Oleh:
LUHJINGGA PANASARI URBANINGRUM
F2B023006
Keberadaan hal yang dikotomis ini memicu Bourdieu untuk membuat jalan
tengah. Bourdieu berusaha untuk mentransformasikan serangkaian oposisi-
oposisi yang mewarnai ilmu sosial, salah satunya adalah subjektivisme-
objektivisme. Ia menciptakan inovasi-inovasi konseptual: habitus, modal, dan
arena; untuk menghapus oposisi-oposisi yang dikotomis tersebut. Meskipun
pemikirannya dipengaruhi oleh tokoh Durkheim dan Weber, ia menolak dicap
sebagai Marxian atau Weberian. Bourdieu memandang bahwa penggunaan
label semacam itu terlalu membatasi, terlalu simpel, dan tidak sejalan dengan
karyanya. Oleh karena itu, teori yang diciptakan Bourdieu didorong oleh
keinginannya untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai perlawanan palsu
antara objektivisme dan subjektivisme, atau apa yang ia sebut sebagai
ketidaklengkapan absurd antara individu dan masyarakat (Bourdieu, 1993).
Bourdieu mengeksplorasi gagasannya melalui dialog kritis yang dimulai sejak
masa mahasiswanya dan terus berlanjut hingga akhir hidupnya.
B. Pembahasan
1. Bourdieu: Agen-Struktur
Bourdieu menempatkan pemikiran Durkheim tentang fakta sosial dan
strukturalisme (Saussure, Levi-Strauss, dan Marxis) ke dalam kelompok
objektivis. Bourdieu mengkritik perspektif-perspektif tersebut karena hanya
fokus pada struktur objektif dan mengabaikan proses konstruksi sosial yang
digunakan untuk memahami, berpikir, dan membangun struktur-struktur
tersebut, serta kemudian bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Objektivis dianggap mengabaikan peran agensi atau individu. Dalam
konteks ini, Bourdieu lebih memilih pendekatan yang bersifat strukturalis
tanpa mengabaikan peran agen. Fokusnya terletak pada hubungan
dialektis antara struktur objektif dan fenomena subjektif. Sementara itu, ia
juga bermaksud untuk mengembalikan peran aktor dalam dunia nyata yang
telah terabaikan oleh Levi-Strauss dan strukturalis lainnya, terutama
Althusser (Ritzer & Goodman, 2010).
Ketiga, struktur yang menstrukturkan. Hal tersebut dapat dilihat pada sistem
sekolah. Sekolah memiliki peraturan-peraturan tertentu untuk mengatur
siswanya. Secara langsung, struktur tersebut mengikat kepada semua
siswa. Hal tersebut menimbulkan internalisasi kepada siswa sehingga
peraturan-peraturan tersebut melekat pada dirinya. Misalnya, meskipun
siswa di sekolah swasta dibebaskan untuk memakai warna sepatu yang
bebas, sebagian dari mereka terinternalisasi dari struktur sekolah negeri
yang mewajibkan siswanya memakai sepatu hitam. Konsekuensinya
adalah siswa tersebut memakai sepatu hitam pada hari Senin-Selasa
meskipun di sekolah swasta tidak diwajibkan.
Kelima, habitus bersifat prasadar karena merupakan hasil dari refleksi atau
pertimbangan rasional. Dalam arti lain, habitus merupakan sebuah
spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja.
Meskipun demikian, habitus juga bukan merupakan sesuatu tanpa latar
belakang.
Keenam, habitus bersifat teratur dan berpola, namun hal tersebut bukanlah
sebuah ketundukan pada peraturan tertentu. Misalnya, ketika seorang
siswa diwajibkan memakai sepatu hitam pada hari Senin-Selasa, mereka
akan merasa bahwa hal tersebut bukanlah sebuah ketundukan pada
peraturan lagi karena kebiasaan tersebut sudah terinternalisasi dari
struktur. Dari struktur tersebut, kemudian akan memengaruhi tindakan
individu.
C. Penutup
Meskipun pemikirannya dapat menengahi konsep agensi-struktural, pemikiran-
pemikirannya mendapati sejumlah kritik. Kritik terhadap Bourdieu berkaitan
dengan interpretasinya terhadap konsep habitus, karena dianggap
memberikan penjelasan yang terlalu luas terhadap tindakan sosial dan
melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh kerangka konseptualnya
(Jenkins, 2002; Jackson, 2010). Kritik juga ditujukan pada gagasan arena
(field), yang dianggapnya sebagai tempat pertempuran yang dianggap telah
menyederhanakan realitas kehidupan (Haryatmoko, 2003). Gagasan ini
membuat interaksi sosial hanya terfokus pada persaingan untuk mencapai
posisi semata. Aspek-aspek hubungan sosial lainnya seperti: kasih sayang,
kerjasama, solidaritas, dan sejenisnya, diabaikan dalam konsep tersebut.
D. Daftar Pustaka
Binawan, A. L. (2007). “Habitus: Sebuah Refleksi”, dalam Basis, nomor 05-06.
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field of Cultural Production: Essays on Art and
Leissure. New York: Columbia University Press.
Jackson, Peter (2010) “Pierre Bourdieu dalam Edkins, Jenny dan Nick Vaughan
Williams (Editor). (Terjemahan Teguh Wahyu Utomo). (2010). Teori-teori
Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Baca.
Jenkins, Richard. (2002). Piere Bourdie. New York: Routledge.
Kleden, I. (2005). “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam
RP Andrianus Sunarko, OFM, et al (eds). Bangkit dan Bergeraklah:
Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia. Jakarta:
Sekretariat SAGKI.
Martono, N. et al. (2020). Siswa Miskin Boleh Berprestasi. Depok: PT Raja
Grafindo Persada.
Ritzer, G. & Goodman, D. J. (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.