Anda di halaman 1dari 4

Postulat

a. Pengertian Postulat Dalam bahasa Inggris: postulate; dan dalam bahasa latinnya
postulatum, dari postulare yang artinya meminta, menuntut. Istilah ini biasanya digunakan
untuk menunjukkan proposisi-proposisi yang merupakan titik tolak pencarian yang bukan
definisi, atau perandaian sementara, tidak juga sedemikian pasti sehingga mereka diangkat
sebagai aksioma. Proposisi-proposisi itu ditentukan sebagai benar dan digunakan tanpa
pembuktian. Postulat menjadi salah satu kelompok istlah yang saling berkaitan, termasuk
definisi, asumsi, hipotesis, dan aksioma (Handoyo & Ekaningsih, 2019).
Rincian hal-hal di atas adalah sebagai berikut.
1) Pernyataan yang dibutuhkan sebagai suatu asumsi dan atau yang ditegaskan, tanpa
bukti dan atau sebagai jelas sendiri, biasanya dalam konteks sistem logika atau
matematika formal.
2) Pernyataan yang diterima sebagai benar tanpa harus memiliki bukti logis bagi
kebenarannya dan yang digunakan untuk menurunkan pernyataan-pernyataan lain
yang membentuk sistem analisis logis atau logika empiris yang koheren.
3) Asumsi, perkiraan, atau hipotesis yang diakui atau diterapkan sedemikian rupa
sehingga suatu studi bisa dilaksanakan secara sistematis.
4) Prinsip atau pernyataan dalam sebuah teori ilmiah. Pernyataan ini diambil sebagai
pernyataan awal, tidak dapat dibuktikan dalam kerangka teori bersangkutan.
Dalam tulisan Judrah (2015) postulat diartikan sebagai: 1. Suatu hipotesis yang
dikembangkan sebagai dasar esensial suatu sistem berpikir atau premise dari serentetan
penalaran, 2. Dalil yang dianggap benar, kendatipun kebenarannya tidak dapat
dibuktikan, 3. Pengandaian yang keabsahannya tidak dapat dibuktikan, namun harus
diandaikan supaya dapat memahami gejala dalam rangka kesatuan berpikir, 4. Dalam
matematika, aksioma. Biasanya setiap pernyataan tentang suatu fenomena atau fakta
harus diuji kebenarannya, apakah hal tersebut benar ataukah salah sebelum kita
meyakininya. Namun adakalanya beberapa ide atau fakta, harus diterima sebagai
postulat, yaitu kita terima atau kita yakini sebagaimana adanya.
b. Postulat Dalam Logika dan Ilmu Pengetahuan Modern Dalam logika modern dan
metodologi ilmu pengetahuan, konsep postulat biasanya dipakai sebagai sinonim aksioma,
dalam arti luas. Berbagai ahli logika menggunakan pula aksioma dan postulat sebagai
sinonim. Tetapi ada juga ahli logika yang mengatakan bahwa aksioma adalah kebenaran
yang tidak perlu dibuktikan lagi. Sedangkan postulat adalah suatu anggapan dasar atau
premis dari rangkaian pemikiran dan belum tentu jelas sehingga perlu dibuktikan. Dalam arti
terakhir ini, semua aksioma merupakan postulat, tetapi tidak semua postulat itu aksioma.
Perbedaan arti kedua konsep ini berasal dari tradisi filsafat kuno yang dipertahankan oleh
para filsuf dan peneliti, yaitu aksioma sebagai prinsip logis awal dari sebuah teori dan
postulat merupakan pernyataan pernyataan awal dalam teori tersebut. Dalam beberapa kasus,
postulat-postulat menunjukkan aksioma-aksioma dan kaidah-kaidah untuk membahas sebuah
teori.
c. Postulat dalam Filsafat
1) Pandangan Aristoteles Aristoteles memandang postulat sebagai satu di antara premis-
premis pertama pembuktian. Postulat dianggapnya terbuktikan tetapi digunakan
tanpa pembuktian. Aristoteles dan Thomas Aquinas mengerti postulat (petitio)
sebagai pernyataan yang tidak segera dilihat secara benar dalam sebuah diskusi
ilmiah tanpa pembuktian, tetapi diandaikan entah bagaimana telah dibuktikan.
Postulat berbeda dengan suposisi (suppostio) dalam kasus ini. Dalam pedebatan
formal, suposisi (perkiraan) diterima oleh kedua belah pihak sebagai benar,
sementara dalam soal postulat, satu pihak dari argumen tidak menempati posisi
kebenaran dari pernyataan.
2) Pandangan Euklides Euklides setuju bahwa postulat satu diantara premis-premis
pertama pembuktian. Baginya, postulat tidak terbuktikan dan juga tidak jelas sendiri.
Jika aksioma sistem Euklides general dan non-geometris, maka yang muncul di
antara postulat-postulat hanyalah pernyataan-pernyataan geometris. Misalnya:
“diantara dua garis dapat ditarik suatu garis lurus”.
3) Pandangan Wolf Wolf menggunakan istlah ini secara lebih luas untuk menunjuk
pada proposisi-proposisi yang tidak terbuktikan, praktis dan partikular.
4) Pandangan Kant Kant mengikuti jejak Wolf, setidaknya sebagian dalam memahami
postulat. Kant menyebut prinsip-prinsip modalitasnya dengan nama “postulat
pemikiran empiris”, dan memandang ide-ide Tuhan, kebebasan, dan imortalitas
sebagai “postulat akal praktis”. Demikian Kant berbicara mengenai postulat-postulat
rasio praktis. Postulat seperti ini merupakan “proposisi teoretis tetapi sedemikian
tidak dapat didemontrasikan sejauh melekat sungguh-sungguh pada hukum praktis
sehingga bersifat apriori yang mengikat secara mutlak”. Artinya, postulat rasio aktif
praktis adalah proposisi yang harus diterima kalau hukum moral tidak menjadi tidak
berarti. Sifatnya tidak dapat dibuktikan namun mutlak perlu dan praktis. Postulat-
postulat dalam pengertian ini menurut Kant adalah kehendak bebas, imortalitas jiwa
dan eksisitensi Tuhan. Ketiga postulat ini tersirat dalam kesadaran moral, yang
karenanya harus diterima sebagai kebenaran kebenaran moral. Kesadaran moral
dapat masuk akal hanya kalau orang mau menerima adanya postula-postulat itu
5) Pandangan Lotze Lotze memandang postulat sebagai asumsi yang niscaya dan
mutlak, yang berbeda dengan hepotesis-hepotesis yang bersifat terkaan.
d. Prinsip-prinsip Postulat
Adapun prinsip-prinsi postulat dalam tulisan Judah (2015) adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kausalitas, merupakan suatu kepercayaan bahwa setiap kejadian mempunyai
sebab, olehnya itu dalam keadaan yang sama, sebab yang sama, selalu menghasilkan
akibat yang sama.
2. Prinsip ranalan yang sama, menyatakan bahwa sekumpulan kejadian akan
menunjukkan sejumlah hubungan atau antar hubungan di masa depan sebagaimana
telah ditunjukkan di masa lampau atau sebagaimana ditunjukkan pada masa
sekarang.
3. Prinsip objektif, menuntut si penyelidik untuk tidak berbuat berat sebelah
sehubungan dengan data yang sedang ia hadapi. Faktanya harus dapat dicoba
sedemikian rupa dalam cara-cara yang sama. Maksudnya ialah menghilangkan semua
subjektifitas dan unsur pribadi sejauh mungkin dan sedapat mungkin untuk
memusatkan perhatian terhadap objek penelitian tersebut.
4. Prinsip empirisme, memungkinkan bagi peneliti untuk mengasumsi bahwa rasa
impresinya itu benar, dan tes kebenaran merupakan suatu tuntutan ke arah fakta yang
telah teruji. Mengetahui adalah akibat dari observasi, pengalaman dan percobaan.
Maksudnya di sini –menurut kami- bahwa postulat itu teruji kebenarannya melalui
pengalaman pengalaman.
5. Prinsip parsimony (penghematan), menyarankan bahwa untuk hal-hal yang sama,
seseorang akan membuat penjelasan yang sederhana sebagai suatu pernyataan yang
sah. Seorang filosof Inggris abad ke-14 bernama William Occan menyatakan,
“kesatuan itu jangan diperbanyak di luar kebutuhannya”
6. Prinsip isolasi atau pengasingan, meminta agar supaya fenomena yang akan
diselidiki itu harus dipisahkan sehingga dapat diteliti tersendiri.
7. Prinsip kontrol (pengawasan), mengutamakan pentingnya pengawasan terutama pada
taraf eksperimen. Jika tidak, maka akan banyak unsur-unsur yang akan menyimpan
dalam waktu yang sama, dimana eksperimen itu tidak dapat diulang dengan cara
yang sama. Seandainya berubah sementara eksperimen itu sedang berlangsung,
hasilnyapun mungkin akan tidak sempurna.
8. Prinsip pengukuran yang tepat, menuntut supaya hasil-hasilnya nanti dapat
dinyatakan dalam bentuk kuantitatif atau dalam istilah-istilah matematis. Hal ini
terutama menjadi tujuan akhir daripada penelitian ilmu alam.

Referensi:
Handoyo, E., & Ekaningsih, L. (2019). Filsafat Ilmu. Semarang: Penerbit Cipta Prima Nusantara
Judrah, M. (2015). Generalisasi empirik: proposisi, postulat, aksioma, dan teori. Jurnal Kajian
Islam & Pendidikan, 7(1), 157-173.

Anda mungkin juga menyukai