NPM : 18.22.1.0025
Kelas : PGSD 7A
bermain drama Boleslaysky, dapat disampaikan beberapa hal yang termasuk dalam konsep
1. Konsentrasi
kegiatan seni perannya. Pemusatan perhatian ini amat perlu dilakukan, karena jika tidak,
pemain akan tetap hadir sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai tokoh yang
mendalam.
tidak pada faktor-faktor; (a) fisik, anggota tubuh, seluruh anggota tubuh dapat
dalam memerankan sesuatu, ia harus melepaskan dirinya untuk segera menjadi orang lain
yang mungkin saja merupakan sesuatu yang amat asing bagi dirinya sebelumnya; (c)
emosional, kesigapan pada hal-hal yang lebih bersifat ekspresi jiwa, seperti rasa humor,
kepekaan, sensitifitas pada hal-hal yang mengandung unsur humanis, rasa haru, sedih,
yang sama baiknya, di dalam berbagai situasi. Bermain peran, menurut seorang pemain
(aktor) untuk menguasai banyak aspek emosional tertentu, tidak terlihat canggung dan
kaku. Semua ragam emosional yang dituntut, dapat dilakukannya dengan penuh
kewajaran sebagaimana tuntutan yang diberikan kepada pemain. Harus diingat oleh para
para pemain harus mempunyai penghayatan yang baik dan sempurna. Untuk
yang wajib. Pengungkapan emosional yang baik akan terekspresikan pada wajah, bahkan
sikap, tindakan, serta perilaku yang merupakan ekspresi dari tuntutan emosi. Kemampuan
laku dramatik inilah yang merupakan faktor utama seni peran. Pemain, bagaimanapun, di
atas pentas melakukan tuntutan laku dramatik. Tanpa menguasai hal ini, tidak mungkin
melakukan apa-apa di atas pentas. Sebenarnya, laku dramatik yang baik adalah laku
dramatik yang dapat mendukung ujaran dan emosional tokoh secara “wajar”. Pengertian
“wajar” di sini memang relatif, tetapi dengan pengertian bukanlah suatu yang berlebih-
lebihan. Justru untuk dapat menyerasikan antara laku dramatik dengan tuntutan
emosional dan ujaran merupakan hal yang rumit. Laku dramatik hendaknya harus terus
disiasati dengan kreatif. Pemain dapat melakukan improvisasi dan eksperimen untuk
suatu pribadi lain dan keluar dari dirinya sendiri selama bermain peran. Tokoh yang
diperankan oleh pemain, dapat merupakan tokoh yang berkarakter sama atau mungkin
hadir sebagai diri pribadi tokoh yang diperankannya (menjadi orang lain). Jika tampil di
atas pentas, penonton dapat menangkap bahwa yang di atas pentas itu tetap merupakan
diri pemain sebagaimana tidak di pentas, maka kemampuan membangun karakter pemain
dapat disebutkan sebagai sesuatu yang buruk, pemain dapat disebutkan sebagai pemain
yang buruk. Untuk dapat membangun karakter, pemain harus mengenal dirinya sendiri
menyangkut profil: sikap hidup, orientasi terhadap nilai-nilai tertentu, gerak anggota
tubuh (performance), karakter yang dominan dan sering kali muncul serta mewarnai
sikap dan tindakan. Jika pemain telah berhasil mengidentifikasi hal-hal tersebut, baik
pada dirinya maupun pada tokoh yang akan diperaninya, sudah merupakan langkah awal
yang baik, selanjutnya taraf pengembangan membangun karakter yang berbagai ragam
untuk diperhatikan dan diamati. Setelah tahap pengamatan, tahap selanjutnya adalah
tahap meniru. Latihan meniru dengan sikap seolah-olah melakukan hal yang sebenarnya,
merupakan latihan dari kemampuan mengobservasi. Semakin banyak hal yang dapat
diobservasi, semakin banyak pula latihan, maka akan semakin banyak kemampuan laku
memperoleh insting tentang irama ini, pemain dapat melatih dirinya dengan
mendengarkan berbagai jenis musik dan dengan mendengarkan berbagai jenis musik dan
dengan mendengarkan berbagai jenis musik dan dengan mendengar bunyi-bunyi alam,
misalnya gemuruh air tedun, bunyi meluncurnya kereta api di rel, bunyi kicauan burung
pagi hari, bunyi gemericik air sungai yang berbenturan dengan batu-batuan, bunyi
Keenam teknik bermain drama tersebut menunjukkan bahwa untuk menjadi pemain
drama (para aktor) bukanlah hal yang mudah. Konsep ini berorientasi pada terciptanya
pemain yang kuat dan berwatak. Dengan begitu, sewaktu mereka melakukan pementasan
drama, pemain dapat menciptakan ilusi yang benar bagi penontonnya. Penonton merasa
bahwa mereka tidak sedang menyaksikan sesuatu yang pura-pura belaka. Pemain harus
menyadari bahwa permainan perannya bukan bertujuan untuk menipu dan membohongi
penontonnya yang mungkin saja berguna bagi para penonton untuk mengantisipasi
Kemampuan dasar yang harus dimiliki pemain harus ditunjang oleh kemampuan
pementasan utama yang harus dikuasainya adalah pentas. Pentas sebagai sarana pendukung
utama, tempat di mana pemain harus berekspresi melakukan kerja laku dramatik, harus
kemampuan akting yang tinggi, dapat saja gagal jadinya. Berjenis-jenis pentas haruslah
dikuasainya. Dengan begitu, pemain akan dapat memanfaatkan kelemahan dan keunggulan
pentas untuk membantu permainan perannya. Di samping itu, kelemahan dan keunggulan
pentas dapat memancingnya untuk melakukan eksperimen dan improvisasi laku dramatik.
1. Latihan Tubuh
Maksud latihan tubuh adalah latihan ekspresi secara fisik. Kita berusaha agar fisik kita
bergerak secara fleksibel, disiplin dan ekspresif. Artinya gerak-gerik kita dapat luwes,
tetapi disiplin terhadap peran kita dan ekspresif sesuai sesuai dengan watak dan perasaan
2. Latihan Suara
Latihan suara ini dapat diartikan latihan mengucapkan suara secara jelas dan nyaring
(vokal), berarti juga latihan penjiwaan suara. Warna suara bagaimana yang tepat, harus
disesuaikan dengan watak peran, umur peran dan keadaan sosial peran itu. Aktor tidak
dibenarkan mengubah suara tanpa alasan. Nada suara juga harus diatur, agar mampu
membedakan peran satu dan peran yang lainnya. Semua ini hendaklah dikuasai secara
belajar mengobservasi setiap watak, tingkah laku dan motivasi orang-orang yang
dijumpainya. Jika ia harus memerankan watak dan tokoh tertentu, maka observasi
difokuskan pada tokoh yang mirip atau sama. Jika mungkin, observasi ini dalam waktu
yang cukup, sehingga gerak-gerik tokoh itu lebih mendetail diamati. Hasil observasi
sifatnya eksternal ini dihidupkan melalui ingatan emosi, dengan daya imajinasi aktor,
mengisi dimensi kejiwaan dalam akting. Setelah diadakan observasi tersebut, acting
bukan sekedar meniru apa yang diperoleh dalam observasi, tetapi harus dapat
4. Latihan Konsentrasi
sendiri ke dalam watak dan pribadi tokoh yang dibawakan dan kedalam lakon itu.
Konsentrasi memegang peranan penting dalam penjiwaan peran dan dalam gerak yakin
jika pikirannya terganggu akan hal lain, dengan kekuatan konsentrasinya, aktor bisa
memusatkan diri pada pentas. Dan seharusnya aktor harus merasa bahwa dunianya di
situ. Konsentrasi ini harus mulai sejak latihan pertama. Terlebih menjelang masuk pentas
dan selama dalam pementasan. Selalu menghadapi naskah sebagai pemimpin konsentrasi
5. Latihan Teknik
Latihan teknik ini adalah latihan masuk, memberi isi, memberi tekanan, mengembangkan
permainan, penonjolan, ritme, timming yang tepat. Dalam bermain drama hal yang harus
vokal, serta gerakan anggota tubuh harus sesuai dengan karakter yang dibawakan. Dalam
latihan acting (berperan) pada bermain drama dapat dilakukan melalui latihan suara,
imajinasi dan latihan pencapaian mood, serta latihan akhir (general rehesial). Dalam
latihan suara dan ucapan perlu pelatihan cermat dan cukup. Vokal harus diucapkan jelas.
disamping latihan olah vokal, juga latihan pernafasan, latihan letupan suara, latihan diksi
(gaya pengucapan), latihan tekanan, latihan bangunan cepat dan latihan menciptakan
6. Sistem Acting
Sistem berakting salah satu langkah dalam bermain drama. Menjadi seorang actor harus
berlatih dalam berakting baik dalam hal internal maupun dalam hal eksternal, baik
sifatnya seperti menghafal menjadi lancar dan tampak seperti kejadian yang sebenarnya.
Fungsi motivasi, sifat, dan fungsi karakter sangat penting dalam imajinasinya.
sekolah sudah selayaknya segera mendapatkan perhatian yang lebih serius. Bagi pihak
pengelola sekolah, termasuk kepala sekolah dan guru, perlu dilakukan penggalian potensi-
potensi yang ada dalam pelaksanaan pengajaran drama tersebut. Hal ini dapat berupa
pemanfaatan media pengajaran, misalnya buku-buku cerita, metode pengajaran, antara lain
teknik bermain peran (role playing), maupun sumber daya yang dimiliki, yaitu guru dan
siswa yang berbakat dan berkemampuan dalam melaksanakan pengajaran drama itu sendiri.
Dari berbagai manfaat yang diperoleh dari pengajaran drama, sudah sepatutunya jika
pihak sekolah segera mengupayakan pengajaran drama kepada para siswanya. Tetapi, hal ini
juga tidak terlepas dari kesiapan pihak sekolah untuk menyiapkan guru yang berkompeten
dalam pengajaran drama. Bila perlu, sekolah sudah mempersiapkan dari awal seorang atau
beberapa guru bahasa Indonesia yang memiliki keterampilan khusus selain mengajar bahasa,
Pengajaran drama di sekolah ini sebaiknya diarahkan agar siswa mampu membaca
drama, dan gemar membaca drama. Pokok-pokok bahasan pengajaran drama meliputi: (1)
membaca teks drama dengan lancar dan penuh pemahaman; (2) membaca drama untuk
menambah pengetahuan; (3) membaca drama untuk menikmati nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya; (4) membaca sastra (drama) terjemahan untuk menambah pengetahuan dan
ekspresif. Aspek apresiasi reseptif ini antara lain melalui kegiatan siswa dalam
mendengarkan dan menonton drama, membaca dan menganalisis berbagai teks drama.
Sementara itu aspek apresiasi ekspresif dapat diwujudkan melalui kegiatan siswa dalam
mengungkapakan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasan dan bentuk lisan maupun tulis
tentang drama, seperti membuat teks drama, yang sederhana, menyusun resensi teks drama,
Para siswa sebaiknya dilibatkan dalam permainan drama. Dengan cara ini menjadikan
kegiatan lebih aktif dalam bentuk kerja sama/kolaborasi, dialog dan pemecahan solusi sebab
dengan pelaksanaan yang aktip dapat membangun proyek mereka. Dengan permainan siswa
dapat saling menerima gagasan di dalam kelas. Lebih dari itu, siswa mempunyai andil dalam
pelaksanaannya. Kegiatan yang dinamis ini menghasilkan pembelajaran yang baik bagi
mereka sendiri. Penggunaan dongeng masa lampau, solusi permainan drama yang
pendek/singkat mempunyai maksud dan bermakna bagi siswa (dan para guru).
menitikberatkan pada apresiasi siswa yaitu kegiatan atau aktivitas siswa dalam pengajaran
drama di sekolah. Apresiasi siswa itu mencakup tiga hal, yakni kreasi, resepsi, dan kreasi
siswa terjadap drama. Adapun kegiatan siswa yang berupa kreasi yaitu kegiatan siswa ketika
menulis naskah drama secara individu atau kelompok yang berupa resepsi yaitu kegiatan
siswa ketika membaca dan menghafalkan naskah drama yang telah dibuat, sedangkan yang
berupa ekspresi yaitu ketika siswa mementaskan drama berdasarkan naskah drama tersebut.
Setiap siswa yang kita hadapi, selain merupakan individu, juga suatu totalitas yang
kompleks. Pada diri siswa dapat dikenali sejumlah kecakapan, yang biasanya terwujud dalam
bentuk kekurangan ataupun kelebihannya. Dalam kegiatan pembelajaran, kecakapan-
kecakapan inilah yang harus dilatih. Bagi siswa yang lemah perlu dicermati, yang memiliki
lain: (a) kecakapan yang bersifat indrawi, (b) kecakapan nalar, (c) kecakapan afektif, (d)
kecakapan sosial, dan (e) kecakapan religius. Seluruh kecakapan tersebut mewakili aspek
personal kehidupan manusia (a—c), dan sejajar dengan apa yang disajikan karya sastra pada
umumnya (a—e).
terpadu melalui sebuah proses penggarapan drama dari awal pelatihan hingga sebuah cerita
mempertimbangkan berbagai aspek sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Peran guru
tidak semata sebagai orang yang serba tahu, melainkan sebagai mediator dalam memberikan
antara guru dengan siswanya. Jika upaya untuk menjalin komunikasi tersebut berhasil
(positif), maka terbukalah kepercayaan siswa terhadap guru, yang selanjutnya siswa akan
membuka diri secara lugas. Inilah yang dapat dipakai sebagai modal berharga dalam
pengajaran drama.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa
pengajaran drama di sekolah, khususnya sekolah dasar sudah perlu segera dipertimbangkan
mengingat perkembangan dari drama itu sendiri sebagai suatu seni pertunjukan yang telah
banyak memasuki kehidupan masyarakat, dalam arti drama sebagai seni pertunjukan suadah
menjadi suatu kebutuhan untuk hiburan masyarakat. Melalui pengajaran drama, diharapkan
akan diperoleh bibit-bibit unggul dari siswa yang memiliki potensi besar untuk menjadi
Pengajaran drama di sekolah juga bukan suatu hal yang keluar dari kurikulum. Hal ini
perlu disampaikan karena ada anggapan dari beberapa sekolah bahwa pengajaran drama tidak
perlu dilakukan dalam pelaksanaan materi pelajaran, tetapi harus disampaikan sebagai bentuk
kegiatan ekstra kurikuler. Pada beberapa kurikulum pengajaran bahasa Indonesia di sekolah
dasar, pengajaran drama sudah diberikan. Untuk itu, pengajaran drama di kelas adalah suatu
prosedur yang sudah tepat dan sesuai dengan kurikulum. Pihak sekolah tinggal menyesuaikan
Selain pemikiran akan suatu drama sebagai kebutuhan dan adanya kurikulum yang
yang diperlukan sekolah dalam melaksanakan pengajaran drama tersebut. Permasalahan itu
adalah berkaitan dengan pemenuhan guru atau sumber daya yang akan mengajarkan seni
drama kepada siswa dan media serta metode yang relevan dengan pengajaran drama. Untuk
itu, sudah saatnya pihak sekolah dan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap
permasalahan tersebut, misalnya dengan mengharuskan seorang guru bahasa Indonesia untuk
menguasai teknik pengajaran drama di kelas. Selain itu, juga perlu dipikirkan tentang
pemenuhan kebutuhan media pengajaran drama. Dari berbagai solusi dan pandangan atas
pengajaran drama di sekolah tersebut, diharapkan pengajaran drama di kelas akan segera
dapat diimplementasikan dengan baik dan mampu menghadirkan potensi besar bagi
Herman J. Waluyo. 2006. Drama: Naskah, Pementasan, dan Pengajarannya. Surakarta: UNS
Press.