com
http://indoprogress.com/2015/01/kegalauan-kritik-terhadap-pendidikan-tinggi-di-indonesia/
PENDIDIKAN adalah medan pertarungan ideologi yang menentukan masa depan sebuah komunitas.
Dua tulisan terakhir di IndoPROGRESS yang membicarakan soal pendidikan, yang masing-masing ditulis Oki
Alex Sartono[1] dan Yoga Prayoga[2] memiliki beberapa kekeliruan yang secara mendasar mesti diluruskan. Hal
ini penting untuk kembali meletakkan perdebatan soal dunia pendidikan di Indonesia, khususnya wajah
pendidikan tinggi dalam pendekatan yang radikal dan holistik. Sekaligus berupaya untuk membebaskan kritikan
terhadap pendidikan di Indonesia dari asumsi-asumsi prematur yang menyesatkan secara filosofis dan akademis.
Tulisan ini berupaya melakukan fungsi kritis seperti yang dijelaskan di atas dengan terlebih dahulu memberikan
batasan geografi kritik yang secara khusus menyasar kepada sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Menyoal
pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, membutuhkan kajian serius lainnya yang tidak mungkin dapat
dirangkum dalam artikel singkat ini. Alasan kedua adalah perbedaan basis filosofis dan karakter psikologis di
Indonesia dari dua level pendidikan ini, membuat kritikan yang dibangun tidak dapat diletakkan dalam premispremis umum yang bertendensi mengaburkan. Tulisan ini juga berupaya mencegah diri untuk merepetisi
argumen-argumen kritis terkait pendidikan tinggi di Indonesia yang sudah hadir sebelumnya dan dipublikasikan
oleh IndoPROGRESS.
Untuk mempermudah, tulisan ini akan dibagi ke dalam poin-poin utama kritik baik terhadap kedua tulisan yang
disebutkan di atas, maupun terhadap sesat pikir mengenai kondisi terkini pendidikan tinggi di Indonesia.
Tentang Mahasiswa
Mahasiswa adalah istilah yang paling kontroversial dalam catatan pendidikan di Indonesia. Secara harafiah, ia
diartikan sebagai siswa besar yang ditujukan untuk membedakannya dengan siswa kecil. Penamaan ini telah
sejak awal membelah secara mental dan fisik pendidikan di Indonesia ke dalam dua medan utama; zona untuk
siswa kecil dan zona untuk siswa besar. Kesesatan filosofis ini kemudian ditegaskan oleh presiden terpilih Joko
Widodo, dengan pembelahan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan menjadi dua unit kerja
kementerian yang berbeda. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Anies Baswedan yang
menjadi menteri, dan kemudian Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi dengan M. Nasir sebagai
nakhoda.
Gelar sebagai siswa besar bagi para pelajar di bangku pendidikan tinggi Indonesia, melahirkan konsekuensi
sosial yang secara moral melegalisir posisinya sebagai kelas baru dalam masyarakat. Untuk membenarkan hal
tersebut, maka lahirnya pelabelan-pelabelan dengan tendesi heroisme seperti agen perubahan, harapan nusa
dan bangsa, kaum terdidik, kaum intelektual dan masih banyak yang lain. Selain sangat herois, label-label
tersebut justru merupakan catatan historis kekalahan pelajar di universitas dalam mendefinisikan posisi kelasnya
dalam masyarakat pasca-industri hari ini.
Mahasiswa di satu sisi, merepresentasikan latar belakang ekonomi keluarganya, namun juga secara perlahan
membentuk identitasnya yang kemudian menjauh atau menegaskan kondisi-kondisi material sebelum ia masuk
ke dalam perguruan tinggi. Hal ini tentu saja secara historis beririsan dengan kenyataan bahwa hadirnya institusi
pendidikan, merupakan penampakan wajah pendidikan yang dipisahkan dari aktivitas harian (daily life activities)
dan menjadi sebuah aktifitas khusus dan tersendiri.[3] Itu mengapa, sejarah berdirinya universitas merupakan
penanda tercerabutnya pengetahuan dari masyarakat yang merupakan pemilik pengetahuan itu sendiri.[4]
Singkatnya, sejarah berdirinya perguruan tinggi lengkap dengan keberadaan siswa besar sebagai penghuninya
adalah wajah alienasi pendidikan itu sendiri. Itu mengapa persoalan-persoalan yang dihadapi pelajar di perguruan
tinggi seperti kebijakan kampus, kurikulum, kualitas dan kuantitas tenaga pengajar, rendahnya kapasitas dan
kapabilitas siswa, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa aktual. Cara analisis tersebut justru menjauhkan
pendidikan tinggi di Indonesia dari basis historis dan basis filosofis yang justru sangat penting agar kita dapat
memahami akar persoalan hari ini. Permasalahan-permasalahan tersebut mesti dilihat dalam konteks historis
bagaimana pendidikan berakar, dikreasikan, dijalankan dan berproses hingga hari ini.
Sejak pertama memasuki dunia perkuliahan pun, para mahasiswa diharuskan untuk mengikuti pelatihan
penanaman karakter budak yang dinamakan pendidikan berkarakter. Hal ini bertujuan untuk mendegradasi
potensi kritis para mahasiswa, mengimplan semangat dan hasrat berkompetisi serta penerimaan total terhadap
seluruh pola operasi kapitalisme kognitif yang berjalan di dalam institusi pendidikan. Reorganisasi aturan-aturan
dalam kampus pun mulai menjadi salah satu senjata utama dalam menciptakan ruang kerja yang kondusif dan
bebas dari kritikan dan tekanan para pekerjanya. Beberapa kasus kekerasan akademik, termasuk kasus
pemecatan yang menimpa empat mahasiswa UMI Makassar, menjadi bukti konkret bahwa pekerja mesti bekerja
selagi berada dalam penjara.
Pengalaman yang didapat selama masa studi di kampus pun, baik formal maupun non-formal, seperti
berpartisipasi proyek riset yang dikerjakan oleh dosen-dosen, bakti sosial, kegiatan ekstrakurikuler dan kelompok
hobi semata-mata bukanlah sekadar ruang untuk mempraktikkan keterampilan yang di dapat dalam ruang kelas,
melainkan sebagai bentuk akumulasi dan integrasi holistik untuk menjadi bagian dari pekerja kerah putih. Para
sarjana ini kelak akan merawat kekuasaan negara dan kapital atas seluruh dimensi kehidupan masyarakat, dan
terus mereproduksi bentuk masyarakat kapitalis modern.
suasana di kampus semakin mudah terkontrol; dengan memastikan orang-orang di dalamnya lebih terasing satu
sama lain.
Layaknya pabrik, kampus mesti menyediakan kondisi yang menopang terciptanya atmosfir serupa dunia kerja,
disertai pengawasan yang ketat. Kurikulum disusun sedemikian rupa agar bisa membentuk pekerja yang mampu
bersaing di dunia kerja, kompeten dan menerima kapitalisme dengan baik. Tak pelak, beberapa jurusan dan mata
kuliah yang tidak selaras dengan dunia eksploitasi pun dihapuskan. Jam-jam kuliah semakin diperpadat, masa
studi pun kian dipersingkat. Pembatasan waktu studi menjadi patokan efisensi produksi, semuanya bertujuan
untuk memastikan bahwa pasokan pekerja cadangan yang intelektual mampu diperoleh dalam jangka waktu yang
singkat.
Penggunaan sistem penilaian pun semakin memacu persaingan, dan kelak akan mendorong dan menopang pola
interaksi sosial yang mudah terkontrol. Pada titik ini, mahasiswa telah dilibatkan di dalam proses produksi dan
karenanya dijadikan sebagai pekerja tidak diupah (unpaid labour) dalam menghasilkan komoditi berupa dirinya
sendiri.
Melihat pergeseran posisi kampus di dalam tatanan ekonomi global, maka melihat kampus sebagai pabrik pun
telah menjadi alternatif dalam analisis gerakan melawan otoritas kampus. Pandangan mengenai mahasiswa
sebagai borjuasi kecil juga mesti ditinjau kembali, mengingat di dalam pabrik ini, mahasiswa merupakan pekerja
yang bekerja untuk mempersiapkan diri sebagai pasokan tenaga kerja intelektual, dan memastikan bahwa dirinya
terintegrasi dengan baik dalam sistem kapitalis.
Dengan universitas sebagai pabrik, maka mahasiswa maupun siapapun yang dinyatakan lulus dari institusi ini
adalah produknya. Sebagai pekerja, para mahasiswa atau kader universitas bekerja dalam kurun waktu yang
telah dibatasi untuk menciptakan komoditi berupa dirinya yang lebih berpendidikan, lebih ahli dalam suatu bidang,
sesuai dengan kebutuhan gizi perekonomian.
http://thecommune.files.wordpress.com
Akses terhadap institusi pendidikan tinggi di contoh yang lain. Ia menggambarkan kompetisi yang tidak adil dari
individu-individu yang datang dari berbagai kelompok sosial yang berbeda. Besar kecilnya kemungkinan untuk
dapat diterima di sebuah perguruan tinggi sangat ditentukan dari seberapa besar akses yang dimiliki oleh
kelompok sosial dari mana seorang pelajar berasal. Pilihan institusi pendidikan, fakultas hingga pemilihan jurusan
oleh seorang pelajar di perguruan tinggi bukanlah sebuah pola acak yang terjadi karena unsur
ketidaksengajaan.
Sebaran jumlah pelajar di Universitas Gadjah Mada yang berbanding jauh dengan jumlah pelajar di Universitas
Cenderawasih atau Universitas Halu Uleo, harus dilihat sebagai gambaran numerik tentang gambaran dominasi
dan konsentrasi modal dalam institusi pendidikan. Hal yang sama juga berlaku ketika kita menganalisis persoalan
mengapa jumlah tenaga pengajar dengan kualifikasi doktor di Institut Teknologi Bandung jauh lebih tinggi
dibanding jumlah doktor di Universitas Pattimura atau di Universitas Tirtayasa. Ketimpangan distribusi di atas
bukanlah kecelakaan statistik, tapi merupakan hasil langsung dari cetak biru kebijakan pendidikan tinggi di
Indonesia.
Memandang contoh-contoh kasus di atas sebagai sebuah ketidaksengajaan justru menunjukkan lemahnya
analisis kritis akan pola dan gerak dunia pendidikan di Indonesia.
Itu mengapa kemudian kritikan terhadap kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, diarahkan untuk tidak menyasar
figur. Sebaliknya, ia mesti menargetkan kerangka filosofis yang berdiri di belakang sistem distribusi nilai yang
kemudian dijalankan oleh aktor-aktor tersebut.
Ambil contoh adalah bagaimana lemahnya kritik terhadap keputusan Jokowi soal pendidikan di awal
pemerintahannya. Bagaimana ia kemudian bersikukuh untuk membagi kementerian pendidikan di Indonesia
menjadi dua kementerian terpisah secara administratif. Hal yang jika disikapi secara kritis, maka tampak jelas
bahwa keputusan ini sebagai bentuk implementasi politik pendidikan di Indonesia yang makin menegaskan garis
pengabdian institusi pendidikan sebagai pabrik penyedia tenaga kerja dan bukan sebagai ruang produksi
pengetahuan. Dengan membagi kementerian ke dalam dua unit terpisah, Indonesia telah mengambil langkah
maju untuk melakukan pemetaan pasar tenaga kerja. Pendidikan Dasar dan Menengah bertugas menyuplai
pekerja dengan kemampuan teknis (buruh), serta Pendidikan Tinggi yang bertugas menyiapkan pekerja dengan
kemampuan non-teknis (mandor).
Absennya dialog publik terkait transformasi radikal dalam anatomi pendidikan Indonesia tidaklah mengejutkan.
Hal ini berjalan beriringan dengan degradasi serius terkait pemahaman bahwa pendidikan adalah sektor publik
yang seharusnya mensyaratkan pelibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan.[8] Pasifikasi dan
pelumpuhan partisipasi publik dalam menentukan arah pendidikan menjadi bukti sejauh mana sukses privatisasi
pendididikan. Menegaskan bahwa pendidikan telah benar-benar tidak lagi menjadi urusan bersama, namun telah
menjadi persoalan untung-rugi.
Kritik-kritik parsial yang diajukan dan dipersoalkan Sartono dan Prayoga dalam artikel mereka, adalah bukti
bagaimana ternyata kita masih gagal melihat secara holistik dan radikal persoalan pendidikan di Indonesia.
Bahwa hal-hal yang mereka sebutkan dalam tulisan-tulisan tersebut merupakan bagian-bagian dari perangkat
perilaku yang merupakan hasil langsung dari kebijakan pendidikan. Degradasi kapasitas dan kapabilitas pelajar
di perguruan tinggi dalam memenuhi tugas kesarjanaannya adalah buah dari persoalan historis dan filosofis
pendidikan di Indonesia.
Melihat persoalan pendidikan tinggi di Indonesia secara holistik dan radikal akan membuat kita bisa memahami,
misalnya, mengapa dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas skripsi sarjana muda[9] kita semakin merosot secara
drastis? Mengapa dalam sepuluh tahun terakhir, riset-riset tesis sarjana di Indonesia justru semakin sedikit yang
memberi manfaat terhadap komunitas-komunitas? Mengapa kemudian semakin jarang menemukan siswa besar
yang mampu mengartikulasikan pendapatnya secara lisan dan tulisan? Mengapa kemudian gerakan siswa besar
justru cenderung makin terjun bebas baik secara kuantitas dan kualitas?
Ketika Freire menulis Pedagogia do Oprimido, ia berangkat dari kenyataan faktual dengan pendekatan historis
terkait kondisi pendidikan di Brazil dan Amerika Latin yang miskin secara akses dan kualitas. Tujuan pamflet
Khayati yang berjudul De la misre en milieu tudiant, adalah kritik yang dialamatkan terhadap mahasiswa
Prancis. Saat Giroux mulai menulis Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Oppressed hingga
kemudian menyelesaikan On Critical Pedagogy: Critical Pedagogy Today, ia mendasarkan kritiknya pada kondisi
pendidikan di USA yang selalu dianggap jauh lebih maju, lebih terkemuka dan menjadi mercusuar bagi negaranegara di dunia ketiga. Atau ketika Callinicos merumuskan kritiknya dalam Universities in a Neoliberal World, ia
sedang melihat kenyataan faktual secara radikal dan holistik dari perguruan-perguruan tinggi di negara-negara
maju dan relasi eksploitatifnya dengan perguruan-perguruan tinggi di negara-negara dunia ketiga.
Artinya adalah, kita perlu berhenti untuk memakai kacamata orang lain untuk melihat pendidikan kita sendiri! Hari
ini kita membutuhkan sebuah rumusan kritis tentang bagaimana dan apa yang dimaksudkan dengan pedagogi
kritis dalam konteks Indonesia. Yang sejarah panjang pendidikannya terentang jauh sebelum Islam datang,
seperti bagaimana Karsyan[10] berdiri dan kemudian menjadi basis awal berdirinya pesantren di masyarakat
Islam pra-Indonesia. Bagaimana juga ke-Kristen-an yang dibawa oleh bangsa Eropa memberi warna dominan
terhadap pendidikan di Indonesia. Bagaimana kekayaan pengetahuan masyarakat adat menjadi hal yang secara
unik namun diacuhkan karena dianggap sebagai ancaman laten bagi penguasa. Bagaimana negara ini
mendiamkan begitu saja ketika lebih dari 500.000 orang jadi korban pembantaian di akhir dekade 1960-an. Ini
belum termasuk soal-soal kontemporer yang kita hadapi seperti Aceh, Papua, Alifuru dan ribuan kasus tanah
yang merupakan konflik asimetris namun menjadi seperti pemandangan harian.
Kegalauan terhadap dunia pendidikan kita memang penting. Kegalauan itu mengandung sifat yang reformis.
Namun ia perlu diasah agar menjadi revolusioner. Yaitu dengan mendorong kegalauan tersebut ke level yang
lebih radikal dan holistik. Menggunakan pembacaan yang historis dan dialektik terhadap kegalauan tersebut, akan
jauh lebih bermanfaat untuk memperkaya diskursus kritis kita terhadap kondisi pendidikan hari ini.
Sebab galau-galau yang hanya sekedar curhat artifisial, tidak akan membawa kita ke manapun. Itu yang saya
temukan dalam artikel Sartono dan Prayoga!***