Anda di halaman 1dari 12

TUGAS RESUME PENDIDIKAN INKLUSIF

TENTANG

LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF

OLEH :
ANISA FADILAH
(NIM. 21002036)

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. DAMRI, M.Pd DAN Dr. JON EFENDI, M.Pd

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN


FALKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF

Menurut Amka (2018:32-42) ada tiga landasan penggunaan media


pembelajaran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi tenaga pendidik dalam
memilih media yang tepat sesuai isi dan tujuan dalam materi pembelajaran. Ketiga
landasan tersebut adalah landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan
sosiologis. Berikut ini diuraikan deskripsi masing-masing landasan.
1. Landasan Filosofis
Dalam pembelajaran pasti terjadi interaksi antara tenaga pendidik dan
peserta didik. Interaksi ini sebetulnya merupakan proses untuk mencari makna
secara bersama, yaitu penguasaan materi pembelajaran. Dalam pembelajaran
juga ada tujuan, materi pelajaran, strategi, dan evaluasi untuk mengukur
keberhasilan.
Sehingga pembelajaran tidak lepas dari usaha pencarian kebenaran yang
terdiri dari kegiatan berlogika, beretika, dan berestetika. Dalam pembelajaran
tenaga pendidik dan peserta didik berusaha mencari mana yang benar dan mana
yang salah. Kegiatan ini disebut kegiatan berlogika.
Selain itu, tenaga pendidik dan peserta didik juga melakukan kegiatan
dalam pembelajaran untuk mencari mana yang baik dan mana yang buruk.
Kegiatan ini disebut kegiatan beretika. Jika setelah pembelajaran peserta didik
dan tenaga pendidik bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk maka
pembelajaran tersebut telah berhasil. Begitu juga saat berestetika. Tenaga
pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran juga dituntut mencari dan
menemukan antara yang indah dan tidak indah. Jika setelah pembelajaran
tenaga pendidik dan peserta didik bisa membedakan antara indah dengan tidak
indah maka pembelajaran tersebut dinilai berhasil.
Persoalan ini membutuhkan jawaban secara jelas melalui jawaban
filosofis, yaitu usaha memahami dan menemukan makna pembelajaran secara
sistematis, radikal, dan empiris. Untuk memahami landasan filosofis ini perlu
dimengerti sekilas tentang filsafat itu sendiri.

1
Filosofis (filsafat) secara harfiah berarti cinta kebijakan. Berfilsafat berarti
mengerti berbuat bijak. Berfilsafat berarti pula berfikir sampai ke akar.
Secara akademik, filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan
menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang alam
semesta dan kedudukan manusia di dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap
sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur dalam pengalaman manusia.
Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat
segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba
mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Untuk itu, sering dikatakan
bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.
Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam
mengkaji atau memahami alam semesta ini. Ilmu menggunakan pendekatan
analitik, berusaha menguraikan keseluruhan dalam bagianbagian yang kecil dan
lebih kecil. Filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian
ke dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan
dengan fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sein), berusaha melihat segala
sesuatu secara obyektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat
melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das Sollen), faktor-
faktor subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Filsafat dan ilmu
mempunyai hubungan yang saling mengisi dan melengkapi (komplementer).
Filsafat memberikan landasan-landasan dasar bagi ilmu. Keduanya dapat
memberikan bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupannya.
Pendapat para filsuf umumnya memandang filsafat umum sebagai dasar
dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan
yang hampir sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan
adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan
kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun
dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan
metafisika, epistemologi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang
berbeda.

2
2. Landasan Psikologis
Kondisi psikologis anak didik dalam satu kelas biasanya berbeda
perkembangannya. Sehingga dalam melakukan interaksi antar peserta didik dan
tenaga pendidik juga tidak bisa disamaratakan. Pemberian materi dan
penggunaan media pembelajaran pun perlu disesuaikan dengan kondisi
psikologis anak yang beragam tersebut.
Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai
individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi
dengan lingkungannya. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dari
ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-
faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung
pada konteks, peranan, dan status individu di antara individuindividu yang
lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan
kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya.
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah
membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai
menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan,
perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak
tetap berkembang, tetapi dengan pendidikan di sekolah tahap perkembangannya
menjadi lebih tinggi dan lebih luas.
Dari penjelasan di atas, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari
media pembelajaran, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan, memilih, dan
menerapkan media serta teknik-teknik evaluasi.

3
3. Landasan Sosiologis
Penggunaan media pembelajaran juga tidak bisa dilepaskan dengan
kondisi sosiologis anak didik. Sebab kondisi sosiologis ini juga mempengaruhi
respon anak didik terhadap media yang digunakan tenaga pendidik dalam
pembelajaran. Kesesuaian media dengan kondisi sosial anak didik dapat
meningkatkan efektifitas dan efisiensi media yang digunakan.
Secara sosiologis, pendidikan dapat dipahami sebagai proses budaya.
Dalam koteks kebudayaan manusia dibina dan dikembangkan sesuai dengan
nilai budayanya untuk menjadi manusia berbudaya. Kebudayaan dinyatakan
sebagai cipta, karsa, dan rasa yang dihasilkan manusia melalui ide, kegiatan,
dan karyanya. Ide manusia bersifat abstrak dapat berupa konsep, gagasan, nilai,
dan norma. Kegiatan budaya merupakan tindakan berpola dari manusia
kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat. Sedangkan hasil karya manusia
berbudaya depat berupa benda-benda dan nilai-nilai budaya.
Dalam menggunakan media, tenaga pendidik perlu mempertimbangkan
latar belakang sosial anak didik dalam sekolah. Sebab jika media yang
digunakan tidak sesuai latar belakang sosial anak didik maka materi pelajaran
atau pesan yang dikirim tentunya tidak bisa tersampaikan secara optimal.
Bahkan pembelajaran akan menjadi bias karena media yang digunakan tenaga
pendidik tidak sesuai dengan kondisi sosial anak didik.
Misalnya, seorang tenaga pendidik yang mengajar di sekolah yang rata-
rata peserta didiknya berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial kurang
maju. Mereka belum pernah melihat tampilan slide berbasis komputer, lalu
pendidik menyampaikan materi dengan menggunakan LCD dan dihiasi dengan
berbagai animasi gambar, maka peserta didik akan lebih memperhatikan
kecanggihan media dan animasi yang ditampilkan. Sementara materi
pelajarannya tidak diperhatikan sehingga pembelajaran menjadi bias karena
media yang dipilih tidak sesuai kondisi sosial anak didik. Begitu sebaliknya,
tenaga pendidik yang mengajar di sekolah yang anak didiknya berasal dari
keluarga yang kondisi sosialnya lebih maju dan sehari-hari telah berinteraksi
dengan komputer serta jenis media berbasis komputer lainnya. Maka saat tenaga

4
pendidik memilih media yang tradisional peserta didik akan makin menurun
motivasi belajarnya dan tidak fokus pada materi yang disampaikan tenaga
pendidik. Padahal di antara fungsi dan manfaat media pembelajaran adalah
untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan peserta didik dalam
pembelajaran.
Untuk itu, landasan sosiologis perlu dipertimbangkan tenaga pendidik
dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. Tenaga pendidik perlu
menganalisis latar belakang sosial anak didik dalam menggunakan media
pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi kesesuaian media
dengan kondisi sosial anak didik.

Sedangkan menurut Hidayah (125-126) mengatakan bahwa pelaksanaan


pendidikan inklusi berbeda pelaksanaanya dengan konsep pendidikan lainnya yang
tidak mengedepankan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dalam pelaksanaan
pendidikan inklusi agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan
landasan sebagai berikut:
1. Landasan filosofis
Landasan filosofis pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia ialah
Pancasila yang dicirikan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan semangat
bersatu dalam keragaman, maka pendidikan inklusi harus mampu bersinergi
dan saling menghargai dengan perbedaan yang ada.

2. Landasan religius
Landasan Religius merupakan manusia sebagai khalifah, cerminan dari
bentuk kepedulian dalam menjalani kehidupan Tuhan di muka bumi. Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang individual differences agar dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.

3. Landasan yuridis
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 4 (1) (Depdiknas, 2003) dinyatakan bahwa: pendidikan di negeri ini

5
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa. Pasal 5 (2) menyatakan warga Negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental dan atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus. Dalam penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut dilakukan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus.

4. Landasan Pedagogis
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Adapun menurut Irdamurni (2015:10) penerapan pendidikan inklusif


mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
1. Landasan filosofis
Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang
merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih
mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud
pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal,
yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan
vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan
finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan
kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai
keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi,
menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi

6
dengan saling membutuhkan. Sistem pendidikan harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga
mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi
seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan agama khususnya agama Islam antara lain ditegaskan dalam
ayat suci Al-Quran juga menyatakan tentang hak anak dan semua makhluk itu
sama di sisi Allah, seperti surat At-Tin (ayat 95; 4), berbunyi, “ sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”. Ayat tersebut
menyatakan bahwa Allah menciptakan semua makhluknya baik dan punya
potensi, walaupun secara fisik mereka punya kekurangan, tetapi disisi lain
mereka punya kelebihan, untuk itu kenapa mereka harus dibedakan. Begitu juga
dalam surat An-Nisa’( 4 -9) berbunyi, “dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, dan mereka khawatir terhadap (kesejahteraan ) mereka, oleh sebab
itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Selanjutnya dalam
surat Al-Hujarat ayat 11-13 berbunyi. “ hai orang-orang yang beriman,
janganlah satu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi
mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olokkan.
Dalam surat An-Nur ayat 61 menjelaskan bahwa “Tidak ada halangan bagi
orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan
tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu
sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah
saudarasaudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan,.......
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu
memahaminya”. Makna yang tersurat pada ayat tersebut, bahwa Allah tidak
membedakan kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang, yang Allah bedakan
adalah keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Dari pandangan religius tersebut dapat dimaknai bahwa semua ciptaan
Allah itu sama dan mempunyai hak yang sama dalam pendidikan, baik mereka
mempunyai kelebihan maupun mereka yang mempunyai kekurangan atau
kelainan seperti anak berkebutuhan khusus.

7
2. Landasan Yuridis
Sesuai Permendiknas no 70 tahun 2009, landasan yuridis penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah sebagai berikut : Nasional :
1) UUD 1 945 (amandemen) pasal 3 1
• ayat ( 1 ) : "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
• ayat (2) : "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
danpemerintah wajib membiayainya".

2) UU NO. 20 TAHUN 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5


• ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu
• ayat (2) : Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus
• ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang, terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus
• ayat (4) : Warga negara yang memilikipotensi kecerdasan dan bakaT
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus

3) UU No. 23 tahim 2002 tentang Perlindungan Anak


Pasal 48: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua anak.
Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan.

4) UUNo.4 tahun l997 tentang Penyandang Cacat


Pasal 5 : Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang
sama dalam segala aspck kehidupan dar. penghidupan".

8
5) Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan pasal 127 sampai dengan 142

6) Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta


didik yang memiliki kelainan dan memiliki potens; kecerdasan dan/atau
bakat istimewa

7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen


Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003: "Setiap
kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembang kan
pendidikar. inklusif di sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri
dari SD, SMP, SMA, SMK".

8) Deklarasi Bandung: " Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif tanggal 8-14


Agustus 2004 o Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainar
lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspet. kehidupan, baik
dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial kescjahteraan, keamanan,
maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal.

3. Landasan Pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi melalui pendidikan,
peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan
bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.
Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman
sebayanya.

9
4. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat
sejak 1980-an, namun penelitian yang berskalabesar dipelopori oleh the
National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau
tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan
agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan
hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa
pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat suiit untuk melakukan identifikasi
dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka
yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Prisoner (2003) yang melakukan survey pad a kepala sekolah tentang sikap
mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima
kepala sekolah tersebut (20%) memiliki sikap yang positif tentang penerapan
pendidikan inklusif sementara yang lainnya tidak jelas. Lebih lanjut, dalam
kelas yang dipimpin oleh Kepala yang memiliki sikap positif tersebut, siswa
lebih mungkin dididik dengan caracara yang sedikit tidak dibenarkan dalam
proses pembelajaran. Dalam penelitian yang berkaitan dengan sikap guru,
Mcleske Waldron, So, Swanson, dan Loveland (2001) mencmukan bahwa guru-
guru dalam sekolah inklusif lebih memiliki sikap positif terhadap peran guru
inklusi dan dampaknya dari pada guru pada sekolah reguler.
Lebih lanjut, Meyer (2001) mengatakan bahwa siswa yang memiliki
kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki keberhasilan yang lebih besar
manakala mereka memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang menerima
mereka khususnya yang berkaitan dengan hubungan sosial dan persahabatan
mereka dengan masyarakatnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amka. 2018. Media Pembelajaran Inklusi. Sidoarjo : Nizamia Learning Center.

Irdamurni dan Rahmiati. 2015. Pendidikan Inklusif sebagai Solusi dalam Mendidik
Anak. Bekasi : Paedea.

Hidayah, Nurul dkk. 2019. Pendidikan Inklusi dan Anak Berkebutuhan Khusus. D.I.
Yogyakarta: Samudra Biru.

Anda mungkin juga menyukai