Anda di halaman 1dari 30

TEORI DAN PENDEKATAN KONSELING GESTALT

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd., Kons.
Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D

Oleh :
Febe Simanjuntak (1310121135)
Annisa Khairina Jamine (1310121139)
Diah Charasati (1301419002)
Muchammad Aqsho (1301419011)
Mahfiroh Izzani Maulani (1301419021)
Agri Aprilia F.H (1301419064)
Eta Fatasya (1301419074)

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia
serta hidayah-Nya sehingga kelompok 4 dapat menyelesaikan tugas makalah untuk
mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling dengan judul “Teori dan Pendekatan
Konseling Gestalt” dengan baik. Penulis menyadari selesainya tugas ini tidak lepas
dari bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. DYP. Sugiharto,
M.Pd., Kons. Dan Bapak Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.D., selaku dosen
pengampu mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling yang telah membimbing
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun selalu penulis harapkan sebagai tambahan pengetahuan dan penerapan
disiplin ilmu pada lingkungan yang lebih luas. Penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Semarang, 18 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................3

BAB II
PEMBAHASAN .....................................................................................................3

2.1 Pendiri Pendekatan Gestalt .................................................................................. 3


2.2 Sejarah Pendekatan Gestalt .................................................................................. 4
2.3 Konsep Dasar Pendekatan Gestalt .................................................................4

2.4 Hakikat Dan Tujuan Konseling Pendekatan Gestalt .....................................7

2.5 Pandangan Pendekatan Gestalt Tentang Manusia ........................................10

2.6 Asumsi Perilaku Bermasalah Dalam Pendekatan Gestalt ...........................11

2.7 Peran Dan Fungsi Konselor Dalam Pendekatan Gestalt .............................15

2.8 Langkah-langkah Pendekatan Gestalt .........................................................17

2.9 Teknik-Teknik Pendekatan Gestalt .............................................................21

BAB III
PENUTUP .............................................................................................................24

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Banyak Teori belajar menurut psikologi Gestalt ini sering pula disebut
field theory atau insight full learning. Melihat kepada nama teori ini dan kepada
aliran psikologi yang mendasarinya, yakni psikologi Gestalt, jelaslah kiranya
bahwa pendapat teori ini berbeda dengan pendapat-pendapat teori behavioristik.
Menurut para ahli psikologi Gestalt, manusia bukan hanya sekedar makhluk
reaksi yang hanya berbuat atau bereaksi jika ada perangsang yang
mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan
jasmani dan rohani. Sebagai induvidu, manusia bereaksi atau lebih tepat
berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang
unik pula.
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang
mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data
dalam psikologi Gestalt disebut sebagai phenomena (gejala). Phenomena
adalah data yang paling dasar dalam Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi
Gestalt sependapat dengan filsafat phenomenologi yang mengatakan bahwa
suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu phenomena terdapat
dua unsur yaitu obyek dan arti. Obyek merupakan sesuatu yang dapat
dideskripsikan, setelah tertangkap oleh indera, obyek tersebut menjadi suatu
informasi dan sekaligus kita telah memberikan arti pada obyek itu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapakah pengembang atau pendiri Pendekatan Gestalt?
2. Seperti apa sejarah konseling Pendekatan Gestalt?
3. Seperti apa konsep dasar Pendekatan Gestalt?
4. Apa saja hakikat dan tujuan konseling pendekaran Gestalt?
5. Seperti apa pandangan Pendekatan Gestalt tentang manusia?
6. Seperti apa asumsi perilaku bermasalah dalam Pendekatan Gestalt?
7. Bagaimana peran dan fungsi konselor dalam Pendekatan Gestalt?

1
2

8. Apa saja tahap-tahap konseling dengan menggunakan Pendekatan Gestalt?


9. Apa saja teknik-teknik yang digunakan dalam Pendekatan Gestalt?
1.3 Tujuan
1. Mengenal pengembang atau pendiri Pendekatan Gestalt.
2. Mengenal seperti apa sejarah konseling Pendekatan Gestalt.
3. Mengenal konsep dasar Pendekatan Gestalt.
4. Mengenal apa saja hakikat dan tujuan konseling pendekaran Gestalt.
5. Mengenal seperti apa pandangan Pendekatan Gestalt tentang manusia.
6. Mengenal apa asumsi perilaku bermasalah dalam Pendekatan Gestalt.
7. Mengenal bagaimana peran dan fungsi konselor dalam Pendekatan Gestalt.
8. Mengenal apa saja tahap-tahap konseling dengan menggunakan Pendekatan
Gestalt.
9. Mengenal apa saja teknik-teknik yang digunakan dalam Pendekatan Gestalt.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendiri Pendekatan Gestalt


Membahas sejarah dan perkembangan terapi gestalt tidak dapat
mengabaikan peran Frederik S (“Fritz”) Perls (1893-1970) dan istrinya Laura
Postner Perls (1905-1990) sebagai pencetus atau penggagas terapi gestalt.
Frederick Soloman Perls merupakan orang dari keturunan Yahudi. Humprey
(Corey, 2005, dalam Rahman, I. K, 2017) menjelaskan secara lebih rinci bahwa
bapak terapi gestalt ini lahir di Berlin dari keluarga Yahudi kelas menengah.
Dalam proses tumbuhnya, ia sering mendapatklan perlakuan kasar dari ibunya.
Kedua orang tuanya sering bertengkar, hidup dalam keluarga yang kurang
harmonis. Ayahnya adalah seorang hipokrit, yang mengkothbahkan suatu hal
namun hidup dengan cara yang berbeda dengan yang dikothbahkanya. Selama
masa pubertas, Perls sering dijadikan kambing hitam dalam keluarganya.
Pengalaman penolakan dan rasa tidak aman mempengaruhi sikap dan
pemikirannya pada kehidupan selanjutnya. (Jones, N. R., dalam Kholifah,
2016).
Perls pada awalnya menekuni dunia kedokteran, dan hidupnya sering
berpindah-pindah semenjak terjadinya perang dunia pertama. Dengan
kehidupan yang sering berpindah mulai dari Eropa, Afrika bahkan ke Amerika
turut mempengaruhi Perls pada ide-ide dan hasil pemikirannya. Gerakan gestalt
ini berkembang menjadi sebuah aliran psikologi gestalt. Perkembangannya
bersamaan dengan perkembangan aliran Behaviorisme di Amerika Serikat.
Aliran psikologi gestalt ini muncul karena adanya ketidakpuasan dan
penentangan terhadap aliran strukturalis atau struktural Wundt. Tujuan
Psikologi Gestalt adalah menyelidiki organisasi aktifitas mental dan
mengetahui secara tepat karakteristik manusia-lingkungan. Psikologi Gestalt
didasari oleh filsafat eksistensialisme dan fenomenologi. (Humprey, dalam
Corey, 2005, dalam Rahman, I. K, 2017).
4

Hingga tahun 1930 gerakan gestalt berhasil mempengaruhi dan


mendominasi bahkan mampu menggantikan model Wunditian dalam psikologi
Jerman. Namun gerakan gestalt tidak berlangsung lama karena munculnya
hitlerisme. Tokoh-tokoh terkemuka Psikologi Gestalt di antaranya Wolfgang
Kohler (1887-1967), Kurt Koffka (1886-1941), dan Max Wertheimer (1880-
1943) kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Setelah kepindahannya terasa pula
pengaruhnya pada psikologi di Amerika Serikat terutama nampak pada aliran
Kognitif dan Humanisme (Corey, 2009; Davidoff, 1988, dalam Rahman, I. K,
2017). Namun dalam perkembangan selanjutnya psikologi gestalt tidak
memperoleh dominasi seperti di Jerman.
Terapi gestalt kembali berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an
kemudian tersebar luas dan semakin matang pada tahun 1980an (Aronstan,
1989; Clarkson dan Mackewn, 1994; Fagan dan Shepherd, 1970; Oaklander,
1994; Phares, 1984; Thomson dan Rudolph, 1996; Bloom, 2006: 21).
Humphrey (1986 dalam Corey, Rahman, I. K, 2017) menegaskan peran
kedudukan kedua tokoh penggagas terapi gestalt ini bahwa Laura Postner Perls
lebih mengarahkan terapi gestalt pada kontak (contact) dan dukungan (support),
sedangkan Perls lebih menekankan pada kesadaran (awareness). Dari peran
serta keduanya terapi gestalt berkembang lebih maju dan lebih luas.
Perls dan Laura Perls istrinya, berhasil mendirikan South Africa
Institute for Psycoanalysis (1935), New York Institute for Gestalt Therapy
(1952) dan Cleveland Institute for Gestalt Psycotheraphy (1954). Perls
meninggal pada usia 76 tahun, dan hasil karya yang diterbitkan setelah
kematiannya berjudul The Gestalt Approach dan eye Witness to Theraphy.
(Jones, N. R., dalam Kholifah, 2016).
2.2 Sejarah Pendekatan Gestalt
Pendekatan Gestalt adalah pendekatan yang termasuk dalam
pendekatan phenomenological-existen-tial yang diprakarsai oleh Frederick
(Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an. Pendekatan ini mengajarkan
konselor dan konseli metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana
4

Individu memahami, merasakan dan bertindak serta membedakannya dengan


interpretasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman masa lalu. Sejarah
pendekatan Gestalt diawali sejak tahun 1926 ketika Perls mendapatkan gelar
Medical Doctor (M.D). Laura Posner Perls, istri Perls adalah tokoh yang
bersama-sama Fritz Perls mengemukakan pendekatan Gestalt.
Pendekatan Gestalt dimulai ketika Perls menulis Ego, Hunger and
Aggression pada tahun 1941-1942. Pada tahun 1950-an, berbagai workshop dan
diskusi secara intensif dilakukan di banyak Negara bagian di Amerika Serikat
dan kemudian pada tahun 1955, kelompok diskusi ini mendirikan diskusi the
Gestalt Institute of Cleveland (Yotnef 1993). Walaupun pada awalnya Perls
adalah seorang psikologis, ia mengkritik pendekatan psikoanalisis Freud.
Pertama pendekatan psikoanalisis bersifat mekanistik, sedangkan
Gestalt melihat manusia secara holistik. Gestalt melihat setiap elemen
kepribadian berhubungan dengan keseluruhan kepribadian. Kedua, Gestalt
menekankan pada kesadaran disini dan sekarang (here and now) dan
menekankan pentingnya mengevaluasi kondisi dan situasi konseli sekarang.
Ketiga, Gestalt pendekatan berfokus pada proses konseling bertujuan mencapai
pemahaman diri tentang apa yang mereka lakukan pada saat ini, sementara
psikoanalisis berfokus pada mengapa individu bertingkah laku.
Dengan demikian Perls, lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-
bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal
penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia. (Ningrum, F. G., 2017, p. 29-
30).
2.3 Konsep Dasar Pendekatan Gestalt
Dalam bahasa Jerman, kata Gestalt merupakan kata benda yang berarti
bentuk atau wujud. Dalam makna kata kerjanya adalah to form, to shape, to
fashion, to organize dan to structure. Konsep utama karya ekperimental
psikologi gestal adalah memperlihatkan bahwa manusia tidak mempersepsi
berbagai hal secara sendiri-sendiri melainkan dengan mengoranisasikannya
melalui proses preseptual menjadi keseluruhan yang bermakna. Seperti halnya,
5

ketika seseorang melihat sebaris titik-titik mungkin bisa dipersepsi sebagai


sebuah garis lurus. (Jones, N. R., dalam Kholifah, 2016, p. 111).
Seperti telah dipaparkan, bahwa terapi Gestalt memandang eksistensial
manusia dan fenomenologinya, sehingga dalam terapinya Gestalt
memfokuskan pemulihan kesadaran dan polaritas serta dikotomi-dikotomi
dalam diri sesroang sehingga ia sadar dapat menerima tanggung jawab pribadi,
dan dapat melalui cara-cara yang menghambat kesadarannya. Pendekatan ini
menitikberatkan pada individu bahwa ia memiliki kesanggupan memikul
tanggungjawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu.
(Jones, N. R., dalam Kholifah, 2016, p. 112).
1. Saat sekarang
Dalam hubungannya dengan perjalanan hidup manusia, pendekatan
Gestalt memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Yang
berarti masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena itu
yang menuntaskan segala permasalahan yang dialami oleh manusia adalah
masa sekarang (here and now). Lebih lanjut menurut Perls (Jones, N. R.,
dalam Kholifah, 2016, p. 112) sebagaimana yang dikutip oleh Corey,
individu yang menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku
pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan yang menjadikannya
sebagai kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian.
Maka dalam praktiknya, konselor diarahkan untuk membantu
konseli kontak dengan saat sekarang, dengan menggunakan pertanyaan
“apa” dan “bagaimana” bukan menggunakan pertanyaan “mengapa”.
Misalnya, “apa yang sedang Anda alami sekarang saat Anda duduk di sana
dan mencoba berbicara?”. Jadi dalam hal ini, apabila konseli berbicara
tentang masa lalunya, maka konselor meminta konseli agar membawa masa
lalunya kesana sekarang dengan menjalaninya seolah-olah masa lalunya
sedang terjadi pada saat sekarang. Hal ini diyakini oleh Perls, bahwa
kebanyakan orang akan cenderung bergantung kepada masa lampau untuk
membenarkan ketidaksediaan dan ketidakmampuannya memikul
6

tanggungjawab atas dirinya sendiri. (Jones, N. R., dalam Kholifah, 2016, p.


112).
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa terapi Gestalt sebenarnya
berfokus pada keadaan sekarang yang harus dilakukan oleh konseli, maka
tugas konselor selanjutnya adalah membuat konseli itu sadar bahwa apa
yang dilakukan pada saat sekarang adalah wujud dari rasa sadarnya. Perls
sebagaiman dikutip oleh Jones, mengatakan bahwa “Now 1 am aware
(sekarang saya sadar) sebagai landasan pendekatan Gestalt. (Jones, N. R.,
dalam Kholifah, 2016, p. 112) Konseli diminta sadar akan bahasa tubuhnya,
kualitas suaranya, dan emosi-emosinya.
2. Urusan yang tak selesai
Urusan yang tak selesai (unfinished business) yang dimaskud dalam
pendekatan ini menurut Perls (dalam Safaria, dalam Kholifah, 2016, p. 114)
adalah “sebuah situasi atau konflik di masa lalu, khususnya yang bersifat
traumatis dan sulit, yang belum mencapai pemecahan memuaskan atau
diatasi secara baik dalam kehidupan konseli”. Urusan dan perasaan-prasaan
yang telah terjadi di masa lampau dan tidak terselesaiakan dipaksa ditekan
di bawah sadar oleh individu sehingga mengendap menjadi konflik.
Perasaan-perasaan tersebut seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit
hati, kecemasan, kedudukan, rasa diabaikan dan sebagainya.
Incomplete business adalah perasaan-perasaan yang tidak dapat
diekspresikan pada masa lalu seperti kesakitan, kecemasan, perasaan
bersalah, kemarahan, dan sebagainya. Walaupun perasaan-perasaan
tersebut tidak diekspresikan, ia berkaitan dengan ingatan dan fantasi. Hal
ini karena perasaan ini tidak diekspresikan dan terus mengganggu
kehidupan masa sekarang, dan membuat individu tidak dapat melakukan
kontak dengan orang lain dengan autentik. Incomplete business memiliki
efek yang dapat mengganggu individu, seperti kecemasan yang berlebihan
sehingga individu tidak dapat memperhatikan hal penting lain (distraction),
tingkah laku yang tidak terkontrol (habitual conduct), terlalu berhati-hati
(watchfulness abusive energy) dan menyakiti diri sendiri (pointless
7

conduct) (Corey, 1986, dalam Komalasari, 2011). Contohnya, seorang laki-


laki tidak pernah merasakan disayangi dan diterima oleh ibunya. Karenanya,
ia merasa selalu tidak cukup kuat untuk mengambil keputusan. la selalu
membutuhkan dukungan dan persetujuan ibu, bila ia menjalin hubungan
dengan perempuan. Ketika ia menjalin hubungan dengan perempuan, ia
menempatkan diri sebagai anak dari pada sebagai accomplice (Corey, dalam
komalasari, 2011).
Lebih lanjut Safaria (dalam Kholifah, 2016, p. 114) menyatakan
bahwa urusan yang tak selesai, dianggap dalam pendekatan ini muncul
akibat perasaan tidak nyaman dan frustasi sehingga adanya situasi ini, dapat
dilihat pada konseli yang mengalami gangguan post-traumatik stress
disorder, di mana konseli seolah-olah masih saja mengalami dan
merasakannya hingga saat ini. Urusan yang tak selesai ini juga dapat dilihat
pada konseli yang pada masa kanak-kanaknya mengalami pelecehan
seksual (sexual abuse) sehingga menjadi sulit untuk mencintai orang lain,
apalagi dicintai orang lain. Tujuan konseling dalam pendekatan ini adalah
bagaiamana konseli mendapat dukungan dari konselor, untuk memunculkan
situasi-situasi yang tak selesai dimunculkan saat sekarang dan saat ini
sehingga konseli dapat mencapai pemahaman dirinya dan mencapai
pemecahan yang memuaskan (Safaria, dalam Kholifah, 2016, p. 114).
Kondisi demikian, dapat mendorong konseli mengalami kecemasan dan
depresi akibat mengulangi kejadian masa lalu, sehingga proses konseling
ini dimungkinkan akan berjalan lama melalui sesi-sesi yang panjang.
2.4 Hakikat dan Tujuan Konseling Pendekatan Gestalt
Konseling Gestalt adalah holistik daripada pengurangan; ini
diperhatikan dengan perbedaan dari dan interrelationship pada bagian yang
membungkus lubang, dari pada menfokuskan pada bagian yang terisolasi dari
satu yang lainnya (Shane, 1999 dalam Capuzzi, 2003). Konseling Gestalt
sebagai suatu pendekatan konseling memiliki karakteristik yang perlu
diperhatikan oleh konselor maupun terapis dalam penggunaan pendekatan ini.
Karakteristik tersebut adalah:
8

1. Orientasi afektif – tindakan, artinya dalam proses konseling, hubungan


konseling lebih menekankan hubungan afektif antara konselor dan konseli
dalam rangka mencapai tujuan perubahan tingkah laku.
2. Pemusatan pada pengalaman, konseling Gestalt dipusatkan pada
pencapaian kesadaran di sini dan saat ini dan mendorong konseli berupaya
memperoleh atau mencapai kesadaran tersebut. Sebagai suatu pendekatan
eksperiensial, konseling Gestalt tidak berkaitan dengan gejala-gejala dan
analisis, melainkan berkenaan dengan integrasi dan keberadaan yang
bersifat kesatuan.
3. Keaktifan, konselor Gestalt cenderung aktif dan menggunakan berbagai
teknik yang berorientasi tindakan yang dirancang untuk mengintegrasikan
perasaan dan pengalaman konseli.
4. Pemusatan pada tanggungjawab konseli, konseling Gestalt berpusat pada
peningkatan kesadaran konseli untuk bertanggungjawab terhadap
tindakan, perasaan dan pikiran termasuk hal-hal yang mungkin tidak
disadarinya. Untuk mencapai keadaan tersebut, konselor Gestalt menolak
pencarian sebab-sebab tingkah laku, perasaan dan pikiran. Sebagai
gantinya, konselor mendorong konseli untuk mencoba aktivitas spesifik
yang dirancang untuk meningkatnya kesadaran konseli.
5. Penekanan pada situasi sekarang dan di sini, bantuan dalam konseling
Gestalt dibangun berdasarkan tingkah laku nyata saat ini dan disini.
Konselor memperhatikan postur, lagak, gerak-isyarat, suara, dan ekspresi
konseli. Misalnya, konseli diminta untuk mengalami posturnya dan
kemudian menverbalkan pengalaman tersebut ke dalam kalimat atau kata-
kata mengenai makna eksistensial dari postur tersebut.
6. Penekanan pada proses dari pada isi konseling, konselor Gestalt
menekankan pada pentingnya apa yang dialami konseli saat ini dari pada
isi yang diungkapkannya. Dalam hal ini, cara seseorang berperilaku pada
saat sekarang jauh lebih penting terhadap pemahaman diri dari alasan
mereka berbuat demikian.
9

7. Penekanan pada tantangan, meskipun konselor Gestalt meyakini bahwa


kesadaran bersifat kuratif, namun sejumlah tantangan atau frustasi yang
timbul dari kebutuhan konseli harus ada jika konseli tersebut ingin tumbuh
dan belajar mendukung dirinya sendiri. Oleh karena itu, konselor tidak
akan mengizinkan konseli memanipulasi konselor tersebut agar
mengambil tanggungjawab bagi pemenuhan kebutuhan dirinya sehingga
konseli belajar menjadi individu yang mandiri.
Konseling Gestalt mempunyai bebagai tujuan yang penting. Tujuan
yang mendasar adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai
macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini
mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan
terhadap lingkungan menjadi percaya pada diri sendiri. Menurut Perls (dalam
Corey, G., 2013, p. 123) tujuan konseling Gestalt adalah membuat klien untuk
tidak bergantung kepada orang lain, tetapi membuat klien agar bisa
menemukan (terutama pada saat-saat permulaan) bahwa ia dapat berbuat
banyak bahkan sebenarnya banyak sekali yang dipikirkan dan dilakuannya.
Perls juga beranggapan bahwa umumnya manusia belum
memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan
sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Oleh karena potensi yang baru
dimanfaatkan sebagian ini perlu diarahkan agar setahap-demi setahap potensi-
potensi tersebut berkembang dan dapat dimanfaatkan secara utuh.
Sehubungan dengan pandangan ini Maslow (dalam Sugiharto, D. Y. P.,
& Mulawarman, 2021, p. 18-20) juga berpendapat bahwa pada umumnya
kehidupan manusia seperti sudah terpola dan stereotype. Hal ini tercermin pada
tingkah laku individu dalam memerankan dirinya sendiri yang begitu-begitu
saja, kurang adanya variasi dalam berperan yang sesuai dengan tuntutan dan
tantangan dalam masyarakat. Secara terus-menerus individu cenderung
menggunakan model-model dan cara-cara yang sama dalam memerankan
dirinya. Padahal seandainya individu itu mau mencari akan dapat ditemukan
berbagai alternatif cara untuk memerankan dirinya. Bila individu telah
menemukan dan mau memanfaatkan bagaimana menjaga dan melaKukan
10

usaha-usaha pencegahan terhadap kenyataan yang tidak mengenakan dengan


keseluruhan potensinya, maka di samping individu akan mampu
mengembangkan berbagai macam cara, juga dapat memperkaya kehidupannya.
Dalam pandangan Gestalt keseluruhan potensi ini merupakan dasar dari sikap
dan tingkah laku manusia yang saat dapat menimbulkan atau membuat
perasaan nyaman dan sehat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tujuan
konseling adalah membantu klien agar mampu menghayati dan
mengembangkan kehidupan secara lebih luas, lebih lengkap atau menyeluruh.
Sampai di sini tampak jelas bahwa tujuan konseling Gestalt bukanlah
melakukan penyesuaian terhadap lingkungan. Dalam kaitan ini Perls
beranggapan bahwa pada dasarnya kepribadian yang sakit akan dapat menjadi
neurotik, sebab ia memandang bahwa kehidupan di dalam masyarakatlah yang
sebenarnya merupakan sumber kegilaan. Karena itu individu perlu keberanian
untuk menentukan atau mengambil keputusan di antara dua alternatif pilihan,
yaitu individu ikut menjadi bagian masyarakat yang “sakit” atau berani
mengambil risiko untuk menjadi sehat.
Dalam bahasa yang lebih operasional tujuan konseling Gestalt dapat
diformulaskan sebagai berikut.
1. Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami
kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
2. Membangun integritas kepribadian klien.
3. Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan
orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself).
4. Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku
menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed
bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan
baik.(dalam Sugiharto, D. Y. P., & Mulawarman, 2021, p. 18-20).
2.5 Pandangan Pendekatan Gestalt Tentang Manusia
Pandangan pendekatan Gestalt terhadap manusia dipengaruhi oleh
filsafat eksistensial dan fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan Gestalt
tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi sendiri
11

permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan kesadaran


akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt
berpendapat bahwa individu memiliki masalah karena menghindari masalah.
Oleh karena itu pendekatan gesalt mempersiapkan individu dengan intervensi
dan tantangan untuk membantu konseli mencapai integrasi diri dan menjadi
lebih autentik (Corey, 1993, dalam Komalsari, G., 2011).
Gestalt memandang manusia secara positif yang memiliki kemampuan
untuk memikul tanggungjawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi
yang terpadu. Adapun yang menjadi penekanan terhadap kepribadian manusia
adalah perluasan kesadaran, penerumaan tanggung jawab pribadi, dan kesatuan
pribadi (Corey, G., 2013, p. 118).
Passons dalam George & Cristiani (dalam Asyaroh, A. K., 2018, p. 10-
11), memberikan delapan asumsi yang nantinya akan digunakan terapi Gestalt.
Adalah sebagai berikut:
1. Manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang
diciptakan dari adanya intelerasi bagian-bagian. Tidak ada satu bagian
tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi, dan persepsi) yang
dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan.
2. Seseorang yang merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat
dipahami dengan memisahkannya.
3. Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan
actor dalam dunianya dan bukan reactor.
4. Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya
5. Seseorang memiliki potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan
sensasi, pemikiran, emosi dan persepsinya.
6. Seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupannya
secara efektif
7. Seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang,
mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini.
8. Seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk
2.6 Asumsi Perilaku Sehat Dan Bermasalah Dalam Pendekatan Gestalt
12

Menurut Gantina Komalasari, dkk (dalam Ningrum, F. G., 2017, p. 40)


mengatakan pendekatan Gestalt berpendapat bahwa individu yang sehat secara
mental adalah sebagai berikut :
1. Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh
berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat mengganggu perhatian
individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas mengalami dan
mengenal kebutuhanny adan alternative potensi lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya.
2. Individu yang dapat merasakan dan berbagai konflik pribadi dan frustasi
tapi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada
percampurann dengan fantasi-fantasi.
3. Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat
diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan.
4. Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
5. Individu yang dapat berfokus pada suatu kebutuhan (the figure) pada suatu
waktu sambil menghubungkannya dengan kebutuhan yang lain (the
ground), sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga Gestalt
yang sudah lengkap.
Hartono dan Boy Soedarmadji, (dalam Ningrum, F. G., 2017, p. 40)
bahwa dalam pendekatan Gestalt diberikan ciri kepribadian yang sehat. Ada
pun ciri kepribadian seseorang yang sehat adalah (1) mampu mengatur diri
sendiri, (2) bertanggung jawab, (3) memiliki kematangan, (4) memiliki
keseimbangan diri.
1. Mampu mengatur diri sendiri.
Pendekatan Gestalt percaya bahwa seseorang ditakdirkan untuk
mampu mengatur dirinya sendiri dalam menghadapi situasi-situasi atau
permasalah-permasalahan yang belum selesai. Orang yang sehat mampu
mengatur diri mereka sendiri, tanpa adanya campur tangan dari pihak
luar.
2. Bertanggung Jawab
13

Seseorang dikatakan sehat apabila mereka dapat mempertanggung


jawabkan serta mengambil resiko yang akan terjadi sebagai hasil dari
perbuatannya. Tanggung jawab ini muncul akibat adanya kesadaran diri
di dalam melaksanakan suatu kegiatan.
3. Memiliki kematangan
Dalam pendekatan Gestalt, oarang dikatakan sehat apabila mereka
mempunyai kematangan. Kematangan ini didasari pada kesadaran
seseorang terhadap diri dan lingkungannya.
4. Memiliki keseimbangan diri.
Orang yang sehat, salah satu cirinya adalah memiliki keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara dirinya saat
ini, dan keseimbangan lingkungan di sekitarnya.
Konseling memberikan bantuan kepada konseli, sebelum
melakukannya adapun ciri-ciri kepribadian yang menyimpang menurut
pendekatan Gestalt untuk mengetahui apakah konseli termasuk dalam katagori
perilaku menyimpang. Menurut Hartono dan Boy Soedarmadji (dalam
Ningrum, F. G., 2017, p. 38) bahwa dalam “Konseling Gestalt ada beberapa
ciri kepribadian yang menyimpang”. Adapaun ciri-ciri kepribadian seseorang
yang menyimpang adalah (1) Introjection, (2) Projection, (3) Retroflection, (4)
Confluence.
1. Introjection.
Adalah menempatkan keinginan terhadap objek atau individu ke
dalam psyche, dan bertindak seakan-akan benda atau individu tersebut
adalah miliknya tanpa memperhatikan apakah benda atau orang tersebut
ada atau tidak ada. Hal ini mengakibatkan orang yang melakukan
introjeksi tidak dapat membedakan antara “saya” dan “bukan saya”.
2. Projection.
Proyeksi ini mempunyai arti suatu mekanisme pertahanan diri di
mana seseorang mendistribusikan motif-motif dalam dirinya kepada orang
lain. Biasanya seeorang melakukan proyeksi ini dengan cara menuduh
orang lain melakukan atau menjadi apa yang diinginkannya sebenarnya.
14

3. Retroflection.
Yaitu seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjadi sesuatu,
tetapi dialihkan kepada orang lain. Sebagai contoh, saat kita mengalami
kesakitan, kita sering kali mengarahkan agresif yang kita takuti itu kepada
orang lain. Agresif yang dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit dengan
perilaku itu jauh dari kesadaran.
4. Confluence.
Yaitu tingkatan kepribadian seseorang yang tidak dapat
memperkirakan lingkaran antara dirinya dan lingkungnnya yang
mencakup orang lain, atau di mana seseorang tidak dapat mentoleransi
perbedaan dengan orang lain.
Dalam uraian diatas, ciri-ciri perilaku yang menyimpang dalam
pendekatan Gestalt untuk mengetahui agar dalam proses konseling bisa
mengetahui bahwasannya konseli termasuk dalam perilaku menyimpang
tersebut.
Menurut Gantina Komalasari, dkk (dalam Ningrum, F. G., 2017, p. 39)
individu menyebabkan dirinya terjerumus pada masalah-masalah tambahan,
karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik.
1. Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan
memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan.
2. Confluence, yaitu individu yang terlalu banyak memasukkan nilai-nilai
dirinya kepada orang lain atau memasukkan nilai-nilai lingkungan pada
dirinya, sehingga mereka kehilangan pijakan dirinya dan kemudian
lingkungan yang mengontrol dirinya.
3. Unfinished business, yaitu orang yang memiliki kebutuhan yang tidak
terpenuhi, perasaan yang tidak diekspresikan dan situasi yang belum
selesai yang mengganggu perhatiannya (yang mungkin dimainfestasikan
dalam mimpi).
4. Fragmentasi, yaitu orang yang mencoba untuk menemukan atau
menolak kebutuhannya seprti kebutuhan agresi.
15

5. Topdog/underdog, orang yang mengalami perpecahan pada


kepribadiannya, yaitu antara apa yang mereka piker “harus” dilakukan
(topdog) dan apa yang mereka “inginkan” (underdog).
6. Polaritas atau dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “bingung dan
tidak dapat berkata-kata (speechless)” pada saat terjadi dikotomi dalam
dirinya seperti antara tumbuh dan pikiran, antara diri dan lingkungan,
antara emosi dan kenyataan.
Menurut Namora (dalam Ningrum, F. G., 2017, p. 39) mengatakan,
perilaku bermasalah pada individu juga disebabkan karena sebagai berikut :
1. Kurang berinteraksi atau menutup diri dengan lingkungan.
2. Terlalu banyak memberi atau menyerap pengaruh dari orang lain.
3. Kebutuhan atau perasaan yang tidak terpenuhi.
4. Kebutuhan dasar yang ingin dipenuhi oleh individu mendapat penolakan
dari masyarakat.
5. Terjadi pertentangan antara top dog (apa yang harus) dan under dog (apa
yang ingin) dalam diri individu.
6. Pertentangan dalam diri manusia. Misalnya: cinta-agresi, dan pribadi-
sosial.
Dari uraian diatas, bahwa dengan adanya perilaku bermasalah yang
dihadapi konseli, maka individu dapat diarahkan untuk mengembangkan
perilaku kepribadiannya secara keseluruhan dan aktif menyeimbangkannya
sehingga individu menjadi pribadi yang autentik.
2.7 Peran dan Funsi Konselor dalam Pendekatan Gestalt
Ajaran Perls yang umum dan sering kali diucapkannya adalah
“Kosongkan Pikiran Anda dan Capailah Kesadaran”. Dari perkataan tersebut
kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya tugas utama seorang
konselor mendorong klien agar mampu menggunakan kesadarannya secara
utuh. Konselor harus menghindari penafsiran, diagnosis dan ucapan yang
berlebihan. Yang utama adalah bagaiman seorang konselor mampu membuat
klien berkembang kesadarannya sehingga mampu untuk mengatasi hambatan
pertumbuhan kepribadiannya (Cortey, dalam Asyaroh, A. K., 2018, p. 14-15).
16

Sama halnya dengan client-centered, kepribadian konselor dalam


Gestalt merupakan instrument yang digunakan untuk merubah perilaku klien.
Tugas yang diemban seorang konselor adalah menghapuskan hambatan-
hambatan yang selama ini mengehalangi klien untuk mampu menembus jalan
buntu. Apakah yang dimaksud dengan jalan buntu tersebut? jalan buntu adalah
penolakan dari dalam diri klien untuk mengatasi oermasalahannya karena
dirasakan terlalu menyakitkan. Ini adalah hal yang sulit, karena klien telah
menanamkan konsep dalam dirinya bahwa dirinya adalah orang yang tidak
berdaya dan tidak akan pernah mampu menyelasaikan masalahnya. Setelah
kilen mengetahui permasalahan yang sebenarnya, klien dibimbing
kesadarannya untuk mampu mengatasi permasalahanya. Tugas seorang
konselor selanjutnya adalah mengonfrontasikan klien pada perbuatan keputusan
apakah ia bersedia atau tidak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya
untuk tumbuh secara utuh.
Corey (dalam Namora Lomongga, dalam Asyaroh, A. K., 2018, p.14-
15) mengatakan bahwa seorang konselor perlu mengatahui fungsinya sebagai
orang yang memberikan perhatian pada bahasa tubuh klien. Isyarat-isyarat
nonverbal berupa gerakan, mimik wajah, dan keraguan akan dijadikan data
yang lebih akurat dibandingkan dengan kata-kata klien yang memungkinkan
mengandung kebohongan. Konselor harus memahami ketidakselarasan antara
apa yang diucapkan klien dan bahasa tubuh yang ditampilkan.
Menurut Komalasari (2011) dalam proses konseling Gestalt, konselor
memiliki beberapa peran dan fungsi, yaitu:
1. Konselor berfokus pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, hambatan
energi, dan hambatan untuk mencapai kesadaran yang ada pada konseli.
2. Konselor adalah "artistic participant" yang memiliki peranan dalam
menciptakan hidup baru konseli.
3. Konselor berperan sebagai projection screen.
4. Konselor harus dapat membaca dan menafsirkan bentuk-bentuk bahasa
yang dilontarkan konseli.
17

Hal yang dapat dilakukan seorang konselor dalam terapi Gestalt adalah
mengonfrontasikan klien dengan penghindaran tanggung jawab mereka atau
meminta klien membuat keputusan tentang apa yang mereka inginkan dan
lakukan, serta bagaiman mereka ingin menyelesaikan masalahnya, karena klien
adalah orang yang paling menetukan apa yang akan atau tidak akan di jalani
dalam terapi.
2.8 Tahapan Konseling Pendekatan Gestalt
Dalam buku Teori dan Teknik konseling Dra. Gratina Komalasari,
M.Psi, Joyce dan Sill (dalam Komalasari, 2011) mengatakan bahwa proses
kenseling Gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap tahapan
memiliki peran penting dan tujuan masing-masing dalam membantu konselor
untuk melakukan proses konseling. Tahapan tersebut antara lain :
1. Tahap pertama (The beginning phase)
Ditahap ini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk
meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis
mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli
untuk mengembangkan potensi pribadi (personal support) dan
lingkungannya (Joyce & Sill 2001 dalam Safaria 2005, dalam Komalasari,
G., 2011). Dalam tahap pertama ini ada beberapa yang dilakukan oleh
konselor, antara lain :
a. Menciptakan suasana yang aman dan nyaman dalam melakukan
proses konseli
b. Mengembangkan hubungan kolaboraif.
c. Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan
gambaran kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologi.
d. Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e. Membangun hubungan yang dialogis.
f. Meningkatkan self support, khususnya dengan konseli yang
memiliki proses diri yang rentan.
g. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi kebutuhan konseli dan tema-
tema masalah yang muncul.
18

h. Membuat prioritas dan kesimpulan analisis diagnosis terhadap


konseli.
i. Mempertimbangkan isu-isu budaya dan isu lainnya yang memiliki
perbedaan potensial antara konselor dan konseli serta
mempengaruhi proses konseling.
j. Konselor mempersiapkan rencana untuk menghadapi kondisi
khusus dari konseli, seperti menyakiti diri sendiri, kemarahan yang
berlebihan, dan sebagainya.
k. Melakukan Kerjasama dengan konseli terkait pelaksanan proses
konseling. (Joyce & Sill 2001 dalam Safaria 2005, dalam
Komalasari, G., 2011, p. 313).
2. Tahap kedua (clearing on the ground)
Pada tahap ini proses konseling menerapkan strategi yang lebih
sepesifik. Konseli mengeksplorasi berbagai introyeksi, berbagai modifikasi
kontak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor pada tahap
ini ialah untuk mendorong dan membangkitkan keberanian konseli dalam
mengungkapkan ekpresi pengalamannya dan emosinya dengan tujuan
kartasus dan menawarkan konseli untuk melakukan berbagai
eksperimentasi dalam meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribadi
dan memahami unfinished business.
a. Mengeksplorasi introyeksi-introyeksi dan modifikasi kontak.
b. Mengatasi urusan yang tidak selesai (unfinished business).
c. Mendukung ekspresi konseli atau proses kartasis.
d. Melakukan ekperimentasi prilaku nau dan memperluas pilihan bagi
konseli.
e. Terlibat secara terus menerus dalam hubungan yang dialogis (joyce
& Sill 2001 dalam safaria 2005, dalam Komalasari, G., 2011, p. 313).
3. Tahap ketiga (the existential encounter)
Pada tahap ini aktifitas yang dilakukan konseli dengan mengeksplorasi
masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan perubahan yang
signifikan. Pada tahap ini merupakan tahap paling sulit karena konseli
19

menghadapi kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidakpastian, dan


ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri konseli. Selain
itu, konseli dihadapkan dengan perasaan terancam yang kuat disertai
perasaan kehilangan harapan untuk hidup yang lebih baik. Ditahap ini
konselor memberikan dukungan dan motivasi dengan tujuan memberikan
keyakinan terhadap konseli yang menghadapi cemas dan ragu dalam
menghadapi permasalahannya. (joyce & Sill 2001 dalam safaria 2005, ,
dalam Komalasari, G., 2011, p. 313).
Ditahap ini terdapat beberapa langkah yang dilakukan konselor, antara lain :
a. Menghadapi kondisi yang tidak disangka dan mempercayai regulasi
diri organismik konseli untuk terus berkembang.
b. Memiliki kembali pada bagian dari diri konseli yang tadinya hilang
atau tidak diakui.
c. Membuat suatu keputusan eksistensial untuk hidup dan terus
berjalan.
d. Bekerja secara sistematis dan terus menerus dalam mengatasi
keyakinan konseli yang destruktif, tema-tema kehidupan klien yang
negative.
e. Memilih hidup dengan keberanian menghadapi ketidakpastian.
f. Berhubungan dengan makna-makna spiritual.
g. Mengalami sebuah hubungan perbaikan yang terus menerus
berkembang. (Joyce & Sill 2001 dalam Safaria 2005, dalam
Komalasari, G., 2011, p. 314).
4. Tahap keempat (integration)
Pada tahap ini konseli dapat mengatasi krisis-krisis yang dieksplorasi
sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri (self),
pengalaman dan emosi-emosinya dalam prespektif yang baru. Konseli telah
mampu menerima ketidakpastian, kecemasan dan ketakutannya serta
menerima tanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Terdapat langkah-langkah pada tahap ini yang dilalui konselor, antara lain :
20

a. Membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman


baru dan insight baru.
b. Memfokuskan pada pembuatan kontrak relasi yang memuaskan.
c. Berhubungan dengan masyarakat dan komunitas secara luas.
d. Menerima ketidakpastian dan kecemasan yang dapat menghasilkan
makna-makna baru.
e. Menerima tanggung jawab untuk hidup. (Joyce & Sill 2001 dalam
Safaria 2005, dalam Komalasari, G., 2011, p. 314).
5. Tahap kelima (Ending)
Pada tahap ini konseli sudah dapat memulai kehidupan secara mandiri
tanpa bantuan konselor. Tahap ini ditandai dengan beberapa proses sebagai
berikut:
a. Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan
konseling yang telah selesai
b. Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada
c. Merayakan apa yang telah dicapai
d. Menerima apa yang belum tercapai
e. Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis dimasa depan
f. Membiarkan pergi dan terus melanjutkan kehidupan (Joyce & Sill, 2001
dalam Safari, 2005, dalam Komalasari, G., 2011, p. 315).
Selain tahap-tahap konseling di atas, Perls mengungkapkan tahapan
konseling yang dikaitkan dengan perkembangan kepribadian individu. Perls
mengumpamakan kepribadian individu seperti mengupas lapisan bawang
(peeling of an onion). Lima lapisan di bawah ini membentul tahap-tahap
konseling atau bisa disebut lima tahap menuju gaya hidup Gestalt.
1. Lapisan Phony (The Phony Layer)
Tahap dimana individu yang terjebak pada proses yang menjadi orang yang
sebenarnya bukan mereka. Phony layers dikarakteristikkan sebagai individu
yang memiliki banyak konflik yang tidak pernah diselesaikan.
2. Lapisan Phobic (The Phobic Layers)
21

Pada tahap ini, individu menjadi lebih sadar tentang Phony Games mereka,
mereka menjadi sadar tentang ketakuan untuk mempertahankan permainan
ini. Pengalaman ini seringkali ditakuti.
3. Lapisan Impasse (The Impasse Layer)
Pada lapisan ini individu mencapai ketika mereka mendapat dukungan dan
menemukan bahwa mereka tidak mengetahui cara yang terbaik untuk
menghadapi ketakutan dan ketidaksenangan. Orang seringkali menjadi
terhambat pada tahap ini dan menolak untuk maju.
4. Lapisan Implosif (The Implosif Layer)
Pada lapisan ini individu memiliki kesadaran bahwa mereka membatasi diri
mereka, dan mereka mulai berkesperimen dengan tingkah laku baru dalam
setting konseling.
5. Lapisan Eksplosif (The Explosive Layer)
Bila eksperimen dengan tingkah laku mereka sukses diluar sering konseling,
individu baru mencapai the explosive layer, dimana mereka menemukan
banyak energi yang tidak terpakai dan terjebak dalam the phony layer
(Thompson et. Al. 2004, dalam Komalasari, 2011, p. 316).
2.9 Teknik-Teknik Pendekatan Gestalt
Beberapa teknik khusus yang dapat digunakan dalam konseling Gestalt
dalam Komalasari, dkk (2011) antara lain :
a. Empty Chair (Kursi Kosong)
Teknik ini bertujuan untuk mengatasi konflik interpersonal dan
intrapersonal dan juga membantu konseli untuk keluar dari proses introyeksi.
Konseli diminta untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog,
kemudian berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Konseli diajak
berbicara secara langsung dengan orang yang menjadi sumber konflik
seperti orang tersebut hadir di kusi kosong.
b. Topdog versus Underdog
Teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi konflik
antara “yang saya inginkan” (underdog) dan “yang seharusya” (topdog).
Konseli diminta untuk mengatakan argument yang terbaik dengan posisi
22

topdog dan pindah ke kursi underdog. Kemudian konseli diminta


berargumen sampai mencapai poin dimana konseli mencapai integrasi dari
apa yang seharusnya dan apa yang saya inginkan.
c. Making The Rounds (Membuat Serial)
Teknik ini biasanya digunakan dalam kelompok. Konseli diminta untuk
menemui konseli lainnya (anggota kelompok) dan mengatakan sejujur
mungkin apa yang dirasakannya. Konseli dapat mengungkapkan apa yang
dirasakannya dalam bentuk konfrontasi, menceritakan mengenai dirinya
sendiri atau mencoba perilaku baru atau sebagainya. Tujuan dari teknik ini
dalah untuk melakukan konfrontasi, mengambil resiko, untuk membuka diri,
melatih tingkah laku baru, dan untuk melakukan perubahan.
d. Assuming Responsibility
Teknik ini bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan
mempersonalisasi perasaan dan tingkah lakunya serta mengambil tanggung
jawab atas perasaan dan tingkah lakunya. Konseli diminta untuk
menambahkan bagian sebagai cara mengevaluasi tanggung jawab personal
dan bagaimana konseli mengatur hidupnya. Contoh: “Sayalah bertanggung
jawab untuk …”. Misalnya: saya merasa bosan dan sayalah yang
bertanggung jawab atas kebosanan ini”.
e. Playing Projection (Bermain Proyeksi)
Teknik ini digunakan ketika konseli berusaha keras untuk menolak
perasaannya dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang terjadi pada
dirinya. Tujuan dari teknik ini untuk memiliki kembali dan
mengintegrasikan bagian-bagian yang ada dalam dirinya.
f. Reversal Technique (Pembalikan)
Konseli diminta untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan dari apa
apa yang ia katakana. Tujuan dari teknik ini adalah mengajak konseli untuk
mengambil risiko terhadap ketakutan, kecemasan dan melakukan kontak
dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan.
g. The Rehearsal Experiment (Latihan Gladiresik)
23

Teknik ini digunakan ketika konseli cenderung mengulang fantasi-


fantasi yang ia rasa itu adalah harapan-harapan dari lingkungannya.
Sehingga ketika konseli berada dalam lingkungannya tersebut, ia menjadi
takut, cemas karena ia tidak dapat menampilkan apa yang diharapkan oleh
lingkungannya. Konseli diminta untuk mengatakan kepada orang lain
tentang fantasi-fantasi yang sering ia katadan dan berulang secara internal
dalam dirinya. Dengan mengatakannya secara verbal kepada orang lain,
konseli dapat membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba
tingkat ekspetasi orang lain.
h. The Exaggeration Experiment (Latihan Melebih-Lebihkan)
Teknik ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada tanda-
tnda bahasa tubuh. Konseli diminta untuk mengulang kembali secara
berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan
tingkah laku tertentu.
i. Staying With The Feeling (Tetap pada perasaan)
Teknik ini dapat digunakan untuk membantu konseli yang mengalami
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Pendekatan ini meminta
konseli untuk meneruskan perasaan itu betapapun sakitnya atau
menakutkannya pengalaman itu dan bahkan melebih-lebihkan perasaan itu.
Menghadap dan mengalami, mempertahankan perasaan ini membuat
konseli menjadi lebih berani dan membangkitkan keinginan untuk
mengatasi kesakitan.
j. Bahasa “Saya” (“I” Languange)
Konseli diminta untuk mengubah kata “kamu” menjadi “saya”. Contoh:
“Kamu tahukan dia itu sedang berbohong” menjadi “Saya tahu bahwa dia
sedang berbohong”. Tujuan dari teknik ini adalah membantu konseli
bertanggung jawab atas perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi gestalt kembali berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an
kemudian tersebar luas dan semakin matang pada tahun 1980an. Humphrey
(1986) menegaskan peran kedudukan kedua tokoh penggagas terapi gestalt ini
bahwa Laura Postner Perls lebih mengarahkan terapi gestalt pada kontak
(contact) dan dukungan (support), sedangkan Perls lebih menekankan pada
kesadaran (awareness). Dari peran serta keduanya terapi gestalt berkembang
lebih maju dan lebih luas.
Dalam bahasa Jerman, kata Gestalt merupakan kata benda yang berarti
bentuk atau wujud. Konsep utama karya ekperimental psikologi gestal adalah
memperlihatkan bahwa manusia tidak mempersepsi berbagai hal secara
sendiri-sendiri melainkan dengan mengoranisasikannya melalui proses
preseptual menjadi keseluruhan yang bermakna. Menurut Perls tujuan
konseling Gestalt adalah membuat klien untuk tidak bergantung kepada orang
lain, tetapi membuat klien agar bisa menemukan (terutama pada saat-saat
permulaan) bahwa ia dapat berbuat banyak bahkan sebenarnya banyak sekali
yang dipikirkan dan dilakuannya.
Selanjutnya, pandangan pendekatan Gestalt terhadap manusia
dipengaruhi oleh filsafat eksistensial dan fenomenologi. Asumsi dasar
pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi
sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan
kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya.
Menurut Hartono dan Boy Soedarmadji dalam pendekatan Gestalt mempunyai
ciri kepribadian seseorang yang sehat, diantaranta (1) mampu mengatur diri
sendiri, (2) bertanggung jawab, (3) memiliki kematangan, (4) memiliki
keseimbangan diri. Ada pula ciri – ciri kepribadian seseorang yang

24
menyimpang adalah (1) Introjection, (2) Projection, (3) Retroflection, (4)
Confluence.
Konselor memiliki beberapa peran dan fungsi, antara lain: Konselor
berfokus pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, dan hambatan energi;
Konselor memiliki peranan dalam menciptakan hidup baru konseli; Konselor
berperan sebagai projection screen; serta konselor harus dapat membaca
bentuk bahasa konseli. Selain itu, Gestalt juga mempunyai tahapan-tahapan
penting yang bertujuan membantu konselor untuk melakukan proses konseling,
yaitu: Tahap pertama (The beginning phase), Tahap kedua (clearing on the
ground), Tahap ketiga (the existential encounter), Tahap keempat (integration)
dan Tahap kelima (Ending).
Dalam pendeatan Gestalt ini memiliki beberapa teknik khusus yang
dapat digunakan dalam konseling Gestalt, yaitu: Empty Chair (Kursi Kosong),
Topdog versus Underdog, Making The Rounds (Membuat Serial), Assuming
Responsibility, Playing Projection (Bermain Proyeksi), Reversal Technique
(Pembalikan), The Rehearsal Experiment (Latihan Gladiresik), The
Exaggeration Experiment (Latihan Melebih-Lebihkan), Staying With The
Feeling (Tetap pada perasaan) dan Bahasa “Saya” (“I” Languange).

25
DAFTAR PUSTAKA

Asyaroh, A. K. (2018). PENDEKATAN KONSELING GESTALT DAN ANGER


MANAGEMENT SISWA KELAS VIII 1 MTs NEGERI 3 LANGKAT.
Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Medan.
Capuzzi, et al. (2003). Counseling and Psychoterapy (theories and intervenstion).
Colombus Ohio: Merrill Prentice Hall.
Corey, G. (2013). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.
Kholifah. (2016). TEORI KONSELING (SUATU PENDEKATAN KONSELING
GESTALT). Jurnal Al-Tazkiah, Vol. 5, No.2.
Komalasari, G. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks.
Ningrum, F. G. (2017). PENERAPAN PENDEKATAN GESTALT UNTUK
MENGURANGI PERILAKU AGRESIF SISWA KELAS VIII SMP
NEGERI 1 BATANG KUIS T.P 2016/2017. . Skripsi Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan.
Rahman, I. K. (2017). GESTALT PROFETIK (G-PRO) BEST PRACTICE
PENDEKATAN BIMBINGAN DAN KONSELING SUFISTIKT.
KONSELING RELIGI: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 8, No. 1.
Sugiharto, D. Y. P., & Mulawarman. (2021). Bahan Ajar Teori Pendekatan
Konseling. Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang.

26

Anda mungkin juga menyukai