Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN
Tentang
PRIBADI DAN KEPRIBADIAN

Di Susun Oleh
Fadillah Umaro 2214060064
DOSEN PENGAMPU:
Dra. Nursyamsi, M. Pd

PRODI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAM ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1445 H/2023 M

A. Struktur Kepribadian
Dibandingkan teori kepribadian, Rogers lebih dahulu mengembangkan teori
terapi, dan kemudian diperhalus sebagai hasil dari penelitian. Akan tetapi, teori terapi
tersebut pada hakikatnya bersifat deskriptif dan hanya sedikit menjelaskan alasan
klien bisa berubah dengan konseling yang berhasil. Konsep-konsep yang menjelaskan
hal ini terkandung dalam teori mengenai kepribadian. Meskipun bersifat tentatif dan
merupakan garis besarnya saja, teori kepribadian person-centered diuraikan ke dalam
dalil-dalil formal yang berpautan antara yang satu dan yang lainnya.
Orang-orang yang menyumbangkan teori ini adalah Raimy (1943, 1948) pada
teori tentang diri (self); Snygg dan Combs (1949) pada penelitian fenomenologisnya;
dan Standal (1954) pada teori perkembangan masa kanak-kanak. Karena uraian
mengenai hal ini sangat singkat, sumber-sumber harus diperiksa oleh pembaca yang
ingin meneliti hal-hal yang tidak sesuai dan yang hilang dalam teori itu. Meskipun
Rogers kelihatannya tidak mementingkan konstruk-konstruk struktural dan lebih suka
memperhatikan perubahan dan perkembangan, ada dua konstruk yang sangat penting
bagi teorinya dan juga dapat dianggap sebagai tempat berpijak dari seluruh teorinya.
Kedua konstruk tersebut adalah organisme dan diri.
1. Organisme
Dalam pandangan psikologi, organisme dilihat sebagai tempat dari seluruh
pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat
dalam kesadaran pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman itu merupakan medan
fenomenal atau medan perseptual, atau juga medan eksperiensial berikut beberapa
pengertian Medan fenomenal dan medan perseptual.
a. Medan perseptual
itu adalah dunia privat individu (individual frame of reference)
perseptual berkaitan dengan bagaimana seseorang menginterpretasikan dan
memberi makna terhadap stimulus eksternal, seperti situasi atau orang di
sekitarnya. Singkatnya, medan fenomenal fokus pada pengalaman internal
individu, sedangkan medan perseptual berkaitan dengan persepsi terhadap
dunia luar.
(Rogers, 1959, hlm. 210).
b. Medan fenomenal
ini tidak identik dengan medan kesadaran. "Kesadaran adalah
perlambangan dari sebagian pengalaman kita" (Rogers, 1959, hlm. 198).
Dengan demikian, medan fenomenal terdiri atas pengalaman sadar
(dilambangkan) dan pengalaman tak sadar (tidak dilambangkan),
Misalnya, saya begitu asyik menonton pertandingan sepak bola atau
wawancara di televisi, dan tidak menyadari kelaparan yang sedang dialami
oleh organisme saya. Rogers ingin menekankan dalam dalil ini bahwa
hanya individu sendiri saja yang dapat mengetahui dunia pengalaman ini
secara ikhlas dan sempurna. Kita tidak dapat mengetahui pengalaman
penuh, misalnya, dari orang lain yang tidak lulus dalam ujian atau sedang
diwawancarai untuk mendapat pekerjaan. Atau kita dapat mengamati
individu lain,
2. Diri dan Aktualisasi-Diri
Suatu bagian dari medan fenomenal lambat laun terdiferensiasi, dan bagian ini
disebut diri (self). Pentingnya diri sebagai pengatur tingkah laku merupakan salah
satu ide paling awal yang ditekankan oleh kelompok client-centered, dan diri ini
sangat penting dalam konseling mereka, lama sebelum bagian-bagian lain dari
teori kepribadian dikembangkan. Banyak teoretikus tertarik pada diri tetapi
perhatian pertama-tama diarahkan pada pentingnya diri itu dalam konseling
client-centered karena klien-klien selalu berbicara mengenai "diri" mereka setelah
benar-benar terlibat dalam konseling.
Ungkapan-ungkapan berikut adalah umum: "Saya tidak melihat diri saya
mampu mengendalikan beberapa anak yang tidak patuh dalam ruang kelas"; "Saya
bisa mengadakan lelucon dan berbicara sedikit, tetapi saya benar-benar seorang
yang sangat pemalu": "Saya adalah seorang anak yang selalu penuh kasih dan
patuh, dan saya memperlihatkan itu kepada ayah saya supaya saya benar-benar
memperhatikan keinginannya terhadap sekolah saya"; "Saya mampu melakukan
pekerjaan itu ketika saya belajar, tetapi saya sebenarnya orang yang lebih suka
bergaul"; "Saya berusaha menyembunyikan diri saya yang sebenarnya."Rogers
(1959) memostulasikan bahwa diri (self) memiliki dua subsistem, yaitu konsep-
diri (self-concept) dan diri ideal (ideal self).
a. Konsep-Diri (Self-Concept)
Konsep-diri (self-concept) merupakan suatu gagasan yang sangat
penting dalam sistem teoretis person-centered. Bagi Rogers, konsep-diri
merupakan gestalt konseptual yang terorganisasi dan konsisten, yang
terdiri atas persepsi individu tentang dirinya sendiri dan tentang dirinya
dalam hubungannya dengan orang-orang lain dan berbagai aspek
kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini.
Gestalt-lah yang ada dalam kesadaran meskipun tidak selalu dibutuhkan
untuk kesadaran. Gestalt adalah cair dan berubah-ubah, suatu proses dan
bukan suatu entitas, tetapi pada saat tertentu ia dapat menjadi entitas yang
tetap dan spesifik.
Kalau dikemukakan secara informal, kosep-diri merupakan gambaran
yang dimiliki individu tentang dirinya bersama dengan penilaiannya
tentang gambaran-diri ini. Misalnya, individu mungkin memersepsikan
dirinya sebagai orang yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, sebagai
seorang siswa yang pintar kecuali di bidang matematika, sebagai
orangyang tertarik kepada lain jenis, sebagai orang yang mencintai orang
tuanya, sebagai orang yang takut akan masa depan, dan sebagainya. Ia bisa
menilai sifat-sifat ini baik secara positif maupun negatif. Rogers
mengartikannya sebagai "persepsi tentang karakteristik 'saya atau aku' dan
persepsi tentang hubungan saya' atau 'aku dengan orang lain atau berbagai
aspek kehidupan, termasuk nilai-nilai yang terkait dengan persepsi
tersebut. Selain itu, dapat juga diartikan sebagai "keyakinan tentang
kenyataan, keunikan, dan kualitas tingkah laku diri sendiri. Konsep diri
(self-concept) meliputi semua aspek dari ada seseorang yang dipersepsikan
dalam kesadarannya (meskipun tidak selalu akurat).
Konsep diri tidak identik dengan diri organismik. Bagian-bagian dari
diri organismik mungkin berada di luar kesadaran individu atau individu
tidak mengakuinya. Misalnya, perut Anda adalah bagian dari diri
organismik Anda, tetapi kalau perut tersebut tidak bekerja sebagaimana
mestinya (tidak berfungsi dengan baik) dan menimbulkan keprihatinan,
mungkin perut tersebut bukan menjadi bagian dari konsep-diri Anda.
Demikian juga halnya, orang bisa tidak mengakui aspek-aspek tertentu
dari dirinya, seperti pengalaman ketidakjujuran bila pengalaman tersebut
tidak cocok dengan konsep dirinya. Dengan demikian, segera setelah
individu membentuk konsep- dirinya, perubahan dan pengetahuan-
pengetahuan yang penting terasa sangat sulit. Pengalaman-pengalaman
yang tidak cocok dengan konsep- diri individu biasanya disangkal atau
diterima hanya dalam bentuk- bentuk yang terdistorsi (Rogers, 1959).
Misalnya, seorang perempuan yang melihat dirinya sebagai seorang istri
yang setia dan tidak mungkin tertarik pada setiap lelaki yang bukan
suaminya. Jika pada tingkat organismik dia mengalami perasaan-perasaan
seksual terhadap lelaki lain, dia akan menyangkal perasaan-perasaan
tersebut pada kesadarannya atau memproyeksikan perasaan-perasaan itu
kepada lelaki lain itu. Situasi seperti ini merupakan dasar dari pandangan
Rogers mengenai ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment).
b. Diri-Ideal (Ideal-Self)
Subsistem kedua dari diri ialah diri-ideal (ideal-self) yang didefinisikan
sebagai pandangan individu tentang diri sebagaimana diinginkannya untuk
menjadi. Diri-ideal mengandung semua sifat, biasanya sifat-sifat positif
yang dicita-citakan individu untuk dimiliki. Secara operasional, baik
konsep-diri maupun diri ideal dapat diukur dengan alat-alat psikometrik,
seperti Q sort technique (sebuah instrumen yang akan dijelaskan
kemudian).
3. Organisme dan Diri: Keselarasan dan Ketidakselarasan
Konsep-konsep struktural, yaitu organisme dan diri dalam Teori Rogers
menjadi jelas dalam pembicaraannya mengenai keselarasan (congruence) dan
ketidakselarasan (incongruence) antara diri sebagai yang dipersepsikan dan
pengalaman-pengalaman aktual organisme (1959, hlm. 203, 205-206).
Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan yang membentuk diri
benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme, orang yang
bersangkutan disebut orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, matang,
dan berfungsi sepenuhnya. Orang yang demikian, menerima seluruh pengalaman
organismik tanpa merasakan ancaman atau kecemasan. Dia mampu berpikir
secara realistis, Ketidakselarasan antara diri dan organisme menyebabkan individu
merasa terancam dan cemas, Dia akan bertingkah laku secara defensif dan cara
berpikirnya menjadi sempit dan kaku.
B. Dinaminka Kepribadian
Dinamika kepribadian merujuk pada perubahan dan perkembangan dalam
sifat-sifat, perilaku, dan identitas seseorang sepanjang waktu. Ini adalah konsep yang
kompleks dan melibatkan berbagai faktor seperti pengalaman hidup, perkembangan
psikologis, dan interaksi sosial. Beberapa teori kepribadian, seperti teori Freudian,
teori perkembangan Erikson, dan teori kepribadian Big Five, mencoba menjelaskan
bagaimana kepribadian seseorang dapat berkembang dan berubah seiring waktu.
Penting untuk diingat bahwa kepribadian tidaklah statis; ia dapat berubah seiring
dengan pengalaman hidup, perkembangan individu, dan lingkungan sosial. Faktor-
faktor seperti pendidikan, pengalaman pekerjaan, peristiwa kehidupan, dan hubungan
interpersonal dapat memengaruhi dinamika kepribadian seseorang. Selain itu,
individu memiliki kapasitas untuk pertumbuhan dan perubahan dalam kepribadian
mereka sepanjang hidup mereka. Berikut ini dinamika kepribadian terbagi atas dua
berikut dinamika kepribadian dalam psikologi kepribadian:
1. Kausalitas dan Teleologi
Kausalitas berpendapat bahwa kejadian saat ini berasal dari pengalaman
sebelumnya. Perhatian sangat bergantung pada sudut pandang kausal dalam
penjelasan perilaku orang dewa- sa ini dalam hal pengalaman anak usia dini. Jung
mengkritik Freud karena menjadi satu sisi dalam penekanannya pada kausalitas
dan menegaskan bahwa pandangan kausal tidak dapat menjelaskan semua
motivasi. Sebaliknya, teleologi berpendapat bahwa hal ini dimotivasi oleh cita-cita
dan as- pirasi untuk masa depan yang mengarahkan takdir seseorang. Adler
memegang posisi ini, bersikeras bahwa orang termotivasi oleh persepsi sadar dan
tidak sadar tentang tujuan akhir. Jung kurang kritis terhadap Adler daripada orang
bebas, tapi dia berkeras daripada perilaku manusia yang dibentuk oleh kekuatan
kausal dan teleologi, serta bahwa penjelasan kausal harus diimbangi dengan
teleological Desakan Jung tentang keseimbangan terlihat dalam konsepsi oleh
persepsi sadar dan tidak sadar tentang tujuan akhir. Jung kurang kritis terhadap
Adler daripada orang bebas, tapi dia berkeras daripada perilaku manusia yang
dibentuk oleh kekuatan kausal dan teleologi, serta bahwa penjelasan kausal harus
diimbangi dengan teleological.
Desakan Jung tentang keseimbangan terlihat dalam konsepsi tentang mimpi.
Dia setuju dengan banyak mimpi yang berasal dari kejadian masa lalu; artinya,
mereka disebabkan oleh telinga-telinga pengalaman. Di sisi lain, Jung mengklaim
bahwa beberapa mimpi dapat membantu seseorang membuat keputusan tentang
masa depan, sama seperti mimpi membuat temuan penting dalam ilmu
pengetahuan alam yang pada akhirnya menghasilkan pilihan kariernya sendiri.
2. Progression dan Regression
Untuk mencapai realisasi diri, orang harus beradaptasi tidak hanya dengan
lingkungan eksternalnya, tetapi juga dengan dunia batinnya. Adaptasi terhadap
dunia luar melibatkan aliran energi psikis ke depan dan disebut progresif,
sedangkan adaptasi terhadap dunia batin bergantung pada aliran energi psikis yang
terbalik dan disebut regresi.
Dorongan progresif seseorang untuk bereaksi secara konsisten terhadap
seperangkat kondisi lingkungan tertentu, sedangkan regresi merupakan langkah
mundur yang perlu dalam pencapaian tujuan yang berhasil. Regresi mengaktifkan
jiwa tak sadar, bantuan penting dalam pemecahan sebagian besar masalah.
Sendiri, perkembangan, maupun regresi tidak mengarah pada pembangunan.
Entah bisa menimbulkan terlalu banyak satu sisi dan kegagalan dalam adaptasi;
tapi keduanya, bekerja sama, dapat mengaktifkan proses pengembangan
kepribadian yang sehat.
Akan tetaoi teori kepribadian yang berfokus pada dinamika kepribadian
mencakup berbagai pendekatan dan model. Namun, salah satu model kepribadian
yang paling terkenal adalah Model Lima Besar (Big Five) atau disebut juga
OCEAN, yang mencakup lima faktor utama:
a. Keterbukaan terhadap Pengalaman (Openness)
Keterbukaan terhadap pengalaman (Openness) adalah salah satu dari lima
faktor kepribadian dalam model Big Five. Ini mengacu pada sejauh mana
seseorang terbuka terhadap ide, pengalaman, dan perasaan baru. Orang
yang tinggi dalam keterbukaan cenderung lebih kreatif, berani mencoba
hal-hal baru, dan memiliki minat yang luas dalam berbagai topik. Mereka
sering mencari pengetahuan baru, seni, dan pengalaman yang berbeda. Di
sisi lain, orang yang rendah dalam keterbukaan lebih cenderung memilih
rutinitas yang akrab dan kurang tertarik pada perubahan atau eksplorasi
yang ekstensif.
b. Kekeseragaman (Conscientiousness)
Keseseragaman (Conscientiousness) adalah salah satu dari lima faktor
kepribadian dalam model Big Five. Ini mengacu pada tingkat organisasi,
ketertiban, disiplin, dan kepatuhan seseorang terhadap aturan dan tanggung
jawab. Orang yang tinggi dalam keseseragaman cenderung memiliki sifat
seperti keseriusan, ketekunan, dan akurasi. Mereka biasanya terampil
dalam merencanakan, mengatur waktu, dan menyelesaikan tugas-tugas
dengan teliti. Keseseragaman juga sering dikaitkan dengan sikap yang
penuh tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban-kewajiban
lainnya.Sebaliknya, orang yang rendah dalam keseseragaman mungkin
cenderung lebih santai, kurang peduli terhadap detail, dan mungkin lebih
fleksibel dalam menghadapi tugas-tugas atau jadwal. Tingkat
keseseragaman seseorang dapat berdampak pada kinerja mereka dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan dan hubungan sosial.
c. Ekstroversi (Extraversion)
Ekstroversi (Extraversion) adalah salah satu dari lima faktor kepribadian
dalam model Big Five Personality Traits. Ini mengacu pada tingkat
seseorang dalam berinteraksi dengan dunia luar dan bagaimana mereka
mendapatkan energi. Seseorang yang ekstrovert cenderung memiliki sifat-
sifat seperti sosial, berani, berenergi, dan suka berinteraksi dengan orang
lain. Mereka mendapatkan energi dari situasi sosial dan sering terbuka
terhadap pengalaman baru. Sebaliknya, introvert lebih suka situasi yang
lebih tenang dan merasa lebih nyaman dalam lingkungan yang kurang
berstimulasi secara sosial.
d. Kejahatan (Agreeableness)
Kejahatan (Agreeableness) adalah salah satu dari lima faktor kepribadian
dalam model Big Five Personality Traits. Ini mengacu pada sifat-sifat
sosial dan kooperatif seseorang dalam interaksi dengan orang lain.
Seseorang yang memiliki tingkat kejahatan yang tinggi cenderung
memiliki sifat-sifat seperti ramah, kooperatif, peduli, dan mudah bekerja
sama dengan orang lain. Mereka cenderung lebih baik dalam membangun
hubungan antarpribadi yang positif dan menghindari konflik. Di sisi lain,
individu dengan tingkat kejahatan yang rendah mungkin lebih skeptis,
keras kepala, atau kurang peduli terhadap perasaan orang lain.
e. Ketidakstabilan Emosional (Neuroticism)
Ketidakstabilan emosional (Neuroticism) adalah salah satu dari lima faktor
kepribadian dalam model Big Five Personality Traits. Ini mengacu pada
sejauh mana seseorang cenderung mengalami emosi negatif seperti
kecemasan, kemarahan, kegelisahan, dan depresi. Individu dengan tingkat
ketidakstabilan emosional yang tinggi mungkin lebih rentan terhadap stres
dan cenderung memiliki perasaan negatif yang kuat dalam berbagai situasi.
Di sisi lain, individu dengan tingkat ketidakstabilan emosional yang
rendah cenderung lebih tenang, sabar, dan tidak terlalu terpengaruh oleh
tekanan emosional. Ini adalah salah satu aspek penting dalam memahami
kepribadian seseorang.

Jadi, terdapat lima faktor utama dalam Model Lima Besar yang digunakan
untuk menggambarkan dinamika kepribadian seseorang. Namun, perlu dicatat
bahwa ada berbagai teori dan model lain yang mencoba menjelaskan kepribadian
manusia dengan cara yang berbeda.

C. Penyesuaian Diri
1. Pengertian penyesuaian diri
Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mengacu ke arah hubungan
yang harmonis antara tuntutan internal dari motivasi dan tuntutan eksternal dari
realitas. Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut:
a. Penyesuaian berarti adaptasi; dapat mempertahankan ekssistensinya, atau bisa
survive dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani, dan dapat
mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.
b. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai koformitas,
yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip dan lain-lain.
Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan
bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu
mampu menghindarkandiri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral,
sosial, maupun emosional. Sudut pandang berikutnya adalah penyesuaian diri
dimaknai sebagai usaha penguasaan (mastery), yaitu kemampuan untuk
merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara-cara tertentu
sehingga konflik-konflik, kesulitan, dan frustrasi tidak terjadi.
c. Penyesuaian diri adalah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara
wajar terhadap lingkungannya,
sehingga seseorang merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungan.
Dari pengertian ini dapat ditarik suatu maksud bahwa penyesuaian diri adalah
suatu kemampuan untuk membuat hubungan yang serasi dan memuaskan
antara individu dan lingkungannya. Individu diharapkan mampu melakukan
penyesuaian diri dengan kehidupan sosial dan mampu memenuhi ekspetasi
sosial setaraf dengan usianya. Dalam upaya pencapaian harmonisasi hubungan
antara tuntutan diri dan lingkungan ini akan muncul konflik, tekanan dan
frustasi, dan inidvidu didorong untuk meneliti kemungkinan perilaku yang
berbeda guna membebaskan diri dari ketegangan yang dialaminya.
2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan
penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
a. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima
dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya
dengan lingkungan sekitarnya." Individu tersebut menyadari sepenuhnya siapa
dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak
obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian
pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau
tanggungjawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya.
Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau
kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa
kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya. Sebaliknya kegagalan
penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan,
ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat
adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan.
Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud
dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus
melakukan penyesuaian diri.
b. Penyesuaian Sosial
Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti.
Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai
dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi
untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari- hari.
Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses
penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial
tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-
hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat
tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas.
Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama
memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi,
budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat)
diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu. Apa
yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan
masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial
yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial
dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam
penyesuaian sosial adalah kemauan Diakses pada 23 Oktober 2015.
Hurlock menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Jourard (dalam
Hurlock, 1990) salah satu indikasi penyesuaian sosial yang berhasil adalah
kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan seseorang.
Hurlock. Elizabeth B... Alih Bahasa: Med Meitasari T dan Muslichah Z.,
1990. Perkembangan Anak Jilid 1. (Jakarta: Erlangga, tt). hlm. 45.
untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap
masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah
ketentuan dan norma atau nilai- nilai tertentu yang mengatur hubungan
individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai
berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan- peraturan tersebut lalu
mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada
dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan
individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan
diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial,
berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Hal
inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha
mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya
terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat,
serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
3. Pembentukan Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri yang baik tidak akan dapat tercapai apabila kehidupan orang
tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa
yang bermacam-macam, dan orang tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran
dengan cara objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati
kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan
berprestasi. Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan
lingkungannya. Lingkungan yang dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup
sehat bagi individu, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan Keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau
dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga di mana terdapat
keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian
penyesuaian diri akan menjadi lebih baik jika individu merasakan
kehidupannya berarti dalam suatu keluarga. Rasa dekat dengan keluarga
adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu
b. Lingkungan Teman Sebaya
Dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat di antara
sesame teman merupakan hal yang sangat penting pada masa remaja dibandingkan
dengan masa- masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja biasanya adalah
menjauh dari temannya. Individu tersebut mengungkapkan kepada mereka secara
bebas tentang rencananya, cita- citanya dan dorongan-dorongannya. Lingkungan
Sekolah
c. Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah
pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab
pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya
mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa
depan. Guru juga dapat dikatakan sebagai langkah pertama dalam pembentukan
kehidupan yang menuntut individu untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan. Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati
perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan
perkembangan tersebut.
Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan
penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan
menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses
ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik
dalam penyesuaian tersebut. Jadi guru memiliki peran yang sangat penting dalam
pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu. Pendidikan hendaknya tidak
didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola
pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang
dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para individu merasa bahwa mereka
disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan
pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi
pertentangan antar generasi.
4. Sikap yang objektif dan realistis
penting dicatat bahwa penyesuian yang normal dihubungkan dengan sikap
yang objektif dan realistis. Sikap yang objektif dan realistis adalah sesuatu yang
berdasarkan pada pembelajaran, pengalaman yang lalu, dan pemikiran yang
rasional, yang memungkinkan kita untuk menilai sebuah situasi, masalah, atau
keterbatasan pribadi sebagaimana adanya dan untuk hal apa itu akan benar~benar
berharga Orang dapat melihat betapa pentingnya kualitas ini dalam situasi-situasi
yang kritis. Untuk dapat memandang seseorang dengan cara yang realistis dan
objektif adalah satu tanda yang paling jelas dari kepribadian yang dapat
melakukan penyesuaian dengan normal. Hal ini juga berfungsi sebagai
proteksiterhadap distorsi konsep diri dan pengaruh yang merusak seperti distorsi
yang dapat mempengaruhi penyesuaian individu terhadap diri mereka dan
lingkungannya. Adapun kesulitan dalam melakukan penyesuaian akan muncul
dalam beberapa bentuk, termasuk adalah hal-hal berikut ini:
a. Menarik diri, suka menjauhkan diri, perilaku pendiam.
b. Pemalu, segan, kesadaran diri, perilaku takut.
c. Serius, perilaku penuh pikiran.
d. Penolakan untuk mengenali kondisi yang nyata, delusi.
e. Merasa rendah diri
f. Emosional dan ketidakmatangan psikoseksual
g. Tidak berteman, terasing, perilaku asosial.
h. Reaksi curiga dan sensitif.
i. Rindu akan kasih sayangmencintai pujian, mencari perhatian.
j. Meletakkan tujuan-tujuan yang sangat tinggi.
k. Sangat agresif, perilaku suka bersaing.
l. Cemas, tegang, gugup, temper tantrums.
Faktor kepribadian adalah hal penentu utama dalam perilaku penyesuaian diri.
Ada keterhubungan antara kepribadian, proses penyesuaian, lingkungan, sosial,
dan daya kultural dimana kepribadian berkembang dan berfungsi. Dengan kata
lain, kepribadian adalah lingkaran yang intim dengan realitas objektif sebuah vr-
oses mental dan fisikal yang melingkari satu sama lain. Oleh karena itu, antara
kepribadian dan aspek lingkungan realita, seperti rumah, masyarakat, organisasi
kebudayaan, dan sekolah, terdapat sebuah hubungan yng saling mempengaruhi
yang konstan dimana dalam jaringan hubungan ini banyak penyesuaian terjadi.

5. Karakteristik penyesuaian yang normal adalah sebagai berikut ( dalam


Schneiders, 1995):
a. Tidak hadimya reaksi emosional yang berlebihan
Pertama sekali dari semuanya, penyesuaian diri yang normal dapat diidentifikasi
melalui relatif tidak adanya emosionalitas yang berlebihan atau yang merusak.
Pada individu yang merespon secara normal lebih atau kurang terhadap situasi dan
masalah yang muncul menunjukkan suatu derajat kontrol emosional tertentu, yang
memungkinkan mereka mengantisipasi situasi secara cerdas dan mengatur
pemecahan terhadap apapun kesulitan yang ada.
b. Tidak hadirnya mekanisme psikologis
Penyesuaian diri yang normal ditandai juga oleh ketiadaan mekanismemekanisme
psikologis. Pendekatan yang terns terang terhadap masalah atau konflik lebih
mengindikasikan secara jelas respon yang normal daripada jalan yang berliku-liku
seperti rasionalisasi, proyeksi, jera, ataupun kompensasi.
c. Tidak hadirnya rasa frustrasi pribadi
Alasan yang mendasar mengapa penyesuaian yang normal adalah bebas dari rasa
frustrasi adalah karena r-asa frustrasi membuat sesuatu menjadi sulit, dan
terkadang menjadi tidak mungkin untuk bereaksi secara normal terhadap situasi
atau masalah.
d. Pertimbangan dan pengarahan diri yang rasional
Karakteristik yang menonjol dari penyesuaian diri yang normal adalah pengarahan
diri dan pertimbangan yang rasional.
e. Kemampuan untuk belajar
Proses penyesuaian yang normal selalu dapat diidentifikasikan dengan sejumlah
pertumbuhan dalam rangka pemecahan terhadap situasi yang penuh dengan
konflik, frustrasi, atau stres.
f. Memanfaatkan pengalaman yang lalu
Dalam proses tumbuh dan berubah, belajar dari pengalaman lalu adalah hal yang
utama.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Struktur kepribadian seringkali dijelaskan dalam konteks model-model kepribadian
seperti Model Lima Besar (Big Five), yang mencakup lima dimensi utama kepribadian yang
mencirikan seseorang. Dinamika kepribadian melibatkan pemahaman tentang bagaimana
individu dapat tumbuh, berkembang, dan beradaptasi dengan berbagai situasi dan tantangan
dalam hidup mereka, serta bagaimana perubahan kepribadian ini dapat terjadi selama siklus
kehidupan seseorang.Ketika seseorang memiliki kemampuan yang baik dalam penyesuaian
diri, mereka lebih mampu menghadapi tantangan, mengatasi kesulitan, dan mencapai tujuan
mereka dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Suryabrata, Sumardi. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Koswara, E. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco.

Anda mungkin juga menyukai