MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd., Kons.
Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D
Oleh :
Febe Simanjuntak (1310121135)
Annisa Khairina Jamine (1310121139)
Diah Charasati (1301419002)
Muchammad Aqsho (1301419011)
Mahfiroh Izzani Maulani (1301419021)
Agri Aprilia F.H (1301419064)
Eta Fatasya (1301419074)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia
serta hidayah-Nya sehingga kelompok 4 dapat menyelesaikan tugas makalah untuk
mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling dengan judul “Teori dan Pendekatan
Konseling Gestalt” dengan baik. Penulis menyadari selesainya tugas ini tidak lepas
dari bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. DYP. Sugiharto,
M.Pd., Kons. Dan Bapak Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D., selaku dosen
pengampu mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling yang telah membimbing
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun selalu penulis harapkan sebagai tambahan pengetahuan dan penerapan
disiplin ilmu pada lingkungan yang lebih luas. Penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN .....................................................................................................3
BAB III
PENUTUP .............................................................................................................24
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
3. Retroflection.
Yaitu seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjadi sesuatu,
tetapi dialihkan kepada orang lain. Sebagai contoh, saat kita mengalami
kesakitan, kita sering kali mengarahkan agresif yang kita takuti itu kepada
orang lain. Agresif yang dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit dengan
perilaku itu jauh dari kesadaran.
4. Confluence.
Yaitu tingkatan kepribadian seseorang yang tidak dapat
memperkirakan lingkaran antara dirinya dan lingkungnnya yang
mencakup orang lain, atau di mana seseorang tidak dapat mentoleransi
perbedaan dengan orang lain.
Dalam uraian diatas, ciri-ciri perilaku yang menyimpang dalam
pendekatan Gestalt untuk mengetahui agar dalam proses konseling bisa
mengetahui bahwasannya konseli termasuk dalam perilaku menyimpang
tersebut.
Menurut Gantina Komalasari, dkk (dalam Ningrum, F. G., 2017, p. 39)
individu menyebabkan dirinya terjerumus pada masalah-masalah tambahan,
karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik.
1. Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan
memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan.
2. Confluence, yaitu individu yang terlalu banyak memasukkan nilai-nilai
dirinya kepada orang lain atau memasukkan nilai-nilai lingkungan pada
dirinya, sehingga mereka kehilangan pijakan dirinya dan kemudian
lingkungan yang mengontrol dirinya.
3. Unfinished business, yaitu orang yang memiliki kebutuhan yang tidak
terpenuhi, perasaan yang tidak diekspresikan dan situasi yang belum
selesai yang mengganggu perhatiannya (yang mungkin dimainfestasikan
dalam mimpi).
4. Fragmentasi, yaitu orang yang mencoba untuk menemukan atau
menolak kebutuhannya seprti kebutuhan agresi.
15
Hal yang dapat dilakukan seorang konselor dalam terapi Gestalt adalah
mengonfrontasikan klien dengan penghindaran tanggung jawab mereka atau
meminta klien membuat keputusan tentang apa yang mereka inginkan dan
lakukan, serta bagaiman mereka ingin menyelesaikan masalahnya, karena klien
adalah orang yang paling menetukan apa yang akan atau tidak akan di jalani
dalam terapi.
2.8 Tahapan Konseling Pendekatan Gestalt
Dalam buku Teori dan Teknik konseling Dra. Gratina Komalasari,
M.Psi, Joyce dan Sill (dalam Komalasari, 2011) mengatakan bahwa proses
kenseling Gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap tahapan
memiliki peran penting dan tujuan masing-masing dalam membantu konselor
untuk melakukan proses konseling. Tahapan tersebut antara lain :
1. Tahap pertama (The beginning phase)
Ditahap ini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk
meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis
mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli
untuk mengembangkan potensi pribadi (personal support) dan
lingkungannya (Joyce & Sill 2001 dalam Safaria 2005, dalam Komalasari,
G., 2011). Dalam tahap pertama ini ada beberapa yang dilakukan oleh
konselor, antara lain :
a. Menciptakan suasana yang aman dan nyaman dalam melakukan
proses konseli
b. Mengembangkan hubungan kolaboraif.
c. Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan
gambaran kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologi.
d. Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e. Membangun hubungan yang dialogis.
f. Meningkatkan self support, khususnya dengan konseli yang
memiliki proses diri yang rentan.
g. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi kebutuhan konseli dan tema-
tema masalah yang muncul.
18
Pada tahap ini, individu menjadi lebih sadar tentang Phony Games mereka,
mereka menjadi sadar tentang ketakuan untuk mempertahankan permainan
ini. Pengalaman ini seringkali ditakuti.
3. Lapisan Impasse (The Impasse Layer)
Pada lapisan ini individu mencapai ketika mereka mendapat dukungan dan
menemukan bahwa mereka tidak mengetahui cara yang terbaik untuk
menghadapi ketakutan dan ketidaksenangan. Orang seringkali menjadi
terhambat pada tahap ini dan menolak untuk maju.
4. Lapisan Implosif (The Implosif Layer)
Pada lapisan ini individu memiliki kesadaran bahwa mereka membatasi diri
mereka, dan mereka mulai berkesperimen dengan tingkah laku baru dalam
setting konseling.
5. Lapisan Eksplosif (The Explosive Layer)
Bila eksperimen dengan tingkah laku mereka sukses diluar sering konseling,
individu baru mencapai the explosive layer, dimana mereka menemukan
banyak energi yang tidak terpakai dan terjebak dalam the phony layer
(Thompson et. Al. 2004, dalam Komalasari, 2011, p. 316).
2.9 Teknik-Teknik Pendekatan Gestalt
Beberapa teknik khusus yang dapat digunakan dalam konseling Gestalt
dalam Komalasari, dkk (2011) antara lain :
a. Empty Chair (Kursi Kosong)
Teknik ini bertujuan untuk mengatasi konflik interpersonal dan
intrapersonal dan juga membantu konseli untuk keluar dari proses introyeksi.
Konseli diminta untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog,
kemudian berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Konseli diajak
berbicara secara langsung dengan orang yang menjadi sumber konflik
seperti orang tersebut hadir di kusi kosong.
b. Topdog versus Underdog
Teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi konflik
antara “yang saya inginkan” (underdog) dan “yang seharusya” (topdog).
Konseli diminta untuk mengatakan argument yang terbaik dengan posisi
22
3.1 Kesimpulan
Terapi gestalt kembali berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an
kemudian tersebar luas dan semakin matang pada tahun 1980an. Humphrey
(1986) menegaskan peran kedudukan kedua tokoh penggagas terapi gestalt ini
bahwa Laura Postner Perls lebih mengarahkan terapi gestalt pada kontak
(contact) dan dukungan (support), sedangkan Perls lebih menekankan pada
kesadaran (awareness). Dari peran serta keduanya terapi gestalt berkembang
lebih maju dan lebih luas.
Dalam bahasa Jerman, kata Gestalt merupakan kata benda yang berarti
bentuk atau wujud. Konsep utama karya ekperimental psikologi gestal adalah
memperlihatkan bahwa manusia tidak mempersepsi berbagai hal secara
sendiri-sendiri melainkan dengan mengoranisasikannya melalui proses
preseptual menjadi keseluruhan yang bermakna. Menurut Perls tujuan
konseling Gestalt adalah membuat klien untuk tidak bergantung kepada orang
lain, tetapi membuat klien agar bisa menemukan (terutama pada saat-saat
permulaan) bahwa ia dapat berbuat banyak bahkan sebenarnya banyak sekali
yang dipikirkan dan dilakuannya.
Selanjutnya, pandangan pendekatan Gestalt terhadap manusia
dipengaruhi oleh filsafat eksistensial dan fenomenologi. Asumsi dasar
pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi
sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan
kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya.
Menurut Hartono dan Boy Soedarmadji dalam pendekatan Gestalt mempunyai
ciri kepribadian seseorang yang sehat, diantaranta (1) mampu mengatur diri
sendiri, (2) bertanggung jawab, (3) memiliki kematangan, (4) memiliki
keseimbangan diri. Ada pula ciri – ciri kepribadian seseorang yang
24
menyimpang adalah (1) Introjection, (2) Projection, (3) Retroflection, (4)
Confluence.
Konselor memiliki beberapa peran dan fungsi, antara lain: Konselor
berfokus pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, dan hambatan energi;
Konselor memiliki peranan dalam menciptakan hidup baru konseli; Konselor
berperan sebagai projection screen; serta konselor harus dapat membaca
bentuk bahasa konseli. Selain itu, Gestalt juga mempunyai tahapan-tahapan
penting yang bertujuan membantu konselor untuk melakukan proses konseling,
yaitu: Tahap pertama (The beginning phase), Tahap kedua (clearing on the
ground), Tahap ketiga (the existential encounter), Tahap keempat (integration)
dan Tahap kelima (Ending).
Dalam pendeatan Gestalt ini memiliki beberapa teknik khusus yang
dapat digunakan dalam konseling Gestalt, yaitu: Empty Chair (Kursi Kosong),
Topdog versus Underdog, Making The Rounds (Membuat Serial), Assuming
Responsibility, Playing Projection (Bermain Proyeksi), Reversal Technique
(Pembalikan), The Rehearsal Experiment (Latihan Gladiresik), The
Exaggeration Experiment (Latihan Melebih-Lebihkan), Staying With The
Feeling (Tetap pada perasaan) dan Bahasa “Saya” (“I” Languange).
25
DAFTAR PUSTAKA
26