Anda di halaman 1dari 5

Kritik Terhadap Narasi Politik Gerakan Pelajar

(Bagian 2)
indoprogress.com /2015/05/kritik-terhadap-narasi-politik-gerakan-pelajar-bagian-2/
Harian Indoprogress
Balasan untuk Arif Novianto

SEBAGAI institusi, pendidikan telah ditakdirkan untuk selalu korup dan degradatif. Bahwa universitas
atau sekolah tidak lebih dari sumber penyakit di masa depan. Pesimisme semacam ini tentu dapat
dibenarkan jika kita melihat betapa derasnya kritik terhadap pendidikan, terlebih khusus perguruan
tinggi dan kondisi menyedihkan di berbagai universitas sebagai efek langsung dari kapitalisasi
pendidikan.
Antonio Gramsci, dalam Prison Notebooks menegaskan bahwa hegemoni kultural diproduksi,
disebarluaskan dan dijaga keberlangsungnya melalui aparatus negara, termasuk tentunya institusi
pendidikan semacam universitas dan sekolah. Michel Foucault dari Prancis juga mengkritik institusi
pendidikan dalam Discipline and Punish: The Birth of the Prison . Kritik yang menyasar institusi
pendidikan juga ditulis oleh Raoul Vaneigem dalam pamfletnya berjudul A Warning of to Students of All
Ages. Lalu masih ada intelektual seperti Henry Giroux dengan University in Chains: Confronting the
Military-Industrial-Academic Complex, atau Alex Callinicos yang menulis Universities in a Neoliberal
World, keduanya juga menyerang institusi pendidikan. Hanya untuk menyebut beberapa, karena daftar
ini akan menjadi sangat panjang.
Namun dari hasil pembacaan terhadap sebagian kecil kritik di atas, saya tidak menemukan poin yang
mengampanyekan atau mengadvokasikan aksi untuk meninggalkan lembaga pendidikan, lebih khusus
universitas sebagai solusi. Sebaliknya, hasil dari pembacaan terhadap kritik-kritik tersebut justru
membenarkan pembacaan tentang transformasi nilai dan posisi universitas dalam kapitalisme
kontemporer dan siasat untuk menginterupsi sirkulasi akumulasi kapital dalam institusi pendidikan.
Di tulisan terdahulu[1] saya telah menggarisbawahi hal tersebut. Bahwa ketika universitas berubah
menjadi pabrik, maka merebut dan menciptakan ruang-ruang untuk dibebaskan secara berkala
(temporary liberated zones) menjadi penting.[2] Pemutaran film, diskusi publik, bedah buku atau
pameran, adalah beberapa jenis taktik pembebasan ruang yang memiliki batas waktu dan batas ruang
di tengah kondisi institusi pendidikan yang represif dan iklim politik yang buruk di kalangan pelajar. Itu
mengapa mau tidak mau, lapangan konfrontasi dalam pembebasan ruang-ruang politik tersebut tidak
bisa dialihkan ke luar lingkungan kampus. Konflik asimetris di dalam kampus antara pelaku
komersialisasi pendidikan dan gerakan pelajar, tidak dapat dimutasikan ke luar area di mana pusat
masalah itu berakar.
Itu mengapa, saya menggarisbawahi pentingnya pengambilalihan kampus oleh gerakan pelajar.
Sesuatu yang kemudian dibaca sebagai upaya untuk mengadvokasikan sikap sektarian gerakan oleh
Novianto.[3] Untuk mencapai pemahaman tersebut, gerakan pelajar tidak hanya perlu membersihkan
dirinya dari anasir-anasir borjuis yang menyertainya,[4] namun juga mensyaratkan pembacaan yang
holistik atas narasi politik gerakan pelajar. Untuk kritik terhadap narasi politik tersebutlah, tulisan
berikut ini didedikasikan.

Tentang Kondisi Internal Organisasi Gerakan Pelajar

Adalah benar bahwa sebuah gerakan revolusioner mestilah melampaui batasan-batasan sektoral,
jenis kelamin dan orientasi seksual dan keyakinan spiritual. Namun yang menjadi persoalan, adalah
landasan di balik persatuan tersebut dan bagaimana proses pembentukannya. Ini adalah inti yang
tidak bisa diingkari oleh setiap kelompok gerakan yang menempatkan kapitalisme sebagai musuh yang
harus ditumbangkan termasuk gerakan pelajar.
Dalam internal gerakan pelajar, menuju pembentukan front revolusioner tersebut, akan sulit tercapai
jika subjek-subjek di dalam gerakan itu sendiri adalah mereka yang pasif dan belum menemukan
kejelasan mengenai posisi antagonistik mereka secara individual dengan neoliberalisme. Radikalisasi
menjadi subjek revolusioner seperti yang dijelaskan oleh Guattari.
Felix Guattari, psikiatris radikal, filsuf sekaligus seorang militan revolusioner, menjelaskan bahwa
sebuah organisasi revolusioner haruslah mampu mendorong setiap orang untuk mampu
mengartikulasikan frustasi akan represi dan hasrat pembebasannya sendiri.[5] Tentang bagaimana
seseorang menjadikan perlawanan sebagai bagian integral dalam dirinya. Pandangan ini menolak
bentuk organisasi yang menempatkan diri sebagai representasi sah akan individu-individu di dalamnya
sehingga berujung pada pendiktean yang kaku dan sudah barang tentu tidak membebaskan. Problem
ini bukan hanya sekedar persoalan rumusan strategi taktik semata, namun dalam analisanya Guattari
menemukan bahwa akar masalahnya terletak pada sikap dan relasi antar individu dalam kelompok
serta sikap dan relasi antar kelompok dengan kelompok lain yang disebutnya sebagai ketidaksadaran
sosial alamiah (social nature of unconscious ).
Dalam The Machinic Unconscious, Guattari memulainya dengan menempatkan ketidaksadaran di
dalam ruang sosial temporer yang menggambarkan masa depan sebagai sebuah layar kemungkinan
yang berkebalikan atau bertentangan dengan masa lalu yang tersedimentasi dan termaterialisasi.
Yang kemudian membuka kemungkinan untuk dilakukannya rekonstruksi melalui pelafalan-pelafalan
dan tindakan-tindakan de-teritorialisasi bersamaan dengan vektor-vektor bio-sosial-politik yang tampak
dan memiliki potensi-potensi yang sudah dimilikinya (potentialities already becoming). Guattari
menuliskan bahwa

. . . the unconscious works inside individuals in their manner of perceiving the world
and living their body, territory, and sex, as well as inside the couple, the family, school,
neighborhood, factories, socius, and universities . . . In other words, not simply an
unconscious of the specialists of the unconscious, not simply an unconscious
crystallized in the past, congealed in an institutionalized discourse, but, on the contrary,
an unconscious turned towards the future whose screen would be none other than the
possible itself, the possible as hypersensitive to language, but also the possible
hypersensitive to touch, hypersensitive to the socius, hypersensitive to the cosmos . . .
Then why stick this label of machinic unconscious onto it? Simply to stress that it is
populated not only with images and words, but also with all kinds of machinisms that
lead it to produce and reproduce these images and words.[6]

Penjelasan di atas terkait dengan argumentasi bahwa ada dua jenis kelompok yang memiliki sifat yang
berkebalikan dalam pandangan Guattari, yang muncul lebih awal dalam teksnya berjudul Molecular
Revolution.[7] Yang pertama disebut sebagai kelompok yang ditaklukkan (Subjugated Group), yaitu
suatu jenis kelompok yang mengalami ketergantungan dengan kelompok lain. Ketergantungan ini
disebabkan oleh dua hal. Pertama, eksisnya watak inferior yang memandang kelompok lain jauh lebih
superior dan determinan terhadap dirinya sehingga berhak menentukan gerak dan sikap yang
diekspresikan. Hal yang kedua, adanya intervensi aktif hirarkis yang datang dari kelompok determinan
dan mengeksploitasi sekaligus membatasi kelompok yang dipengaruhi untuk dapat mampu bergerak
secara otonom. Ketidakmampuan untuk membatasi pergerakan subyek secara otonom dikelola
dengan cara memelihara feodalisme bentuk-bentuk dan aturan-aturan organisasional yang disertai
pendisiplinan dan penghukuman dengan karakter militeristik.

Hal ini tampak jelas misalnya dalam penyelenggaraan orientasi di kampus-kampus ketika tahun ajaran
akademik dimulai. Setiap pelajar diharuskan melewati serangkaian fase inisiasi yang menyakitkan
secara fisik dan mental di bawah kontrol kelompok yang memposisikan dirinya jauh lebih berkuasa.
Fase inisiasi ini ditujukan untuk menciptakan trauma yang kemudian berpengaruh pada ketersediaan
ruang mental untuk mengkondisikan kepasifan seseorang. Inisiasi ini secara langsung membatasi dan
secara tidak langsung membatasi potensi dan energi kreatif seorang individu ke dalam kanal-kanal
resmi yang telah disediakan dan dianggap legal oleh kelompok determinan.
Ekslusifitas dan hak untuk melakukan diskriminasi yang dimiliki oleh kelompok determinan
mengakibatkan kelompok yang direpresi untuk kemudian mereplikasi bentuk dan nilai yang sama
kepada mereka yang dianggap lebih lemah. Hal ini kemudian menciptakan lingkaran ketertundukan
yang tidak berujung, termasuk di dalam internal gerakan pelajar itu sendiri. Inilah asal muasal karakter
parasitisme yang berkembang, di mana seseorang atau sebuah kelompok membangun dominasinya
melalui penciptaan situasi teror dan pencurian terhadap hasil-hasil kerja produktif. Hal ini meresap
sebagai nilai kelompok yang kemudian diartikulasi secara individual oleh setiap anggotanya dalam
manifestasi pola pikir, pola sikap dan pola tutur.
Sementara kelompok kedua yang dimaksud oleh Guattari, adalah kelompok subyek (subject group).
Karakternya yang berkebalikan dengan kelompok pertama, tampak melalui pembukaan ruang-ruang
inisiatif yang otonom antar individu atau kelompok terhadap ketidakterbatasan (infinitude).
Konsekuensi dari ketidakterbatasan ini adalah lahirnya pola-pola interaksi dan relasi yang baru,
tawaran dan inisiatif yang aktual dan mempersempit ruang ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang
menjadi penghalang.
Mencapai bentuk kelompok subjek hanya dapat dilakukan ketika individu-individu di dalam sebuah
organisasi menolak untuk menjadi agen-agen yang mereplikasi, mereproduksi dan mendistribusikan
tatanan nilai penegas keberlangsungan kekuasaan penindas. Dalam gerakan pelajar, hal ini termasuk
menolak spekulasi-spekulasi ceroboh, pembenaran-pembenaran apologetik dan dogmatisme yang
sempat saya singgung dahulu dalam artikel untuk menanggapi Arjuna Putra Aldino dan Arif
Novianto.[8]

Perebutan dan Transformasi Ruang Sebagai Narasi Politik


Selayaknya para pekerja yang memulai ruang perjuangannya dari dalam pabrik, para pelajar juga
semestinya menjadikan kampus sebagai zona yang harus direbut dan dibebaskan. Perebutan dan
pengambilalihan kampus adalah prasyarat yang tidak bisa dinegasikan karena memiliki titik urgensi
dalam dinamika gerakan pelajar itu sendiri. Sebabnya, institusi pendidikan adalah pabrik di mana nilainilai pengetahuan diproduksi dan ikut bertanggungjawab memapankan nilai-nilai sosial yang
melanggengkan penindasan. Inilah seharusnya yang menjadi narasi politik gerakan pelajar sebagai
titik pijakan untuk membangun aliansi politik yang revolusioner dengan kelompok tertindas lain.
Pengambilalihan kampus dalam berbagai bentuk dan level yang ditempuh, merupakan tindakan
meradikalisasi internal gerakan pelajar itu sendiri. Pengambilalihan ini mesti disegerakan dan disertai
dengan penolakan atas nilai-nilai yang merepresentasikan dominasi kelompok pemilik institusi
pendidikan sebelumnya, yaitu modal dan aparatur ideologi. Sembari di saat yang bersamaan
mengkreasikan dan pembukaan kemungkinan untuk membentuk nilai-nilai baru yang menegasikan
sepenuhnya tatanan norma yang lama. Pengambilalihan dan penegasian kuasa nilai tidak bisa
dilakukan tahap demi tahap, sebab ia akan merekuperasi gerakan revolusioner menjadi reformis dan
normatif.[9] Satu rangkaian hentakan yang dilakukan secara kontinyu dan masif.
Lalu bagaimana merebut dan mentransformasikan ruang di dalam institusi pendidikan yang korup,
hirarkis dan represif?

Gerakan pelajar di soal ini mesti, sekali lagi, mengambil inspirasinya dari sejarah panjang jatuh
bangun gerakan pekerja. Perebutan ruang mestilah dipahami lebih luas dari sekedar pengambilalihan
jabatan-jabatan struktural dalam institusi pendidikan, seperti yang selama ini dianggap benar. Bahwa
keberadaan struktur Badan Eksekutif Mahasiswa, Majelis Permusyarawatan Mahasiswa atau Senat
Mahasiswa, tidaklah memiliki nilai (bahkan dalam tataran normatif sekalipun) revolusioner. Sebaliknya
yang harus dilakukan adalah mengorganisir frustasi dan memanfaatkan degradasi peran dan fungsi
normatif badan-badan representasi legal untuk aspirasi politik pelajar, di kalangan massa pelajar itu
sendiri. Hasil pengorganisiran dari frustasi-frustasi tersebut kemudian diartikulasikan dalam proyekproyek alternatif yang otonom dengan karakter yang didasarkan pada ko-operasi (cooperatives).
Artikulasi tersebut adalah laboratorium untuk mengujicobakan sekaligus mengilmiahkan bentuk-bentuk
yang dipandang sebagai embrio dari kerja-kerja revolusioner di lapangan yang lebih luas (lintas
sektor). Ujicoba tersebut harus melibatkan seluruh ragam kelompok dalam kampus yang memiliki
frustasi terhadap represi kognitif dan kapitalisasi hasil-hasil kerja imaterial di dalam institusi
pendidikan.
Eksperimentasi dan pengilmiahan dalam proyek-proyek ko-operatif tersebut bertugas untuk melacak
dan memberikan hasil investigasi mengenai capaian dari upaya internal gerakan pelajar
membersihkan dirinya dari anasir-anasir borjuisme. Landasan material yang dihasilkan dari ujicoba
tersebut itulah yang seharusnya digunakan sebagai kompas untuk menemukan batu penjuru
materialisme dialektika dan dialektika historis gerakan pelajar. Kerja-kerja ini adalah bentuk kerja
imaterial yang -sekali lagi-, menghasilkan relasi sosial sebagai produk.[10]
Kerja-kerja ilmiah revolusioner dengan sistem ko-operatif bertujuan menginterupsi dan menghalau cara
produksi dan distribusi pengetahuan yang lama untuk kemudian menggantikannya dengan cara
produksi dan distribusi yang baru. Metode ini dapat diterapkan dalam kelompok-kelompok berukuran
kecil (mikro) yang mengesksperimentasikan otonominya dalam bentuk-bentuk yang khas (particular)
untuk kemudian kemudian menghubungkan dirinya satu dengan yang lain untuk melampaui batasanbatasan geografis. Kelompok-kelompok inilah yang akan menjadi subjek mikro politik dalam bentuk
komunisme ventura.[11] Inilah bentuk kerja-kerja imaterial (kognitif) oleh gerakan pelajar yang akan
menghindarkan dirinya untuk sekedar terjebak dalam glorifikasi mengenai narasi-narasi besar tetapi
tidak menyadari bahwa landasan gerak dan pikirnya bertumpu pada idealisme dan ketertundukan
terhadap tatanan nilai dominan.***

Penulis adalah editor IndoPROGRESS


[1] Andre Barahamin, Menolak Memori dan Romantika: Proposal Awal Tentang Otonomi Kognitif untuk
Skema Perebutan Ruang dalam Institusi Pendidikan Harian IndoPROGRESS, 6 April 2015, diakses
22 April 2015. http://indoprogress.com/2015/04/menolak-memori-dan-romantika-proposal-awaltentang-otonomi-kognitif-untuk-skema-perebutan-ruang-dalam-institusi-pendidikan/
[2] Temporary liberated zones adalah terma yang digunakan untuk menjelaskan upaya-upaya interuptif
yang membebaskan di tengah situasi yang represif. Awalnya, pembebasan ruang-ruang tersebut
tercipta dalam rentang waktu dan zona geografi yang terbatas. Semacam terapi kejut yang dilakukan
berkali-kali di berbagai titik, sebelum kemudian meluas dan menciptakan ruang-ruang bebas (liberated
zones) yang permanen.
[3] Arif Novianto, Menolak Paham Sesat Lokalitas Gerakan: Mengaitkan Kembali Memori Akar Sejarah
Pergerakan Mahasiswa di Indonesia, Harian IndoPROGRESS. 13 April 2015, diakses 22 April 2015.
http://indoprogress.com/2015/04/menolak-paham-sesat-lokalitas-gerakan-mengaitkan-kembalimemori-akar-sejarah-pergerakan-mahasiswa-di-indonesia/
[4] Andre Barahamin, Tentang Idealisme dan Tanggapan Yang Salah Tanggap. Harian

IndoPROGRESS. 27 April 2015, diakses 27 April 2015. http://indoprogress.com/2015/04/tentangidealisme-dan-tanggapan-yang-salah-tanggap-bagian-1/


[5] Felix Guattari, The Machinic Unconscious: Essays in Schizoanalysis. terj. Taylor Adkins (Los
Angeles: Semiotext[e], 2011)
[6] Guattari, loc.cit hal.10
[7] Felix Guattari, Molecular Revolution: Psychiatry and Politics. terj. Rosemary Sheed (London:
Penguin, 1984)
[8] Barahamin, Menolak Memori dan Romatika, Harian IndoPROGRESS. 13 April 2015
[9] Mario Tronti, The Strategy of Refusal dalam Autonomia: Post-Political Politics. eds. Sylvere
Lontringer dan Christian Marazzi (Los Angeles: Semiotext[e], 2007)
[10] Saya menyarankan agar diskusi mengenai bentuk-bentuk kerja immaterial dan perbedaannya
dengan bentuk-bentuk kerja material harus benar-benar diseriusi oleh gerakan pelajar. Sebab tampak
jelas dalam bantahannya, Novianto tidak mengerti soal ini. Lebih lanjut silahkan baca Maurizio
Lazzarato, Immaterial Labour, terj. Paul Collili dan Ed Emory, hal. 132-146, dalam Radical Thought in
Italy, (eds). Paolo Virno dan Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota, 1996)
[11] Dimitry Kleiner The Telekomunist Manifesto, Network Notebooks 03 (Amsterdam: Institute of
Network Cultures, 2010).

Anda mungkin juga menyukai