PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
tipis, sulitnya hidup perdampingan, dan persoalan psikis lain. Bahkan pada level
terntentu konflik ideologi yang berlatar belakang agama menjadikan orang –
orang yang tidak berdosa harus menanggung penderitaan berkepanjangan.
Di sinilah dibutuhkannya meritas dan maturitas1 dalam mensikapi perbedaan
pandangan ideologi. Pendidikan formal, informal maupun nonformal dengan tiga
ranahnya memiliki posisi yang sangat strategis untuk menciptakan meritas dan
maturitas seseorang maupun kelompok.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gerakan serta ideologi dan budaya yang berkembang saat ini ?
2. Bagaimana tinjauan Psikologi terhadap gerakan serta ideologi dan budaya ?
3. Pentingkah gerakan serta ideologi dan budaya yang berkembang diajarkan
dalam dunia pendidikan ?
C. Tujuan
1. Mengetahui perkembangan gerakan serta ideologi dan budaya saat ini.
2. Memahami sudut pandang psikologis terhadap gerakan serta ideologi dan
budaya.
3. Mengetahui posisi gerakan serta ideologi dan budaya dalam pendidikan.
1
Makna “meritas” adalah kematangan pemahaman dalam berbagai aspek, “maturitas” yang
dimaksudkan adalah kedewasaan dalam berbagai hal. Termasuk beragama dan penerapannya di
dunia nyata, serta kedewasaan menghadapi perbedaan atas pemahaman tersebut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Istilah
1. Fundamentalisme
2
Lien Khien Yang, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pusaka, 1991), hlm. 415.
3
Titus dkk., Persoalan-persoalan filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 472.
3
suatu gerakan yang di dasarkan oleh rasa kefanatikan keagamaan yang
bersifat asal-asalan dan anti modernisasi.4
4
M. Amin Rais, Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja wali, 1986), hlm. 85.
5
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Masyarakat Muslim Kontemporer, (Jurnal Al-
Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010), hlm. 143-164.
6
Abu Bakar, Theologi Fundamentalisme, (Artikel : UIN SUSKA RIAU; 2006), hlm., 6.
4
digerakkan oleh tradisi keagamaan, untuk melawan penafsiran al-Qur’an
yang didasarkan pada hermeneutika al-Qur’an antar teks (inter textual)7
2. Sekularisme
7
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Studi Tentang Fundamentalisme Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 14.
8
Abu Bakar, Theologi Fundamentalisme, hlm., 11.
9
Hoetmo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Mitra Pelajar, 2005), hlm., 501.
10
Deka Kurniawan, Melengserkan Agama dari Urusan Publik, (Surabaya :Hidayatullah Press,2005),
hlm. 20.
5
ekonomi, pendidikan, politik, sosial dan lain sebagainya. Selain itu,
sekularisme juga memperjuangkan hak untuk bebas dari berbagai aturan-
aturan dari ajaran agama, di samping juga memberikan sifat toleransi yang
tidak terbatas, termasuk juga antar agama. Dengan kata lain, sekularisme
merujuk kepada kepercayaan bahwa semua kegiatan dan keputusan yang
keseluruhannya berada dan dibuat oleh manusia, tidak boleh ada peran dan
campur tangan agama di dalamnya.11
b. Desakralisasi Politik
11
Jamaluddin, Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan, (Jurnal Mudarrisuna,
Volume 3, Nomor 2 Edisi : Juli – Desember 2013), hlm., 312.
12
Zubaedi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, (Jogjakarta, Ar Ruzza Media, , 2007), hlm. 217.
6
bahwa menghianati penguasa berarti menghianati Tuhan. Hal itulah yang
mendorong lahirnya sekularisme dengan desakralisasi politik sebagai
salah satu komponennya.
c. Dekonsekrasi Nilai
3. Radikalisme
Radikal berasal dari bahasa latin “radix” yang artinya akar, dalam bahasa
Inggris kata “radical” dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik,
revolusioner, ultra dan fundamental.14 Sedangkan “radicalism” artinya
doktrin atau praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim.15
13
Sayyid Muhammad Naquib Al – Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka,1981), hlm.,
22.
14
A.S.Hornby, oxford Advenced, Dictionary of current English, (UK: Oxford university press,
2000), hlm., 691.
15
Nuhrison M. Nuh, Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham / Gerakan Islam Radikal di
Indonesia (HARMONI : Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol VIII Juli-September 2009),
hlm., 36.
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990 ), hlm., 354.
17
Kata syari’at sering disepadankan dengan hukum Islam yang dibuat oleh Syari’ yaitu : Allah
SWT dan Rasulullah SAW. Atau bisa dimaknai dengan sumber hukum fikh yang telah disepakati
oleh pada Ulama
7
drastis dengan mengambil karakter keras yang bertujuan untuk
merealisasikan target – target tertentu.18
18
Ahamad Asrori, RADIKALISME DI INDONESIA: Antara Historisitas dan Antropisitas Kalam:
(Jurnal : Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015), hlm., 258.
19
Irwan Masduqi, Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren (Jurnal :
Pendidikan Islam, No 2 Vol 1, 2012), hlm., 3
20
Yusuf Al-Qardhawi, Al – Shahwah al – Islamiyah bayn al – Juhud wa al-Tattarruf (Cairo: Bait
al - Taqwa, 1406 H), hlm., 59.
8
6. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk
bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang
menolak agama.
7. Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di
tengah-tengah masyarakat. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai
ekspresi rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan
sosial yang disebabkan oleh mandulnya kinerja lembaga hukum.
4. Sinkretisme (Syncretism)
21
Suyono, A., Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika presindo, 1985), hlm., 9.
22
Alef Theria Wasim, catatan mata kuliah : Psikologi LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu ,
tanggal ; 4 Nopember 2017, pukul ; 10.11. lihat : Kumpulan Materi Kuliah Psikologi Lintas-
Agama dan Budaya 2013-2014; LintasAgama, Multikultural dan Realitas Global,, (Yogyakarta,
Direktorat Program Pasca Sarjana UMY, tt.), hlm. 5.
9
B. Gerakan Ideologi
Istilah ideologi berasal dari dua kata yaitu ideos yang berarti gagasan, dan logos
yang artinya ilmu. Ideologi juga berarti sebuah ilmu tentang gagasan. Adapun
gagasan yang dimaksud adalah gagasan tentang masa depan. Gagasan ini juga
sebagai cita-cita atau kombinasi dari keduanya, yaitu cita-cita masa depan.
Sungguh pun cita - cita masa depan itu sebagai sebuah utopia, atau impian,
tetapi sekaligus juga merupakan gagasan ilmiah, rasional, yang bertolak dari
analisis masa kini. Ideologi di sini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan
yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia atau bangsa, karenanya
ideologi bersifat mengerakkan manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut.23
1. Dimensi-Dimensi Ideologi
23
Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam; Studi Tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat, (At-
Thariq) alih bahasa Dede Koswara, cet. I, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hlm., 84.
24
Sarbini, Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan, (Yogyakarta : Pilar Media,
2005), hlm., 1.
10
Ketiga dimensi normalitas, berarti ideologi mengandung nilai-nilai yang
bersifat mengikat masyarakatnya, berupa norma-norma atau aturan-aturan
yang harus dipatuhi yang sifatnya positif.
Keempat dimensi fleksibilitas, ideologi harus dapat mengikuti spirit
perkembangan zaman, sesuai tuntunan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Dimensi ini terutama terdapat pada ideologi yang bersifat terbuka
dan demokratis.25
25
Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD),
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, (Sumber : Kompas, 23 April 2012), hlm., 11, 19.
11
kepalsuan karena ideologi merefleksikan kepentingan kelas penguasa dan
kelas ini sendiri tidak pernah mengakui diri sebagai kelas penindas.
Setelah Lenin, seorang Marxis lain yang juga mengembangkan pengertian
ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak kajiannya adalah adanya
hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis. Karl Mannheim (1893-
1947) – seorang sosiolog Jerman – mengkonstruksi konsep ideologi yang
berbeda dari tradisi Marxis. Ia menolak pendapat Marxis yang menekankan
ideologi dari sisi peyoratif atau negatif, walau disisi lain ia sepakat dengan
pendapat Marx yang mengatakan bahwa ide-ide ditentukan oleh lingkungan
sosial yang membentuknya.26
Dalam buku Ideology and Utopia (1924), Mannheim mendefinisikan ideologi
sebagai sistem pemikiran yang menjadi dasar tatanan sosial. Di samping itu,
ideologi juga mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok penguasa
atau kelompok yang dominan di masyarakat.
Dengan demikian ideologi pada awalnya, diartikan sebagai ilmu tentang ide
(Destutt de Tracy) kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak
peyoratif dan negatif (Marx dan Marxis), pada periode ini ideologi dipahami
sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran palsu dan hegemoni. Selanjutnya,
seorang non-Marxis, Karl Mannheim menyumbangkan pemikirannya dengan
mengemukaan pengertian baru yakni ideologi sebagai pandangan hidup,
weltanschauung atau world view. Terakhir, sejak tahun 1960-an, minat
terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik sehingga
26
Ibid
12
melahirkan definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa
ideologi merupakan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan.
Pada ilustrasi teori tersebut di atas tampak bahwa meskipun garis – garis
(baca ; ideologi) yang berbeda itu berangkat dari titik yang sama, seringkali
sebuah perjalanan “ideologi” akan terjadi pergesekan antar satu dengan
yang lain. Sebagai akibat dari pertemuan ideologi tersebut menjadi kuatnya
satu ideologi di satu sisi, dan melemahnya ideologi yang lain, bahkan dapat
menyebabkan hilangnya pengaruh ideologi tertentu, untuk suatu saat akan
munculkan kembali. 27 Meminjam istilah para tokoh bahwa : ”ideologi tidak
pernah mati.”
13
adanya sikap intoleran, tumbuhnya dorongan manusia untuk
mempertahankan atau sebaliknya terhadap ideologi lain, juga ekspresi
masing – masing dalam menghadapi dinamika yang terjadi merupakan
persoalan yang harus diselesaikan melalui pendekatan multi dimensi. Salah
satu pendekatan yang terbaik saat ini adalah pendidikan. Begitu pentingnya
aspek ini maka ideologi dan hal – hal yang terkait dengan pemahaman
agama harus diberikan pada tahapan tertentu pada proses pendidikan
manusia, sehingga tidak memunculkan perilaku asosial, intoleran yang
berkepanjangan, dan bahkan radikal.28
Fenomena merupakan hal – hal yang tampak oleh mata, gejala – gejala yang
dapat diamati melalui indera manusia. Sedangkan “nomena” adalah apa yang
sebenarnya terjadi dan sering tidak tampak oleh mata. Tinjauan psikologis
terhadap fenomena ideologi gerakan Keagamaan dan Budaya disandarkan pada
perilaku keagamaan para pengikutnya, meskipun perbuatan seringkali
merupakan transformasi dari tafsir dan pemahaman yang sangat mungkin terjadi
kekeliruan. Seperti dorongan seseorang berbuat, berekspresi terhadap peristiwa
tertentu, kejujuran, toleransi dll. Sedangkan secara psikologis lintasagama dan
budaya gerakan ideologi keagamaan sesungguhnya merupakan gerakan untuk
melawan yang sesuatu yang sakral dan profan, juga menengarai batas – batas
antara yang internal dan eksternal, sehingga mendorong kemampuan negara
untuk secara selektif melakukan “learning and maturation” dan secara
sistematis mengambil ide – ide dari sositas lain dalam arena global yang lebih
luas. 29
28
Alef Theria Wasim, catatan mata kuliah : Psikologi LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu , tanggal
; 4 Nopember 2017, pukul ; 10.11. lihat : Kumpulan Materi Kuliah Psikologi Lintas-Agama dan
Budaya 2013-2014; LintasAgama, Multikultural dan Realitas Global,, (Yogyakarta, Direktorat
Program Pasca Sarjana UMY, tt.).
29
Ibid., hlm., 7-8
14
Berkaitan dengan persoalan pendidikan tentu saja diperlukan formula yang tepat
agar memiliki dampak positif dalam membangun karakter yang humanis dan
kuat dalam kepribadian, serta tidak mengusai kebenaran tafsir mutlak.
Azyumardi Azra mengatakan bahwa pendidikan Islam memiliki tiga
karakteristik:
a. penekanan pada pencarian, penguasaan, pengembangan ilmu pengetahuan atas
dasar ibadah yang dilakukan sepanjang hayat,
b. pengakuan akan kemampuan atau potensi seseorang untuk berkembang dalam
suatu kepribadian,
c. Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan
masyarakat manusia.30
Oleh karena itu, inti dari pendidikan Islam adalah tidak hanya proses pada
penghayatan dan pengetahuan saja, melainkan adalah pengamalannya secara
benar dan bertanggungjawab, baik di hadapan manusia maupun di hadapan
Allah swt. Nabi Muhammad s.a.w. telah mengajak manusia untuk beriman dan
beramal shaleh serta berakhlak mulia sesuai dengan ajarannya. Maka secara
umum bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki
sikap, mental dan perilaku yang akan terwujud dalam perbuatan, berdasarkan
nilai-nilai budaya dan agama, baik itu terkait untuk kebutuhan individu maupun
masyarakat secara aplikatif.
Adapun nilai- nilai pendidikan anti kekerasan dan terorisme yang dapat
diintegrasikan oleh pendidik dalam pembelajaran Pendidikan Agama adalah :
15
memanfaatkan dan mengembangkan kemajuan IPTEK dengan prinsip
kemaslahatan bangsa dan negara.
b. Compassion, yaitu peduli terhadap penderitaan atau kesedihan orang lain serta
mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka.
f. Respect for other, yaitu menghargai hak-hak dan kewajiban orang lain.
g. Respect for the Creator, menghargai segala karunia yang diberikan oleh
Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban untuk selalu
menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta senantiasa
bersyukur kepadaNya.
h. Self control, yaitu mampu mengendalikan diri melalui keterlibatan emosi dan
tindakan seseorang.
i. Tolerance, yaitu dapat menerima penyimpangan dari hal yang dipercayai atau
praktik-praktik yang berbeda dengan yang dilakukan atau dapat menerima
hal-hal yang berseberangan dengan apa-apa yang telah menjadi kepercayaan
diri.32
Fazlur Rahman dalam hal ini memberikan tawaran agar manusia mampu
menjadi manusia paripurna dengan tawaran pendidikan yang “nondikotomik”
tidak memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Sehingga keduanya
menjadi satu kesatuan yang dapat membentuk karakter agama dengan
keilmuan modern dan berwawasan global (neo modern)33. Tawaran
pendidikan yang terintegrasi tersebut meliputi;
32
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung : Rosda Karya,
2011), hlm., 54.
33
Fazlur Rahman : Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual terj. Ahsin Mohammad,
(Bandung : Pustaka, 2005), hlm., 142.
16
1. Mengislamkan pendidikan sekuler modern. Yaitu menerima pendidikan
sekuler modern yang telah berkembang pada umumnya di Barat dan
mencoba untuk - mengislamkannya, yaitu mengisinya dengan konsep-
konsep kunci tertentu dari Islam.
2. Menyederhanakan silabus – silabus tradisional. Pembaharuan ini
cenderung menyederhanakan silabus – silabus pendidikan tradisional
yang sarat dengan materi tambahan yang sesungguhnya tidak perlu.
3. Menggabungkan cabang – cabang ilmu pengetahuan baru. Menurut
Fazlur Rahman integrasi atau penggabungan pada umumnya bersifat
mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan
ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk dengan masih
minimnya jumlah buku yang tersedia di perpustakaan. 34
34
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press , 1979), hlm., 5.
17
tentang “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” menghasilkan
“Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa” untuk berbagai wilayah Indonesia yang terdiri dari 18 nilai sebagai
berikut :35
a. Religius, b. Jujur, c. Toleransi, d. Disiplin, e. Kerja keras, f. Kreatif,
g. Mandiri, h. Demokratis, i. Rasa ingin tahu, j. Semangat kebangsaan,
k. Cinta tanah air, l. Menghargai prestasi, m. Bersahabat, n. Cinta damai,
o. Gemar membaca, p. Peduli lingkungan, q. Peduli sosial dan, r. Tanggung
jawab.
Delapan belas nilai di atas adalah hasil dari berbagai pemikiran baik para
pakar pendidikan, psikolog, maupun negarawan dan praktisi pendidikan.
Filosofi dan alur pendidikan karakter yang dimaksud dapat diperhatikan pada
skema berikut ;
35
Kemendiknas Republik Indonesia , “Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa”,
(Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas, 2010), hlm. i - ii.
18
memiliki dampak positif terhadap perkembangan maturitas (kedewasaan)
mereka terhadap sikap, perilaku dan pengambilan keputusan terhadap
keberbedaan di luar dirinya. Sikap dan laku perbuatan hasil pendidikan
karakter diharapkan mampu mewujudkan peri kehidupan dengan tata nilai
yang saling menghargai dalam perbedaan namun kokoh dalam kepribadian.
Uraian dan hasil pendidikan seperti itulah yang menjadikan proses pendidikan
begitu mendapatkan posisi penting dan strategis dalam pergulatan ideologi
yang semakin banyak terjadi singgungan dan pertemuan bahkan dinamika
antar ideologi yang menuntut adanya kedewasaan dalam bersikap dan
wawasan yang lebih dari cukup.
BAB III
19
PENUTUP
A. Simpulan
Menjadi keniscayaan bahwa gerakan ideologi keagamaan dan budaya di dunia akan
tetap berkembang seiring dengan peradaban manusia. Perkembangan ideologi agama
dan budaya dapat dipastikan akan mengalami titik singgung dan pertemuan ideologi
– ideologi yang sering menyebabkan terjadinya perilaku psikologis kelompok
maupun individual penganut sebuah ideologi yang menyimpang. Oleh karenanya
diperlukan tidak sekedar “meritas” (tahu dan paham) terhadap ideologi yang
diyakininya, melainkan juga “maturitas” (kedewasaan dan kematangan) dalam
menjalankan atau mengamalkan ideologinya.
Peran pendidikan dan sebaliknya pentingnya ideologi lintasagama dan budaya untuk
dajarkan dalam tahap pendidikan peserta didik, menempati posisi yang sangat
strategis dan urgent. Hal itu untuk menciptakan sikap kepribadian manusia yang
diharapkan secara global menjadi solusi atas persoalan global akhir – akhir ini.
B. Penutup
Meminjam kata hikmah bahwa : “tak ada gading yang tak retak, kesempurnaan
gading justeru terdapat pada keretakannya. Perjalanan sebuah ideologi sudah
seharusnya diiringi sikap kedewasaan yang matang. Sehingga menjadi rahmat bukan
laknat, mencipta kedamaian bukan permusuhan, dan seterusnya. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
20
A.S.Hornby, 2000, Oxford Advenced, Dictionary of current English, (UK: Oxford
university press,
Ahmad ‘Athiyat, 2004, Jalan Baru Islam; Studi Tentang Transformasi dan
Kebangkitan Umat, (At-Thariq) alih bahasa Dede Koswara, cet. I, Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah.
Alef Theria Wasim, catatan mata kuliah : Psikologi LintasAgama dan Budaya, Hari
Sabtu , tanggal ; 4 Nopember 2017, pukul ; 10.11. lihat : Kumpulan Materi
Kuliah Psikologi Lintas-Agama dan Budaya 2013-2014; LintasAgama,
Multikultural dan Realitas Global, Yogyakarta, Direktorat Program Pasca
Sarjana UMY, tt.
_____, Hasil pemahaman mahasiswa dan catatan pada mata kuliah : Psikologi
LintasAgama dan Budaya, Hari Sabtu , tanggal ; 4 Nopember 2017.
Hoetmo M.A., 2005, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Mitra Pelajar.
21
Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
(PPAD), 2012, Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, Sumber : Kompas, 23
April 2012.
Lien Khien Yang, 1991, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pusaka.
Muchlas Samani dan Hariyanto, 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter,
Bandung : Rosda Karya,
Zubaedi, 2007, Islam dan Benturan Antar Peradaban, Jogjakarta, Ar Ruzza Media.
22