Anda di halaman 1dari 42

KESEHATAN MENTAL SANTRI DITINJAU DARI INTENSITAS

MENGIKUTI PEMBINAAN KEAGAMAAN ISLAM DAN DUKUNGAN


SOSIAL
(Studi di Pondok Pesantren Al-Hidayah Plumbon Kec.Limpung Kab.Batang)

A. Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan


sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan
tanpa penyakit dan kelemahan (Videbeck, 2001: 11). Undang-undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan tentang kesehatan, yaitu
keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Prasetyawati, 2011: 4).
Kesehatan mental merupakan permasalahan yang selalu menarik
perhatian masyarakat. Berita-berita tentang peningkatan jumlah pasien rumah
sakit jiwa akibat musibah bencana alam di berbagai daerah, siswa bunuh diri
karena belum bisa membayar SPP, narapidana bunuh diri akibat stress, dan
sebagainya. Beberapa kasus tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa
diabaikan begitu saja (Baidi, 2006:1).
Ketidaksehatan mental bisa dialami oleh semua orang tak terkecuali
santri, apalagi santri yang hidup dalam pondok pesantren dalam waktu yang
cukup lama, bisa beberapa tahun. Di dalam pondok pesantren seorang santri
harus hidup mandiri, jauh dari orang tua, beradaptasi dengan lingkungan
pondok pesantren yang berbeda dengan lingkungan rumahnya, dan adanya
aturan-aturan yang harus dipatuhi.

Kehidupan di pondok pesantren tidak menjamin seorang santri merasa


nyaman menjalaninya, adanya kasus santri melarikan diri dari pondok
pesantren merupakan salah satu masalah bahwa menyesuaikan diri di pondok
pesantren tidak semudah yang dibayangkan. Tarsono (dalam Baidi, 2006: 2)
menyatakan

individu

yang

tidak

dapat

menyesuaikan

diri

dengan

lingkungannya maka individu itu akan sangat gelisah, cemas, takut, tidak
dapat tidur, tidak enak makan, dan lain sebagainya. Dari uraian tersebut
terlihat bahwa santri juga mengalami permasalahan, sehingga mereka rentan
terhadap permasalahan kesehatan mental.
Kesehatan mental seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Yang termasuk faktor internal antara lain: faktor
biologis, yang meliputi: otak, system endokrin, genetika, sensori, dan kondisi
ibu selama kehamilan, serta faktor psikologis, yang meliputi: pengalaman
awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan. Adapun yang termasuk faktor
eksternal antara lain: stratifikasi sosial, interaksi sosial, dan kondisi
lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan
sekolah. (Muhyani, 2012: 46). Dalam hal ini dukungan sosial dan pembinaan
keagamaan di pondok pesantren dapat menjadi faktor yang mempengaruhi
kesehatan mental santri.
Kehidupan santri di pondok pesantren yang jauh dari keluarga
membuat para santri merasa kurang diperhatikan, sehingga membutuhkan
dukungan. Dukungan sosial bagi para santri merupakan hal yang amat
penting, hal tersebut sejalan dengan kodratnya sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya selalu membutuhkan dan

dibutuhkan orang lain. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi


seseorang sangat diperlukan. Dukungan dapat diperoleh dari para pengasuh
dan santri yang lain.
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri,
tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain, sehingga membutuhkan
bantuan. Rohman (dalam Bukhori, 2006: 25) bentuk dukungan sosial dapat
berupa kesempatan bercerita, meminta pertimbangan, bantuan, atau mengeluh
bilamana sedang mengalami persoalan pribadi. Apabila individu yang
mengalami persoalan tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka dapat
menimbulkan depresi.
Salah satu faktor dalam hubungan stress dan depresi adalah dukungan
sosial (social support) yang tersedia bagi individu bila berhadapan dengan
stress. Menurut Brehm dan Smith (dalam Semiun, 2006: 419), individuindividu yang memperoleh dukungan sosial kecil kemungkinan akan
mengalami depresi. Dengan demikian, tidak adanya dukungan sosial dapat
menyebabkan depresi dan juga memperpanjang depresi.
Selain dukungan sosial yang didapat santri dari lingkungan pondok
pesantren,

intensitas

mengikuti

pembinan

keagamaan

juga

dapat

mempengaruhi kesehatan mental santri. Dengan mendapatkan binaan


mengenai masalah agama, paling tidak dapat memberi ketenangan pada santri
sehingga berpengaruh terhadap kesehatan mentalnya. Pembinaan keagamaan
yang diberikan berupa pemberian materi yang berhubungan dengan akhlak,
ibadah, dan syariah.

Sejak seperempat abad yang lalu di lingkungan kesehatan mental


dikembangkannya metode dan teknik-teknik yang bercorak spiritual, mistikal,
dan agamis yang dianggap memberikan konstribusi bagi kesehatan mental.
Sejalan dengan itu agama, khususnya agama Islam, seakan-akan mendapat
tantangan untuk memberikan konstribusinya terhadap penyelesaian berbagai
masalah sosial termasuk mengembangkan kesehatan mental. Misalnya saja
ada

pesantren-pesantren

dan

lembaga-lembaga

agama

yang

khusus

mendalami Ilmu Tasawuf Islam berperan serta menanggulangi problema


penyalahgunaan obat dan narkotika (Bastaman, 2001: 130).
Pesantren berarti tempat para santri (Dhofier, 2011:137). Secara
definitif pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem
asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai
pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah
bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya (Zarkasyi
dalam Ziemek, 1986:56). Pondok pesantren juga digunakan sebagai tempat
untuk berdakwah, di mana kyai sebagai dainya dan santri sebagai madunya.
Dakwah Islam adalah suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan,
tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan
berencana. Dakwah Islam adalah usaha mempengaruhi orang lain baik secara
individual maupun secara kelompok, supaya timbul dalam dirinya suatu
pengertian, kesadaran, sikap penghayatan, serta pengalaman terhadap ajakan
agama sebagai message yang disampaikan kepadanya tanpa adanya unsurunsur paksaan (Arifin, 2000: 6). Salah satu bentuk dakwah yang dilakukan

yaitu pembinaan keagamaan yang dilakukan di pondok pesantren, yang


bertujuan membina para santri untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Pondok pesantren Al-Hidayah Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang
merupakan pondok pesantren yang memiliki kegiatan pembinaan keagamaan
Islam yang memiliki tujuan agar para santri dapat menjadi manusia yang
memiliki akhlak baik dan bertakwa kepada Allah. Pada tahun 2012/2013,
kegiatan keagamaan yang dilakukan di pondok pesantren al-Hidayah meliputi:
shalat berjamaah, pembacaan kitab, pengajian kitab, pengajian Al-Quran,
sorogan kitab, bandungan Al-Quran dan kitab, membaca tahlil, sholawat
barzanji dan khitobah, qiroah, muhafadzoh, dan ziarah kubur. Pembinaan
kehidupan beragama tidak lepas dari pembinaan kepribadian secara
keseluruhan. Di Pesantren, model pembinaan yang dilaksanakan bersifat
kholistik, tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, akan tetapi
aspek afektif dan psikomotorik santri terasah dengan optimal (Wahyuni, 2005:
3).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk
meneliti Pengaruh Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan Islam dan
Dukungan Sosial Terhadap Kesehatan Mental Santri di Pondok Pesantren AlHidayah Plumbon Kec.Limpung Kab. Batang.
B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana tercantum di atas


muncul permasalahan penelitian, yakni:

Adakah pengaruh intensitas mengikuti pembinaan keagamaan dan dukungan


sosial dengan kesehatan mental santri di Pondok Pesantren Al- Hidayah
Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang?
C. Tujuan Penelitian

Untuk menguji secara empiris pengaruh intensitas mengikuti


pembinaan keagamaan dan dukungan sosial terhadap kesehatan mental santri
di pondok pesantren Al-Hidayah Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teori bagi


pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang bimbingan dan konseling
Islam

khususnya

tentang

pengaruh

intensitas

mengikuti

pembinaan

keagamaan dan dukungan sosial terhadap kesehatan mental santri di Pondok


Pesantern Al-Hidayah Plumbon Kec.Limpung Kab.Batang.
b.

Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi

dan masukan terhadap pembina maupun calon pembina dalam melakukan


pembinaan keagamaan Islam di Pondok Pesantren.
E. Tinjauan Pustaka

Pada dasarnya urgensi tinjauan pustaka adalah sebagai bahan


autokritik terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kelebihan maupun
kekurangannya, sekaligus sebagai bahan komparatif terhadap kajian yang
terdahulu. Urgensi lainnya adalah untuk menghindari terjadinya pengulangan
hasil temuan yang membahas permasalahan yang sama atau hampir sama dari

seseorang, baik dalam bentuk skripsi, buku, dan dalam bentuk tulisan yang
lainnya, maka penulis akan memaparkan beberapa bentuk tulisan yang sudah
ada. Beberapa bentuk tulisan atau hasil penelitian yang penulis paparkan
adalah:
1. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Stress Remaja Penghuni

Panti Pamardi Putra Mandiri. Penelitian dilakukan oleh Abdul Hamid,


2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara
dukungan sosial keluarga dengan stress remaja penghuni Panti Pamardi
Putra Mandiri.
2. Pengaruh Perhatian Keluarga dan Bimbingan Rohani Islam terhadap

kesehatan Mental Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang. Penelitian dilakukan oleh Ikha Ratna Nofita, 2008. Dalam
penelitian ini terdapat pengaruh positif signifikan antara perhatian
keluarga dan bimbingan rohani Islam terhadap kesehatan mental pasien di
RSI Sultan Agung Semarang, artinya apabila semakin banyak perhatian
yang diberikan oleh keluarga dan semakin banyak pula bimbingan rohani
Islam yang diberikan petugas kerohanian kepada pasien maka semakin
banyak pula pengaruhnya terhadap kesehatan mental pada pasien di RSI
Sultan Agung Semarang.
3. Pengaruh Intensitas Melaksanakan Puasa Ramadlan Terhadap Kesehatan

Mental Jamaah Pengajian Mujahadah Rotib Al Hadad di Kelurahan


Bandar Harjo Semarang. Penelitian dilakukan oleh Dedi Susanto, 2005.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan
antara intensitas melaksanakan puasa dengan kesehatan mental jamaah

pengajian Mujahadah Rotib Al Hadad di Kelurahan Bandar Harjo


Semarang.
Sebatas pengamatan peneliti sejauh ini belum pernah dilakukan
penelitian tentang hubungan intensitas mengikuti pembinaan keagamaan dan
dukungan sosial dengan kesehatan mental santri. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari objek yang dan diteliti dan variabel yang digunakan.
F. Kerangka Teori
1. Kesehatan Mental

1.1.

Pengertian Kesehatan Mental


Kesehatan mental dipandang sebagai ilmu praktis yang banyak

dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk bimbingan dan


penyuluhan yang dilaksanakan di rumah tangga, kantor, sekolah, dan
lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat (Yahya, 1993:75). Beberapa
pakar psikologi mendefinisikan mental sehat sebagai suatu keadaan individu
yang terbebas dari penyimpangan, kekhawatiran, kegelisahan, kesalahan, dan
kekurangan (Muhyani, 2012:20).
Menurut Saparinah Sadli, ada tiga orientasi dalam kesehatan jiwa:
1).Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyai keluhan
tertentu, seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tak
berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan sakit atau rasa tak sehat
serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari.

2). Orientasi penyesuaian diri: Seseorang dianggap sehat secara psikologis


bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang-orang
lain serta lingkungan sekitarnya.
3). Orientasi pengembangan potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf
kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan
potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain
dan dirinya sendiri (Bastaman, 2001: 132).

Daradjat (dalam Muhyani, 2012: 21) mendefinisikan kesehatan mental


dengan beberapa pengertian: 1). Terhindarnya orang dari gejala-gejala
gangguan jiwa (neurose) dan gejala-gejala penyakit kejiwaan (psychose). 2).
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain
dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. 3). Pengetahuan dan
perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala
potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga
membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari
gangguan dan penyakit jiwa. 4). Terwujudnya keharmonisan yang sungguhsungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Definisi kesehatan mental yang dirumuskan oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) adalah kemampuan adaptasi seseorang dengan dirinya sendiri
dan dengan alam sekitar secara umum, sehingga dia merasakan senang,
bahagia, hidup dengan lapang, dan berperilaku sosial yang normal, serta
mampu menghadapi dan menerima berbagai kenyataan hidup (Najati, 2000:
350). Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi emosional, psikologis, dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan sosial (Videbeck:
2008, 11).

10

Dari beberapa pengertian di atas secara umum dapat disimpulkan


bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan
atau penyakit mental, mampu menyesuaikan dengan diri sendiri dan
lingkungannya, mampu mengembangkan potensi, dan beriman kepadan serta
menjalankan perintah agama dalam kehidupan sehari-hari.
1.2.

Aspek-aspek Kesehatan Mental


Kartono (1989: 5-6) menyatakan bahwa orang yang memiliki mental

sehat ditandai dengan sifat-sifat khas, antara lain: mempunyai kemampuankemampuan untuk bertindak secara efisien, memiliki tujuan-tujuan hidup
yang jelas, punya konsep diri yang sehat, ada koordinasi antara segenap
potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi-diri dan integrasi
kepribadian, dan batinnya selalu tenang.
Orang yang sehat mentalnya menurut Marie Jahoda memiliki karakter
utama sebagai berikut:
a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti ia dapat
mengenal dirinya dengan baik.
b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan,
dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.

11

d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam


atau kelakuan-kelakuan bebas.
e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan serta
memiliki empati dan kepekaan sosial.
f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya
secara baik (Yahya, 1994: 76).
Bastaman (2001: 134) memberikan tolak ukur kesehatan mental,
dengan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1) Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
2) Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar
pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
3) Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat,
dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan
lingkungan.
4) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berupaya menerapkan tuntutan
agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dari berbagai ciri orang yang memiliki mental yang sehat
sebagaimana dijelaskan di atas, pada penelitian ini peneliti memilih ciri yang
dikemukakan Bastaman (1995:134), dan dijadikan dasar dalam membuat
skala kesehatan mental.

12

1.3.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental


Kesehatan mental dipengaruhi oleh beberapa faktor baik eksternal

maupun internal. Yang termasuk faktor internal adalah faktor biologis dan
psikologis, diantaranya:
g. Faktor Biologis
Salah satu faktor yang berpengaruh tehadap kesehatan menta adalah faktor
biologis. Beberapa faktor biologis yang secara langsung berpengaruh
terhadap kesehatan mental, diantaranya: otak, system endokrin, genetika,
sensori, dan kondisi ibu selama kehamilan.
h. Faktor Psikologis
Aspek psikis yang berpengaruh terhadap kesehatan menrtal, yaitu:
pengalaman awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan (Muhyani, 2012:
46-50).

Faktor eksternal yang memengaruhi kesehatan mental yaitu sosial


budaya, diantaranya:
a) Stratifikasi Sosial
13

Holingshead dan Redlich menemukan bahwa terdapat distribus gangguan


mental secara berbeda antara kelompok masyarakat yang berada pada
strata tinggi dengan strata sosial yang rendah.
b) Interaksi Sosial
Faris dan Dunham mengemukakan bahwa kualitas interaksi sosial
individu sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya.
c) Keluarga
Keluarga

merupakan

lingkungan

mikrosistem

yang

menentukan

kepribadian dan kesehatan mental anak.


d) Sekolah
Sekolah juga merupakan lingkungan yang turut mempengaruhi terhadap
perkembangan kesehatan mental anak (Muhyani, 2012: 50-52).
Johnson (dalam Videbeck: 2008, 11) menyatakan kesehatan jiwa
dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya:
a. Otonomi dan kemandirian: individu dapat melihat ke dalam dirinya untuk

menemukan nilai dan tujuan hidup. Individu yang otonom dan mandiri
dapat bekerja secara interdependen atau kooperatif dengan orang lain
tanpa kehilangan otonominya.

14

b. Memaksimalkan

potensi

diri:

individu

memiliki

orientasi

pada

pertumbuhan dan aktualisasi diri.


c. Menoleransi ketidakpastian hidup: individu dapat menghadapi tantangan

hidup sehari-hari dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak


mengetahui apa yang terjadi di masa depan.
d. Harga diri: individu memiliki kesadaran yang realisitis akan kemampuan

dan keterbatasannya.
e. Menguasai lingkungan: individu dapat menghadapi dan memengaruhi

lingkungan dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan.


f.

Orientasi realitas: individu dapat membedakan dunia dunia nyata dari


dunia impian, fakta dari khayalan, dan bertindak secara tepat.

g. Manajemen stress: individu menoleransi stress kehidupan, merasa cemas

atau berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa


hancur. Ia menggunakan dukungan dari keluarga dan teman untuk
mengatasi krisis karena mengetahui bahwa stress tidak akan berlangsung
selamanya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini intensitas
mengikuti pembinaan keagamaan Islam dapat dikategorikan dalam faktor
internal dari aspek psikis dan dukungan sosial sebagai faktor eksternal sosial
budaya.
2. Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan Islam
2.1. Pengertian Intensitas

15

Intensitas berasal dari kata intens yang artinya hebat, sangat kuat
(tentang kekuatan, efek, dan sebagainya), tinggi (mutu), bergelora, penuh
semangat (perasaan), dan sangat emosional (orang). Dilihat dari sifat intensif
berarti secara sungguh-sungguh dan terus-menerus dalam mengerjakan
seseuatu hingga memperoleh hasil optimal, sedangkan intensitas merupakan
keadaan tingkatan atau ukuran intensnya (Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994: 383).
Menurut Kartono dan Gulo (dalam Nurhidayah, 2011: 33), intensitas
adalah besar atau kekuatan suatu tingkah laku, jumlah energi fisik yang
dibutuhkan untuk merangsang salah satu indera, ukuran fisik dari energi atau
data indera. Jadi intensitas adalah tingkat kesungguhan yang dilakukan oleh
seseorang dalam melakukan suatu usaha atau kegiatan tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata
intensitas diartikan sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan seseorang
secara terus-menerus dan lebih dari satu kali dengan frekuensi yang lebih
lama semakin meningkat yang di dalamnya mengandung unsur motivasi,
semangat/giat dalam mencapai hasil yang diinginkan.
2.2. Pengertian Pembinaan Keagamaan Islam

Pembinaan keagamaan terdiri atas dua kata yaitu pembinaan dan


keagamaan. Dalam kamus Indonesia mempunyai pengertian proses perbuatan,
cara membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan, kegiatan
yang dilakukan berdaya guna dan berhasil untuk memperoleh hasil yang lebih
baik (Depdikbud, 1994: 117), serta pengetian keagamaan adalah sifat-sifat

16

yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
agama (Depdikbud: 1994, 10)
Secara praktis, pembinaan adalah suatu usaha dan upaya yang
dilakukan secara sadar terhadap nilai-nilai yang dilaksanakan oleh orang tua,
seorang pendidik atau tokoh masyarakat dengan metode tertentu baik secara
personal (perorangan) maupun secara lembaga yang merasa punya tanggung
jawab terhadap perkembangan pendidikan anak didik atau generasi penerus
bangsa dalam rangka menanamkan nilai-nilai dan dasar kepribadian dan
pengetahuan yang bersumber pada ajaran agama Islam untuk dapat diarahkan
pada sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
Pengertian agama menurut William James adalah segala perasaan
tindakan pengalaman manusia masing-masing dalam keheningannya,
sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama mempunyai arti
sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Depdikbud,
1994: 10).
Pengertian Islam menutut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu agama
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berpedoman pada kitab suci alQuran, yang diturunkaan ke dunia melalui wahyu Allah SWT (Depdikbud,
1994: 388).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan keagamaan
Islam adalah usaha yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang
berhubungan dengan agama Islam, berpedoman pada al-Quran yang
bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembinaan agama Islam

17

bukan hanya sekedar menyampaikan pengetahuan tentang agama Islam


kepada santri, melainkan pembinaan mental spiritual, sesuai dengan ajaran
Islam.
2.3. Pengertian Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan

Pembinaan keagamaan Islam adalah usaha yang dilakukan secara


berdaya guna dan berhasil guna memperoleh hasil yang lebih baik terhadap
peraturan Tuhan yang diberikan kepada manusia dan untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Berdasarkan definisi masing-masing di atas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud intensitas mengikuti pembinaan
keagamaan yaitu tingkat kesungguhan suatu usaha yang dilakukan secara
berdaya guna dan berhasil guna memperoleh hasil yang lebih baik terhadap
peraturan Tuhan yang diberikan kepada manusia dan untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2.4. Aspek-aspek Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan Islam

Aspek- aspek intensitas mengikuti pembinaan mental keagamaan


Islam yaitu:
a) Frekuensi kegiatan

Yaitu seberapa sering kegiatan dilakukan dalam periode waktu


tertentu (Makmun, 2002: 40).
b) Motivasi

Motivasi adalah suatu kekuatan (power), tenaga (forces), daya


(energy), atau suatu keadaan yang kompleks (a complex state), dan

18

kesiapsediaan (preparatory set) dalam diri individu untuk bergerak ke


arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak. Motivasi muncul dari
dalam individu itu sendiri (intrinsik) dan juga bisa dipengaruhi oleh
lingkungan (ekstrinsik) (Makmun, 2002: 37).
Freud menafsirkan motivasi-motivasi aktifitas manusia menurut
konsep naluri. Naluri pertama atau kumpulan naluri-naluri pertama diberi
nama eros, yang mengandung dorongan-dorongan kelamin dan dorongan
untuk menjaga diri. Freud menyebut kumpulan kedua dengan nama nalurinaluri perusak (tanatos) yang mencerminkan keinginan merusak,
menghancurkan segala-galanya terutama diri manusia sendiri (Hasan,
1986: 92-93)
c) Perhatian.

Hal lain yang menjadi aspek dari intensitas mengikuti pembinaan


keagamaan Islam yakni perhatian. Dakir (dalam Hidayah, 2011: 36-37)
menyatakan perhatian ialah keaktifan peningkatan kesadaran seluruh
fungsi jiwa yang dikerahkan dalam pemusatannya kepada sesuatu, baik
yang ada di dalam maupun yang ada di luar diri individu. Melalui
perhatian seseorang lebih mudah menerima sesuatu, dan sebaliknya tanpa
adanya perhatian, tiap asumsi-asumsi yang masuk, baik dari dalam diri
maupun dari luar akan sulit diterima.
d) Efek

Dalam kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990:


335) salah satu aspek dari intensitas adalah efek, yaitu suatu perubahan,
hasil, atau konsekuensi langsung yang disebabkan oleh suatu tindakan.

19

e) Spirit of change

Aspek lain dari intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam


yaitu spirit of change yaitu semangat untuk berubah. Semangat juang yang
mempengaruhi etos kerja muslim dikarenakan adanya rasa mahabbah
lilahi (cinta kepada Allah) yang sangat menggelora mempengaruhi seluruh
jiwanya (Tasmara, 1995: 133).

2.5. Konsep Pembinaan Keagamaan Islam

Pembinaan keagamaan yang baik terdapat dalam setiap agama,


terutama agam Islam yang telah mengantarkan pemeluknya pada kehidupan
yang tenang, tentram serta bahagia lahir dan batin. Kewajiban untuk menjaga
keluarga yang difirmankan oleh Allah dalam al-Quran surat At-Tahrim ayat
6:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Jiwa dan mental manusia perlu dibina guna menanamkan nilai-nilai
agama pada dirinya dan keluarganya. Ketika Allah menciptakan jiwa manusia,
bersamanya Dia ciptakan kekuatan persiapan untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Dia juga menjadikan manusia mampu untuk menggunakan

20

anggota tubuh yang dikaruniakannya, tanpa ketentuan arah jalan yang pasti.
Manusia diberi jalan yang dikehendakinya, sebagaimana firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Al-Quran dan
Terjemah: 2006, 560).
Jadi dasar ideal pembinaan keagamaan sudah jelas dan tegas yaitu
terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits.
2.6. Fungsi dan Tujuan Pembinaan Keagamaan Islam
2.6.1.

Fungsi Pembinaan keagaman Islam


Fungsi pembinaan keagamaan Islam adalah sebagai berikut:

a. Fungsi preventif, yakni membantu individu menjaga atau mencegah

timbulnya masalah bagi dirinya.


b. Fungsi kuratif atau korektif, yakni membantu individu memecahkan

masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.


c. Fungsi preservatif, yakni membantu indiviidu menjaga agar situasi dan

kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik


(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good).
d. Fungsi developmental atau pengembangan, yakni membantu individu

memelihara dan mengembangkan situasi kondisi yang telah baik agar


tetap baik atau menjadi lebih baik, tidak memungkinkannya menjadi sebab
munculnya masalah baginya (Faqih: 2001, 37).
Jadi, fungsi pembinaan keagamaan Islam yaitu fungsi preventif,
kuratif, preservative, dan developmental.

21

2.6.2.

Tujuan dalam pembinaan keagamaan adalah:

a. Membantu individu/kelompok individu mencegah timbulnya masalah-

masalah dalam kehidupan keagamaan.


b. Membantu individu memecahkan masalah yang berkaitan dengan

kehidupan keagamaannya.
c. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi kehidupan keagamaan

dirinya yang telah baik agar tetap baik dan atau menjadi lebih baik (Faqih:
2001, 63).
Jadi, tujuan pembinaan keagamaan Islam secara umum yaitu
membantu individu menyelesaikan masalah dan mendapatkan kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
2.6.3.

Metode Pembinaan Keagamaan Islam


Metode dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk

mengungkapkan cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu
(Piway: 2005, 56). Dalam hubungannya dengan pembinaan keagamaan Islam,
maka metode pembinaan keagamaan berarti cara yang paling cepat dan tepat
dalam melakukan pembinaan keagamaan Islam. Mengenai metode pembinaan
keagamaan tidak jauh berbeda dengan metode dakwah, al-Quran telah
memberikan petunjuk dalam surat al-Nahl ayat 125:

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk

22

Metode dakwah sebagaimana dimaksud dalam ayat 125 dari surat alNahl tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga metode yaitu metode
yang meliputi hikmah, nasehat yang baik dan berdebat dengan cara yang baik.
Al-Nahlawi, meyebutkan ada tujuh pokok metode pembinaan
keagamaan, yaitu dengan metode hiwar, metode kisah Qurani dan nabawi,
metode amtsal, metode keteladanan, metode pembiasaan, metode ibrah dan
mauizah, dan metode targhib, dah tarhib (Ramayulis: 2005, 216).
a. Metode Hiwar

Hiwar (dialog) adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau
lebih mengenai sebuah topik, dan dengan sengaja diarahkan pada tujuan yang
dikehendaki (dalam hal ini seorang pembina).
b. Metode Kisah Qurani dan Nabawi

Metode kisah dalam pembinaan keagamaan sebagai metode yang amat


penting, alasannya antara lain sebagai berikut:
Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar
untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya maknamakna itu akan memberikan kesan dalam hati pembaca dan pendengar. Kisah
qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara:
1) Membangkitkan berbagai perasaan sehingga bertumpu pada suatu puncak

yaitu kesimpulan cerita.


2) Melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia

terlibat secra emosinal (Ramayulis, 2005: 222-223).


c. Metode Amtsal (Perumpamaan)

23

Tuhan

mengajarkan

umatnya

dengan

membuat

perumpamaan

misalnya dalam surat Al-Baqarah: 17


Artinya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
Melihat.
d. Metode Keteladanan

Keteladanan atau contoh dalam Islam merupakan bagian dari sejumlah


metode yang paling efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak
santri. Hal ini karena seorang pembina dalam pandangan anak adalah sosok
ideal, yang mana tingkah laku, sikap serta pandangan hidupnya patut untuk
ditiru, bahkan didasari atau tidak semua keteladanan itu akan melekat pada
diri dan perasaannya (Ramayulis, 2005: 225).
e. Metode Ibrah dan Mauizah

Nasehat (mauizah) hendaknya disampaikan dengan cara menyentuh


kalbu, itu tidak mudah. Akan tetapi, dengan keikhlasan dan berulang-ulang,
akhirnya nasehat itu akan dirasakan menyentuh kalbu pendengarnya.
f.

Metode Targhib dan Tarhib


Targhib adalah memberikan janji terhadap kesenangan, kenikmatan

akhirat yang disetai dengan bujukan. Tarhib adalah ancaman karena dosa yang
dilakukan. Targhib bertujuan untuk membuat orang mematuhi peraturan
Allah. Tarhib juga demikian, tapi tekanannya targhib adalah agar untuk
melakukan kebaikan sedangkan tarhib agar menjauhi larangan-Nya.

24

Metode ini sangat cocok karena didasarkan atas kejiwaaan manusia


(fitrah) yang menginginkan adanya kesenangan, keselamatan, dan tidak
menginginkan adanya kepedihan dan kesengsaraan (Ramayulis, 2005: 227).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode pembinaan
keagamaan Islam sama dengan metode dakwah yaitu metode yang meliputi
hikmah, nasehat yang baik dan berdebat dengan cara yang baik.

3. Dukungan Sosial
3.1. Pengertian dukungan sosial

Ada beberapa pendapat dari para ahli tentang dukungan sosial, di


antaranya yaitu:
Pierce mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional,
informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar
individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi seharihari dalam kehidupan. Diammtteo mendifinisikan dukungan sosial sebagai
dukungan atau bantuan yang berasal dari orang orang lain seperti teman,
tetangga,

teman

kerja

dan

orang-orang

lainnya

(http://artidukungansosial.blogspot.com/2011/02/teori-dukungan-sosial.html,
diunduh, 17 September 2013, pkl, 16:30)
Gottlieb (dalam Nursallam, 2007: 30) menyatakan dukungan sosial
terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata,
atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai

25

manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Buchanan (dalam
Videbeck, 2011: 178) menyatakan dukungan sosial merupakan dukungan
emosional yang berasal dari teman, anggota keluarga, bahkan pemberi
perawatan kesehatan yang membantu individu ketika suatu masalah muncul.
Menurut Cohen dan Syme (dalam Prasetyawati: 2011, 96), dukungan
sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh
dari orang lain yang dapat dipercaya sehingga seseorang akan tahu bahwa ada
orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah
hubungan interpersonal antara individu yang memberi bantuan berupa
bantuan instrumental, emotional, pemberian informasi, dan penilaian.
3.2. Aspek-aspek Dukungan Sosial

House (dalam Nursallam, 2007: 31) menyatakan bahwa aspek


dukungan sosial sebagai suatu bentuk transaksi antar pribadi yang melibatkan:
a. Dukungan Emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang


yang bersangkutan
b. Dukungan Penghargaan

Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain,


dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain.
c. Dukungan Instrumental

Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang


kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan
pada orang yang tidak punya pekerjaan.
26

d. Dukungan Informatif

Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta


petunjuk (Nursallam: 2007, 31)
Menurut Friedman (dalam Prasetyawati, 2011: 96), jenis dukungan
keluarga ada empat, yakni:
1) Dukungan Instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan

praktis dan konkrit.


2) Dukungan Informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah

kolektor dan diseminator (pentebar informasi).


3) Dukungan Penilian (Appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah

umpan-balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah.


4) Dukungan Emosional, yaitu keluarga sebagai tempat yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap


emosi.
Weis (dalam Sukoco, 2011: 30), mengembangkan social provisions
scale untuk mengukur ketersediaan dukungan sosial yang diperoleh dari
hubungan individu dengan orang lain. Terdapat enam aspek di dalamnya,
yaitu:
a) Attachment (kasih sayang atau kelekatan), yaitu perasaan kedekatan secara

emosional kepada orang lain yang memberikan rasa aman, biasanya


didapatkan dari pasangan, teman dekat, atau hubungan keluarga.

27

b) Social integration (integrasi sosial), merujuk pada adanya perasaan

memiliki minat, kepedulian, dan rekresional yang sama.


c) Reassurance of worth (penghargaan atau pengakuan), yaitu adanya

pengakuan dari orang lain terhadap kompetensi, keterampilan, dan nilai


yang dimiliki seseorang.
d) Reliable alliance (ikatan atau hubungan yang dapat diandalkan), yaitu

adanya keyakinan bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan untuk
membantu penyelesaian masalah dan kepastian.
e) Guidance (bimbingan), yaitu adanya seseorang yang memberikan nasehat

dan pemberian informasi.


f) Opportunity for nurturance (kemungkinan dibantu), merupakan perasaan

akan tanggung jawab terhadap kesejahteraan.


Dari beberapa bentuk dukungan sosial dari beberapa pendapat ahli,
maka penulis menggunakan aspek-aspek dukungan sosial dari pendapat
House, yaitu dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif.

G. Hubungan Kesehatan Mental Santri dengan

Pembinaan Keagamaan dan Dukungan Sosial

28

Intensitas Mengikuti

Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang, bahwa faktor yang


mempengaruhi kesehatan mental seseorang ada dua, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Dalam hal ini dukungan sosial dan intensitas mengikuti
pembinaan keagamaan Islam merupakan faktor yang mempengaruhi
kesehatan mental santri. Adanya dukungan sosial yang diperoleh dari
pengasuh pondok pesantren, pembina keagamaan maupun dari sesama santri
dapat menjadi penyemangat ketika hidup di pondok pesantren. Selain itu
dengan dukungan sosial dari berbagai pihak dapat membantu individu dalam
menyelesaikan masalah yang dimiliki.
Selain dukungan sosial, intensitas mengikuti pembinaan keagamaan
juga dapat memberi ketenangan batin pada diri santri. Hal ini sesuai dengan
fungsi pembinaan keagamaan Islam yaitu fungsi preventif, kuratif,
preservative, dan developmental.
Fungsi preventif dalam kesehatan mental dapat berfungsi mencegah
timbulnya

gangguan-gangguan

jiwa,

fungsi

kuratif

dapat

berfungsi

menghentikan gangguan kesehatan mental, fungsi preservative dapat


berfungsi mempertahankan kesehatan mental individu yang semula tidak baik
menjadi baik, dan fungsi developmental dapat berfungsi mengembangkan
kesehatan mental yang telah baik menjadi lebih baik dari pada sebelumnya.
Dalam ilmu kesehatan mental, terdapat salah satu penyesuaian yang
tidak sehat, yang disebut pembelaan (sanctify) yaitu orang yang tidak berani
mengakui kepada dirinya bahwa ia telah melanggar nilai-nilai yang dianutnya
sendiri (Daradjat, 1993: 32). Misalnya seseorang yang mampu berpuasa,
tetapi berpura-pura sakit supaya tidak menjalankan puasa, jika hal ini sering

29

dilakukan, maka ia tertipu oleh dirinya sendiri. Daradjat (1993) mengatakan


bahwa ibadah puasa dapat mencegah terjadinya kelainan yang seperti itu,
nilai-nilai puasa itu benar-benar menjangkau lubuk yang terdalam pada diri
manusia, yang menunjang kepada pembinaan akhlak mulia, begitu juga
dengan pembinaan keagamaan Islam.
Tujuan pembinaan keagamaan Islam yaitu membantu individu
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat
diperoleh apabila individu tersebut memiliki ketenangan batin, sehingga
kesehatan mental individu tersebut harus diperhatikan. Dalam hal ini
kesehatan mental dapat diperoleh dari intensitas mengikuti pembinaan
keagamaan dan mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitar.
H. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas dapat diajukan hipotesis bahwa ada


pengaruh intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam dan dukungan
sosial secara (sinergik) bersama terhadap kesehatan mental santri. Semakin
tinggi intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam dan dukungan sosial
semakin tinggi pula kesehatan mental santri. Sebaliknya, semakin rendah
intesitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam dan dukungan sosial maka
semakin rendah pula tingkat kesehatan mental santri.
I.

Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian

Sejalan dengan tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini, maka
jenis penelitian ini adalah kuantitatif. Yang dimaksud dengan penelitian
kuantitatif adalah penelitian yang menekankan analisis pada data-data

30

numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistik. Pada dasarnya


penelitian kuantitatif dilakukan pada penelitian internal (dalam rangka
menguji hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasil pada suatu
probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif
akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan
antara variabel yang akan diteliti. Pada umumnya, penilitian kuantitatif
merupakan penelitian sampel besar (Azwar: 1998, 79). Variabel dalam
penelitian ini adalah intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam dan
dukungan sosial sebagai independen dan kesehatan mental sebagai variabel
dependen.

2. Definisi Operasional
2.1. Kesehatan Mental

Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan


atau penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh
antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan
dan kemampuan dirinya, adanya kemampuan yang dimiliki untuk
menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan

31

keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang


bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Pengukuran kesehatan mental dilakukan dengan menggunakan Skala
Kesehatan mental. Skala ini merupakan pengembangan kesehatan mental
yang disusun Bukhori (2006: 28). Skala tersebut berdasarkan aspek-aspek
menurut Bastaman (1995:134), yang meliputi:
1) Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan,
2) Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar

pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan,


3) Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat,

dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan
lingkungannya,
4) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan dan berupaya menerapkan tuntunan

agama dalam kehidupan sehari-hari.


2.2. Intensitas mengikuti Pembinaan Keagamaan

Intensitas mengikuti pembinaan keagamaan yaitu tingkat kesungguhan


suatu usaha yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil untuk
memperoleh hasil yang lebih baik terhadap peraturan Tuhan yang diberikan
kepada manusia dan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Skala intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam merupakan
pengembangan skala intensitas mengikuti pembinaan keagaamaan mental
yang disusun Hidayah (2011: 35-37). Skala tersebut disusun berdasarkan

32

aspek-aspek menurut Makmun (2002), Tasmara (1995), dan Dakir (1993),


yang meliputi:
a. Frekuensi kegiatan yang dilakukan, yaitu seberapa sering kegiatan

dilakukan dalam periode waktu tertentu


b. Motivasi mengikuti kegiatan tersebut, yaitu suatu kekuatan (power),

tenaga (forces), daya (energy), atau suatu keadaan yang kompleks (a


complex state), dan kesiapsediaan (preparatory set) dalam diri individu
untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak.
c. Efek yang ditimbulkan dari adanya pembinaan, yaitu suatu perubahan,

hasil, atau konsekuensi langsung yang disebabkan oleh suatu tindakan.


d. Perhatian, yaitu keaktifan peningkatan kesadaran seluruh fungsi jiwa yang

dikerahkan dalam pemusatannya kepada sesuatu, baik yang ada di dalam


maupun yang ada di luar diri individu.
e. Spirit of change (semangat ingin berubah) dari santri.
2.3. Dukungan Sosial

Dukungan Sosial

adalah hubungan antar pribadi yang bersifat

membantu dan menolong yang diperoleh dari orang lain yang dapat
dipercaya. Untuk mengukur tingkat dukungan sosial maka digunakan skala
tingkat dukungan sosial. Pengukuran dukungan sosial keluarga dilakukan
dengan menggunakan Skala dukungan sosial yang digunakan merupakan
pengembangan skala yang disusun Bukhori (2006: 28). Skala tersebut disusun
berdasarkan aspek-aspek menurut House (dalam Nursallam: 2007, 29), yang
meliputi:

33

1). Perhatian emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan


perhatian terhadap orang yang bersangkutan
2). Bantuan instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya orang
memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong
dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak punya pekerjaan.
3). Pemberian informasi, mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan,
dan informasi serta petunjuk.
4). Penilaian, terjadi lewat ungkapan hormat/ penghargaan positif untuk orang
lain, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu
dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.

3. Sumber dan Jenis Data

Sumber primer dari penelitian adalah santri di pondok pesantren AlHidayah Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang yang mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan Islam. Adapun sumber sekunder dari penelitian ini
adalah petugas pembinaan keagamaan Islam di Pondok Pesantren Al-Hidayah
Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang dan perpustakaan.
Adapun jenis data yang dipergunakan yaitu:
a) Data Primer

34

Data primer adalah data yang diperoleh dari jawaban responden


melalui skala, yakni skala tentang kesehatan mental santri, skala intensitas
mengikuti pembinaan keagamaan Islam, dan skala dukungan sosial.
b) Data Sekunder

Data sekunder adalah data penunjang dari data primer yang meliputi
data-data tentang pondok pesantren, laporan-laporan pelaksanaan kegiatan
pembinaan keagamaan Islam, dan data santri.

4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah santri di pondok pesantren alHidayah Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang yang mengikuti pembinaan
keagamaan Islam. Kriteria santri yang dijadikan responden adalah sebagai
berikut: santri yang tinggal di pondok pesantren al-Hidayah, mengikuti
pembinaan keagamaan Islam, dan jenjang pendidikan minimal SMP/MTs.
5. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini


adalah dengan skala kesehatan mental, skala intensitas mengikuti pembinaan
keagamaan Islam, dan skala dukungan sosial.
Skala kesehatan mental, intensitas mengikuti pembinaan keagamaan
Islam, dan dukungan sosial menggunakan pernyataan favorabel dan

35

unfavorabel. Item favorable adalah pernyataan yang seiring dengan obyek


yang akan diukur, sedang item unfavorable adalah pernyataan yang tidak
seiring dengan obyek yang akan diukur.
Pengukuran skala kesehatan mental, intensitas mengikuti pembinaan
keagamaan, dan dukungan sosial dengan menggunakan 4 alternatif jawaban
yaitu, sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, dan sangat

tidak sesuai. Skor

jawaban mempunyai nilai 4-1 sebagaimana dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1
Skor Jawaban Item

Jawaban

Favorable

Unfavorabel

SS

TS

STS

Makin tinggi skor yang diperoleh, makin tinggi kesehatan mental,


intensitas mengikuti pembinaan keagamaan, dan dukungan sosialnya.
Sebaliknya makin rendah skor yang diperoleh, makin rendah pula kesehatan
mental, intensitas mengikuti pembinaan keagamaan dan dukungan sosialnya.

36

a. Skala Kesehatan Mental


Untuk skala kesehatan mental menggunakan 28 item pernyataan,
diantaranya 14 item pernyataan favorable dan 14 item pernyataan
unfavorable.
Untuk mempermudah dalam penyusunan skala kesehatan mental maka
terlebih dahulu dibuat tabel spesifikasi skala kesehatan mental sebagaimana
dalam tabel 2.

Tabel 2
Spesifikasi Skala Kesehatan Mental

No

Indikator

Jumlah
Nomor Item
Favorable
Unfavorable
Item

Bebas dari penyakit

1,12,16,25

5,9,13

kejiwaan
Mampu

2,7,17,20

11,19,26
7

Menyesuaikan Diri
3

Mampu

6,18,27

10,8,15,21
7

Mengembangkan
4

Potensi
Beriman
Tuhan

Kepada
dan

menerapkan tuntutan

37

4,14,23

3,22,24,28

agama

dalam

kehidupan

sehari-

hari
Jumlah

14

14

28

b. Skala Intensitan Mengikuti Pembinaan Keagamaan Islam

Untuk skala intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam


menggunakan 30 item pernyataan diantaranya 15 item pernyataan favorable
dan 15 item pernyataan unfavorable.
Untuk mempermudah dalam penyusunan skala, maka terlebih dahulu
dibuat tabel spesifikasi skala intensitas mengikuti pembinaan keagamaan
Islam sebagaimana dalam tabel 3.
Tabel 3
Spesifikasi Skala Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan
Islam

No

Nomor Item
Favorable
Unfavorable

Indikator

Jumlah
Item

Frekuensi

1,7,9

8,6,3

Motivasi

2,11,18

5,10,20

Efek

4, 14, 21

16,24,27

4.

Perhatian

12,17,25

19,26,30

38

5.

Spirit of change
Jumlah

15,23,28

13,22,29

15

15

30

c. Skala Dukungan Sosial

Untuk skala dukungan sosial menggunakan 28 item pernyataan,


diantaranya 16 item pernyataan favorable dan 12 item pernyataan
unfavorable.
Untuk mempermudah dalam penyusunan skala dukungan sosial, maka
terlebih dahulu dibuat tabel spesifikasi skala dukungan sosial sebagaimana
dalam tabel 4:
Tabel 4
Spesifikasi Skala Dukungan Sosial
Nomor Item
Favorable

Jumlah
Unfavorable

No

Indikator

Perhatian

3,7,13,21

1,9,18

emosional
Bantuan

2,14,19,28

4,20,25

Instrumental
Pemberian

8, 10,17,24

11,16,22

Informasi
Penilaian

6,12,15,27

5,23,26

16

12

28

Jumlah

39

Item
7
7
7

d. Pengujian Validitas dan Reliabilitas

Sebelum skala kesehatan mental digunakan pada penelitian yang


sesungguhnya, maka dilakukan uji coba terlebih dahulu. Uji coba tersebut
dimaksudkan untuk memilih item-item yang memiliki validitas dan reliabilitas
yang baik.
Dalam penelitian ini uji coba yang digunakan adalah uji coba terpakai.
Uji coba terpakai ini dilakukan hanya satu kali uji coba (Aritonang, 2005: 70).
Dalam uji coba terpakai peneliti langsung menyajikannya pada subjek
penelitian, lalu peneliti menganalisis validitasnya sehingga diketahui item
valid dan item gugur; apakah instrumen itu cukup andal atau tidak. Jika
hasilnya memenuhi syarat, maka peneliti langsung pada langkah selanjutnya.
Jika tidak memenuhi syarat, maka peneliti memperbaikinya dan mengadakan
uji coba ulang pada responden (Hadi, 1990: 101).
Seleksi item dilakukan dengan melakukan pengujian validitas terhadap
28 item. Pengujian dilakukan dengan menggunakan formulasi korelasi
product moment dari Pearson, dan perhitungannya menggunakan bantuan
program SPSS versi 14.00 (Azwar, 2001: 21).
Dalam penelitian ini pengujian reliabilitas dilakukan dengan
menggunakan

teknik

Alpha

dari

Cronbach,

dan

penghitungannya

menggunakan bantuan program SPSS 14.00. Pengujian reliabilitas dilakukan


pada semua item yang valid.

40

6. Teknik Analisis Data

Pengujian hubungan variabel independen dengan variabel dependen


dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda.
Teknik analisis tersebut dilakukan dengan memanfaatkan program SPSS
14.00. Berdasarkan pengujian tersebut akan diketahui pengaruh intensitas
mengkuti pembinaan keagamaan Islam dan dukungan sosial secara bersama
terhadap kesehatan mental santri.
J.

Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi ini terdiri dari enam bab yang mssing-masing bab
mencerminkan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan yaitu:
Bab pertama adalah pendahuluan, dalam bab ini, berisi tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, dan sisitematika penulisan.
Bab kedua adalah kerangka teoritik yang menjelaskan tentang
kesehatan mental, intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam, dan
dukungan sosial. Bab ini dibagi menjadi lima sub bab. Sub bab pertama
menjelaskan tentang pengertian kesehatan mental, faktor-faktor yang
mempengaruhi, dan aspek-aspek kesehatan mental. Sub bab kedua
menjelaskan tentang pengertian intensitas, pengertian pembinaan keagamaan
Islam, pengertian intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam, aspekaspek, konsep pembinaan keagamaan, fungsi dan tujuan pembinaan
keagamaan Islam, dan metode pembinaan keagamaan Islam. Sub bab ketiga
menjelaskan tentang pengertian dukungan sosial dan aspek-aspek dukungan

41

sosial. Sub bab keempat menjelaskan tentang hubungan kesehatan mental


dengan

intensitas mengikuti pembinaan keagamaan Islam dan dukungan

sosial. Sub bab kelima adalah hipotesis penelitian.


Bab ketiga berisi tentang metodologi penelitisan. Pada bab ini
dijelaskan tentang jenis penelitian, definisi operasional, sumber dan jenis
data, populasi dan sampel, instrumen pengumpulan data, dan teknik analisi
data.
Bab keempat menjelaskan tentang sejarah singkat berdiri dan
gambaran umum pondok pesantren al-Hidayah Plumbon Kec. Limpung Kab.
Batang yang memuat tentang visi-misi, struktur organisasi pondok pesantren,
dan jadwal kegiatan pembinaan keagamaan Islam.
Bab kelima berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan yang
terbagi menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama hasil penelitian yang berisi
deskripsi data penelitian. Sub bab kedua, berisi tentang pembahasan penelitian
dan pengujiaan hidotesis. Sub bab ketiga merupakan analisis lanjut.
Bab keenam merupakan penutup, yaitu bab terakhir yang berisi
Skesimpulan, ssaran-saran, kata penutup, dan lampiran-lampiran.

42

Anda mungkin juga menyukai