan tindakan


baik secara individu ataupun kolektif sampai sekarang ini yang tetap eksis.
Fenomena ini dapat kita lihat setiap hari senin pagi atau pada peringatan hari
nasional di setiap sekolah baik tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama
dan Sekolah Menengah Atas. Selain memahami upacara sebagai produk sejarah,
tentu kita juga perlu untuk mengetahui alasan mengapa individu-individu yang
ada di sekolahan itu secara kolektif tetap melaksanakan upacara bendera.
Serangkaian skema internalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsikan,
memahami, mengapresiasikan, reka dan evaluasi mengenai upacara bendera yang
mereka lakukan itulah yang dinakaman oleh Bourdieu sebagai habitus. Karena
sudah dijelaskan di awal bahwa habitus berkenaan mengenai struktur mental atau
kognitif seseorang yang berhubungan dengan dunia sosial.

Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan


sosial yang diduduki. Sehingga habitus akan berbeda-beda, tergantung dimana dan
bagaimana posisi individu tersebut dalam kehidupan sosial. Sehingga seseorang
yang menduduki posisi yang sama dalam dunia sosial, cenderung akan memiliki
kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena
5
kolektif. Sehingga dalam sekolahan individu yang memiliki posisi yang sama
misalkan seorang murid akan memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan hal
yang sama dan ini mengakibatkan mereka memeliki kebiasaan yang sama seperti
fenomena kolektif upacara bendera.
4
Ibid
5
Ibid.

18
Karena menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang
sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di
lakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam
berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan
6
berperannya habitus.

2. Sekolah dan Upacara Bendera Sebagai Arena Pertarungan.

Arena adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal


7
(ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Bourdieu melihat
arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena
adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok
demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital
atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang
mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut,
atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena.

Dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas terjadi sebuah


kompetisi antar individu yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut, seorang
murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan
pertarungan dalam ranah kelas tersebut. Misalnya dapat mengerjakan ujian
dengan lancar, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif
dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang kurang
pengetahuannya.

Demikian juga ketika upacara bendera berlangsung terjadi kompetisi bagi


peserta upacara baik yang terjadi antar murid atau murid dengan pengajar. Ini
dapat dilihat pengajar biasanya berbaris tidak dihalaman sekolah dengan murid-
murid, melainkan ada tempat khusus bagi pejabat sekolah tersebut yang lebih
nyaman tanpa terik matahari seperti yang dialami murid-murid sekolah. Selain itu
kemudahan ijin untuk tidak mengikuti upacara juga dirasa sulit bagi siswa dan
mudah bagi pengajar. Ini dimungkinkan karena pengajar tadi di dalam arena yakni
6
Ibid, hal: 524.
7
Ibid, hal: 524.

19
sekolah memiliki posisi yang dianggap lebih tinggi yakni sebagai pengajar, yang
dalam istilah jawa guru itu adalah sosok yang digugu lan ditiru ( menjadi panutan
dan dicontoh). Kompetisi juga berlangsung diantara murid terkadang setiap
sekolah memiliki aturan sendiri untuk menata barisan murid pada waktu upacara.
Kebanyakan murid cenderung ingin berdiri dibarisan paling belakang, akan tetapi
biasanya dalam upacara wanita selalu diposisi baris depan dan setelah perempuan
baru laki-laki. Itupun di urutkan dari yang memiliki tinggi badan paling rendah
sampai ke paling tinggi. Penentuan posisi berdiri ini tidak jarang menjadi
pertarungan antar murid. Mereka yang memiliki postur tinggi tentu mendapatkan
posisi yang paling diinginkan oleh murid yang lain yakni paling belakang.

Sekolah sebagai suatu arena ini dikontrol oleh modal yang dimiliki setiap
orang yang menduduki suatu posisi dalam arena tersebut. Karena menurut
Bourdieu modallah yang memungkinkan orang mengendalikan nasibnya sendiri
8
maupun orang lain.

A. Modal Simbolik Yang Menjadi Modal Terjadinya Kekerasan Simbolik.

Modal Kekuasaan Kekerasan


Simbolik Simbolik Simbolik

Bagi Bourdieu modal yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya


yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu arena. Modal itu harus
selalu di produksi dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat empat
jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal
9
simbolik.
1. Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya
uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain.

8
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2013. Teori Sosiologi. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Hal: 583.
9
George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal: 907-908.

20
2. Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau
hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan
sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-
kedudukan sosial. Misalnya seorang mahasiswa kenal baik dengan seorang dosen.
3. Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara
berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun).
4. Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Misalnya posisi
atau jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan.

Distribusi kapital menentukan posisi atau kelas agen di dalam sistem sosial.
Kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah (akumulasi) terbesar dari
keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau kaum marginal adalah
pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka kelas pemilik kapital
adalah kelas yang paling dominan.

Dalam dunia sekolah sebagai suatu arena tentu terlihat juga posisi kelas
masing-masing agen. Misalnya seorang kepala sekolah tentu memiliki fasilitas
yang lebih baik dari pada guru / pengajar biasa contoh ruang kerja. Ini
dikarenakan kepala sekolah memiliki modal yang lebih dibanding pengajar biasa
misalnya modal kultural yakni surat keputusan sebagai kepala sekolah dari dinas
terkait.
Terlebih seorang murid tentu memiliki posisi kelas yang lebih rendah
dibandingkan seorang pengajar. Tidak jarang seorang murid cenderung lebih
menuruti perintah seorang guru dari pada orang tuanya sendiri. Ada ketakutan
yang lebih, jika ia membangkang kepada seorang guru misalnya takut diberi nilai
jelek sehingga mendorong dia untuk menuruti perintah guru yang terkadang ia
merasa berat menjalankan. Ini menunjukkan seorang pengajar memiliki modal
kultural dan simbolik yang lebih yaitu soal pengetahuan dan prestise atau
kehormatan yang lebih yang yang mampu mengatur atau istilah Bourdieu
menentukan nasib orang lain.
Kekerasan simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena
kekerasan simbolik hanya dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok yang

21
memiliki modal simbolik. Modal simbolik di dalam bentuknya yang berbeda-beda
dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat
pengakuan dan diterima publik secara luas. Legitimasi sebagai sebuah proses,
menggambarkan proses yang mengarah pada legitimitas, pada sesuatu yang
mendapat pengakuan yang sah dan benar. Legitimitas sangat penting bagi semua
kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena taruhannya adalah kelestarian
atau perubahan struktural yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubungan-
hubungan kekuasaan. Dengan demikian realitas sosial bukan hanya merupakan
hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan hubungan-hubungan
makna. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat
mendesak penerimaan hukum-hukum dan memaksanya sebagai legitim dengan
menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya.
Pada lingkup arena yang dinamakan sekolah kekuasaan secara legitimasi
tentu ada pada seorang kepala sekolah. Seseorang baik pengajar atau murid
cenderung memberi penghormatan lebih kepada kepala sekolah, dibanding agen-
agen lain yang menempati posisi pada arena yang dinamakan sekolah. Misalnya
saja ketika upacara pada hari-hari nasional, seorang kepala sekolah seringkali
ditunjuk sebagai komandan upacara.
Modal simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik. Memiliki modal
simbolik berarti memiliki sumber potensi untuk mendapatkan kekuasaan simbolik.
Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk
mendapatkan pengakuan. Artinya, sebuah kekuasaan (baik ekonomi, politik,
budaya, atau yang lain) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali
bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya. Kekuasaan
simbolik sering kali memakai bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak
10
mudah dikenali. Inilah yang membuat kelompok yang terdominasi seringkali
merasa tidak keberatan untuk masuk kedalam sebuah lingkungan dominasi.
11
Bourdieu menyebut ini sebagai kekerasan simbolik.
Upacara dapat dikatakan sebagai bentuk kekerasan simbolik yang terdapat di
dunia pendidikan jika ada kelompok yang merasa terdomonasi. Kelompok yang

10
Ibid, hal: 118.
11
Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 38.

22
sering terdominasi adalah tentu mereka yang memiliki posisi yang paling rendah
dalam arena sekolah, yakni mereka yang menguasai atau memiliki modal paling
kecil. Kelompok terdominasi itu tentu sangat jelas yakni murid atau siswa, yang
memiliki khususnya modal simbolik paling rendah. Yakni berkaitan kehormat
atau prestise yang dimiliki seorang murid dengan pengajar atau bahkan kepala
sekolah, tentu jauh berbeda dimaknai oleh agen-agen atau aktor yang terdapat
dalam arena tersebut. Yang mana seakan itu menjadi sah dan dilegitimasikan
dalam ranah atau arena yang dinamakan sekolah.
Murid sabagai kelompok yang terdominasi salah satunya dominasi terlihat
ketika upacara bendera berlangsung. Secara tidak sadar murid dikondisikan
dengan apa yang dinamakan “tertib”. Murid seakan dibuat untuk tenang tidak
banyak bicara, baris dengan rapi dan fokus perhatian pada upacara bendera. Selain
itu, kata tertib juga pada pakaian yang dikenakan. Misalnya harus pakai pakaian
osis, dengan baju dimasukkan kedalam, pakai ikat pinggang hitam, sepatu hitam
dan topi. Tanpa disuruh secara sadar mereka melakukan itu yang mungkin bagi
sebagian merasa agak berat. Tapi disini posisi modal simbolik yang dimiliki oleh
pengajar khususnya bagi guru bimbingan konseling, yang sering difigurkan
sebagai sosok yang galak dan kejam bagi murid. Pengajar memiliki andil besar
dalam melestarikan kekerasan secara halus yang dinamakan Bourdieu sebagai
kekerasan simbolik dalam arena yang disebut upacara bendera.

23
Daftar Pustaka

Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 38.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Prenada Media

George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2013. Teori Sosiologi. Yogyakarta : Kreasi
Wacana.

George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Harker, Richard. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah. Jalasutra. Yogyakarta

Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu. New York: Routledge Lash,

Scott. 2013. Sosiologi Post modernism. Kanisius. Yogyakarta

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi


Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Umanailo, M. C B. 2018. “ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR.” Open Science


Framework. March 17. doi:10.17605/OSF.IO/4HPWC.

Umanailo, M. C B. 2017. “MENGURAI KEMISKINAN DI KABUPATEN BURU.”


Open Science Framework. November 4. doi:10.17605/OSF.IO/8WDXE.

Umanailo, M. C B. 2017. “KETERBATASAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI


INFORMASI PADA PELAYANAN DAN PEMBELAJARAN DI
UNIVERSITAS IQRA BURU.” Open Science Framework. October 31.
doi:10.17605/OSF.IO/GB4HM.

Umanailo, M. C B. 2017. “MASYARAKAT BURU DALAM PERSPEKTIF


KONTEMPORER.” Open Science Framework. December 10.
doi:10.17605/OSF.IO/KZGX3.

Umanailo, M. C B. 2017. “KAJIAN DAN ANALISIS SOSIOLOGI.” Open Science


Framework. December 11. doi:10.17605/OSF.IO/PV24F.

Umanailo, M. C B. 2018. “KALESANG DESA DALAM KONTEKS


MEMBANGUN DARI DESA.” Open Science Framework. March 21.
doi:10.17605/OSF.IO/MSZCK.

Umanailo, M. C B. 2017. “ADAKAH UKURAN KEMISKINAN BUAT


MASYARAKAT DI KABUPATEN BURU?” Open Science Framework.
December 10. doi:10.17605/OSF.IO/JNE6Q

Umanailo, M. C B. 2017. “KETERLEKATAN PETANI DAN TRANSAKSI NON


TUNAI DALAM PEMASARAN HASIL PERTANIAN.” Open Science
Framework. November 4. doi:10.17605/OSF.IO/6HS5E.
Umanailo, M. C B. 2017. “PENCIPTAAN SUMBERDAYA MANUSIA YANG
BERKARAKTER.” Open Science Framework. October 31.
doi:10.17605/OSF.IO/VP2AD

Umanailo, M. C B. 2017. “EKSISTENSI WARANGGANA DALAM RITUAL


TAYUB.” Open Science Framework. December 27.
doi:10.17605/OSF.IO/ZFSVY.

Umanailo, M. C B. 2017. “KETERBATASAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI


INFORMASI PADA PELAYANAN DAN PEMBELAJARAN DI
UNIVERSITAS IQRA BURU.” Open Science Framework. October 31.
doi:10.17605/OSF.IO/GB4HM.

Umanailo, M. C B. 2017. “MARGINALISASI BURUH TANI AKIBAT ALIH


FUNGSI LAHAN.” Open Science Framework. December 11.
doi:10.17605/OSF.IO/9CZK2.

Wiwawan, Prof.DR.I.B. 2012. Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Kencana.


Jakarta

Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre


Bourdieu.http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-
sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu

24

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai