Anda di halaman 1dari 10

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Keterampilan Komunikasi Konselor

Dosen Pengampu: Hj. Farida Ulyani M. Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 8 - D5 BKI

1. Arifin Mubarok (1940110113)

2. Nurul Sa’idah (1940110122)

3. Sintya Ummu Nabila (1940110125)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM

TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi berarati suatau pertukaran pikiran dan persamaan. Pertukaran
tersebut tidak hanya dapat dilaksanakan dalam bentuk bahasa, seperti; isyarat,
ungkapan, emosional berbicara atau bahasa tulisan saja, namun perlu
dilakukan dengan melalui bicara agar lebih komunikatif. Komunikasi dapat
berbentuk verbal, non verbal, dan abstrak. Komunikasi verbal seperti vocal
dalam bentuk tertawa, merintih, berteriak, atau menangis. Komunikasi non
verbal yang sering disebut sebagai bahasa tubuh, seperti isyarat, gerak gerik,
lenggak lenggok. ekspresi wajah, postur tubuh, dan reaksi terhadap sesuatu,
sedangkan komunikasi abstrak seperti, permainan, ekspresi artistic (seni),
simbol, photografi, dan cara memilih pakaian. Salah satu bagian dari
keberhasilan dalam wawancara adalah tergantung pada keadaan fisik dan
psikologis si perawat itu sendiri. Perkenalan yang tepat, penjelasan peranan,
menerangkan alasan wawancara serta menjamin kebebasan dan rahasia. Untuk
mempermudah kelangsungan berkomunikasi dengan anak, maka perawat tidak
dapat melepaskan pendekatan kepada keluarga. Untuk itu agar intervensi
tindakan keperawatan dapat dilaksanakan dengan baik, maka sebelum
berkomunikasi dengan anak, perawat harus berkomunikasi dengan keluarga.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian komunikasi terapeutik?
2. Bagaimana unsur-unsur dan prinsip komunikasi terapeutik?
3. Bagaimana teknik dan faktor penghambat komunikasi terapeutik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian komunikasi terapeutik.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur dan prinsip komunikasi terapeutik.
3. Untuk mengetahui teknik dan faktor penghambat komunikasi terapeutik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Komunikasi Terapeutik


Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yakni communicatio yang
artinya pemberitahuan atau pertukaran ide. Pemberitahuan atau pertukaran ide
dalam suatu proses komunikasi akan ada pembicara yang menyampaikan
pernyataan ataupun pertanyaan yang dengan harapan akan ada timbal balik
atau jawaban dari pendengarnya (Suryani, 2015). Terapeutik merupakan suatu
hal yang diarahkan kepada proses dalam memfasilitasi penyembuhan konseli.
Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau
keterampilan konselor untuk membantu konseli beradaptasi terhadap stres,
mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan
orang lain. Dan komunikasi terapeutik ini sendiri juga merupakan salah satu
bentuk dari berbagai macam komunikasi yang dilakukan secara terencana dan
dilakukan untuk membantu proses penyembuhan koseli.1
Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan
kerjasama antara konselor dan konseli. Konselor berusaha mengungkapksn
perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan
yang dilakukan dalam penyembuhan. Proses komunikasi yang baik dapat
memberikan pengertian tingkah laku konseli dan membantu mengatasi
persoalan yang dihadapi pada tahap penyembuhan. Komunikasi terapeutik
bertujuan untuk mengembangkan segala yang ada dalam fikiran dan diri
konseli ke arah yang lebih positif yang nantinya akan dapat mengurangi beban
perasaan konseli dalam menghadapi maupun mengambil tindakan tentang
kesehatannya.
Menurut Arwani (2002), ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri
komunikasi terapeutik yaitu :
1. Keikhlasan (genuineness)

1
Suryani, Komunikasi Terapeutik Teori dan Praktik (Jakarta : EGC, 2005), 5-6.

2
Kesadaran diri konselor untuk dapat menerima sikap konseli tanpa
menolak segala bentuk perasaan negatif yang dimiliki konseli dan
berusaha untuk berinteraksi dengan konseli.
2. Empati (empathy)
Empati merupakan perasaan pemahaman dan penerimaan konseli
terhadap perasaan yang dialami konseli dan kemampuan merasakan dunia
pribadi konseli.
3. Kehangatan (warmth)
Hubungan yang saling membantu (helping relationship) dibuat untuk
memberikan kesempatan konseli mengeluarkan unek-unek (perasaan dan
nilai-nilai) secara bebas.2

Jenis komunikasi secara terapeutik terdiri dari verbal dan non verbal
menurut Mubarak yaitu:
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi merupakan suatu bentuk komunikasi yang menggunakan
tulisan ataupun lisan. Hal ini disebabkan karena bahan dapat mewakili
kenyataan konkrit. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka
yaitu memungkinkan tiap individu untuk beberapa secara langsung.
Dalam komunikasi verbal ini harus jelas dan ringkas. Komunikasi verbal
yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Ringkas dengan
menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.
2. Komunikasi non verbal
Komunikasi non verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan
kata-kata. Cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan
kepada orang lain. konselor perlu menyadari pesan verbal dan non verbal
yang disampaikan konseli mulai dari saat saat pengkajian sampai evaluasi
asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap
pesan verbal. Konselor yang mendeteksi suatu kondisi dan menentukan
kebutuhan dari konseli tersebut.

2
Suryani, Komunikasi Terapeutik Teori dan Praktik (Jakarta : EGC, 2005), 15-16.

3
B. Unsur-Unsur dan Prinsip Komunikasi Terapeutik
Menurut Kariyoso (1994), unsur-unsur dari komunikasi terapeutik sebagai
berikut:3
1. Komunikator
Komunikator adalah individu, keluarga maupun kelompok yang
mempunyai inisiatif dalam menyelenggarakan komunikasi dengan
individu atau kelompok lain yang menjadi sasaran. Komunikator bisa juga
berarti tempat berasalnya sumber pengertian yang dikomunikasikan.
2. Message (pesan/ berita)
Message (pesa/berita) adalah berita yang disampaikan oleh komunikator
melalui lambang-lambang pembicaraan, gerakan-gerakan dan sebagainya.
Message bisa berupa gerakan, suara, lambaian tangan dan sebagainya.
Sedangkan di rumah sakit message bisa berupa nasehat dokter, hasil
konsultasi pada status konseli, laporan dan sebagainya.
3. Channel (saluran)
Channel (saluran) adalah saluran penyampaian pesan melalui indra
manusia meliputi pendengaran, penglihatan penciuman dan perabaan.
4. Komunikan
Komunikan adalah objek-objek sasaran dari kegiatan komunikasi atau
orang yang menerima berita atau lambang, bisa berupa konseli, keluarga
maupun masyarakat.
5. Feed back
Feed back adalah arus umpan balik dalam rangka proses berlangsungnya
komunikasi. Hal ini bisa juga dijadikan patokan sejauh mana pencapaian
dari pesan yang telah disampaikan.

3
Misi Siti, Zulpahiyana, dan Sofyan Indrayana. Komunikasi Terapeutik Perawat Berhubungan
dengan Kepuasan Pasien (Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Vol. 4 No.1, Yogyakarta:
Universitas Alma Ata, 2016), 33.

4
Prinsip-prinsip dari komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers dikutip
oleh Purwanto (1994) adalah :
1. Konselor harus mengenal dirinya yang berarti menghayati, memahami
dirinya sendiri.
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya
dan saling menghargai.
3. Konselor harus menyadari pentingnya kebutuhan konseli baik fisik
maupun mental.
4. Konselor harus menciptakan suasana yang memungkinkan konseli
memiliki motivasi untuk merubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya
sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi.
5. Konselor harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk
mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan
maupun frustasi.
6. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan
sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.
7. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan
terapeutik.4

C. Teknik dan Faktor Penghambat Komunikasi Terapeutik


Konselor dalam melaksanakan komunikasi terapeutik harus
memperhatikan teknik-teknik komunikasi terapeutik diantaranya:
1. Penerimaan
Penting untuk membuat konseli merasa didengarkan untuk mempermudah
menerima penyembuhan. Perlu diingat bahwa penerimaan tidak selalu
sama dengan kesepakatan. 
2. Diam atau hening

4
Redhian, I. P. 2011. Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Anak dan Orangtua., 28.

5
Keheningan dapat memberikan waktu dan ruang bagi konseli untuk
mengutarakan pikiran dan perasaan ke dalam kalimat.
3. Menawarkan diri
Menyediakan waktu dan perhatian untuk menemani konseli tanpa
diminta. Hal ini dapat membantu meningkatkan suasana hati konseli
4. Aktif mendengarkan
Konselor yang aktif mendengarkan akan menunjukkan minat dan
memberikan reaksi secara verbal atau nonverbal yang dapat mendorong
konseli membuka dirinya. Konseli dapat merasakan bahwa konselor
tertarik, mendengarkan, dan memahami pembicaraannya.
5. Memberikan harapan dan humor
Memberikan harapan kepada konseli bahwa mereka dapat melalui situasi
yang tengah dijalani dan meringankan suasana dengan humor dapat
membantu konselor membangun hubungan yang baik dengan konseli.
Kedua hal ini dapat membuat pikiran konseli lebih positif.
6. Mendorong konseli untuk melakukan perbandingan
Konselor dapat mendorong konseli untuk melakukan perbandingan dari
beberapa pengalaman sebelumnya. Hal ini dapat membantu konseli
menemukan solusi untuk masalah mereka5

Sedangkan menurut Dewit (2001), ada beberapa faktor yang dapat


menghambat terciptanya komunikasi yang efektif, diantaranya adalah :
1. Changing The Subject (merubah subyek atau topik)
Merubah obyek pembicaraan akan menunjukan empati yang kurang
terhadap konseli. Hal ini akan menjadikan konseli merasa tidak nyaman,
tidak tertarik dan cemas. Sehingga idenya menjadi kacau dan akhirnya
informasi yang ingin didapatkan dari konseli tidak mencukupi.
2. Offering False Reassurance (mengukapkan keyakinan palsu)

5
Suryani, Komunikasi Terapeutik Teori dan Praktik (Jakarta : EGC, 2005), 30.

6
Memberikan keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataan akan sangat
berbahaya karena dapat mengakibatkan rasa tidak percaya konseli
terhadap konselor.
3. Defensive Comments (komentar yang bertahan )
Konselor yang menjadi defensif dapat mengakibatkan konseli tidak
mempunyai hak untuk berpendapat, sehingga konseli menjadi tidak
peduli. Sikap defensif ini muncul karena konselor merasa terancam yang
disebabkan hubungannya dengan konseli. Agar tidak defensif konselor
perlu mendengarkan konseli, walaupun mendengar belum tentu setuju.
4. Prying or Probing Questions (pertanyaan-pertanyaan penyelidikan)
Pertanyaan penyelidikan akan membuat konseli bersifat defensif. Karena
konseli merasa digunakan dan dinilai hanya untuk informasi yang mereka
dapat berikan. Banyak konseli yang marah karena pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat pribadi.
5. Using Cliches (menggunakan kata klise)
Kata-kata klise menunjukan kurangnya penilaian pada hubungan konselor
dan konseli. Konseli akan merasa bahwa perawat tidak peduli dengan
situasinya.
6. In Attentive Listening (mendengar dengan tidak memperhatikan)
Konselor menunjukan sikap tidak tertarik ketika klien sedang mencoba
mengeksplorasikan perasaanya, maka konseli akan merasa bahwa dirinya
tidak penting dan perawat sudah bosan dengannya.6

6
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan (Jakarta : Graha Ilmu, 2006), 45.

7
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan konselor


untuk membantu konseli beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan
psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain. Fungsi
komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama
antara konselor dan konseli. Komunikasi terapeutik bertujuan untuk
mengembangkan segala yang ada dalam fikiran dan diri konseli ke arah yang
lebih positif yang nantinya akan dapat mengurangi beban perasaan konseli
dalam menghadapi maupun mengambil tindakan tentang kesehatannya.
Menurut Kariyoso (1994), unsur-unsur dari komunikasi terapeutik sebagai
berikut komunikator, pesan, saluran, komunikan, dan feed back. Konselor
dalam melaksanakan komunikasi terapeutik harus memperhatikan teknik-
teknik komunikasi terapeutik diantaranya: Penerimaan, Diam atau hening,
Menawarkan diri, Aktif mendengarkan dan lain sebagainya. Sedangkan
menurut Dewit (2001), ada beberapa faktor yang dapat menghambat
terciptanya komunikasi yang efektif, diantaranya adalah: merubah subyek atau
topik, mengukapkan keyakinan palsu, komentar yang bertahan, pertanyaan-
pertanyaan penyelidikan, menggunakan kata klise, mendengar dengan tidak
memperhatikan.

8
DAFTAR PUSTAKA

Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik Teori Dan Praktik. Jakarta : EGC


Siti, Misi, Zulpahiyana, dan Sofyan Indrayana. 2016. Komunikasi Terapeutik
Perawat Berhubungan dengan Kepuasan Pasien. Jurnal Ners dan
Kebidanan Indonesia Vol. 4 No.1 . Yogyakarta: Universitas Alma Ata.
Redhian, I. P. 2011. Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Anak dan
Orangtua.
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan. Jakarta : Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai