Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Munculnya sebuah gerakan dalam peradaban manusia, terlebih yang bersifat


ideologis, tidak terlepas dari nilai yang diperjuangkan oleh pada pengikutnya.
Ciri gerakan yang bersifat ideologis biasanya lebih mengakar dan seringkali
menjadikan satu sama lain terpisah dalam garis maya dan saling
mempertahankan diri. Hal itu tidak terlepas dari “nilai – nilai” yang ada pada
gerakan tersebut, begitu juga motiv para pengikut gerakan yang bermacam –
macam. Terkait dengan motiv berarti membicarakan persoalan psikologis
manusia. Pada situasi ini siapapun sulit mengendalikan dan mengontrol secara
permanen dorongan setiap orang dalam memahami, menerapkan dan
mempertahankan nilai – nilai ideologisnya. Motiv inilah yang menjadi sebab
terjadinya sentuhan bahkan lebih dari itu, adalah benturan kepentingan antara
satu pihak dengan pihak lain. Realitas yang terjadi saat ini seringkali dorongan
seseorang terhadap pemahaman ideologi dikaitkan secara langsung maupun tidak
langsung dengan wilayah agama, politik dan ekonomi. Persoalan akan menjadi
lebih kompleks manakala ketiga domain tersebut berkelit dan berkelindan
sehingga persoalan tidak menyederhana melainkan semakin membuncah dan
meruncing di tengah masyarakat bahkan meluas ke radius negara dan dunia.
Gerakan ideologis maupun keagamaan keduanya adalah hal yang mendasar bagi
sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan eksistensinya di hadapan manusia
bahkan di hadapan Tuhan. Ekspresi atas pemahaman dan pengamalan ideologi
dan agama yang tidak dewasa akan menimbulkan berbagai konflik baik vertikal
maupun horizontal. Hal tersebut menjadi lebih parah ketika persoalan yang
dilatarbelakangi faktor ideologis dan keagaamaan justeru memerlukan waktu
teramat panjang untuk bisa mendamaikan (atau sekedar dikompromikan), jika
tidak boleh dikatakan tidak mungkin didamaikan. Persoalan dengan latar
belakang ideologi dan agama pada kenyataannya sering berakhir dengan ujung
pedang dan tidak sedikit harus menumpahkan darah, untuk waktu yang sangat
lama. Persoalan ideologi juga banyak menyentuh aspek – aspek toleransi yang

1
tipis, sulitnya hidup perdampingan, dan persoalan psikis lain. Bahkan pada level
terntentu konflik ideologi yang berlatar belakang agama menjadikan orang –
orang yang tidak berdosa harus menanggung penderitaan berkepanjangan.
Di sinilah dibutuhkannya meritas dan maturitas1 dalam mensikapi perbedaan
pandangan ideologi. Pendidikan formal, informal maupun nonformal dengan tiga
ranahnya memiliki posisi yang sangat strategis untuk menciptakan meritas dan
maturitas seseorang maupun kelompok.

Dengan demikian kematangan dan kedewasaan seseorang mutlak dibutuhkan


dalam menjalani kehidupan yang purwa rupa termasuk dalam hal ideologi dan
agama ini. Pendidikan memiliki posisi strategis untuk memberikan bekal
pengetahuan dan pemahaman juga kematangan dan kedewasaan perilaku atas
perbedaan yang memang menjadi sunnatuLlaah. Oleh karenanya menjadi penting
kiranya pembahasan ini untuk diungkapkan dalam sebuah artikel ilmiah dengan
harapan bermanfaat bagi siapapun yang mencari kedamaian.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gerakan serta ideologi dan budaya yang berkembang saat ini ?
2. Bagaimana tinjauan Psikologi terhadap gerakan serta ideologi dan budaya ?
3. Pentingkah gerakan serta ideologi dan budaya yang berkembang diajarkan
dalam dunia pendidikan ?

C. Tujuan
1. Mengetahui perkembangan gerakan serta ideologi dan budaya saat ini.
2. Memahami sudut pandang psikologis terhadap gerakan serta ideologi dan
budaya.
3. Mengetahui posisi gerakan serta ideologi dan budaya dalam pendidikan.

1
Makna “meritas” adalah kematangan pemahaman dalam berbagai aspek, “maturitas” yang
dimaksudkan adalah kedewasaan dalam berbagai hal. Termasuk beragama dan penerapannya di
dunia nyata, serta kedewasaan menghadapi perbedaan atas pemahaman tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemahaman Istilah

1. Fundamentalisme

Istilah “fundamentalisme”, sesungguhnya, merupakan sesuatu yang sangat


elusif (sulit dipahami). Kata “fundamentalisme” pertama kali mencuat
kepermukaan pada tahun 1919 dalam sebuah buku dengan judul “ The
Fundamentals: A testimony to the truth, yang berisi lima hal mendasar yaitu
; pertama, ketidakmungkinan Al-Kitab itu salah, kedua, kelahiran Kristus
dari Ibu yang perawan, ketiga, jatuhnya manusia ke dalam dosa dan
keharusan setiap manusia menebus dosa tersebut melalui pengorbanan
Kristus, keempat, kebangkitan Kristus dan kebangkitannya ke syurga, dan
kelima, kedatangan kembali Kristus di dunia ini.2

Karenanya fundamentalisme, adalah reaksi terhadap modernisme.


Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada
“fundamen” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama
Kristen secara rigit dan tekstual dan literalis (The Oxford English
Dictionary, “Fundamentalisme”, 1988).

Adapun maksud kata fundamentalisme dalam konteks ini adalah upaya


untuk melestarikan hal – hal mendasar dari kepercayaan, dan menentang
reinterpretasi Bibel serta ajaran Theologi dengan mengikuti pengetahuan
modern. Menurut komunitas ini Agama Kristen merupakan kumpulan
keyakinan yang tertulis dalam Bibel yang harus difahami dan diamalkan
secara harfiah.3

Menurut Amin Rais fundamentalime mencakup dua hal yaitu, pertama,


sebagai suatu gerakan di dalam masyarakat keagamaan yang ingin kembali
kepada dasar pokok atau fundamen agama yang asli, kedua, merupakan

2
Lien Khien Yang, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pusaka, 1991), hlm. 415.
3
Titus dkk., Persoalan-persoalan filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 472.

3
suatu gerakan yang di dasarkan oleh rasa kefanatikan keagamaan yang
bersifat asal-asalan dan anti modernisasi.4

Fundamentalisme dalam Islam, sesungguhnya istilah tersebut bukanlah


istilah yang genuine dan lahir dari akar kata pada masyarakat muslim.
Istilah fundamentalisme, pada awalnya, dimunculkan oleh kalangan
akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat
sendiri. 5

Khazanah peradaban Islam menerima istilah fundamentalisme dan


disamakan dengan beberapa istilah seperti ; al – Ushuliyah al – Islamiyah (

‫)األصولية اإلسالمية‬, al – ihya’ al – Islamy (‫)اإلحياء اإلسالمية‬, al – Badil al –

Islamy (‫)البادل اإلسالمية‬, dll.

Penggunaan kata al – Ushuliyun seperti dikutip oleh Abu Bakar dalam


artikelnya bahwa ; Kaum Ushuliyun (Fundamentalis) di Barat adalah
orang–orang yang kaku dan taqlid yang memusuhi akal, metafor, tawakal
dan qiyas (analogi) serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri
pada penafsiran literal nas-nas. Sementara kaum Ushuliyun dalam peradaban
Islam adalah para ulama Ushul Fiqh yang merupakan kelompok ulama yang
paling menonjol dalam memberikan sumbangan dalam kajian-kajian akal
atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil),
ijtihad dan pembaharuan.6

Fazlur Rahman, lebih menyukai istilah revivalism, dibanding dengan


fundamentalisme, seperti dalam bukunya Revival and Reform in Islam.
Fazlur Rahman sebagai pemikir neo-modernis mengatakan, pergerakan
reformasi sosial para modern yang menghidupkan kembali makna dan
pentingnya norma-norma al – Qur’an di segala zaman. Mereka adalah
kelompok para modern fundamentalis, tradisionalis, konservatif yang

4
M. Amin Rais, Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja wali, 1986), hlm. 85.
5
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Masyarakat Muslim Kontemporer, (Jurnal Al-
Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010), hlm. 143-164.
6
Abu Bakar, Theologi Fundamentalisme, (Artikel : UIN SUSKA RIAU; 2006), hlm., 6.

4
digerakkan oleh tradisi keagamaan, untuk melawan penafsiran al-Qur’an
yang didasarkan pada hermeneutika al-Qur’an antar teks (inter textual)7

Negara dan tokoh – tokoh modernis dan neo-modernis menggunakan istilah


fundamentalisme dengan makna peyoratif dan ditujukan kepada kaum
tertentu terutama muslim, mereka mengatakan bahwa pengikut
fundamentalisme adalah orang-orang yang dangkal dan superfisial (anti
intelektual, kemajuan, teknologi modern).

Sebahagian orang menggunakan istilah fundamentalisme secara negatif


untuk menyebut gerakan-gerakan Islam yang berhaluan keras secara
serampangan dan standar ganda.8

Dengan demikian istilah fundamentalisme sesungguhnya telah berkembang


dan tidak hanya milik sebuah ideologi keagamaan tertentu saja. Bisa
dipastikan bahwa setiap ideologi utamanya keagamaan akan terdapat entitas
yang fundamentalis sebagai resiko pemahaman dan “otomatis” atas
keberpihakan manusia pada ajaran Tuhan.

2. Sekularisme

Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa sekularisme adalah “paham


atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu
didasarkan pada ajaran agama”, dengan kata lain sekularisme adalah
paham keduniaan dan kebendaan yang menolak agama sama sekali.9

Kamus Webster Dictionary memberikan pengertian kata sekularisme


sebagai, “A system of doctrines and practices that rejects any form of
religious faith and worship.” (Sebuah system doktrin dan praktik yang
menolak bentuk apa pun dari keimanan dan peribadatan).10

Sekularisme sebagai paham yang memisahkan antara kehidupan dunia


dengan akhirat dalam semua aspek kehidupan, baik dari sisi agama,

7
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Studi Tentang Fundamentalisme Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 14.
8
Abu Bakar, Theologi Fundamentalisme, hlm., 11.
9
Hoetmo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Mitra Pelajar, 2005), hlm., 501.
10
Deka Kurniawan, Melengserkan Agama dari Urusan Publik, (Surabaya :Hidayatullah Press,2005),
hlm. 20.

5
ekonomi, pendidikan, politik, sosial dan lain sebagainya. Selain itu,
sekularisme juga memperjuangkan hak untuk bebas dari berbagai aturan-
aturan dari ajaran agama, di samping juga memberikan sifat toleransi yang
tidak terbatas, termasuk juga antar agama. Dengan kata lain, sekularisme
merujuk kepada kepercayaan bahwa semua kegiatan dan keputusan yang
keseluruhannya berada dan dibuat oleh manusia, tidak boleh ada peran dan
campur tangan agama di dalamnya.11

Sedangkan sekularisme sebagai suatu ideologi diperkuat dengan pendapat


Zubaedi, adalah pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat
mirip sebagai “agama baru” (Sekularism is the name for an ideology, a
new closed world view which fungtion very much like a new religion).12

Adapun ciri – ciri ideologi sekularisme adalah :

Menurut al-Attas, secara umum bahwa sekularisme memiliki tiga komponen


integral, yaitu ;

a. Peniadak-an Spiritualitas Alam

Pembebasan alam dari tanda – tanda spiritual, memisahkannya dari


Tuhan dan membedakan manusia dari alam tersesbut. Sehingga
sekularisme totalistik menganggap alam sebagai milik manusia
sepenuhnya yang bisa digunakan semaunya, sehingga membolehkannya
untuk berbuat bebas terhadap alam, dan menggunakannya menurut
kepentingan dan kehendak manusia. Menurut paham ini alam semesta,
sama sekali tidak mempunyai nilai – nilai sakral bahwa alam sebenarnya
adalah ciptaan Tuhan yang selanjutnya manusia ditugaskan sebagai
penjaga untuk melestarikannya.

b. Desakralisasi Politik

Penghapusan legitimasi sakral kekuasaan politik, sebagaimana yang


dipraktikan oleh Kristen Barat di masa lalu yang menganggap kekuasaan
politik sebagai warisan Tuhan sehingga ada dogma yang menyatakan

11
Jamaluddin, Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan, (Jurnal Mudarrisuna,
Volume 3, Nomor 2 Edisi : Juli – Desember 2013), hlm., 312.
12
Zubaedi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, (Jogjakarta, Ar Ruzza Media, , 2007), hlm. 217.

6
bahwa menghianati penguasa berarti menghianati Tuhan. Hal itulah yang
mendorong lahirnya sekularisme dengan desakralisasi politik sebagai
salah satu komponennya.

c. Dekonsekrasi Nilai

Pemberian makna sementara dan relatif kepada semua karya-karya


budaya dan setiap sistem nilai termasuk agama serta pandangan hidup
yang bermakna mutlak dan final. Sehingga dengan demikian nilai
menurut sekularisme totalistik adalah relatif atau nisbi, sehingga dengan
kata lain sekularisme menganut paham relativisme di dalam nilai. 13

3. Radikalisme

Radikal berasal dari bahasa latin “radix” yang artinya akar, dalam bahasa
Inggris kata “radical” dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik,
revolusioner, ultra dan fundamental.14 Sedangkan “radicalism” artinya
doktrin atau praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim.15

Radikalisme menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah suatu paham aliran


yang menghendaki perubahan secara drastis.16 Sementara menurut kamus
ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan.

Adapun radikalisme agama berarti, prilaku keagamaan yang menyalahi


syariat17, yang mengambil karakter keras antara dua pihak yang bertikai,
yang bertujuan merealisasikan target-target tertentu, atau bertujuan merubah
situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan agama.

Radikalisme dalam hal ini dapat dipahami sebagai perilaku yang


mengatasnamakan ajaran keagamaan yang menghendaki perubahan secara

13
Sayyid Muhammad Naquib Al – Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka,1981), hlm.,
22.
14
A.S.Hornby, oxford Advenced, Dictionary of current English, (UK: Oxford university press,
2000), hlm., 691.
15
Nuhrison M. Nuh, Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham / Gerakan Islam Radikal di
Indonesia (HARMONI : Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol VIII Juli-September 2009),
hlm., 36.
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990 ), hlm., 354.
17
Kata syari’at sering disepadankan dengan hukum Islam yang dibuat oleh Syari’ yaitu : Allah
SWT dan Rasulullah SAW. Atau bisa dimaknai dengan sumber hukum fikh yang telah disepakati
oleh pada Ulama

7
drastis dengan mengambil karakter keras yang bertujuan untuk
merealisasikan target – target tertentu.18

Ciri – ciri radikalisme yang banyak diketahui, antara lain ;

1. Membuat klaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain


yang tidak sependapat.
2. Banyak mempersulit agama Islam yang sejatinya as - samhah
(ringan).
3. Bersikap al – ghuluw (berlebihan) dalam beragama
4. Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam
berdakwah.
5. Mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya
6. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat.19

Adapun faktor – faktor munculnya radikalisme menurut Yusuf al –


Qardhawy antara lain20 ;
1. Pengetahuan agama yang setengah-setengah (tidak mendalam)
biasanya melalui proses belajar yang doktriner dan instan.
2. Literal dalam memahami teks – teks agama sehingga memahami
Islam hanya dari kulitnya saja dan sangat kurang dalam wawasan dan
esensi agama.
3. Tersibukkan oleh masalah-masalah al furu’iyyah (bukan hal – hal
pokok dalam agama) sembari melupakan masalah – masalah primer.
4. Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang berakibat
memberatkan umat.
5. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa – fatwa
mereka sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat,
dan semangat zaman.

18
Ahamad Asrori, RADIKALISME DI INDONESIA: Antara Historisitas dan Antropisitas Kalam:
(Jurnal : Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015), hlm., 258.
19
Irwan Masduqi, Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren (Jurnal :
Pendidikan Islam, No 2 Vol 1, 2012), hlm., 3
20
Yusuf Al-Qardhawi, Al – Shahwah al – Islamiyah bayn al – Juhud wa al-Tattarruf (Cairo: Bait
al - Taqwa, 1406 H), hlm., 59.

8
6. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk
bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang
menolak agama.
7. Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di
tengah-tengah masyarakat. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai
ekspresi rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan
sosial yang disebabkan oleh mandulnya kinerja lembaga hukum.

Dengan demikian radikalisme merupakan ideologi yang menjadikan agama


sebagai kelambu untuk memaksakan ide pemikiran atau doktrin secara cepat
kepada pihak lain agar berubah sesuai pemahamannya dengan jalan apapun.
Radikalisme dapat muncul karena berbagai sebab dan kondisi. Radikalisme
bisa terjadi pada ideologi agama apapun tidak hanya satu agama tertentu.

4. Sinkretisme (Syncretism)

Istilah “sinkretisme” dalam kamus Antropologi (1985) diberi arti sebagai


“kombinasi segala unsur dari beberapa agama dan kepercayaan yang
berbeda, kemudian terpadu menjadi satu yang kemudian merupakan agama
atau kepercayaan versi baru”.21

Menurut Robinson (dalam Alef Theria Wasih, 2013;5) mengatakan bahwa


sinkretisme di Jepang yang dipandang sebagai “campuran dan paduan” dari
dua atau lebih tradisi keagamaan, berfungsi sebagai suatu ideologi. Dalam
pengertian bahwa berbagai tradisi ini secara psikologis – historis
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk saling melegitimasi satu terhadap yang
lain. Sinkretisme di Jepang juga dipahami sebagai fakta bahwa seseorang
pada saat yang sama mengimani dan meyakini serta menghayati berbagai
agama sekaligus. (misalnya : Agama Shinto untuk prinsip kehidupan,
Keyakinan Budha untuk urusan kematian, dan Agama Konghucu untuk
urusan etika/pergaulan).22

21
Suyono, A., Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika presindo, 1985), hlm., 9.
22
Alef Theria Wasim, catatan mata kuliah : Psikologi LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu ,
tanggal ; 4 Nopember 2017, pukul ; 10.11. lihat : Kumpulan Materi Kuliah Psikologi Lintas-
Agama dan Budaya 2013-2014; LintasAgama, Multikultural dan Realitas Global,, (Yogyakarta,
Direktorat Program Pasca Sarjana UMY, tt.), hlm. 5.

9
B. Gerakan Ideologi

Istilah ideologi berasal dari dua kata yaitu ideos yang berarti gagasan, dan logos
yang artinya ilmu. Ideologi juga berarti sebuah ilmu tentang gagasan. Adapun
gagasan yang dimaksud adalah gagasan tentang masa depan. Gagasan ini juga
sebagai cita-cita atau kombinasi dari keduanya, yaitu cita-cita masa depan.
Sungguh pun cita - cita masa depan itu sebagai sebuah utopia, atau impian,
tetapi sekaligus juga merupakan gagasan ilmiah, rasional, yang bertolak dari
analisis masa kini. Ideologi di sini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan
yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia atau bangsa, karenanya
ideologi bersifat mengerakkan manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut.23

Makna ideologi dalam bahasa Arab, merupakan kata yang diterjemahkan ke


dalam al - Mabda’, yang secara etimologis al - mabda’ adalah mashdar mimi
dari kata bada-a (memulai), yabda’u (sedang memulai), bad’an (permulaan),
dan mabda’an (titik permulaan).
Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran
– pemikiran (cabang).24

1. Dimensi-Dimensi Ideologi

Pertama, dimensi realitas, ideologi merupakan pencerminan realitas yang


hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya
bersumber dari nilai - nilai yang hidup dalam masyarakat penganutnya,
sehingga mereka tidak asing dan merasa dipaksakan untuk melaksanakannya,
karena nila-nilai dasar itu telah menjadi milik bersama.

Kedua dimensi idealitas, ideologi mengandung cita-cita dalam berbagai


bidang kehidupan yang ingin dicapai oleh masyarakat penganutnya. Cita-cita
yang dimaksud hendaknya berisi harapan-harapan yang mungkin
direalisasikan.

23
Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam; Studi Tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat, (At-
Thariq) alih bahasa Dede Koswara, cet. I, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hlm., 84.
24
Sarbini, Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan, (Yogyakarta : Pilar Media,
2005), hlm., 1.

10
Ketiga dimensi normalitas, berarti ideologi mengandung nilai-nilai yang
bersifat mengikat masyarakatnya, berupa norma-norma atau aturan-aturan
yang harus dipatuhi yang sifatnya positif.
Keempat dimensi fleksibilitas, ideologi harus dapat mengikuti spirit
perkembangan zaman, sesuai tuntunan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Dimensi ini terutama terdapat pada ideologi yang bersifat terbuka
dan demokratis.25

2. Perkembangan Ideologi Dunia


Ideologi dalam pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ide-ide
ataupun keyakinan – keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional.
Upaya kritis Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), ini tak lepas dari
tujuannya untuk mencerahkan dan menunjukan ide-ide yang keliru di
masyarakat, karena masyarakat Perancis saat itu masih dilingkupi oleh
dogma-dogma agama dan otoritas politik yang absolut.
Perubahan pengertian ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi term yang
bercorak politis lahir seiring dengan tampilnya tulisan Karl Marx dan
Friedrich Engels dalam The German Ideology (1846). Dalam buku tersebut,
Marx – yang menyorot masyarakat kapitalis – mengemukakan bahwa
ideologi lahir dari sistem masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas. Di
mana, kelas penguasa yang menguasai sarana-sarana produksi (material), juga
akan mengontrol produk-produk mental seperti ide-ide dan keyakinan-
keyakinan. Kelas penguasa pula yang mengatur produksi dan distribusi
ideologi, hingga akhirnya, ide-ide atau ideologi kelas penguasalah yang
menguasai jamannya (Ball dan Dagger (ed), 1995: 6). Analisis Marx tentang
ideologi akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa ideologi – dalam
masyarakat kapitalis yang terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik modal)
dan kelas pekerja – tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan
empiris tapi berbicara tentang kemanfaatan, kepentingan dan pamrih. Ideologi
merupakan ilusi, pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan
(Engels menyebutnya sebagai kesadaran palsu). Disebut sebagai ilusi dan

25
Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD),
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, (Sumber : Kompas, 23 April 2012), hlm., 11, 19.

11
kepalsuan karena ideologi merefleksikan kepentingan kelas penguasa dan
kelas ini sendiri tidak pernah mengakui diri sebagai kelas penindas.
Setelah Lenin, seorang Marxis lain yang juga mengembangkan pengertian
ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak kajiannya adalah adanya
hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis. Karl Mannheim (1893-
1947) – seorang sosiolog Jerman – mengkonstruksi konsep ideologi yang
berbeda dari tradisi Marxis. Ia menolak pendapat Marxis yang menekankan
ideologi dari sisi peyoratif atau negatif, walau disisi lain ia sepakat dengan
pendapat Marx yang mengatakan bahwa ide-ide ditentukan oleh lingkungan
sosial yang membentuknya.26
Dalam buku Ideology and Utopia (1924), Mannheim mendefinisikan ideologi
sebagai sistem pemikiran yang menjadi dasar tatanan sosial. Di samping itu,
ideologi juga mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok penguasa
atau kelompok yang dominan di masyarakat.

Menginjak tahun 1960-an hingga kini, kajian tentang ideologi bergeser ke


arah analisis ideologi dari perspektif sosial dan politik dan hasilnya adalah
pengertian-pengertian ideologi yang netral dan obyektif, sebagai contoh
adalah definisi Martin Seliger yang menyebutkan bahwa ideologi merupakan
seperangkat ide-ide, di mana (melalui ide-ide tersebut) seseorang mampu
menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta tindakan sosial yang terorganisir,
atau dengan kata lain, ideologi merupakan sistem pemikiran yang berorientasi
pada tindakan (Heywood, 1998: 8-11).

Dengan demikian ideologi pada awalnya, diartikan sebagai ilmu tentang ide
(Destutt de Tracy) kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak
peyoratif dan negatif (Marx dan Marxis), pada periode ini ideologi dipahami
sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran palsu dan hegemoni. Selanjutnya,
seorang non-Marxis, Karl Mannheim menyumbangkan pemikirannya dengan
mengemukaan pengertian baru yakni ideologi sebagai pandangan hidup,
weltanschauung atau world view. Terakhir, sejak tahun 1960-an, minat
terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik sehingga

26
Ibid

12
melahirkan definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa
ideologi merupakan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan.

3. Gerakan serta Ideologi Keagamaan dan Budaya

Gerakan ideologi Keagamaan dan budaya sedikit banyak telah membuat


sentuhan dan dan bahkan irisan yang mengakibatkan adanya titik singgung
dan bahkan benturan sehingga adanya struggle of life pada aspek ideologi
yang harus dipertahankan oleh para mengikutnya. Sebagaimana teori spiral di
bawah ini ;

Pada ilustrasi teori tersebut di atas tampak bahwa meskipun garis – garis
(baca ; ideologi) yang berbeda itu berangkat dari titik yang sama, seringkali
sebuah perjalanan “ideologi” akan terjadi pergesekan antar satu dengan
yang lain. Sebagai akibat dari pertemuan ideologi tersebut menjadi kuatnya
satu ideologi di satu sisi, dan melemahnya ideologi yang lain, bahkan dapat
menyebabkan hilangnya pengaruh ideologi tertentu, untuk suatu saat akan
munculkan kembali. 27 Meminjam istilah para tokoh bahwa : ”ideologi tidak
pernah mati.”

Dengan demikian perjalanan ideologi termasuk agama – budaya yang tidak


akan pernah berhenti hingga berakhirnya peradaban manusia itu sendiri.
Akibat yang ditimbulkan dari dinamika yang terjadi dapat menyebabkan
27
Alef Theria Wasim, Hasil pemahaman mahasiswa dan catatan pada mata kuliah : Psikologi
LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu , tanggal ; 4 Nopember 2017, pukul ; 09.15.

13
adanya sikap intoleran, tumbuhnya dorongan manusia untuk
mempertahankan atau sebaliknya terhadap ideologi lain, juga ekspresi
masing – masing dalam menghadapi dinamika yang terjadi merupakan
persoalan yang harus diselesaikan melalui pendekatan multi dimensi. Salah
satu pendekatan yang terbaik saat ini adalah pendidikan. Begitu pentingnya
aspek ini maka ideologi dan hal – hal yang terkait dengan pemahaman
agama harus diberikan pada tahapan tertentu pada proses pendidikan
manusia, sehingga tidak memunculkan perilaku asosial, intoleran yang
berkepanjangan, dan bahkan radikal.28

C. Tinjauan Psikologis terhadap Fenomena Gerakan dan Ideologi Keagamaan


dan Budaya

Fenomena merupakan hal – hal yang tampak oleh mata, gejala – gejala yang
dapat diamati melalui indera manusia. Sedangkan “nomena” adalah apa yang
sebenarnya terjadi dan sering tidak tampak oleh mata. Tinjauan psikologis
terhadap fenomena ideologi gerakan Keagamaan dan Budaya disandarkan pada
perilaku keagamaan para pengikutnya, meskipun perbuatan seringkali
merupakan transformasi dari tafsir dan pemahaman yang sangat mungkin terjadi
kekeliruan. Seperti dorongan seseorang berbuat, berekspresi terhadap peristiwa
tertentu, kejujuran, toleransi dll. Sedangkan secara psikologis lintasagama dan
budaya gerakan ideologi keagamaan sesungguhnya merupakan gerakan untuk
melawan yang sesuatu yang sakral dan profan, juga menengarai batas – batas
antara yang internal dan eksternal, sehingga mendorong kemampuan negara
untuk secara selektif melakukan “learning and maturation” dan secara
sistematis mengambil ide – ide dari sositas lain dalam arena global yang lebih
luas. 29

D. Urgensi Gerakan Ideologi terhadap Pendidikan

28
Alef Theria Wasim, catatan mata kuliah : Psikologi LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu , tanggal
; 4 Nopember 2017, pukul ; 10.11. lihat : Kumpulan Materi Kuliah Psikologi Lintas-Agama dan
Budaya 2013-2014; LintasAgama, Multikultural dan Realitas Global,, (Yogyakarta, Direktorat
Program Pasca Sarjana UMY, tt.).
29
Ibid., hlm., 7-8

14
Berkaitan dengan persoalan pendidikan tentu saja diperlukan formula yang tepat
agar memiliki dampak positif dalam membangun karakter yang humanis dan
kuat dalam kepribadian, serta tidak mengusai kebenaran tafsir mutlak.
Azyumardi Azra mengatakan bahwa pendidikan Islam memiliki tiga
karakteristik:
a. penekanan pada pencarian, penguasaan, pengembangan ilmu pengetahuan atas
dasar ibadah yang dilakukan sepanjang hayat,
b. pengakuan akan kemampuan atau potensi seseorang untuk berkembang dalam
suatu kepribadian,
c. Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan
masyarakat manusia.30

Oleh karena itu, inti dari pendidikan Islam adalah tidak hanya proses pada
penghayatan dan pengetahuan saja, melainkan adalah pengamalannya secara
benar dan bertanggungjawab, baik di hadapan manusia maupun di hadapan
Allah swt. Nabi Muhammad s.a.w. telah mengajak manusia untuk beriman dan
beramal shaleh serta berakhlak mulia sesuai dengan ajarannya. Maka secara
umum bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki
sikap, mental dan perilaku yang akan terwujud dalam perbuatan, berdasarkan
nilai-nilai budaya dan agama, baik itu terkait untuk kebutuhan individu maupun
masyarakat secara aplikatif.

Zakiah Daradjat menambahkan bahwa pendidikan Islam, akan terlihat apabila


seseorang dapat memahami Islam secara utuh, sehingga seseorang menjadi
“al-insan al-kamil” dengan pola taqwa. Al-insan al-kamil artinya manusia
sempurna rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan
normal karena taqwanya kepada Allah SWT.31

Adapun nilai- nilai pendidikan anti kekerasan dan terorisme yang dapat
diintegrasikan oleh pendidik dalam pembelajaran Pendidikan Agama adalah :

a. Citizenship, yaitu kualitas pribadi seseorang terkait hak-hak dan kewajibannya


sebagai warga negara dan warga bangsa. Misalnya hak dan kewajiban dalam
30
Ayzumardi Azra, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia Memasuki Milenium Baru, (El
Hikmah, Vol 1 / 2, 2004), hlm. 69.
31
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hlm. 29.

15
memanfaatkan dan mengembangkan kemajuan IPTEK dengan prinsip
kemaslahatan bangsa dan negara.

b. Compassion, yaitu peduli terhadap penderitaan atau kesedihan orang lain serta
mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka.

c. Courtesy, yaitu berperilaku santun dan berbudi bahasa halus sebagai


perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.

d. Fairness, yaitu perilaku adil, bebas dari favoritisme maupun fanatisme


golongan.

e. Moderation, yaitu menjauhi pandangan dan tindakan yang radikal dan


eksterm yang tidak rasional.

f. Respect for other, yaitu menghargai hak-hak dan kewajiban orang lain.

g. Respect for the Creator, menghargai segala karunia yang diberikan oleh
Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban untuk selalu
menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta senantiasa
bersyukur kepadaNya.

h. Self control, yaitu mampu mengendalikan diri melalui keterlibatan emosi dan
tindakan seseorang.

i. Tolerance, yaitu dapat menerima penyimpangan dari hal yang dipercayai atau
praktik-praktik yang berbeda dengan yang dilakukan atau dapat menerima
hal-hal yang berseberangan dengan apa-apa yang telah menjadi kepercayaan
diri.32

Fazlur Rahman dalam hal ini memberikan tawaran agar manusia mampu
menjadi manusia paripurna dengan tawaran pendidikan yang “nondikotomik”
tidak memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Sehingga keduanya
menjadi satu kesatuan yang dapat membentuk karakter agama dengan
keilmuan modern dan berwawasan global (neo modern)33. Tawaran
pendidikan yang terintegrasi tersebut meliputi;
32
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung : Rosda Karya,
2011), hlm., 54.
33
Fazlur Rahman : Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual terj. Ahsin Mohammad,
(Bandung : Pustaka, 2005), hlm., 142.

16
1. Mengislamkan pendidikan sekuler modern. Yaitu menerima pendidikan
sekuler modern yang telah berkembang pada umumnya di Barat dan
mencoba untuk - mengislamkannya, yaitu mengisinya dengan konsep-
konsep kunci tertentu dari Islam.
2. Menyederhanakan silabus – silabus tradisional. Pembaharuan ini
cenderung menyederhanakan silabus – silabus pendidikan tradisional
yang sarat dengan materi tambahan yang sesungguhnya tidak perlu.
3. Menggabungkan cabang – cabang ilmu pengetahuan baru. Menurut
Fazlur Rahman integrasi atau penggabungan pada umumnya bersifat
mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan
ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk dengan masih
minimnya jumlah buku yang tersedia di perpustakaan. 34

Prespektif di atas merupakan cara membentuk manusia yang paripurna


dengan watak al-Qur’an yang memiliki akhlak luhur (toleran, kasih sayang,
sekaligus memiliki kemampuan intelektual yang handal). Adapun skema
pendidikan yang diajukan Fazlur Rahman dapat dilihat pada bagan berikut ;

Sedangkan pendidikan yang lebih luas cakupannya untuk kemanusiaan dapat


dilihat pada aspek – aspek pendidikan karakter yang ditekankan oleh
pemerintah Negara Republilk Indonesia yang tertuang dalam Kepmendiknas

34
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press , 1979), hlm., 5.

17
tentang “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” menghasilkan
“Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa” untuk berbagai wilayah Indonesia yang terdiri dari 18 nilai sebagai
berikut :35
a. Religius, b. Jujur, c. Toleransi, d. Disiplin, e. Kerja keras, f. Kreatif,
g. Mandiri, h. Demokratis, i. Rasa ingin tahu, j. Semangat kebangsaan,
k. Cinta tanah air, l. Menghargai prestasi, m. Bersahabat, n. Cinta damai,
o. Gemar membaca, p. Peduli lingkungan, q. Peduli sosial dan, r. Tanggung
jawab.

Delapan belas nilai di atas adalah hasil dari berbagai pemikiran baik para
pakar pendidikan, psikolog, maupun negarawan dan praktisi pendidikan.
Filosofi dan alur pendidikan karakter yang dimaksud dapat diperhatikan pada
skema berikut ;

Nilai – nilai karakter tersebut di atas dalam pendidikan kita di Indonesia


menjadi value untuk mengembangkan pribadi – pribadi anak bangsa sehingga
memiliki watak dan kepribadian sebagaimana tujuan pendidikan Nasional
yang dimaksudkan.

Apabila konsep pendidikan di atas baik dalam perspektif agama maupun


negara manapun diberikan kepada peserta didik pada tahapan tertentu akan

35
Kemendiknas Republik Indonesia , “Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa”,
(Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas, 2010), hlm. i - ii.

18
memiliki dampak positif terhadap perkembangan maturitas (kedewasaan)
mereka terhadap sikap, perilaku dan pengambilan keputusan terhadap
keberbedaan di luar dirinya. Sikap dan laku perbuatan hasil pendidikan
karakter diharapkan mampu mewujudkan peri kehidupan dengan tata nilai
yang saling menghargai dalam perbedaan namun kokoh dalam kepribadian.
Uraian dan hasil pendidikan seperti itulah yang menjadikan proses pendidikan
begitu mendapatkan posisi penting dan strategis dalam pergulatan ideologi
yang semakin banyak terjadi singgungan dan pertemuan bahkan dinamika
antar ideologi yang menuntut adanya kedewasaan dalam bersikap dan
wawasan yang lebih dari cukup.

BAB III

19
PENUTUP

A. Simpulan

Menjadi keniscayaan bahwa gerakan ideologi keagamaan dan budaya di dunia akan
tetap berkembang seiring dengan peradaban manusia. Perkembangan ideologi agama
dan budaya dapat dipastikan akan mengalami titik singgung dan pertemuan ideologi
– ideologi yang sering menyebabkan terjadinya perilaku psikologis kelompok
maupun individual penganut sebuah ideologi yang menyimpang. Oleh karenanya
diperlukan tidak sekedar “meritas” (tahu dan paham) terhadap ideologi yang
diyakininya, melainkan juga “maturitas” (kedewasaan dan kematangan) dalam
menjalankan atau mengamalkan ideologinya.
Peran pendidikan dan sebaliknya pentingnya ideologi lintasagama dan budaya untuk
dajarkan dalam tahap pendidikan peserta didik, menempati posisi yang sangat
strategis dan urgent. Hal itu untuk menciptakan sikap kepribadian manusia yang
diharapkan secara global menjadi solusi atas persoalan global akhir – akhir ini.

B. Penutup

Meminjam kata hikmah bahwa : “tak ada gading yang tak retak, kesempurnaan
gading justeru terdapat pada keretakannya. Perjalanan sebuah ideologi sudah
seharusnya diiringi sikap kedewasaan yang matang. Sehingga menjadi rahmat bukan
laknat, mencipta kedamaian bukan permusuhan, dan seterusnya. Semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

20
A.S.Hornby, 2000, Oxford Advenced, Dictionary of current English, (UK: Oxford
university press,

Abu Bakar, 2006, Theologi Fundamentalisme, Artikel : UIN SUSKA RIAU.

Ahamad Asrori, 2015, RADIKALISME DI INDONESIA: Antara Historisitas dan


Antropisitas Kalam: Jurnal : Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9,
Nomor 2, Desember 2015.

Ahmad ‘Athiyat, 2004, Jalan Baru Islam; Studi Tentang Transformasi dan
Kebangkitan Umat, (At-Thariq) alih bahasa Dede Koswara, cet. I, Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah.

Alef Theria Wasim, catatan mata kuliah : Psikologi LintasAgama dan Budaya, Hari
Sabtu , tanggal ; 4 Nopember 2017, pukul ; 10.11. lihat : Kumpulan Materi
Kuliah Psikologi Lintas-Agama dan Budaya 2013-2014; LintasAgama,
Multikultural dan Realitas Global, Yogyakarta, Direktorat Program Pasca
Sarjana UMY, tt.

_____, Hasil pemahaman mahasiswa dan catatan pada mata kuliah : Psikologi
LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu , tanggal ; 4 Nopember 2017.

Ayzumardi Azra, 2004, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia Memasuki


Milenium Baru, Jurnal : El Hikmah, Vol 1 / 2.

Deka Kurniawan, 2005,Melengserkan Agama dari Urusan Publik, Surabaya :


Hidayatullah Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Jakarta: Balai Pustaka,
Fazlur Rahman, 2005, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual terj.
Ahsin Mohammad, Bandung : Pustaka.

_______, 1979, Islam, Chicago: The University of Chicago Press.

_______, 2000, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Studi Tentang


Fundamentalisme Islam, Jakarta: Rajawali Press.

Hoetmo M.A., 2005, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Mitra Pelajar.

Irwan Masduqi, 2012, Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah


Pesantren (Jurnal : Pendidikan Islam, No 2 Vol 1, 2012.

Jamaluddin, 2013, Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan,


Jurnal : Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 Edisi : Juli – Desember 2013.

Kemendiknas Republik Indonesia, 2010, “Kebijakan Nasional Pembangunan


Karakter Bangsa”, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas.

21
Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
(PPAD), 2012, Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, Sumber : Kompas, 23
April 2012.

Kontemporer, 2010, Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010.

Lien Khien Yang, 1991, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pusaka.

M. Amin Rais, 1986, Islam di Indonesia, Jakarta: Raja wali.

Muchlas Samani dan Hariyanto, 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter,
Bandung : Rosda Karya,

Nuhrison M. Nuh, Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham / Gerakan Islam


Radikal di Indonesia, 2009,HARMONI : Jurnal Multikultural &
Multireligius, Vol VIII Juli-September 2009,

Samsinas, 2010, Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Masyarakat Muslim ,


Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010.

Sarbini, 2005, Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan,


Yogyakarta : Pilar Media.

Sayyid Muhammad Naquib Al – Attas, 1981, Islam dan Sekularisme, Bandung:


Pustaka

Suyono, A., 1985, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika presindo.

Titus dkk., 1984, Persoalan-persoalan filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,

Yusuf Al-Qardhawi, 1406 H, Al – Shahwah al – Islamiyah bayn al – Juhud wa al-


Tattarruf , Cairo: Bait al – Taqwa.

Zakiah Daradjat, 2004, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.

Zubaedi, 2007, Islam dan Benturan Antar Peradaban, Jogjakarta, Ar Ruzza Media.

22

Anda mungkin juga menyukai