Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Fahmi ilmi

NPM : 18.22.1.0025

Kelas : PGSD 7A

Mata Kuliah : Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia di SD

Konsep Pembelajaran Drama di SD

A. Strategi Pengajaran Drama

W. S. Rendra (2002) menyampaikan bahwa mengacu pada konsep ajaran teknik

bermain drama Boleslaysky, dapat disampaikan beberapa hal yang termasuk dalam konsep

teknik bermain drama, yaitu:

1. Konsentrasi

Konsentrasi, yaitu pemusatan perhatian pada berbagai aspek guna mendukung

kegiatan seni perannya. Pemusatan perhatian ini amat perlu dilakukan, karena jika tidak,

pemain akan tetap hadir sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai tokoh yang

diperankannya. Pemusatan perhatian yang baik akan menyebabkan penghayatan semakin

mendalam.

Penghayatan yang mendalam akan menyebabkan pemain larut dalam tuntunan

yang seharusnya ia lakukan. Pemusatan pikiran ini setidak-tidaknya melibatkan paling

tidak pada faktor-faktor; (a) fisik, anggota tubuh, seluruh anggota tubuh dapat

“diperintahkan” guna kepentingan berperan; (b) mental, kesiapan psikologis pemain di

dalam memerankan sesuatu, ia harus melepaskan dirinya untuk segera menjadi orang lain

yang mungkin saja merupakan sesuatu yang amat asing bagi dirinya sebelumnya; (c)

emosional, kesigapan pada hal-hal yang lebih bersifat ekspresi jiwa, seperti rasa humor,
kepekaan, sensitifitas pada hal-hal yang mengandung unsur humanis, rasa haru, sedih,

terhina, tertekan, muak, benci, dan lain-lain.

2. Kemampuan mendayagunakan emosional

Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan seorang pemain untuk

menumbuhkan bermacam-macam bentuk emosional dengan kemampuan dan kualitas

yang sama baiknya, di dalam berbagai situasi. Bermain peran, menurut seorang pemain

(aktor) untuk menguasai banyak aspek emosional tertentu, tidak terlihat canggung dan

kaku. Semua ragam emosional yang dituntut, dapat dilakukannya dengan penuh

kewajaran sebagaimana tuntutan yang diberikan kepada pemain. Harus diingat oleh para

pemain, bahwa untuk menumbuhkan kesiapan melahirkan bentuk emosional tertentu,

para pemain harus mempunyai penghayatan yang baik dan sempurna. Untuk

mendapatkan kemampuan menguasai beragam bentuk emosional, latihan merupakan hal

yang wajib. Pengungkapan emosional yang baik akan terekspresikan pada wajah, bahkan

gerak anggota tubuh.

3. Kemampuan laku dramatik

Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain di dalam melakukan

sikap, tindakan, serta perilaku yang merupakan ekspresi dari tuntutan emosi. Kemampuan

laku dramatik inilah yang merupakan faktor utama seni peran. Pemain, bagaimanapun, di

atas pentas melakukan tuntutan laku dramatik. Tanpa menguasai hal ini, tidak mungkin

melakukan apa-apa di atas pentas. Sebenarnya, laku dramatik yang baik adalah laku

dramatik yang dapat mendukung ujaran dan emosional tokoh secara “wajar”. Pengertian

“wajar” di sini memang relatif, tetapi dengan pengertian bukanlah suatu yang berlebih-

lebihan. Justru untuk dapat menyerasikan antara laku dramatik dengan tuntutan
emosional dan ujaran merupakan hal yang rumit. Laku dramatik hendaknya harus terus

disiasati dengan kreatif. Pemain dapat melakukan improvisasi dan eksperimen untuk

menciptakan laku dramatik yang menarik dan artistik.

4. Kemampuan membangun karakter

Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain untuk lebur ke dalam

suatu pribadi lain dan keluar dari dirinya sendiri selama bermain peran. Tokoh yang

diperankan oleh pemain, dapat merupakan tokoh yang berkarakter sama atau mungkin

mirip dengan pribadi dan karakter pemain.

Hal ini mengharuskan pemain “meninggalkan” diri pribadinya untuk kemudian

hadir sebagai diri pribadi tokoh yang diperankannya (menjadi orang lain). Jika tampil di

atas pentas, penonton dapat menangkap bahwa yang di atas pentas itu tetap merupakan

diri pemain sebagaimana tidak di pentas, maka kemampuan membangun karakter pemain

dapat disebutkan sebagai sesuatu yang buruk, pemain dapat disebutkan sebagai pemain

yang buruk. Untuk dapat membangun karakter, pemain harus mengenal dirinya sendiri

dan mengenal tokoh yang akan diperankannya.

Pengenalan ini dapat dilakukan pemain dengan mengidentifikasikan hal-hal yang

menyangkut profil: sikap hidup, orientasi terhadap nilai-nilai tertentu, gerak anggota

tubuh (performance), karakter yang dominan dan sering kali muncul serta mewarnai

sikap dan tindakan. Jika pemain telah berhasil mengidentifikasi hal-hal tersebut, baik

pada dirinya maupun pada tokoh yang akan diperaninya, sudah merupakan langkah awal

yang baik, selanjutnya taraf pengembangan membangun karakter yang berbagai ragam

itu. Untuk kegunaan mengekspresikan berbagai karakter, pemain sebaiknya juga


menguasai hal-hal yang berhubungan kemampuan menguasai berbagai jenis warna suara,

kemampuan pantomimik, dan lain-lain.

5. Kemampuan melakukan observasi

Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain untuk melakukan

pengamatan terhadap sikap aktivitas manusia di dalam kehidupan sehari-hari.

Bermacam-macam pekerjaan yang dilakukan manusia setiap harinya menarik

untuk diperhatikan dan diamati. Setelah tahap pengamatan, tahap selanjutnya adalah

tahap meniru. Latihan meniru dengan sikap seolah-olah melakukan hal yang sebenarnya,

merupakan latihan dari kemampuan mengobservasi. Semakin banyak hal yang dapat

diobservasi, semakin banyak pula latihan, maka akan semakin banyak kemampuan laku

dramatik yang mampu dilakukan oleh seorang pemain.

6. Kemampuan menguasai irama

Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain untuk menguasai tempo

permainan, sehingga pementasan memberikan suspense kepada penonton. Untuk

memperoleh insting tentang irama ini, pemain dapat melatih dirinya dengan

mendengarkan berbagai jenis musik dan dengan mendengarkan berbagai jenis musik dan

dengan mendengarkan berbagai jenis musik dan dengan mendengar bunyi-bunyi alam,

misalnya gemuruh air tedun, bunyi meluncurnya kereta api di rel, bunyi kicauan burung

pagi hari, bunyi gemericik air sungai yang berbenturan dengan batu-batuan, bunyi

desauan pepohonan yang ditiup angin, dan lain-lain.

Keenam teknik bermain drama tersebut menunjukkan bahwa untuk menjadi pemain

drama (para aktor) bukanlah hal yang mudah. Konsep ini berorientasi pada terciptanya

pemain yang kuat dan berwatak. Dengan begitu, sewaktu mereka melakukan pementasan
drama, pemain dapat menciptakan ilusi yang benar bagi penontonnya. Penonton merasa

bahwa mereka tidak sedang menyaksikan sesuatu yang pura-pura belaka. Pemain harus

menyadari bahwa permainan perannya bukan bertujuan untuk menipu dan membohongi

penonton, melainkan menampilkan simbol-simbol yang dapat diinterpretasikan oleh para

penontonnya yang mungkin saja berguna bagi para penonton untuk mengantisipasi

kehidupannya secara artistic dan estetis.

Kemampuan dasar yang harus dimiliki pemain harus ditunjang oleh kemampuan

pemain menguasai perangkat-perangkat yang berhubungan dengan pementasan. Sarana

pementasan utama yang harus dikuasainya adalah pentas. Pentas sebagai sarana pendukung

utama, tempat di mana pemain harus berekspresi melakukan kerja laku dramatik, harus

dikuasai sepenuhnya. Pemain yang tidak mengenali pentas, meskipun mempunyai

kemampuan akting yang tinggi, dapat saja gagal jadinya. Berjenis-jenis pentas haruslah

dikuasainya. Dengan begitu, pemain akan dapat memanfaatkan kelemahan dan keunggulan

pentas untuk membantu permainan perannya. Di samping itu, kelemahan dan keunggulan

pentas dapat memancingnya untuk melakukan eksperimen dan improvisasi laku dramatik.

Herman J. Waluyo (2006:122-125) menyebutkan tujuh langkah dalam ber-acting,

yaitu sebagai berikut:

1. Latihan Tubuh

Maksud latihan tubuh adalah latihan ekspresi secara fisik. Kita berusaha agar fisik kita

bergerak secara fleksibel, disiplin dan ekspresif. Artinya gerak-gerik kita dapat luwes,

tetapi disiplin terhadap peran kita dan ekspresif sesuai sesuai dengan watak dan perasaan

aktor yang dibawakan.

2. Latihan Suara
Latihan suara ini dapat diartikan latihan mengucapkan suara secara jelas dan nyaring

(vokal), berarti juga latihan penjiwaan suara. Warna suara bagaimana yang tepat, harus

disesuaikan dengan watak peran, umur peran dan keadaan sosial peran itu. Aktor tidak

dibenarkan mengubah suara tanpa alasan. Nada suara juga harus diatur, agar mampu

membedakan peran satu dan peran yang lainnya. Semua ini hendaklah dikuasai secara

cermat dan konsisten oleh seorang aktor.

3. Latihan Observasi dan Imajinasi

Untuk menampilkan tokoh yang diperankan, aktor secara sungguh-sungguh harus

berusaha memahami bagaimana memanifestasikan secara eksternal. Aktor mulai dengan

belajar mengobservasi setiap watak, tingkah laku dan motivasi orang-orang yang

dijumpainya. Jika ia harus memerankan watak dan tokoh tertentu, maka observasi

difokuskan pada tokoh yang mirip atau sama. Jika mungkin, observasi ini dalam waktu

yang cukup, sehingga gerak-gerik tokoh itu lebih mendetail diamati. Hasil observasi

sifatnya eksternal ini dihidupkan melalui ingatan emosi, dengan daya imajinasi aktor,

sehingga dapat ditampilkan secara meyakinkan. Kekuatan imajinasi berfungsi untuk

mengisi dimensi kejiwaan dalam akting. Setelah diadakan observasi tersebut, acting

bukan sekedar meniru apa yang diperoleh dalam observasi, tetapi harus dapat

menghidupinya, memberi nilai estetis.

4. Latihan Konsentrasi

Konsentrasi diarahkan untuk melatih aktor dalam kemampuan memperankan dirinya

sendiri ke dalam watak dan pribadi tokoh yang dibawakan dan kedalam lakon itu.

Konsentrasi memegang peranan penting dalam penjiwaan peran dan dalam gerak yakin

jika pikirannya terganggu akan hal lain, dengan kekuatan konsentrasinya, aktor bisa
memusatkan diri pada pentas. Dan seharusnya aktor harus merasa bahwa dunianya di

situ. Konsentrasi ini harus mulai sejak latihan pertama. Terlebih menjelang masuk pentas

dan selama dalam pementasan. Selalu menghadapi naskah sebagai pemimpin konsentrasi

harus pula diekspresikan melalui ucapan, gesture dan intonasi ucapannya.

5. Latihan Teknik

Latihan teknik ini adalah latihan masuk, memberi isi, memberi tekanan, mengembangkan

permainan, penonjolan, ritme, timming yang tepat. Dalam bermain drama hal yang harus

mendapat perhatian seperti diungkapkan di atas meliputi penjiwaan, ekspresi wajah,

vokal, serta gerakan anggota tubuh harus sesuai dengan karakter yang dibawakan. Dalam

latihan acting (berperan) pada bermain drama dapat dilakukan melalui latihan suara,

ucapan, latihan mimik, latihan blocking (pengelompokan), latihan penghayatan dan

imajinasi dan latihan pencapaian mood, serta latihan akhir (general rehesial). Dalam

latihan suara dan ucapan perlu pelatihan cermat dan cukup. Vokal harus diucapkan jelas.

Konsonan-konsonan tidak boleh dihafalkan setengah-setengah. Dalam latihan suara

disamping latihan olah vokal, juga latihan pernafasan, latihan letupan suara, latihan diksi

(gaya pengucapan), latihan tekanan, latihan bangunan cepat dan latihan menciptakan

puncak lakon (klimaks).

6. Sistem Acting

Sistem berakting salah satu langkah dalam bermain drama. Menjadi seorang actor harus

berlatih dalam berakting baik dalam hal internal maupun dalam hal eksternal, baik

melalui pendekatan metode maupun teknik.

7. Memperlancar Skill dan Latihan


Dalam hal ini, peranan imajinasi sangatlah penting. Dengan imajinasi semua latihan yang

sifatnya seperti menghafal menjadi lancar dan tampak seperti kejadian yang sebenarnya.

Fungsi motivasi, sifat, dan fungsi karakter sangat penting dalam imajinasinya.

B. Pengajaran Drama di Sekolah

Sebagai materi kurikulum maupun pengembangan muatan lokal, pengajaran drama di

sekolah sudah selayaknya segera mendapatkan perhatian yang lebih serius. Bagi pihak

pengelola sekolah, termasuk kepala sekolah dan guru, perlu dilakukan penggalian potensi-

potensi yang ada dalam pelaksanaan pengajaran drama tersebut. Hal ini dapat berupa

pemanfaatan media pengajaran, misalnya buku-buku cerita, metode pengajaran, antara lain

teknik bermain peran (role playing), maupun sumber daya yang dimiliki, yaitu guru dan

siswa yang berbakat dan berkemampuan dalam melaksanakan pengajaran drama itu sendiri.

Dari berbagai manfaat yang diperoleh dari pengajaran drama, sudah sepatutunya jika

pihak sekolah segera mengupayakan pengajaran drama kepada para siswanya. Tetapi, hal ini

juga tidak terlepas dari kesiapan pihak sekolah untuk menyiapkan guru yang berkompeten

dalam pengajaran drama. Bila perlu, sekolah sudah mempersiapkan dari awal seorang atau

beberapa guru bahasa Indonesia yang memiliki keterampilan khusus selain mengajar bahasa,

yaitu keterampilan bermain drama.

Pengajaran drama di sekolah ini sebaiknya diarahkan agar siswa mampu membaca

drama, dan gemar membaca drama. Pokok-pokok bahasan pengajaran drama meliputi: (1)

membaca teks drama dengan lancar dan penuh pemahaman; (2) membaca drama untuk

menambah pengetahuan; (3) membaca drama untuk menikmati nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya; (4) membaca sastra (drama) terjemahan untuk menambah pengetahuan dan

mengetahui nilai-nilai adat istiadat dalam masyarakat.


Pengajaran drama harus ditekankan pada aspek apresiasi reseptis dan aspek apresiasi

ekspresif. Aspek apresiasi reseptif ini antara lain melalui kegiatan siswa dalam

mendengarkan dan menonton drama, membaca dan menganalisis berbagai teks drama.

Sementara itu aspek apresiasi ekspresif dapat diwujudkan melalui kegiatan siswa dalam

mengungkapakan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasan dan bentuk lisan maupun tulis

tentang drama, seperti membuat teks drama, yang sederhana, menyusun resensi teks drama,

dan bermain drama.

Para siswa sebaiknya dilibatkan dalam permainan drama. Dengan cara ini menjadikan

kegiatan lebih aktif dalam bentuk kerja sama/kolaborasi, dialog dan pemecahan solusi sebab

dengan pelaksanaan yang aktip dapat membangun proyek mereka. Dengan permainan siswa

dapat saling menerima gagasan di dalam kelas. Lebih dari itu, siswa mempunyai andil dalam

pelaksanaannya. Kegiatan yang dinamis ini menghasilkan pembelajaran yang baik bagi

mereka sendiri. Penggunaan dongeng masa lampau, solusi permainan drama yang

pendek/singkat mempunyai maksud dan bermakna bagi siswa (dan para guru).

Dalam pengajaran drama di sekolah, pembelajaran apresiasi drama juga harus

menitikberatkan pada apresiasi siswa yaitu kegiatan atau aktivitas siswa dalam pengajaran

drama di sekolah. Apresiasi siswa itu mencakup tiga hal, yakni kreasi, resepsi, dan kreasi

siswa terjadap drama. Adapun kegiatan siswa yang berupa kreasi yaitu kegiatan siswa ketika

menulis naskah drama secara individu atau kelompok yang berupa resepsi yaitu kegiatan

siswa ketika membaca dan menghafalkan naskah drama yang telah dibuat, sedangkan yang

berupa ekspresi yaitu ketika siswa mementaskan drama berdasarkan naskah drama tersebut.

Setiap siswa yang kita hadapi, selain merupakan individu, juga suatu totalitas yang

kompleks. Pada diri siswa dapat dikenali sejumlah kecakapan, yang biasanya terwujud dalam
bentuk kekurangan ataupun kelebihannya. Dalam kegiatan pembelajaran, kecakapan-

kecakapan inilah yang harus dilatih. Bagi siswa yang lemah perlu dicermati, yang memiliki

kelebihan perlu diarahkan dan dikembangkan lagi. Kecakapan-kecakapan tersebut antara

lain: (a) kecakapan yang bersifat indrawi, (b) kecakapan nalar, (c) kecakapan afektif, (d)

kecakapan sosial, dan (e) kecakapan religius. Seluruh kecakapan tersebut mewakili aspek

personal kehidupan manusia (a—c), dan  sejajar dengan apa yang disajikan karya sastra pada

umumnya (a—e).

Pada pengajaran drama, pengembangan kecakapan-kecakapan dilaksanakan secara

terpadu melalui sebuah proses penggarapan drama dari awal pelatihan hingga sebuah cerita

drama usia dipentaskan. Kecakapan-kecakapan tersebut hendaknya dikembangkan dengan

mempertimbangkan berbagai aspek sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Peran guru

tidak semata sebagai orang yang serba tahu, melainkan sebagai mediator dalam memberikan

arahan pemeranan terhadap siswanya.

Efektivitas pengajaran drama, terutama ditentukan oleh corak jalinan komunikasi

antara guru dengan siswanya. Jika upaya untuk menjalin komunikasi tersebut berhasil

(positif), maka terbukalah kepercayaan siswa terhadap guru, yang selanjutnya siswa akan

membuka diri secara lugas. Inilah yang dapat dipakai sebagai modal berharga dalam

pengajaran drama.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa

pengajaran drama di sekolah, khususnya sekolah dasar sudah perlu segera dipertimbangkan

mengingat perkembangan dari drama itu sendiri sebagai suatu seni pertunjukan yang telah

banyak memasuki kehidupan masyarakat, dalam arti drama sebagai seni pertunjukan suadah

menjadi suatu kebutuhan untuk hiburan masyarakat. Melalui pengajaran drama, diharapkan
akan diperoleh bibit-bibit unggul dari siswa yang memiliki potensi besar untuk menjadi

pemain drama yang profesional di kemudian hari.

Pengajaran drama di sekolah juga bukan suatu hal yang keluar dari kurikulum. Hal ini

perlu disampaikan karena ada anggapan dari beberapa sekolah bahwa pengajaran drama tidak

perlu dilakukan dalam pelaksanaan materi pelajaran, tetapi harus disampaikan sebagai bentuk

kegiatan ekstra kurikuler. Pada beberapa kurikulum pengajaran bahasa Indonesia di sekolah

dasar, pengajaran drama sudah diberikan. Untuk itu, pengajaran drama di kelas adalah suatu

prosedur yang sudah tepat dan sesuai dengan kurikulum. Pihak sekolah tinggal menyesuaikan

alokasi waktu pengajarannya saja.

Selain pemikiran akan suatu drama sebagai kebutuhan dan adanya kurikulum yang

memastikan bahwa pengajaran drama di kelas diperbolehkan, terdapat permasalahan serius

yang diperlukan sekolah dalam melaksanakan pengajaran drama tersebut. Permasalahan itu

adalah berkaitan dengan pemenuhan guru atau sumber daya yang akan mengajarkan seni

drama kepada siswa dan media serta metode yang relevan dengan pengajaran drama. Untuk

itu, sudah saatnya pihak sekolah dan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap

perkembangan dunia pendidikan di Indonesia untuk memikirkan solusi-solusi atas

permasalahan tersebut, misalnya dengan mengharuskan seorang guru bahasa Indonesia untuk

menguasai teknik pengajaran drama di kelas. Selain itu, juga perlu dipikirkan tentang

pemenuhan kebutuhan media pengajaran drama. Dari berbagai solusi dan pandangan atas

pengajaran drama di sekolah tersebut, diharapkan pengajaran drama di kelas akan segera

dapat diimplementasikan dengan baik dan mampu menghadirkan potensi besar bagi

peningkatan kemampuan akting atau bermain drama pada siswa.


Daftar Pustaka
Asul Wiyanto. 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Atar Semi. 2000. Menulis Efektif. Padang: CV. Angkasa Raya.

Dwi Hariningsih. 2005. Teater: Sebuah Pengantar. Surakarta: KBD.

Herman J. Waluyo. 2006. Drama: Naskah, Pementasan, dan Pengajarannya. Surakarta: UNS
Press.

Anda mungkin juga menyukai