TENTANG
OLEH :
ANISA FADILAH
(NIM. 21002036)
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. DAMRI, M.Pd DAN Dr. JON EFENDI, M.Pd
1
Filosofis (filsafat) secara harfiah berarti cinta kebijakan. Berfilsafat berarti
mengerti berbuat bijak. Berfilsafat berarti pula berfikir sampai ke akar.
Secara akademik, filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan
menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang alam
semesta dan kedudukan manusia di dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap
sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur dalam pengalaman manusia.
Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat
segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba
mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Untuk itu, sering dikatakan
bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.
Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam
mengkaji atau memahami alam semesta ini. Ilmu menggunakan pendekatan
analitik, berusaha menguraikan keseluruhan dalam bagianbagian yang kecil dan
lebih kecil. Filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian
ke dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan
dengan fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sein), berusaha melihat segala
sesuatu secara obyektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat
melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das Sollen), faktor-
faktor subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Filsafat dan ilmu
mempunyai hubungan yang saling mengisi dan melengkapi (komplementer).
Filsafat memberikan landasan-landasan dasar bagi ilmu. Keduanya dapat
memberikan bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupannya.
Pendapat para filsuf umumnya memandang filsafat umum sebagai dasar
dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan
yang hampir sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan
adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan
kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun
dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan
metafisika, epistemologi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang
berbeda.
2
2. Landasan Psikologis
Kondisi psikologis anak didik dalam satu kelas biasanya berbeda
perkembangannya. Sehingga dalam melakukan interaksi antar peserta didik dan
tenaga pendidik juga tidak bisa disamaratakan. Pemberian materi dan
penggunaan media pembelajaran pun perlu disesuaikan dengan kondisi
psikologis anak yang beragam tersebut.
Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai
individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi
dengan lingkungannya. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dari
ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-
faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung
pada konteks, peranan, dan status individu di antara individuindividu yang
lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan
kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya.
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah
membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai
menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan,
perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak
tetap berkembang, tetapi dengan pendidikan di sekolah tahap perkembangannya
menjadi lebih tinggi dan lebih luas.
Dari penjelasan di atas, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari
media pembelajaran, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan, memilih, dan
menerapkan media serta teknik-teknik evaluasi.
3
3. Landasan Sosiologis
Penggunaan media pembelajaran juga tidak bisa dilepaskan dengan
kondisi sosiologis anak didik. Sebab kondisi sosiologis ini juga mempengaruhi
respon anak didik terhadap media yang digunakan tenaga pendidik dalam
pembelajaran. Kesesuaian media dengan kondisi sosial anak didik dapat
meningkatkan efektifitas dan efisiensi media yang digunakan.
Secara sosiologis, pendidikan dapat dipahami sebagai proses budaya.
Dalam koteks kebudayaan manusia dibina dan dikembangkan sesuai dengan
nilai budayanya untuk menjadi manusia berbudaya. Kebudayaan dinyatakan
sebagai cipta, karsa, dan rasa yang dihasilkan manusia melalui ide, kegiatan,
dan karyanya. Ide manusia bersifat abstrak dapat berupa konsep, gagasan, nilai,
dan norma. Kegiatan budaya merupakan tindakan berpola dari manusia
kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat. Sedangkan hasil karya manusia
berbudaya depat berupa benda-benda dan nilai-nilai budaya.
Dalam menggunakan media, tenaga pendidik perlu mempertimbangkan
latar belakang sosial anak didik dalam sekolah. Sebab jika media yang
digunakan tidak sesuai latar belakang sosial anak didik maka materi pelajaran
atau pesan yang dikirim tentunya tidak bisa tersampaikan secara optimal.
Bahkan pembelajaran akan menjadi bias karena media yang digunakan tenaga
pendidik tidak sesuai dengan kondisi sosial anak didik.
Misalnya, seorang tenaga pendidik yang mengajar di sekolah yang rata-
rata peserta didiknya berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial kurang
maju. Mereka belum pernah melihat tampilan slide berbasis komputer, lalu
pendidik menyampaikan materi dengan menggunakan LCD dan dihiasi dengan
berbagai animasi gambar, maka peserta didik akan lebih memperhatikan
kecanggihan media dan animasi yang ditampilkan. Sementara materi
pelajarannya tidak diperhatikan sehingga pembelajaran menjadi bias karena
media yang dipilih tidak sesuai kondisi sosial anak didik. Begitu sebaliknya,
tenaga pendidik yang mengajar di sekolah yang anak didiknya berasal dari
keluarga yang kondisi sosialnya lebih maju dan sehari-hari telah berinteraksi
dengan komputer serta jenis media berbasis komputer lainnya. Maka saat tenaga
4
pendidik memilih media yang tradisional peserta didik akan makin menurun
motivasi belajarnya dan tidak fokus pada materi yang disampaikan tenaga
pendidik. Padahal di antara fungsi dan manfaat media pembelajaran adalah
untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan peserta didik dalam
pembelajaran.
Untuk itu, landasan sosiologis perlu dipertimbangkan tenaga pendidik
dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. Tenaga pendidik perlu
menganalisis latar belakang sosial anak didik dalam menggunakan media
pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi kesesuaian media
dengan kondisi sosial anak didik.
2. Landasan religius
Landasan Religius merupakan manusia sebagai khalifah, cerminan dari
bentuk kepedulian dalam menjalani kehidupan Tuhan di muka bumi. Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang individual differences agar dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.
3. Landasan yuridis
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 4 (1) (Depdiknas, 2003) dinyatakan bahwa: pendidikan di negeri ini
5
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa. Pasal 5 (2) menyatakan warga Negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental dan atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus. Dalam penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut dilakukan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus.
4. Landasan Pedagogis
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
6
dengan saling membutuhkan. Sistem pendidikan harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga
mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi
seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan agama khususnya agama Islam antara lain ditegaskan dalam
ayat suci Al-Quran juga menyatakan tentang hak anak dan semua makhluk itu
sama di sisi Allah, seperti surat At-Tin (ayat 95; 4), berbunyi, “ sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”. Ayat tersebut
menyatakan bahwa Allah menciptakan semua makhluknya baik dan punya
potensi, walaupun secara fisik mereka punya kekurangan, tetapi disisi lain
mereka punya kelebihan, untuk itu kenapa mereka harus dibedakan. Begitu juga
dalam surat An-Nisa’( 4 -9) berbunyi, “dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, dan mereka khawatir terhadap (kesejahteraan ) mereka, oleh sebab
itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Selanjutnya dalam
surat Al-Hujarat ayat 11-13 berbunyi. “ hai orang-orang yang beriman,
janganlah satu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi
mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olokkan.
Dalam surat An-Nur ayat 61 menjelaskan bahwa “Tidak ada halangan bagi
orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan
tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu
sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah
saudarasaudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan,.......
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu
memahaminya”. Makna yang tersurat pada ayat tersebut, bahwa Allah tidak
membedakan kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang, yang Allah bedakan
adalah keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Dari pandangan religius tersebut dapat dimaknai bahwa semua ciptaan
Allah itu sama dan mempunyai hak yang sama dalam pendidikan, baik mereka
mempunyai kelebihan maupun mereka yang mempunyai kekurangan atau
kelainan seperti anak berkebutuhan khusus.
7
2. Landasan Yuridis
Sesuai Permendiknas no 70 tahun 2009, landasan yuridis penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah sebagai berikut : Nasional :
1) UUD 1 945 (amandemen) pasal 3 1
• ayat ( 1 ) : "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
• ayat (2) : "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
danpemerintah wajib membiayainya".
8
5) Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan pasal 127 sampai dengan 142
3. Landasan Pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi melalui pendidikan,
peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan
bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.
Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman
sebayanya.
9
4. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat
sejak 1980-an, namun penelitian yang berskalabesar dipelopori oleh the
National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau
tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan
agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan
hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa
pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat suiit untuk melakukan identifikasi
dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka
yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Prisoner (2003) yang melakukan survey pad a kepala sekolah tentang sikap
mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima
kepala sekolah tersebut (20%) memiliki sikap yang positif tentang penerapan
pendidikan inklusif sementara yang lainnya tidak jelas. Lebih lanjut, dalam
kelas yang dipimpin oleh Kepala yang memiliki sikap positif tersebut, siswa
lebih mungkin dididik dengan caracara yang sedikit tidak dibenarkan dalam
proses pembelajaran. Dalam penelitian yang berkaitan dengan sikap guru,
Mcleske Waldron, So, Swanson, dan Loveland (2001) mencmukan bahwa guru-
guru dalam sekolah inklusif lebih memiliki sikap positif terhadap peran guru
inklusi dan dampaknya dari pada guru pada sekolah reguler.
Lebih lanjut, Meyer (2001) mengatakan bahwa siswa yang memiliki
kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki keberhasilan yang lebih besar
manakala mereka memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang menerima
mereka khususnya yang berkaitan dengan hubungan sosial dan persahabatan
mereka dengan masyarakatnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Irdamurni dan Rahmiati. 2015. Pendidikan Inklusif sebagai Solusi dalam Mendidik
Anak. Bekasi : Paedea.
Hidayah, Nurul dkk. 2019. Pendidikan Inklusi dan Anak Berkebutuhan Khusus. D.I.
Yogyakarta: Samudra Biru.