Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Person Centered Therapy


Pendekatan Person Centered Therapy merupakan bagian dari aliran psikologi humanistic
yang dikembangkan oleh Carl Rogers pada awal tahun 1940-an. Sebagai bagian dari psikologi
humanistic, maka pendekatan ini muncul karena adanya reaksi dan orientasi reduksionistik
dalam teori psikoanalisis dan behavioristik (DeCarvalho dalam Hansen, 2000). Lebih lanjut,
perkembangan pendekatan humanistic yang berakar di Amerika menekankan pada kebebasan,
subjektivitas, berkembang searah dengan kaum eksistensialis dan digabungkan dengan pola pikir
optimistic rakyat Amerika. Carl Rogers (1902-1987) adalah orang yang paling dekat dengan
konseling berpusat pada orang. Bahkan Rogerlah yang pertama kali memformulasikan teori
tersebut dalam bentuk psikoterapi tak langsung di dalam bukunya, Counseling and
Psychotherapy pada tahun 1942. Teori tersebut kemudian berkembang menjadi konseling
berpusat pada klien dan berpusat pada orang dengan berbagai penerapan pada kelompok,
keluarga, dan komunitas serta individual.
Pendekatan Person Centered Therapy pada dasarnya ada tiga perbedaan mendasar diantara
keduanya.
Person Centered Theraphy

Humanistic Theraphy

Rogers yakin bahwa kepribadian dan perilaku Perilaku manusia diarahkan oleh kebutuhan
adalah keunikan manusia sebagai hasil dari kebutuhan dasar
mempersepsi llingkungannya
Awal mula teori Rogers didasarkan pada Memulai terapinya dengan orientasi dengan
individu yang mengalami sakit jiwa, sehingga orang orang yang sehat
terapinya lebih pada bagaimana mengondisikan
proses terapiutik yang mempermudah proses
tumbuhya aktualisasi diri
Rogers

mengidentifikasikan

pola

pola Perkembangan individu merupakan proses

perkembangan individu sebagai kecenderungan untuk


untuk pemenuhan potensi potensi diri

aktualisasi

diri

yang

selama

ini

diabaikan
1

Pada awalnya, konseling yang berkembang pada saat itu menggunakan nama konseling
non direktif (nondirective counseling) yang dikembangkan oleh para ahli psikologi prilaku dan
psikologi analitis.
Pendekatan yang dikenalkan oleh Rogers berorientasi pada psikoterapi. Pendekatan
konseling nondirektif ini menjadi sangat populer karena: (a) secara historis lebih terikat pada
bidang psikologi daripada kedokteran; (b) mudah dipelajari; (c) untuk menggunakannya
dibutuhkan sedikit pengetahuan mengenai diagnosis dan dinamika kepribadian; (d) lamanya
perawatan lebih singkat dibandingkan dengan aliran lain, seperti psikoanalisis ( Rogers, dalam
Suryabrata, 1998 )
Rogers berusaha untuk membantah anggapan bahwa konselor adalah orang yang tahu
segalanya (counselor know best). Menurut Rogers konseli itu adalah orang yang mampu
mengarahkan dirinya sendiri (self-direction) sehingga Rogers menolak adanya pemberian saran
(advice), sugesti (suggestion), pengarahan dari konselor (counselor direction), persuasi
(persuation), mengajari (teaching), mendiagnosis (diagnosis), dan interpretasi (interpretation)
Pada tahun 1942, setelah berpraktik konseling individual, Rogers kemudian
mengembangkan suatu teori yang sistematis mengenai kepribadian manusia.
Pada tahun 1976, perkembangan teori Rogers mulai tampak. Hal ini dapat dilihat dari
semakin banyaknya peminat dan pengguna teori client centered dan semakin meluasnya konseli.
Hal ini mengarahkan Rogers untuk lebih banyak berhubungan dengan pasanagn pasanagn
muda, keluarga, administrator, kelompok minoritas, antar ras, antar budaya, serta hubungan
sosial ( Corey, 1986 ). Menyadari meluasnya penggunaan teori ini maka Rogers mengganti
istilah Client menjadi Person. Hal ini digunakan Rogers sebagai perwujudan penghargaan
terhadap hakikat manusia. Dengan demikian pendekatan ini lebih dikenal dengan person
centered approach. Pendekatan ini berusaha untuk memahami secara penuh terhadap keunikan
dan subjectivitas pengalaman konseli. Selain itu penggunaan kata konseli sering dikonotasikan
sebagai orang yang tidak sehat/sakit. Rogers menolak hal itu.

1. Pandangan tentang manusia


Sudut Pandang tentang Sifat Manusia. Pandangan tertentu tentang sifat manusia
terimplisit dalam konseling berpusat pada orang: manusia pada dasarnya baik (Rogers,
1961). Manusia secara karakteristik positif, bergerak maju, konstruktif, realistic, dan
dapat diandalkan (Rogers, 1957, p, 199). Setiap orang sadar, terarah, dan maju kea rah
aktualisasi diri sejak masa kanak-kanak.
Dalam teori Rogers, dia memaparkan suatu konsepsi dasar tentang hakikat manusia, yaitu
a. Organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual);
b. Medan fenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the total of
experience); dan
c. Self, merupakan bagian dari medan fenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari
pola-pola pengamatan dan penilaian sadar dari I atau Me.
Organisme mempunyai sifat sifat sebagai berikut : (a) organisme bereaksi sebagai
suatu keseluruhan terhadap medan fenomenal dengan maksud untuk memenuhi
kebutuhannya; (b) organisme mempunyai suatu motif dasar yaitu mengaktualisasikan
dan mengembangkan dirinya; (c) organisme mungkin akan melambangkan
pengalamannya atau mungkin menolak untuk melambangkan pengalamannya
sehingga dia akan menolak.
Selanjutnya, Rogers menjelaskan tentang sifat diri (self) sebagai berikut : (a) self
berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungannya; (b) self mungkin
menginteraksi nilai nilai orang lain dan mengamatinya dalam bentuk yang tidak
wajar; (c) self menginginkan adanya keadaan consistency (keutuhan/kesatuan dan
keselarasan); (d) organisme bertindak dalam cara yang selaras dengan self, diamati
sebagai suatu ancaman; dan (f) self mungkin berubah sebagai hasil dari kematangan
dan belajar.
Dari apa yang dijelaskan diatas,
Rogers dalam Hansen (2000) beranggapan bahwa semua manusia adalah unik
dan mempunyai kemampuan untuk meraih sesuatu dengan segala potensi yang
dimilikinya. Menurut Rogers, aktualisasi diri merupakan penggerak yang paling
umum dan memotivasi keberadaan, serta mencakup tindakan yang memengaruhi
3

orang tersebut secara keseluruhan. Makhluk hidup mempunyai satu dasar


kecenderungan dan perjuangan, yaitu aktualisasi diri, mempertahankan, dan
meningkatkan si makhluk yang merasakannya tersebut (Rogers, 1951, p, 487).
Rogers memandang bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk dapat
mengaktualisasikan dirinya sendiri serta dapat mengarahkan dirinya sendiri. Dengan
demikian, pada saat konseling Rogers akan mempercayai konseli dan tidak akan
memberikan pengarahan, printah, hukuman serta mengatur konseli.
Para ahli teori yang berpusat pada orang yakin bahwa masing-masing orang
mampu menemukan arti diri dan tujuan dalam kehidupan. Disfungsionalitas
sesungguhnya adalah kegagalan untuk belajar dan berubah (Bohart, 1995, p, 94).
Rogers memandang individu dari perspektif fenomenologikal: yang penting
adalah persepsi manusia mengenai realita disbanding peristiwa yang terjadi itu sendiri
(Rogers, 1955). Cara memandang manusia ini mirip dengan teori Adler. Konsep diri
adalah gagasan lain yang dimiliki oleh Adler dan juga Rogers. Tetapi pada Rogers
konsep tersebut adalah inti dari teorinya sehingga gagasannya sering disebut teori diri.
Diri adalah hasil dari pengalaman yang dialami seseorang, dan suatu kesadaran akan
diri dapat membantu orang membedakan dirinya dari orang lain (Nye, 2000).

Hjelle dan Ziegler (1994) menggambarkan posisi pemahaman Rogers terhadap


hakikat manusia sebagaimana diuraikan pada tabel
S

SI

SI

Freedom

Determinism

Rationality

Irrationality

Holism

Elementalism

Constituionalism

Environmentalism

Changeability

Unchangeability

Subjektivity

Objectivity

Proactivity

Reactivity

Homeostasis

Heterostasis

Knowability

Unknowability

Keterangan :
S: strong

M: Moderate

SI: Slight

Freedom-Determinism
Teori Rogers menyatakan bahwa kebebasan dipandang yang integral dari
kecenderungan untuk aktualisasi diri. Sehingga kebebasan bukanlah suatu ilusiuntuk
manusia yang akan membuat pilihan dan kemudian melaksanakannya dalam
kehidupansehari harinya. Kebebasan sebagai salah satu bagian dari kecenderungan
aktualisasi diri pada akhirnya akan dapat membuat individu :
a. dapat menempatkan diri dalam kondisi yang berharga diawal hidupnya
b. semakin sadar dan terbuka terhadap pengalaman dalam diri atau diluar dirinya
c. mereka akan merasa lebih bebas dalam mengatur hidupnya
Keadaan tersebut akan memunculkan individu yang dapat berfungsi secara penuh
(fully fungctioning person)
Rationality Irrationality
Salah stau kunci teori person centered adalah manusia merupakan makhluk yang
rasional, sehingga ketidak rasionalan yang ditunjukkan manusia itu sebagai suatu keadaan
tidak selaras terhadap sifat alami manusia. Rogers menyatakan bahwa kebebasan,
rasionalitas dan kecenderunagn untuk aktualisasi diri meruapakan sesuatu yang menjadi
dasar setiap manusia. Pada saat kecenderungan untuk aktualisasi diri dapat difasilitasi,
maka seseorang akan menjadi semakin progresif, semakin bebas dan semakin sadar
terhadap prilaku prilakunya
Holism Elementalism
Rogers, sebagaimana ahli humanistik lainnya memahami manusia secara utuh.
Memahami manusia hanya dapa dilakuakan jika melihat manusia sebagai suatu keutuhan

dari dirinya sendiri dan lingkunagnnya. Fenomena manusia tidak dapat dilihat sepotong
sepotong.
Konstitusionalism Enforonmentalism
Teori Rogers pada pada dasarnya mengutakmakan adanya pemahaman dan
pengahrgaan tehadap sifat manusia yang berbeda beda dan adanya potensi terdalam dari
masing masing manusia. Pemahaman ini mengarahkan kita untuk memahami bahwa
usaha mengenal manusia adalah sesuai keadaan masing masing manusia. Hanya saja,
pengaruh lingkungan juga diperhitungkan oleh Rogers. Manusia akan dapat berkembang
dengan optimal jika ada penerimaan dari lingkungan dnegan tanpa syarat. Hanya saja,
pengaruh lingkunagn tidak sangat menojol dalam teori Rogers, sehingga dalam tabel
posisinya berada dalam kolom moderete
Changeability Unchangeability
Rogers meyakini bahwa setiap manusia bisa berubah sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Setiap manusia dapat menjadi apa saja yang dia mau. Sebagai seorang
yang dewasa maka dia akan menjadi lebih bebas dan berpikir secara logis. Keadaan
seperti in pada akhirnya akan membuat seseorang dapat memutuskan mau menjadi apa
dia kelak. Hal ini menyatakan dengan jelas bahwa semua orang dapat berubah sepanjang
hidupnya.
Subjectivity Objectivity
Dalam teori kepribadian Rogers, subjektivitas adalah salah satu asumsi yang
dikemukakannya. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap manusia akan selalu berubah,
memiliki privasi dan hidup dalam dunia subjektive dimana dia menjadi pusatnya. Hal ini
mengarahkan kita bahwa setiap manusi akan berprilaku sesuai persepsi masing masing
manusia terhadap dunianya. Rogers lebih menajamkan pendapatnya tersebut dengan
menyatakan bahwa masning masing manusia mempunyai konsep diri. Dengan
demikian, dalam proses konseling, konsleor harus memahami dunia sesuai dengan
persepsi mereka terhadap dunia mereka sendiri

Proactivity dan Reactivity


Rogers berkeyakinan bahwa setiap manusia adalah purposif, selalu maju dan
mengorientasikan kearah masa depan. Keadaan seperti itu akan membuat individu akan
semakin proaktif.
Homeostasis Heterostasis
Karena Rogers mayakini bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk selalu
berubah dalam rangka aktualisasi diri, maka keadaan manusia menjadi heterostasis. Kita
ketahui bahwa kecenderungan untuk aktualisasi diri akan mendorong untuk selalu
berkembang, merealisasikan dirinya dan meningkatkan dirinya. Berbeda dengan teori
Frued yang menyatakan bahwa tekanan tekanan yang dimiliki oleh manusia bersifat
mengurangi (reduction), dalam teori Person Centered lebih mengarah pada suatu usaha
meningkatkan (in crease) kualitas hidup.
Knowiability Unknowability
Rogers meyakini bahwa manusia adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami dan
sulit disamakan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini didasarkan pada
pendapatnya yang menyatakan bahwa dunia individu adalah suatu dunia yang sangat
subjektive, dimana individu berada sebagai pusatnya. Pemahaman terhadap seseorang
harus dilakukan dengan cara konsleor atau terapis masuk kedalam dunia konseli tersebut,
tanpa hal itu tidak mungkin kita dapat mengenal individu.

2. Pribadi sehat/ tidak sehat

a. Pribadi Sehat
Rogers berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari
ada, melainkan suatu proses, suatu arah, bukan suatu tujuan (Schultz, 1991:50). Hal ini
mempunyai makna bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan sesuatu yang ada sejak
manusia dilahirkan, tetapi merupakan suatu proses pembentukan yang tidak pernah

selesai. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak statis, tetapi lebih pada usaha untuk terus
menjadi sesuatu (becoming).
Secara umum, Rogers mendefinisikan pribadi yang sehat dengan tanda-tanda
adanya keselarasan (congruence) antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dilakukan,
adanya konsep diri (self-concept) yang merupakan pemahaman terhadap potensi dan
kelemahannya, serta adanya keselarasan antara diri (self) dengan diri yang diaktualkan
(actual-self).
Beberapa ciri pribadi sehat menurut Rogers dalam Corey (1986;Schultz, 1991:5154; Hjelle & Ziegler, 1994:507-509 ) antara lain sebagai berikut :
1. Terbuka dengan pengalaman baru (opennees to experience)
Orang yang sehat mempunyai kemampuan untuk menerima pengalaman
pengalaman baru tanpa menggangu struktur dirinya.
Orang yang terbuka tidak dibatasi oleh adanya syarat syarat pengahargaan,
bebas untuk mengalami semua perasaan dan bersikap. Tidak satupun yang
harus dilawan karena tidak ada satupun yang mengancam.
2. percaya pada diri sendiri (trust in themselves)
Salah satu tujuan konseling adalah membantu konslei agar dapat mepercayai
dirinya sendiri. Jika konseli tidak percaya pada diri sendiri maka dia tidak
dapat mengambil keputusan sendiri serta tidak bertanggung jawab terhadap
keputusannya.
3. mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi.
(internal sources of evaluation )
Penggunaan sumber diri ini terkait erat dengan rasa percaya diri yang dimiliki
oleh konseli. Semakin konseli percaya pada dirinya, maka dia dapat
menggunakan sumber sumber didalam dirinya untuk melakukan evaluasi
diri.
4. Keinginan untuk terus tumbuh ( willingness to continue growing )
Konslei menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu
proses yang terus berjalan. Konseli mengetahui bahwa dirinya selalu dalam
proses untuk menjadi sesuatu ( becoming ). Dengan demikian konseli tidak
berpikiran bahwa dirinya merupakan produk dari suatu proses pertumbuhan.
8

Pemikiran ini menjadikan konseli untuk tidak berhenti, tetapi lebih pada usaha
selalu mencari sesuatu agar dirinya dapat teraktualisasikan.
Agar muncul diri yang sehat, seseorang membutuhkan perhatian positif-cinta,
kehangatan, kasih sayang, respek dan penerimaan. Akan tetapi dimasa kanak-kanak, dan
dimasa kehidupan berikutnya, seseorang sering kali menerima perhatian berpamrih dari
orangtua dan orang lain. Rasa berharga berkembang jika seseorang berperilaku dalam
cara tertentu karena penerimaan dengan pamrih mengajarkan pada orang tersebut bahwa
dirinya dihargai hanya jika berkompromi dengan keinginan orang lain. Jadi, seseorang
terkadang harus menyangkal atau membelokkan persepsi ketika seseorang yang menjadi
tempatnya bergantung memandang situasinya secara berbeda. Individu yang terjebak di
dalam dilemma semacam itu akan menyadari adanya ketidaksamaan antara persepsi
pribadi dan pengalaman. Jika seseorang tidak melakukan seperti apa yang diinginkan
orang lain, dia tidak akan diterima dan dihargai. Namun, jika dia melakukan kompromi,
dia membuka jurang pemisah antara idealism diri (sosok yang ingin dia tiru) dan realita
diri (diri orang tersebut apa adanya). Semakin jauh idealism diri dengan realita diri,
semakin asing dan menyimpang diri orang tersebut.
b. Pribadi tidak sehat
Menurut Rogers, pribadi tidak sehat adalah mereka yang mengalami
ketidaksejajaran (incongruence) antara konsep diri (self-concept) dengan kenyataan yang
ada. Rogers dalam Gilliand (1989) menyatakan bahwa jika persepsi seseorang terhadap
pengalaman itu terganggu atau ditolak, maka keadaan maladjustment atau vulnerability
akan muncul.
Keadaan incongruen ini dapat menimbulkan berbagai penyakit psikologis atau
neurotic behaviour seperti kecemasan, ketakutan, disorganisasi, dan selalu menentukan
nilai absolut. Keadaan ini akan mengakibatkan seseorang mengadakan generalisasi
terhadap sesuatu hal, dimana generalisasi ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada,
tetapi lebih didominasi oleh kekayaan diri ( Meador & Rogers, dalam Gilliand, 1989 ).
Budaya dalam masyarakat tertentu seringkali menjadi pemicu timbulnya pribadi
pribadi tidak sehat. Sebagai contoh, dalam budaya paternalistis, orang tua menjadi sosok
9

yang diagungkan, sehingga apa yang diucapkan oleh orang tua harus diturut walau
terkadang bertentangan dengan kedaan pribadi seseorang.

3. Peran Konselor
Peran konselor sangatlah penting disini. Dia membuat dan meningkatkan atmosfer
dimana klien bebas dan didorong untuk mengeksplorasi semua aspek mengenai dirinya
(Rogers, 1951, 1980). Atmosfer ini difokuskan pada hubungan konselor-klien, yang
digambarkan Rogers sebagai kualitas pribadi dengan Saya-Anda yang special.
Konselor menyadari bahwa verbal maupun non-verbal klien dan merefleksikannya
kembali apa yang dia dengar maupun amati (Braaten, 1986). Baik klien maupun konselor
tidak tahu sesi tersebut akan mengarah kemana atau tujuan apa yang akan muncul selama
proses berlangsung. Klien adalah orang dalam proses tersebut yang diberi hak untuk
mengarahkan terapinya sendiri (Moon, 2007, p, 277). Jadi, konselor menaruh
kepercayaan pada kliennya untuk mengembangkan agenda tentang apa yang ingin dia
kerjakan. Tugas konselor adalah lebih sebagai fasilitator daripada pengarah. Pada
pendekatan berpusat pada orang, konselor adalah ahli proses tersebut dan ahli penelitian
(mengenai klien tersebut). Kesabaran adalah kuncinya (Miller, 1996).

4. Tujuan
Tujuan dalam konseling berpusat pada orang berkisar pada klien sebagai manusia,
bukan permasalahan yang dihadapinya. Rogers (1977) menekankan bahwa orang perlu
bantuan untuk belajar bagaimana menghadapi berbagai situasi. Salah satu cara utama
untuk mencapai hal ini adalah dengan membantu klien menjadi orang yang berfungsi
penuh, yang tidak perlu menerapkan mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi
pengalaman sehari-hari. Individu semacam itu akan lebih berkeinginan untuk berubah
dan bertumbuh. Dia lebih terbuka terhadap pengalaman, lebih mempercayai persepsi diri
sendiri, dan berpartisipasi dalam ekplorasi serta evaluasi diri (Rogers, 1961). Lebih jauh
lagi, orang yang berfungsi penuh mengembangkan penerimaan yang lebih besar akan
dirinya dan orang lain serta menjadi pembuat keputusan yang lebih baik di masa kini dan
10

mendatang. Yang paling utama, klien dibantu untuk mengidentifikasikan, ,menggunakan,


dan mengintegrasikan sumber daya dan potensinya sendiri (Boy & Pine, 1983; Miller,
1996).
Contoh kasus: Klien datang ke ruang konseling dalam keadaan yang
incongruence. Keadaan ini terjadi akibat adanya kesenjangan antara cara pandang diri
(self-concept) dengan pengalaman yang sebenarnya terjadi (actual experience), atau
adanya kesenjangan antara self-concept dengan apa yang ingin dicapai (ideal selfconcept).
Dalam proses konseling, klien diajak untuk dapat memahami dirinya sesuai
dengan kenyatan yang ada. Memang, sering terjadi klien yang datang ke ruang konseling
dengan membawa keyakinan diri yang tidak dapat diubah dan seringkali menyalahkan
orang lain atau dengan dengan mebawa gangguan psikologis. Pada saat ini konselor
berusaha untuk menggali permasalahan dan perasaan yang dimiliki oleh klien . dengan
penggalian ini, diharapkan klien akan dapat menyadari dan kemudian memiliki
permasalahan yang ada dalam dirinya.
Seterlah klien sadar dan memiliki apa yang ada dalam dirinya, maka konselor
kemudian mengadakan revisi konsep diri yang dimiliki oleh klien. Revisi ini didasarkan
pada pengalaman perasaan yang dimiliki oleh klien selama proses konseling berjalan.
Lebih lanjut, Rogers menyatakan bahwa tujuan konseling adalah membantu klien agar
menjadi manusia yang berfungsi seutuhnya (fully functioning person).

5. Teknik
Bagi terapis yang menggunakan pendekatan berpusat pada orang, kualitas
hubungan konseling jauh lebih penting daripada teknik yang digunakan (Glauser &
Bozarth, 2001). Rogers (1957) percaya bahwa ada tiga kondisi yang penting dan perlu
(inti) pada konseling:
1. Empati
2. Perhatian positif tanpa pamrih (penerimaan, penghargaan), dan
3. Kecocokan (ketulusan, keterbukaan, autentik, transparansi).
11

Empati dapat subjektif, antarpribadi, atau objektif (Clark, 2004; Rogers, 1964).
Sering kali empati adalah kombinasi ketiganya. Dalam situasi terapi, empati adalah
kemampuan konselor untuk menyatu dengan klien dan memantulkan pemahaman ini
kembali kepada mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara tetapi empati
secara esensial adalah suatu upaya untuk berpikir dengan alih-alih untuk atau mengenai,
klien dan untuk menyerap komunikasi, maksud, dan pengertian klien tersebut (Brammer
dkk., 1993; Clark, 2007; Moon, 2007). Rogers (1957) menuliskan, Penelitian semakin
banyak dan menunjuk secara kuat pada kesimpulan bahwa tingkat empati yang tinggi
dalam suatu hubungan adalah yang paling berpotensi dan jelas merupakan salah satu
factor paling kuat dalam mewujudkan perubahan dan pembelajaran (p.3). perhatian
positif tanpa pamrih, juga dikenal sebagai penerimaan, merupakan kasih sayang yang
tulus dari dalam bagi klien sebagai seorang manusia-yaitu, menghargai manusia sebagai
seorang manusia (Rogers, 1961, 1980). Kecocokan merupakan kondisi transparan
didalam hubungan terapi dengan menghilangkan aturan dan penghalang (Rogers, 1980).
Ini adalah kesiapan konselor untuk mengesampingkan kepedulian dan kesibukan pribadi
dan ada serta terbuka didalam hubungan dengan kliennya (Moon, 2007, p. 278).
Sejak tahun 1980, konselor yang menggunakan pendekatan berpusat pada orang
telah mencoba sejumlah prosedur lain untuk bekerja dengan klien, seperti pengungkapan
perasaan, pemikiran dan nilai-nilai pribadi yang terbatas (Corey, 2005). Klien,
bagaimanapun juga, bertumbuh dengan menghadapi dirinya sendiri dan oranglain
didalam hubungan tersebut (Cormier & Cormier, 1998). Oleh karena itu, Rogers (1967)
yakin bahwa perubahan kepribadian yang positif dan signifikan tidak terjadi kecuali
didalam suatu hubungan (p.73).
Metode yang membantu meningkatkan hubungan klien-konselor, mencakup,
tetapi tidak terbatas pada, mendengarkan secara pasif dan aktif, refleksi perasaan dan
pikiran yang tepat, klarifikasi, penyimpulan, konfrontasi dan arahan umum atau terbuka.
Pertanyaan dihindari sedapat mungkin (Tursi & Cochran, 2006).

12

6. Kekuatan dan Kontribusi


Aspek unik dalam konseling berpusat pada orang melibatkan hal-hal berikut:

Pendekatan ini merevolusi profesi konseling dengan cara menghubungkan konseling


dengan psikoterapi dan memperjelasnya melalui pembuatan rekaman suara dari sesi
actual dan menerbitkan salinan actual mengenai sesi konseling (Goodyear, 1987;
Sommers-Flanagan,2007).

Pendekatan berpusat pada orang dalam konseling dapat diterapkan untuk berbagai macam
permasalahan manusia, termasuk perubahan institusional, hubungan managemen-pekerja,
perkembangan kepemimpinan, membuat keputusan tentang karier, dan diplomasi
internasional.

Sebagai

contohnya,

Cornelius-White

(2005)

menemukan

bahwa

pendekatan berpusat pada orang efektif dalam meningkatkan konseling multicultural.


Seperti halnya, Lemoire dan Chen (2005) berpendapat bahwa pendekatan berpusat pada
orang tampaknya berpotensi untuk menciptakan kondisi yang diperlukan dalam
menangkal stigmasasi, memungkinkan remaja yang diasosiasikan dengan kelompok
stigmasasi seksual minoritas, menangani identitas seksualnya dengan cara yang lebih
konstruktif bagi dirinya (p.146).

Pendekatan ini telah menghasilkan penelitian yang ekstensif (Tursi & Cochran, 2006).
Pada awalnya pendekatan ini menetapkan standar untuk melakukan penelitian tentang
variabel konseling, khususnya yang dianggap oleh Rogers (1957) sebagai tepat dan
penting untuk mendatangkan perubahan dalam terapi.

Pendekatan ini efektif dalam sejumlah keadaan. Konseling berpusat pada orang
membantu memperbaiki penyesuaian psikologis, pembelajaran, toleransi frustasi, dan
mengurangi sikap defensive. Pendekatan ini tepat untuk mengobati ansietas ringan
sampai menengah, gangguan penyesuaian, dan kondisi yang tidak berhubungan dengan
kelainan mental, seperti kesedihan yang tidak rumit atau hubungan antarpribadi
(Seligmen, 1997).

Pendekatan berpusat pada orang sangat membantu jika bekerja dengan klien yang
mengalami tragedy karena pendekatan ini membuat klien berperang melawan emosi dan
benar-benar semakin kurang terpengaruh seiring berjalannya waktu dengan menyadari
sepenuhnya, perasaan yang berhubungan dengan tragedy tersebut (Tursi & Cochran,
2006, p.395).
13

Pendekatan ini berfokus pada keterbukaan dan hubungan penerimaan yang dibangun
konselor dank lien serta proses bantuan yang bersifat jangka pendek.

Dasar pendekatan ini hanya membutuhkan waktu yang relative singkat untuk dipelajari.
Dengan penekanannya pada penguasaan keahlian mendengarkan, konseling berpusat
pada orang merupakan fondasi untuk melatih para calon pembantu professional. Lebih
jauh lagi, merupakan dasar untuk beberapa pendekatan perawatan yang baru dan sering
kali dikombinasikan dengan orientasi teoritis lainnya dalam konseling seperti kognitif
dan tingkah laku (Prochaska & Norcross; Seligman, 2006).

Pendekatan ini mempunyai pandangan positif perihal sifal manusia dan terus berevolusi.

7. Keterbatasan
Keterbatasan teori berpusat pada orang yang perlu diingat:

Pendekatan ini terlalu sederhana, optimistis, santai dan tidak terfokus untuk klien yang
dalam krisis atau klien yang membutuhkan struktur atau arah yang lebih jelas (Seligmen,
2006: Tursi & Cochran, 2006).

Pendekatan ini terlalu bergantung pada klien yang suka bekerja keras, cerdas dan
berwawasan luas untuk mendapatkan hasil terbaik. Pendekatan ini memiliki penerapan
yang terbatas, dan jarang digunakan untuk anak-anak atau penderita cacat berat
(Thompson & Henderson, 2007).

Pendidikan ini mengabaikan diagnosis, ketidaksadaran, teori-teori perkembangan dan


dorongan agresif serta seksual yang alami. Banyak kritik yang mengatakan bahwa
pendekatan ini terlalu optimistis.

Pendekatan ini hanya menangani permasalahan yang ada di permukaan, dan tidak
menantang klien untuk mengeksplorasi area-area yang lebih dalam. Karena konseling
berpusat pada orang hanya untuk jangka pendek, tidak mempunyai dampak yang
permanen pada orang tersebut.

Pendekatan ini lebih berdasarkan pada sikap ketimbang teknik. Pendekatan ini tidak
mempunyai teknik khusus untuk mendatangkan perubahan bagi klien (Moon, 2007).

14

15

Anda mungkin juga menyukai