Anda di halaman 1dari 2

indoprogress.

com

http://indoprogress.com/2014/12/gerakan-mahasiswa-riwayatmu-kini/

Gerakan Mahasiswa, Riwayatmu Kini!


Harian
Indoprogress

Tugas Seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari
arus masyarakat yang kacau, tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak
jika keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam disaat keadaan mulai mendesak,
telah melunturkan nilai kemanusiaaan

SEBAIT kalimat di atas yang diucapkan oleh Soe Hok Gie, aktivis gerakan mahasiswa 1960-an, haruslah
menjadi renungan bagi mahasiwa kekinian. Di dalam dimensi sosial saat ini, dengan penetrasi budaya
konsumeris lintas dunia yang dibawa oleh arus pasang globalisasi, telah membuat mahasiwa sekarang
cenderung tidak peduli dengan keadaan sosial yang ada di sekitarnya. Sikap hidup atau gaya hidup hura-hura
pun telah mengakar pada tiap-tiap kehidupan remaja dan telah cenderung membudaya..
Gaya hidup hedonis ini juga telah merambah ke dalam ruang-ruang kampus, baik negeri maupun swasta.
Mahasiswa lupa menyadari perannya sebagai agen perubahan sosial. Tidak ada lagi keinginan untuk blusukan,
berempati atau bahkan berkolaborasi mencipta sebuah gerakan bersama masyarakat. Kita seolah ingin
mempertegas status kita sebagai middle class elite, sebuah kelas yang, kata Karl Marx, dipandang serupa
dengan elite borjuis. Kita memang sudah benar-benar tinggal di menara gading, hingga suara-suara masyarakat
yang tertindas oleh sistem hanya terdengar sayup-sayup sampai.
Realitas kekinian menunjukkan bahwa mahasiswa terjebak pada obsesi untuk mengejar indeks prestasi
kumulatif (IPK). IPK tinggi dan selesai tepat waktu menjadi hal wajib yang harus dikejar selama proses
perkuliahan. Beragam cara pun ditempuh demi mencapai cita-cita mulia tersebut, termasuk melalui jalan yang
tidak mulia, sebut saja menyontek. Menyontek adalah cara paling instan untuk meningkatkan IPK tersebut,
karena slogan jujur itu hebat la Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan barang dagangan yang laku di
bangku kuliah. Jujur biasanya lekat dengan ketertinggalan.
Hal itu diperparah dengan kondisi perguruan tinggi sekarang yang telah menjadi Pabrik-pabrik yang
memproduksi mahasiswa sebagai komoditi layak jual. Karena pada dasarnya Pasar sedang menanti lulusanlulusan yang terbaik. Tentu saja pasar memiliki mekanismenya sendiri untuk menentukan mana yang memiliki

daya jual yang tinggi. Pabrik pun sebagai perpanjangtanganan Pasar, berusaha mencetak komoditi yang
sempurna tanpa cacat. Alhasil, untuk menjamin barang tercetak tanpa cacat harus ada kriteria yang
mengiringinya. IPK tinggi dan cepat tamat menjadi kriteria utama untuk menentukan kualitas barang tersebut.
Miris memang, namun seperti inilah realitasnya.
Kita pun semakin terobesesi untuk menuruti hawa nafu Pasar. Segala cara dilakukan untuk mendapat predikat
komodi berkualitas. Hingga kita melupakan peran-peran besar kita yang pernah direkam sejarah sebelumnya,
dan sebenarnya kita pun secara latah menerobos norma-noram intelektualitas. Menyontek, memplagiat,
menyuap dosen, membeli nilai adalah konsumsi umum mahasiswa sekarang. Kita sudah memunafikkan peranan
besar kita demi mengejar hal-hal seperti itu. Kita telah menjadi budak Pasar seutuhnya. Tidak perlulah kita
merasa shock melihat jumlah penyakit kera putih semakin meningkat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi
fenomena yang lumrah dikonsumsi masyarakat. Pelakunya bukan meraka yang tidak berpendidikan, melainkan
mereka yang akrab dengan bangku perkuliahan. Kaum intelektual! Mereka yang pernah kuliah.
Tidak hanya lemah integritas dan dedikasi keilmuannya, kaum intelektual sekarang juga cenderung
berselingkuh. Rakyat yang harusnya menjadi kawan sejati dalam berjuang melawan penindasan baru
(contohnya: kapitalisme, neoliberalisme) justru dibuang dan dikhianati. Lihatlah bagaimana para cendekiawan,
yang dulu sekolahnya disubsidi oleh keringat rakyat, justru kini memihak kebijakan privatisasi dan penghapusan
subsidi bagi rakyat miskin. Mereka sibuk mencari argumen untuk pembenaran terhadap proses penyingkiran
rakyat. Para ekonom dan sosiolog menjadi juru bicara yang fasih paham neoliberal dan mendesakkan kebijakan
kepada pemerintah yang berakibat pada semakin tersudutnya msyarakat yang miskin. Begitu juga dengan
praktisi-praktisi hukum yang seharusnya menjadi penegak keadilan malah memutarbalikan hukum untuk
kepentingan-kepentingan penguasa. Hanya sedikit intelektual hukum yang memberikan pemahaman hukum
pada masyarakat awam serta memberikan bantuan-bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang kurang
mampu.
Masih banyak fakta-fakta getir lainnya untuk menggambarkan maraknya kejahatan kaum intelektual. Jika mau
kita runut, maka kita akan semakin sakit membacanya.
Pada akhirnya tulisan ini menjadi semacam refleksi untuk penulis yang masih bergumul di bangku kuliah,
seorang kader organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Ada semacam kesakitan sendiri menyaksikan
proses dehumanisasi atas status keintelektualitasan seorang mahasiswa. Namun, tentu tidak semua mahasiswa
mengkhianati peran besarnya, masih ada segelintir mahasiswa intelektual organik yang mengerti apa yang harus
dilakukan, setidaknya menjadi bermanfaat bagi masyarakat. Mereka yang segelintir itu paham bahwa suarasuara ketertindasan harus diperjuangkan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, dan karenanya kolaborasi
gerakan menjadi amat dirindukan.***

Penulis adalah mahasiswa Universitas Bengkulu, Sumatera

Anda mungkin juga menyukai