Anda di halaman 1dari 10

HABITUS-ARENA SEBAGAI UPAYA MENENGAHI AGENSI-STRUKTUR:

DINAMIKA PEMIKIRAN EMILE DURKHEIM, MAX WEBER, DAN PIERRE


BOURDIEU
MATA KULIAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK & MODERN

Oleh:
LUHJINGGA PANASARI URBANINGRUM
F2B023006

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MAGISTER SOSIOLOGI
2023
A. Pendahuluan
Pierre Bourdieu melakukan sebuah upaya untuk menengahi dikotomi antara
agen dan struktur mengenai tindakan sosial. Teori tentang agen mencerminkan
tentang subjektivitas (individu) yang disampaikan Max Weber. Sementara itu,
teori tentang struktur (objektivitas) disampaikan oleh Emile Durkheim. Bourdieu
mencoba untuk menemukan pendekatan yang seimbang dan berusaha untuk
membuat pendekatan yang tidak terlalu condong pada agen atau struktur.

Dalam sosiologi, isu yang paling sering dibicarakan adalah mengidentikasi


penyebab seseorang melakukan suatu tindakan. Penyebab pertama, apakah
individu tersebut melakukan tindakan sosial karena agen atau struktur.
Misalnya adalah ketika seseorang melakukan tindakan tertentu (misal:
memakai sepatu hitam ke sekolah). Maka, individu tersebut memiliki dua
kemungkinan elemen untuk dianalisis, yaitu apakah individu tersebut bertindak
demikian karena keinginan diri sendiri untuk memakai sepatu hitam, atau
aoakah individu tersebut bertindak demikian karena keharusan dari peraturan
tertentu (fakta sosial) untuk memaksanya memakai sepatu berwarna hitam.
Argumen-argumen tersebut kemudian menjadi isu yang sangat
diberbincangkan dalam dunia sosiologi.

Hal tersebut menjadi penting untuk dikaji. Dengan membicarakan agen-


struktural, dapat membantu kita untuk menentukan solusi dari fenomena sosial
tersebut. Jika individu mengandalkan pendekatan subjektivis ketika
menganalisis tindakan seseorang, maka ia cenderung akan memberikan solusi
secara personal terhadap tindakan individu tersebut. Begitu pula sebaliknya,
jika individu mengilhami pandangan yang strukturalis atau objektivis, maka
solusi yang akan diberikan bersifat objektivis.Pendekatan tersebut akan
menentukan arah solusi dalam sebuah realitas sosial akan diperbaiki.

Keberadaan hal yang dikotomis ini memicu Bourdieu untuk membuat jalan
tengah. Bourdieu berusaha untuk mentransformasikan serangkaian oposisi-
oposisi yang mewarnai ilmu sosial, salah satunya adalah subjektivisme-
objektivisme. Ia menciptakan inovasi-inovasi konseptual: habitus, modal, dan
arena; untuk menghapus oposisi-oposisi yang dikotomis tersebut. Meskipun
pemikirannya dipengaruhi oleh tokoh Durkheim dan Weber, ia menolak dicap
sebagai Marxian atau Weberian. Bourdieu memandang bahwa penggunaan
label semacam itu terlalu membatasi, terlalu simpel, dan tidak sejalan dengan
karyanya. Oleh karena itu, teori yang diciptakan Bourdieu didorong oleh
keinginannya untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai perlawanan palsu
antara objektivisme dan subjektivisme, atau apa yang ia sebut sebagai
ketidaklengkapan absurd antara individu dan masyarakat (Bourdieu, 1993).
Bourdieu mengeksplorasi gagasannya melalui dialog kritis yang dimulai sejak
masa mahasiswanya dan terus berlanjut hingga akhir hidupnya.

B. Pembahasan
1. Bourdieu: Agen-Struktur
Bourdieu menempatkan pemikiran Durkheim tentang fakta sosial dan
strukturalisme (Saussure, Levi-Strauss, dan Marxis) ke dalam kelompok
objektivis. Bourdieu mengkritik perspektif-perspektif tersebut karena hanya
fokus pada struktur objektif dan mengabaikan proses konstruksi sosial yang
digunakan untuk memahami, berpikir, dan membangun struktur-struktur
tersebut, serta kemudian bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Objektivis dianggap mengabaikan peran agensi atau individu. Dalam
konteks ini, Bourdieu lebih memilih pendekatan yang bersifat strukturalis
tanpa mengabaikan peran agen. Fokusnya terletak pada hubungan
dialektis antara struktur objektif dan fenomena subjektif. Sementara itu, ia
juga bermaksud untuk mengembalikan peran aktor dalam dunia nyata yang
telah terabaikan oleh Levi-Strauss dan strukturalis lainnya, terutama
Althusser (Ritzer & Goodman, 2010).

Untuk mengatasi dilema antara subjektivisme dan objektivisme, Bourdieu


menfokuskan perhatiannya pada praktik sebagai hasil dari hubungan
dialektis antara struktur dan agensi. Praktik tidak ditentukan secara objektif
atau murni oleh kehendak bebas. Ia merenungkan minatnya pada dialektika
antara struktur dan cara individu mengonstruksi realitas sosial. Bourdieu
menyebut orientasinya dengan istilah konsep struktural konstruktivis,
konstruktivisme strukturalis, atau strukturalisme genetis. Hal tersebut
didefinisikan sebagai analisis struktur objektif yang terjadi dalam arena yang
berbeda, tak terpisahkan dari analisis genesis dalam individu biologis dari
struktur mental yang, pada batas-batas tertentu, dan dipengaruhi oleh
perpaduan struktur sosial. Analisis ini juga tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman terhadap struktur sosial, seperti ruang sosial dan kelompok
yang menguasainya, sebagai produk dari perjuangan historis yang
melibatkan partisipasi agen sesuai posisi mereka dalam ruang sosial dan
struktur mental yang mereka gunakan untuk memahami ruang tersebut
Ritzer & Goodman, 2010).

Inti pemikiran Bourdieu tentang agen-struktur terletak pada konsep yang


dibuatnya, yaitu habitus dan arena. Bourdieu memandang bahwa habitus
berada di dalam pikiran aktor (masih pada alam kesadarannya), sementara
arena berada pada di luar pikiran aktor (mengonstruksi pikiran aktor). Inti
dari pernyataan ini adalah untuk menjembatani subjektivisme dan
objektivisme.

2. Bourdieu: Habitus dan Arena


Habitus berhubungan dengan realitas sosial, di mana individu diberi
rangkaian skema internal yang mereka internalisasi untuk mengamati,
memahami, menghargai, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini,
individu menciptakan praktik mereka sendiri dan menginterpretasikannya.
Dalam hubungan yang bersifat dialektis, habitus dapat dianggap sebagai
struktur internal yang terbentuk sebagai hasil dari penempatan individu
dalam dunia sosial selama periode waktu yang lama (Ritzer & Goodman,
2010).

Terdapat tujuh elemen penting mengenai habitus (Kleden, 2005; Binawan,


2007). Pertama, habitus merupakan produk sejarah. Habitus yang terlihat
pada individu tertentu diperoleh melalui perjalanan sejarah pribadi mereka
dan bergantung pada titik temu dalam sejarah sosial di mana individu
tersebut berada. Sifat habitus adalah persisten namun dapat diubah, dapat
dipindahkan dari satu konteks ke konteks lainnya. Misalnya, dalam dunia
pendidikan, individu atau siswa memiliki habitus yang berbeda-beda. Ada
siswa yang berasal dari keluarga kaya dan keluarga miskin. Siswa dari
keluarga kaya memiliki habitus yang mendukung di dunia pendidikan
(contoh: kebiasaan membaca, les). Sementara itu, siswa dari keluarga
miskin tidak memiliki habitus yang mendukung di dunia pendidikan (contoh:
belajar dengan buku terbatas, membantu orang tua bekerja). Hal-hal
tersebut dapat menghasilkan konsensus yang berbeda ketika berada di
dalam arena, yaitu sekolah.

Kedua, habitus adalah struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus


berperan menstrukturkan struktur. Di sisi lain, habitus adalah yang
distrukturkan oleh dunia sosial. Walaupun habitus adalah suatu struktur
internal yang mempengaruhi cara berpikir dan pilihan tindakan, namun ia
tidak mengikatnya secara pasti. Kurangnya determinisme ini merupakan
salah satu perbedaan kunci antara posisi Bourdieu dan pandangan yang
menganggap struktur mengarahkan individu. pada apa yang seharusnya
mereka lakukan.

Ketiga, struktur yang menstrukturkan. Hal tersebut dapat dilihat pada sistem
sekolah. Sekolah memiliki peraturan-peraturan tertentu untuk mengatur
siswanya. Secara langsung, struktur tersebut mengikat kepada semua
siswa. Hal tersebut menimbulkan internalisasi kepada siswa sehingga
peraturan-peraturan tersebut melekat pada dirinya. Misalnya, meskipun
siswa di sekolah swasta dibebaskan untuk memakai warna sepatu yang
bebas, sebagian dari mereka terinternalisasi dari struktur sekolah negeri
yang mewajibkan siswanya memakai sepatu hitam. Konsekuensinya
adalah siswa tersebut memakai sepatu hitam pada hari Senin-Selasa
meskipun di sekolah swasta tidak diwajibkan.

Keempat, habitus dapat dialihkan ke kondisi sosial lain meskipun lahir


dalam kondisi sosial tertentu. Habitus yang menginternalisasi individu dapat
berubah sesuai dengan arena yang akan dipijaknya. Misalnya, ketika
seorang siswa yang secara akademis pandai di sekolah (memiliki
kebiasaan membaca, les mata pelajaran), akan mengubah habitusnya
menjadi: sering berlatih, olahraga, menonton tutorial cabang olahraga
tertentu; ketika siswa tersebut ingin menjadi seorang atlet profesional.

Kelima, habitus bersifat prasadar karena merupakan hasil dari refleksi atau
pertimbangan rasional. Dalam arti lain, habitus merupakan sebuah
spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja.
Meskipun demikian, habitus juga bukan merupakan sesuatu tanpa latar
belakang.
Keenam, habitus bersifat teratur dan berpola, namun hal tersebut bukanlah
sebuah ketundukan pada peraturan tertentu. Misalnya, ketika seorang
siswa diwajibkan memakai sepatu hitam pada hari Senin-Selasa, mereka
akan merasa bahwa hal tersebut bukanlah sebuah ketundukan pada
peraturan lagi karena kebiasaan tersebut sudah terinternalisasi dari
struktur. Dari struktur tersebut, kemudian akan memengaruhi tindakan
individu.

Ketujuh, habitus dapat mengarah ke tujuan dan hasil tindakan tertentu


tanpa adanya niat yang disadari untuk mencapai hasil tersebut, serta tanpa
keahlian khusus yang disengaja untuk mencapainya. Misalnya, ketika siswa
diharuskan untuk memakai sepatu hitam pada hari tertentu, hal tersebut
lambat laun akan menjadi suatu kebiasaan yang tidak lagi menjadi motivasi
yang dapat disadari. Dalam arti lain, “tujuan” sistem untuk mengharuskan
siswa memakai sepatu hitam tidak lagi menjadi keharusan. Kehadiran
tujuan sosial ini pada saat yang sama mengkonfirmasi bahwa habitus atau
kebiasaan sosial memiliki sifat yang positif.

Hal kedua yang ditawarkan Bourdieu adalah arena. Arena dipandang


sebagai jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya (Bourdieu &
Waquant, 1992). Arena lebih bersifat relasional daripada struktural. Arena
bukanlah interaksi atau keterkaitan lingkungan, dan juga bukan hubungan
antar individu yang saling mempengaruhi. Mereka yang menduduki posisi
di dalamnya dapat menjadi agen individu atau lembaga, dan kontrol atas
posisi tersebut ditentukan oleh struktur lingkungan. Dalam kehidupan
sosial, terdapat sejumlah lingkungan semi-otonom seperti seni,
keagamaan, dan ekonomi, masing-masing memiliki logika khususnya
sendiri dan semuanya menginspirasi keyakinan di kalangan pelaku
mengenai sesuatu yang dipertaruhkan dalam arena (lingkungan) tersebut.
Bourdieu (dikutip dalam Ritzer dan Goodman, 2007) menyajikan tiga tahap
proses dalam menganalisis arena, yakni: pertama, menguraikan dominasi
arena kekuasaan (politik) dengan tujuan menemukan relasi antara setiap
arena khusus dan arena politik; kedua, menjelaskan struktur objektif
hubungan antar berbagai posisi di dalam arena tertentu; dan ketiga, analisis
harus berusaha mengidentifikasi karakteristik kebiasaan agen yang
menduduki berbagai jenis posisi di dalam arena.

3. Praktik Sosial: Pendidikan


Bourdieu mengamati bahwa peran sistem pendidikan sangat besar dalam
menghasilkan kembali dan mempertahankan struktur kekuasaan dan kelas
yang ada di dalam masyarakat. Dengan menyoroti pentingnya habitus dan
arena, Bourdieu menolak pemisahan antara metodologi individualis dan
metodologi holistik, dan ia mendukung pandangan akhir yang disebut
"relasionisme metodologis". Hubungan ini memainkan peran ganda, yaitu,
arena membentuk habitus, dan sebaliknya, habitus membentuk arena
sebagai suatu entitas bermakna dengan arti dan nilai.

Hubungan relasional merupakan struktur objektif dan representasi subjektif


yang terjalin secara dialektis, saling memengaruhi, dan saling bertaut pada
praktik sosial. Hal ini membutuhkan modal, yaitu (1) modal ekonomi:
kepemilikan material; (2) modal budaya: prestasi/kualifikasi intelektual; (3)
modal sosial: jaringan sosial; dan (4) modal simbolik:
prests/kedudukan/kekuasaan yang dimiliki. Dalam hal ini, individu yang
memiliki modal dan habitus serupa dengan mayoritas orang akan lebih
efektif dalam melaksanakan tindakan yang bertujuan untuk
mempertahankan atau mengubah struktur, dibandingkan dengan mereka
yang tidak memiliki modal yang serupa.

Dalam dunia pendidikan, kepemilikan modal sangat penting untuk


mendukung performa siswa di dalam arena (sekolah). Siswa yang memiliki
modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik yang baik, akan memiliki
performa belajar yang baik di sekolah (Martono et al, 2020). Dengan
memiliki modal dan habitus yang sesuai dengan arena (sekolah), siswa
cenderung bisa menyesuaikan diri di arena dan dapat memiliki performa
yang baik di sekolah. Berbeda dengan siswa yang tidak memiliki habitus
dan modal yang baik, mereka cenderung sulit untuk memiliki performa yang
baik di sekolah. Dalam arti lain, terdapat ketidaksesuaian antara habitus dan
modal yang dimiliki siswa dan arena yang ia masuki.
Kondisi tersebut menimbulan reproduksi sosial. Reproduksi sosial, dalam
teori Pierre Bourdieu, mengacu pada proses di mana struktur sosial,
ketidaksetaraan, dan hierarki kelas dipertahankan dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Reproduksi sosial dapat dijelaskan melalui
konsep habitus, arena, dan modal dengan penjelasan sebagai berikut.
Konsep Penjelasan

Habitus Bourdieu mengartikan habitus sebagai serangkaian disposisi


internal yang ditanamkan pada individu melalui pengalaman
hidup dan lingkungannya. Habitusbentuk pandangan dunia,
pengambilan keputusan, dan tindakan individu, mencakup
norma, nilai-nilai, dan preferensi yang dipelajari selama
proses sosialisasi. Reproduksi sosial terjadi karena
kecenderungan habitus diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, memungkinkan berlanjutnya pola
perilaku dan gaya hidup yang serupa.

Arena Arena dalam konsep Bourdieu merujuk pada ruang sosial di


mana individu bersaing untuk sumber daya dan kekuasaan.
Arena melibatkan bidang seperti pendidikan, ekonomi, seni,
dan lainnya, dengan aturan dan hierarki yang memengaruhi
akses dan kesuksesan individu. Reproduksi sosial terjadi
karena individu yang menduduki posisi unggul dalam satu
arena cenderung mewariskan keunggulan mereka kepada
generasi berikutnya.

Modal Bourdieu mengidentifikasi berbagai bentuk modal, termasuk


modal ekonomi (kekayaan), modal budaya (pengetahuan,
pendidikan, dan keterampilan), dan modal sosial (jaringan
sosial dan hubungan). Individu dengan modal yang lebih
besar memiliki keuntungan di berbagai arena. Reproduksi
sosial terjadi ketika modal dapat diwariskan dan
dimanfaatkan oleh generasi berikutnya.
.

Bourdieu berpendapat bahwa keluarga sebagai agen sosialisasi utama


memainkan peran kunci dalam mentransmisikan habitus, modal, dan nilai-
nilai sosial kepada anak-anak mereka. Institusi-institusi seperti sekolah dan
pasar kerja juga memiliki peran penting dalam mempertahankan struktur
sosial. Dengan demikian, reproduksi sosial menurut Bourdieu tidak hanya
melibatkan kelanjutan status quo, tetapi juga merupakan proses
pemeliharaan ketidaksetaraan dan hierarki sosial di dalam masyarakat.
Ketika reproduksi sosial terus berlangsung, maka akan muncul kekerasan
simbolik yang tidak dapat dihindarkan bagi kelompok siswa yang berasal
dari kelompok subdordinat.

C. Penutup
Meskipun pemikirannya dapat menengahi konsep agensi-struktural, pemikiran-
pemikirannya mendapati sejumlah kritik. Kritik terhadap Bourdieu berkaitan
dengan interpretasinya terhadap konsep habitus, karena dianggap
memberikan penjelasan yang terlalu luas terhadap tindakan sosial dan
melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh kerangka konseptualnya
(Jenkins, 2002; Jackson, 2010). Kritik juga ditujukan pada gagasan arena
(field), yang dianggapnya sebagai tempat pertempuran yang dianggap telah
menyederhanakan realitas kehidupan (Haryatmoko, 2003). Gagasan ini
membuat interaksi sosial hanya terfokus pada persaingan untuk mencapai
posisi semata. Aspek-aspek hubungan sosial lainnya seperti: kasih sayang,
kerjasama, solidaritas, dan sejenisnya, diabaikan dalam konsep tersebut.

D. Daftar Pustaka
Binawan, A. L. (2007). “Habitus: Sebuah Refleksi”, dalam Basis, nomor 05-06.
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field of Cultural Production: Essays on Art and
Leissure. New York: Columbia University Press.
Jackson, Peter (2010) “Pierre Bourdieu dalam Edkins, Jenny dan Nick Vaughan
Williams (Editor). (Terjemahan Teguh Wahyu Utomo). (2010). Teori-teori
Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Baca.
Jenkins, Richard. (2002). Piere Bourdie. New York: Routledge.
Kleden, I. (2005). “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam
RP Andrianus Sunarko, OFM, et al (eds). Bangkit dan Bergeraklah:
Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia. Jakarta:
Sekretariat SAGKI.
Martono, N. et al. (2020). Siswa Miskin Boleh Berprestasi. Depok: PT Raja
Grafindo Persada.
Ritzer, G. & Goodman, D. J. (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.

Anda mungkin juga menyukai