com
http://indoprogress.com/2015/01/mahasiswa-lembaga-bimbel-dan-menteri-pendidikan/
TULISAN Saudara Oki Alex Sartono berjudul Gerakan Mahasiswa, Riwayatmu Kini di harian IndoPROGRESS,
pada Selasa, 16 Desember 2014, mengingatkan saya akan masa yang telah jauh berlalu, ketika saya masih
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 2008. Saat itu, di desa yang masih langka akan jumlah
kalangan intelektual, tercipta satu momen yang sangat berkesan dalam hidup saya hingga kini, yakni pertemuan
dengan Syair untuk Seorang Petani dari Waimital karya Taufik Ismail dalam kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang
Indonesia yang monumental itu.
Di dalamnya, Taufik bercerita, dengan segenap sentuhan sastra, tentang seorang mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB) bernama M. Kasim Arifin, yang menolak pulang selama 15 tahun, pasca dikirim oleh kampusnya ke
sebuah pulau kecil di Maluku sana, Waimital, dalam rangka menjalani program semacam Praktik Kerja Lapangan
(PKL). Konon, selama di pulau itu, tanpa pertolongan negara, bersama warga setempat, ia berdikari membangun
peradaban berbasiskan pertanian.
Nah, dari syair tersebut, saya menangkap kesan tentang betapa saktinya mahasiswa. Pikir saya, dengan jumlah
yang seorang saja, sebagaimana yang M. Kasim Arifin teladankan, mereka mampu membuat perubahan
konstruktif. Maka sejak saat itu, segelap apapun kondisi pribadi keluarga, saya memberanikan diri untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Adapun tujuannya hanya satu, dan sederhana saja, yakni sebatas ingin
bertemu dengan, sekaligus menjadi, seorang mahasiswa.
Kini, tercatat hampir 4 (empat) tahun sudah sejak 2011, saya menjalani studi di sebuah perguruan tinggi di
Bandung. Namun, kenyataan yang dirangkum dari segenap perenungan, justru malah memporakporandakan
prasangka positif saya di masa yang terdahulu. Sebabnya, mahasiswa kini, dengan segala hormat, meski tak
seluruhnya, harus saya katakan bahwa, alih-alih sakti justru malah sakit.
Paparan di bawah ini, selain mengkonfirmasi tulisan Saudara Oki Alex Sartono, juga akan mempreteli kesalahdugaan tersebut, plus sedikit menganalisa salah sebuah sebabnya.
buah dari reformasi yang konon diperjuangkan mahasiswa angkatan 90-an sendiri.
Lantas, Bimbel jadi semakin banyak, tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Dalam stiker iklan yang mereka
tempel di tiap pintu Angkutan Kota (Angkot), hampir semuanya menawarkan cara praktis untuk lulus. Sekolahsekolah pun mewajibkan atau menganjurkan siswanya untuk masuk bimbel. Guru-guru tidak akan sanggup
menahan beban yang akan ditanggung seandainya siswa didiknya tidak lulus UN. Perkara kelak sang guru akan
bekerjasama dengan guru lainnya untuk membuat Panitia Kecurangan adalah soal lain. Tapi bahwa Bimbel telah
berubah dari lembaga baik-baik menjadi lembaga oportunis di dalam bingkai komersialisasi pendidikan adalah
masuk akal kini.
Penutup
Berhubung sekarang hampir semua mahasiswa yang masuk universitas adalah produk Bimbel, yang begitu
mengedepankan hasil akhir, kepraktisan dan jalan pintas, maka kemerosotan intelektual mereka menjadi dapat
kita mengerti. Saya pribadi sebagai seorang mahasiswa, melihat dan menyadari dengan seyakin-yakinnya bahwa
kualitas lulusan universitas hari ini, memang jauh di bawah kualitas para pendahulu mereka di jenjang yang
sama. Apakah karena Bimbel? Sekali lagi, silahkan diperdebatkan, tapi bahwa Bimbel menjamur subur
dikarenakan kebijakan UN adalah nyata. Dan bahwa telah terjadi degradasi intelektual mahasiswa, pun sekali lagi
itu nyata.
Dan, apakah itu tanggung jawab pemerintah? Semoga saja iya. Sebab kini, saya sedang menaruh harapan lebih,
pada Menteri Pendidikan, yang meski tidak an sich berlatarkan dunia pendidikan, tapi nampaknya punya passion
yang cukup terhadap ranah yang kerap jadi objek pengabaian ini. Di tengah budaya penunjukkan menteri yang
kerap sarat akan kepentingan politik praktis tadi, saya melihat beliau sebagai sebuah anomali, ditunjuk karena
kompetensi.
Jadi, mohon jawab kegelisahan saya ini, Pak Anies Menteri. Segera evaluasi metode evaluasi dengan ujian aneh
semacam itu.***