Anda di halaman 1dari 11

Jur. Ilm. Kel. & Kons., September 2015, p : 142-152 Vol. 8, No.

3
ISSN : 1907 - 6037

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENINGKATKAN SELF-ESTEEM


PADA ANAK USIA SEKOLAH

Nur Islamiah1*), Dini P. Daengsari2, Fenny Hartiani2

1
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor,
Bogor 16680, Indonesia
2
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*)
E-mail: imz.mia@gmail.com

Abstrak

Dalam penelitian ini, Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan self-esteem yang rendah pada
seorang anak usia sekolah (laki-laki berusia 10 tahun). Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan model
intervensi yang bertujuan untuk mengurangi tekanan psikologis dan perilaku maladaptif dengan mengubah cara
berpikir. Desain penelitian ini adalah single-subject research desain yaitu penelitian eksperimen dengan
menggunakan satu orang partisipan yang bertujuan untuk menguji efektivitas sebuah terapi. Pelaksanaan
intervensi dilakukan sebanyak 13 kali pertemuan, dengan 2 kali pertemuan untuk melakukan penilaian (pre-test
dan post-test), 10 kali pertemuan untuk sesi-sesi intervensi, dan 1 kali pertemuan untuk evaluasi. Durasi setiap
pertemuan kira-kira selama 1,5-2,0 jam. Berdasarkan observasi, wawancara, serta hasil pre-test dan post-test,
dapat dikatakan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) terbukti efektif untuk meningkatkan self-esteem pada
partisipan.

Kata kunci: anak usia sekolah, cognitive behavior therapy (CBT), self-esteem

Cognitive Behavior Therapy to Increase Self-Esteem on School Age Children

Abstract

In this research, Cognitive Behavior Therapy (CBT) was used to increase low self-esteem on a school-age
children (boy, 10 years old). Cognitive Behavior Therapy (CBT) is a treatment that aimed to reduce psychological
distress and maladaptive behavior by altering cognitive processes. The design of this study was single-subject
research design specifically experimental study which used one participant to verify the effectiveness of a
theraphy. This treatment consists of 13 sessions, with 2 sessions for the assessment (pre-test and post-test), 10
session for the treatment sessions, and 1 session for the evaluation). The duration of each session approximately
1,5 - 2 hours. Based on observations, interviews, pre-test and post-test, CBT was effective to increase self-
esteem on the participant.

Keywords: cognitive behavior therapy (CBT), self-esteem, school-age children

PENDAHULUAN yang anak-anak lakukan pada masa ini. Anak


melakukan evaluasi terhadap diri mereka
Menurut Erikson, anak usia 6 hingga 12 sendiri mengenai kondisi fisik, sosial,
tahun tengah berada dalam tahap intelektual, dan kepribadian dengan
perkembangan psikososial industry versus karakteristik yang dilihat dari orang lain (Harter,
inferiority. Pada tahap ini, anak membangun 1999). Anak usia sekolah telah dapat menilai
kompetensi dalam dirinya untuk melakukan diri mereka sendiri berdasarkan standar yang
tugas dan keterampilan yang berguna. terdapat di lingkungannya. Selain itu, anak-
Keberhasilan anak dalam tahap ini berdampak anak ini juga telah bisa menilai diri mereka
pada timbulnya ketekunan dalam melakukan berdasarkan penilaian orang lain terhadap
berbagai hal (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). mereka (Harter, 1999). Cara seorang anak
menilai dirinya berpengaruh terhadap cara
Kompetensi ini berkembang pesat pada anak dalam menghargai dirinya, yang disebut
anak usia sekolah karena di tahap inilah anak dengan self-esteem. Self-esteem adalah
sudah intens bergaul dengan teman-temannya evaluasi seorang anak terhadap diri mereka
di sekolah dan di tempat-tempat umum selain di sendiri dan penilaian terhadap keberhargaan
lingkungan rumah. Membandingkan dirinya diri mereka secara keseluruhan (Papalia, Olds,
dengan orang lain adalah sebuah hal umum & Feldman, 2009). Penilaian positif terhadap
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 143

kompetensi yang dimiliki oleh seorang anak Papalia, Olds, & Feldman, 2009). McGregor,
menghasilkan perasaan dihargai dan diterima Nash, dan Inzlicht (2009) dalam penelitian
(Guindon, 2010). eksperimennya menemukan pula bahwa self-
esteem yang tinggi berhubungan erat dengan
Rentang usia 8 hingga 12 tahun (middle ketahanan seseorang dalam menghadapi
childhood) adalah merupakan masa yang permasalahan maupun kegagalan yang
penting bagi perkembangan self-esteem. Anak- dialaminya.
anak di usia ini menurut teori Neo-Piagetian
telah mencapai kemampuan berpikir yang lebih Sebaliknya, anak-anak yang memiliki self-
kompleks dibandingkan dengan masa esteem rendah selalu melihat diri mereka
sebelumnya. Anak pada periode ini sudah dengan sudut pandang yang negatif. Mereka
mulai dapat menilai diri sendiri secara lebih lebih melihat kepada kelemahan-kelemahan
realistis, seimbang, dan komprehensif. Konsep yang mereka miliki (Harter, 1999). Anak-anak
ini disebut sebagai representational system ini menganggap kegagalan adalah sebuah hal
(Harter, 1999). Jika anak-anak berhasil yang tetap dan tidak dapat diubah lagi. Anak
mengevaluasi diri mereka secara lebih realistis, dengan self-esteem rendah memandang
seimbang dan komprehensif maka mereka kegagalan berasal dari kekurangan diri mereka
akan dapat mengembangkan self-esteem yang (Harter, 1999). Hal itu mengarahkan mereka
tinggi (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). menjadi anak yang inferior dan pesimis dalam
memandang kemampuannya untuk melakukan
Self-esteem pada anak merupakan sebuah sesuatu. Rosenberg dan Owen (2001), diacu
aspek yang sangat penting karena dapat dalam Guindon (2010) menyebutkan bahwa
memengaruhi motivasi, perilaku, tingkat anak yang memiliki self-esteem rendah lebih
kepuasan hidup, serta berkaitan erat dengan sensitif dalam menanggapi evaluasi-evaluasi
kesejahteraan psikologis (well-being) mereka. yang diberikan oleh lingkungan, sering salah
Harter (1999) menyebutkan bahwa self-esteem dalam mempersepsikan stimulus dari
dapat pula berfungsi untuk melindungi seorang lingkungannya, dan menganggap orang lain
anak dari pengalaman tidak menyenangkan, selalu memberikan kritik terhadap dirinya.
kekecewaan, bahkan peristiwa yang menyakit- Anak-anak ini biasanya sering mengalami
kan. kecemasan ketika berada dalam sebuah situasi
sosial dan terlihat kurang percaya diri untuk
Anak-anak yang memiliki self-esteem membangun sebuah hubungan interpersonal.
tinggi melakukan penilaian yang objektif dan
seimbang mengenai dirinya sehingga mereka Donnellan et al. (2005) menyebutkan
dapat mengenali kelebihan-kelebihan yang adanya korelasi yang kuat antara rendahnya
dimiliki sekaligus dapat pula mengakui self-esteem dengan masalah-masalah perilaku
kekurangan-kekurangan yang terdapat pada yang berhubungan dengan lingkungan di luar
dirinya. Secara umum, anak-anak ini memiliki anak, yaitu agresi, perilaku antisosial, dan
pandangan yang positif terhadap karakter diri deliquent behavior. Penelitian tersebut
mereka dan menghargai kompetensi yang menjelaskan bahwa seseorang dengan self-
mereka miliki (Harter, 1999; Baumeister et al., esteem yang rendah memiliki hubungan yang
2003). Anak-anak dengan self-esteem yang kurang kuat dengan orang-orang yang ada di
tinggi memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sekitarnya. Jika ditinjau dari social-bonding
pula (Zimmerman et al., 1997). Jika meng- theory, hubungan yang lemah dengan
hadapi kegagalan atau kekecewaan, mereka lingkungan sosial, membuat seseorang tidak
akan berusaha lebih giat lagi dan mencoba memperhatikan norma-norma sosial dan
berbagai macam cara sampai mereka berkembang menjadi deliquent behavior. Selain
menganggap mereka telah berhasil. Selain itu, itu, dalam hubungan self-esteem dengan
anak-anak ini juga cenderung memiliki sikap- agresivitas, Horney (1950) dan Adler (1956),
sikap yang mengarah kepada tindakan diacu dalam Donnelan et al. (2005) me-
prososial, misalnya mereka memiliki keinginan nyebutkan bahwa agresi dan perilaku antisosial
untuk menolong orang-orang yang kurang dimotivasi oleh perasaan-perasaan inferior
beruntung dari pada mereka (Karafantis & yang didasari oleh pengalaman-pengalaman
Levy, diacu dalam Papalia, Olds, & Feldman, ditolak dan diejek ketika masa kanak-kanak,
2009). Anak dengan self-esteem tinggi juga lebih khusus lagi disebutkan Tracy dan Robbins
dapat menunjukkan perilaku yang sesuai pada (2003) bahwa individu melindungi diri mereka
situasi-situasi sosial, cenderung tidak dari perasaan rendah diri dan malu dengan
memunculkan emosi-emosi negatif dan dapat menyalahkan orang lain atas kekurangan-
menyelesaikan masalah secara konstruktif kekurangan yang dimilikinya. Hal itu me-
(Eisenberg, Fabes, & Murphy, diacu dalam nimbulkan perasaan marah dan permusuh-
144 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

an terhadap orang lain. pernah memenangkan pertandingan lari dan


catur di sekolah, akan tetapi F menganggap
Self-esteem yang rendah juga dihubung- kejadian tersebut sebagai sebuah hal yang
kan dengan fenomena-fenomena negatif, yaitu biasa saja. F mengatakan bahwa dengan
depresi, kecemasan sosial, kehamilan pada kemenangannya tersebut ia tidak pernah dipuji
remaja, alkohol, dan penyalahgunaan obat- oleh teman dan gurunya di sekolah. F merasa
obatan. Self-esteem yang rendah pada anak- bahwa tidak ada hal yang dapat ia lakukan
anak dapat menjadi penyebab kecenderungan dengan baik. F juga merasa tidak memiliki
bunuh diri (Twenge & Campbell, 2002; Twenge kemampuan apapun yang dapat ia banggakan.
& Crocker, 2002). Lebih jauh lagi Trzesniewski
et al. (2006) menyebutkan bahwa orang yang Guindon (2010) memaparkan sejumlah
memiliki self-esteem yang rendah tidak sehat intervensi yang dapat digunakan untuk
secara fisik dan mentalnya. Mereka juga meningkatkan self esteem pada diri seseorang,
memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap diantaranya adalah reality therapy, solution
perilaku kriminal ketika dewasa dan menjadi focused therapy, narrative therapy, play
orang yang berpendapatan rendah sehingga therapy, eye-movement desensitization and
kesulitan untuk menopang kebutuhan mereka reprocessing, process-based forgiveness, dan
sendiri. cognitive behavior therapy. Akan tetapi,
intervensi reality therapy, solution focused
Berdasarkan alasan tersebut, dapat therapy, narrative therapy, dan play therapy
disimpulkan bahwa self-esteem yang rendah belum terbukti keberhasilannya karena pada
perlu menjadi perhatian karena berpotensi saat ini masih menjadi topik dalam penelitian-
memunculkan masalah-masalah yang penelitian kontemporer. Intervensi Eye-
mengganggu kesejahteraan psikologis anak, Movement Desensitization and Reprocessing
baik di masa sekarang maupun masa (EMDR) terbukti efektif untuk meningkatkan
depannya nanti. Penelitian ini dilakukan untuk self-esteem bagi anak yang memiliki masalah
meningkatkan self-esteem yang rendah pada perilaku (Wanders, Serra, & de Jongh, 2008).
seorang partisipan laki-laki yang berusia 10 Namun, EMDR sesuai jika digunakan untuk
tahun yang saat ini duduk di kelas 4 SD anak-anak yang memiliki self-esteem rendah
(berinisial F). karena pernah mengalami kejadian-kejadian
traumatis, misalnya pada anak yang memiliki
F merupakan klien Klinik Terpadu Fakultas self-esteem rendah setelah mengalami
Psikologi Universitas Indonesia. F mendapat- pelecehan seksual dan menjadi korban
kan skor self-esteem yang rendah berdasarkan bullying. Intervensi EMDR pada anak-anak ini
penilaian dengan menggunakan The difokuskan pada desensitisasi ingatan atas
Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES; kejadian-kejadian yang merendahkan self-
Rosenberg, 1965). F memiliki pandangan yang esteem mereka.
negatif mengenai dirinya sendiri. Ia merasa
bahwa ia adalah anak yang nakal sehingga Wanders, Serra, dan Jongh (2008)
tidak disukai oleh orang-orang di sekitarnya. F mengemukakan bahwa intervensi Cognitive
juga sering merasa dirinya dijauhi dan Behavioral Therapy (CBT) adalah intervensi
diabaikan. Ia terlalu fokus terhadap ke- yang dinilai efektif untuk meningkatkan self-
kurangan-kekurangan yang ada sehingga esteem pada anak. Penelitian ini dilakukan
mengabaikan sisi positif yang ia miliki. Oleh terhadap 26 anak yang berusia 8-13 tahun.
karena itu, ia malas untuk berusaha, rendah CBT dikatakan memberikan pengaruh positif
diri, serta merasa tidak mampu dan tidak yang besar pada anak yang memiliki self-
berharga. Dari sisi kepribadian, F merupakan esteem yang rendah dan dapat pula
anak yang memang sulit mengekspresikan mengurangi masalah-masalah perilaku. CBT
perasaan dan gagasan yang ia miliki. Ia sering sangat baik dilakukan pada anak-anak dengan
menyimpan permasalahan ke dalam dirinya self-esteem rendah karena memiliki masalah
sendiri. F juga memiliki emosi yang kurang dalam proses kognitifnya, yaitu terdapat
stabil, suasana hatinya mudah berubah-ubah kesalahan dalam pola berpikir (tidak objektif
dan mudah frustrasi. dan tidak realistis) dalam memandang diri dan
lingkungannya. CBT juga cocok bagi anak-anak
Hasil pemeriksaan inteligensi menunjuk- yang kurang terampil dalam kemampuan sosial
kan bahwa F memiliki inteligensi rata-rata dan keterampilan memecahkan masalah.
(IQ=96, Skala Wechsler). Saat ini, prestasi Taylor dan Montgomery (2007) juga
akademik F tergolong rata-rata jika dibanding- memberikan bukti-bukti keefektifan CBT untuk
kan dengan teman sekelasnya. Ia juga cukup meningkatkan self-esteem pada anak dan
berprestasi dalam bidang olahraga karena remaja yang juga mengalami depresi.
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 145

Self-esteem merupakan kebutuhan dasar karena peneliti ingin melihat pengujian sebuah
manusia. Self-esteem dianggap sebagai pe- teknik terapi, yaitu Cognitive Behavior Therapy
megang peranan kunci dalam pengintegrasian terhadap cara partisipan untuk berpikir, merasa,
kepribadian individu, di dalam memotivasi dan berperilaku dalam konteks self-esteem.
tingkah laku, serta didalam pencapaian
kesehatan mental. Pengharapan mengenai diri Metode pengumpulan data menggunakan
akan menentukan bagaimana individu akan teknik wawancara mendalam dan observasi.
bertindak dalam hidup (Greenberg 1998, diacu Wawancara mendalam bersifat deskriptif yaitu
dalam Graham, 2005). Apabila seorang individu dapat menggambarkan keadaan partisipan apa
berpikir bahwa dirinya kompeten, individu akan adanya dengan mengungkap hal-hal yang
cenderung sukses, dan apabila individu dipikirkan, dirasakan, dan dilakukannya. Selain
tersebut merasa dirinya tidak berhasil, itu, wawancara juga bersifat eksploratif
sebenarnya ia telah menyiapkan dirinya untuk sehingga dapat menjelaskan lebih terperinci
gagal. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa dan mendalam. Wawancara pada partisipan di-
self-esteem merupakan bagian diri yang lakukan untuk mendapatkan data pre dan post-
memengaruhi setiap aspek pengalaman baik itu test dengan menggunakan The Rosenberg
pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu. Self-Esteem Scale (RSES; Rosenberg, 1965),
yaitu dengan menggali pikiran, perasaan, dan
Kesalahan dalam memandang dan menilai perilaku partisipan sebelum dan sesudah
diri sendiri adalah merupakan kekeliruan dalam intervensi. Peneliti juga melakukan wawancara
pola berpikir sehingga dapat menyebabkan kepada ibu partisipan untuk melengkapi dan
penilaian yang salah pula terhadap diri sendiri. mengonfirmasi data yang diberikan oleh
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk partisipan. Observasi yang dilakukan pada
mengubah kekeliruan dalam pola berpikir penelitian ini dilakukan untuk memperoleh hal-
adalah dengan intervensi cognitive behavior hal yang tidak dapat terungkap dalam
therapy (CBT). CBT adalah sebuah istilah untuk wawancara dan dapat menjadi data
menjelaskan intervensi psikoterapi yang pendukung, misalnya penampilan, sikap,
tujuannya adalah untuk mengurangi kesulitan ekspresi verbal dan nonverbal, dan kejadian-
psikologis dan perilaku maladaptif dengan kejadian penting yang partisipan tampilkan
mengubah cara berpikir (Kaplan, diacu dalam selama proses penelitian.
Stallard, 2005). CBT didasarkan kepada
pemahaman bahwa perilaku yang tampak Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
adalah hasil dari cara berpikir. Dengan ini adalah The Rosenberg Self-Esteem Scale
intervensi kognitif, maka akan dapat mengubah (RSES; Rosenberg, 1965, diacu dalam Sinclair
cara berpikir, merasa, dan berperilaku et al., 2010). Alat ukur ini disusun oleh Morris
(Kendall,1994). Rosenberg pada tahun 1960. Pada awal
penggunaan RSES ini, Rosenberg meng-
Oleh karenanya, dalam kajian ini peneliti ujikannya kepada 5.024 partisipan dari 10
memilih untuk menggunakan intervensi sekolah di New York, Amerika Serikat. Hasil
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk me- pengujian menunjukkan reliabilitas yang tinggi,
ningkatkan self-esteem pada anak usia sekolah dengan menggunakan teknik test-retest, di-
yang berinisial F seperti diilustrasikan dapatkan hasil korelasi yang berkisar antara
sebelumnya. Berdasarkan pemaparan di atas, 0,82 sampai dengan 0,88. Pengujian validitas
maka rumusan permasalahan yang harus pun menunjukkan hasil yang baik yaitu berkisar
dijawab dalam penelitian ini adalah: “Apakah antara 0,77 sampai dengan 0,88. Oleh karena
intervensi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) RSES memiliki reliabilitas dan validitas yang
efektif untuk meningkatkan self-esteem pada tinggi, hingga saat ini, RSES masih menjadi
anak usia sekolah yaitu pada kasus F?”. alat ukur yang paling banyak digunakan
(Schmitt & Allik, 2006).
METODE
The Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES)
Desain penelitian ini adalah single-subject terdiri atas 10 pernyataan yang mengukur
research design yaitu penelitian eksperimen penghargaan dan penerimaan diri yang
dengan menggunakan satu orang partisipan. dimanifestasikan sebagai perasaan suka
Desain ini biasanya digunakan untuk (pernyataan positif: 1, 2, 4, 6, 7); atau tidak
mendapatkan hubungan sebab-akibat pada suka terhadap diri sendiri (pernyataan negatif:
situasi yang telah dirancang sebelumnya, 3, 5, 8, 9, 10). Pengukuran dilakukan dengan
misalnya seorang peneliti ingin melihat menggunakan skala Likert menggunakan
efektivitas sebuah perlakuan (treatment) ter- rentang skor 1-4. Partisipan diminta untuk
hadap perilaku partisipan. Desain ini dipilih memberikan penilaian pada pernyataan
146 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

pernyataan yang paling menggambarkan untuk membuat analisis permasalahan dan


dirinya. Pada setiap pernyataan diberikan 4 model kognitif yang dimiliki partisipan sebelum
pilihan jawaban yaitu sangat sesuai (SS) intervensi. Tahapan selanjutnya adalah
apabila pernyataan tersebut sangat sesuai menjalani pre-test dengan menggunakan The
dengan gambaran diri anak, sesuai (S) apabila Rosenberg Self-Esteem Scale (1965) untuk
pernyataan tersebut sesuai dengan gambaran mengukur self-esteem partisipan secara umum
diri anak, tidak sesuai (TS) apabila pernyataan mengenai dirinya.
tersebut tidak sesuai dengan gambaran diri
anak, sangat tidak sesuai (STS) apabila Pelaksanaan intervensi CBT yang
pernyataan tersebut sangat tidak sesuai diterapkan kepada partisipan mengacu kepada
dengan gambaran diri anak. pendekatan dan konsep CBT yang di utarakan
oleh Stallard (2005). Material dan lembar kerja
Untuk pernyataan positif (1, 2, 4, 6, 7), jika dalam intervensi ini mengacu pada Stallard
jawaban anak adalah sangat sesuai (SS), ia (2002). Stallard (2005) tidak memberikan
mendapatkan skor 4, sesuai (S) bernilai 3, tidak batasan yang mutlak terhadap materi dan
sesuai (TS) bernilai 2, dan STS bernilai 1. jumlah sesi dalam CBT yang harus diberikan
Sebaliknya, pada pernyataan negatif (3, 5, 8, 9, kepada anak-anak. Berdasarkan pemilihan
10), jika jawaban anak adalah sangat sesuai materi yang disesuaikan dengan permasalahan
(SS), ia mendapatkan skor 1, sesuai (S) bernilai partisipan, intervensi akan berlangsung
2, tidak sesuai (TS) bernilai 3, dan sangat tidak sebanyak 10 sesi. Sesi tersebut terdiri atas:
sesuai (STS) bernilai 4. Rentang nilai yang sesi 1 (psikoedukasi), sesi 2 (mengindentifikasi
akan didapat adalah 10-40. Skor 25 ke atas pikiran otomatis), sesi 3 (mencari kesalahan
dimasukkan ke dalam kategori tinggi, dalam berpikir), sesi 4 (mengindentifikasi dan
sedangkan di bawah 25 masuk ke dalam memformulasikan core beliefs), sesi 5
kategori rendah. (mengembangkan pola berpikir yang baru), sesi
6 (mengidentifikasi perasaan dan strategi
Data yang didapat dalam penelitian ini mengontrol emosi), sesi 7 (strategi mengubah
berupa skor dari The Rosenberg Self-Esteem perilaku), sesi 8 (strategi pemecahan masalah),
Scale (RSES; Rosenberg, 1965) yang diberikan sesi 9 (mengembangkan kemampuan
sebelum dan sesudah intervensi. Selain itu, mengontrol pikiran, perasaaan dan perilaku),
data juga didapat dari hasil wawancara dan dan sesi 10 (evaluasi dan penutup). Setiap sesi
observasi. Hasil wawancara dan observasi dilakukan selama 90 hingga 120 menit.
yang direkam dalam tape recorder dan Gambaran rancangan intervensi ditunjukkan
tergambar dalam video ditulis kembali secara pada Tabel 1.
verbatim kemudian dikategorisasi dalam tema-
tema dan pola-pola. Setelah itu peneliti Tahap terakhir yang dilakukan adalah
menyimpulkan inti dari setiap jawaban evaluasi efektivitas intervensi. Efektivitas
partisipan. intervensi dilihat dari kriteria berikut ini, yaitu
post test yaitu dengan meningkatnya skor pada
Sebelum dilakukan intervensi ada alat ukur yang telah dipakai sebelumnya; dan
beberapa rangkaian kegiatan yang dilakukan, pengecekan kembali terhadap pikiran,
yaitu menginformasikan informed consent yang perasaan, dan perilaku partisipan dengan
berisi informasi-informasi yang terkait dengan menggunakan metode wawancara dan
pelaksanaan intervensi yang akan dilakukan, observasi terhadap ibu dan partisipan.
yaitu mengenai tujuan, prosedur, tempat, Pengecekan ini akan dilakukan satu minggu
waktu, alat bantu, kerahasiaan, dan hak setelah intervensi. Pada partisipan dilakukan
partisipan; membangun rapport kembali dengan pengecekan mengenai core belief yang ia
partisipan sehingga diharapkan dengan percayai sebelumnya dengan menggunakan
hubungan yang baik antara partisipan dan lembar evaluasi intervensi. Selain itu, ia diminta
Peneliti maka kerja sama yang baik dapat untuk menceritakan pengalaman dan kesan-
terbangun; melakukan assesment awal kesan yang ia rasakan selama intervensi dan
terhadap partisipan dan ibu untuk melihat seminggu setelah intervensi. Partisipan juga
hubungan antara pengalaman, pemikiran, diminta untuk menjelaskan penerapan sehari-
emosi dan perilakunya. Berdasarkan hasil hari terhadap skill yang ia sudah pelajari
asesmen tersebut, dapat diketahui faktor-faktor selama pelatihan. Wawancara kepada ibu fokus
yang diasumsikan memengaruhi pikiran, kepada perubahan-perubahan perilaku yang
perasaan, dan perilaku negatif partisipan ditampilkan oleh partisipan setelah intervensi.
mengenai dirinya. Penilaian ini juga dilakukan
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 147

Tabel 1 Rancangan intervensi


Gambaran Umum
Sesi Metode
Sesi
1. Psikoedukasi Sesi ini memberikan psikoedukasi kepada F yaitu Ceramah
(Memperkenalkan dengan memberikan penjelasan tentang definisi dan Diskusi tanya jawab
CBT Pada F) contoh-contoh dari pikiran, perasaan, dan perilaku Di Latihan terkait dengan materi
sesi ini juga dijelaskan bagaimana keterkaitan antara
ketiga elemen tersebut. Pemberian pekerjaan rumah
2. Mengindentifikasi Sesi ini memberikan penjelasan kepada F tentang Diskusi PR
Pikiran Otomatis pikiran otomatis yang sering kali muncul, mengapa Ceramah
pikiran tersebut sering muncul dan dampak positif Diskusi tanya jawab
serta negatif dari pikiran otomatis.
Latihan terkait materi
Bercerita mengenai gambar
Pemberian pekerjaan rumah
3. Mencari Sesi ini merupakan lanjutan dari sesi sebelumnya. Ceramah dan pemaparan
Kesalahan dalam Pada sesi ini akan diperkenalkan kepada F lebih contoh-contoh
Berpikir lanjut tentang bentuk-bentuk kesalahan dalam Diskusi dan bercerita mengenai
berpikir. pengalaman F
Latihan
4. Mengindentifikasi Mengenalkan konsep core beliefs pada F. Dari Ceramah
dan konsep pikiran otomatis yang telah ia dapatkan Latihan
memformulasikan sebelumnya, F diajak untuk mengidentifikasi core Diskusi
beliefs yang keliru dan membuat formulasi masalah.
core beliefs Pemberian pekerjaan rumah

5. Mengembangkan Pada sesi ini F diajak untuk mengkonfrontasi core Ceramah


Pola Berpikir yang beliefs dan pikiran-pikiran negatif yang selama ini ia Bercerita tentang gambaran diri
Baru yakini mengenai dirinya sendiri dan lingkungannya. Menonton tayangan inspiratif
Sesi ini juga memberikan penjelasan tentang thought
stopping, positive self-talk, dan coping self-talk Diskusi
Latihan
Pemberian pekerjaan rumah
6. Mengidentifikasi Sesi ini memberikan psikoedukasi tentang emosi. Review materi tentang
Perasaan dan Macam-macam emosi, rentangan emosi dan perasaan
Strategi menjelaskan hubungan antara emosi, pikiran dan Ceramah
perilaku. Selain itu, pada sesi ini, F juga diajak untuk Diskusi
Mengontrol Emosi
mengontrol emosi-emosi negatif yang sering
dialaminya dengan metode relaksasi dan mengontrol Bercerita
pikiran. Praktik relaksasi
Latihan

7. Strategi Mengubah Pada sesi ini F diajak untuk mengubah perilaku Ceramah
Perilaku negatifnya dengan mengganti perilaku tersebut Diskusi
dengan yang lebih positif. F juga diajak untuk menata Latihan
ulang aktivitas-aktivitas hariannya agar lebih
menyenangkan.
8. Strategi Sesi memberikan gambaran tentang kesalahan- Ceramah
Pemecahan kesalahan yang biasa dilakukan oleh orang-orang Diskusi
Masalah dalam mengatasi permasalahan. F diajarkan untuk Bercerita
mengembangkan teknik pemecahan masalah yang
efektif Latihan
Pemberian pekerjaan rumah
9. Mengembangkan Sesi ini adalah latihan penggabungan 3 sesi Review sekilas 3 materi
kemampuan sebelumnya yaitu dengan review, latihan dan role sebelumnya
mengontrol play Bercerita
pikiran, perasaaan Latihan
dan perilaku
10. Evaluasi dan Sesi ini merupakan rangkuman dan refleksi dari Refleksi
Penutup pelatihan. Selain itu, F juga diberikan penguatan Bercerita
dengan memberikan penghargaan karena ia berhasil Latihan dan evaluasi
merubah pola berpikir, merasa dan berperilaku. Sesi
ini juga memberikan pembekalan agar tidak terjadi Pemberian penghargaan
relaps
148 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

HASIL partisipan meningkat dan masuk ke dalam


kategori tinggi (skor 36).
Intervensi Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) yang dilakukan terbukti efektif untuk Selain itu, hasil penelitian juga
meningkatkan self-esteem pada partisipan menunjukkan bahwa efektivitas intervensi CBT
dalam penelitian ini. Hal ini terlihat dari adanya terlihat pula pada sesi evaluasi berupa
peningkatan skor self-esteem yang diukur wawancara yang dilakukan kepada partisipan
menggunakan skala The Rosenberg Self- dan ibunya. Setelah intervensi, aspek pikiran,
Esteem Scale (RSES; Rosenberg, 1965). perasaan, dan perilaku partisipan semakin baik.
Sebelum intervensi, skor self-esteem partisipan Hasil perbandingan aspek pikiran, perasaan,
masuk ke dalam kategori rendah (skor 22), dan perilaku partisipan antara sebelum dan
namun setelah intervensi skor self-esteem sesudah intervensi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan aspek pikiran, perasaan, dan perilaku antara sebelum dan sesudah intervensi
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
Aspek Pikiran
- F berpikir bahwa dirinya tidak berharga - F menyadari dari bukti-bukti yang ia temukan sendiri
di tengah-tengah keluarga dan bahwa keluarganya masih memper-hatikan dan
lingkungan sekitarnya menyayanginya, terutama ibunya.
- F berpikir bahwa dirinya adalah anak - F menyadari bahwa ia bisa berubah
yang bandel
- F berpikir bahwa dirinya anak yang jelek - F menyadari bahwa meskipun secara fisik ia hitam,
akan tetapi F memiliki tubuh yang lebih tinggi dan
kuat dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya.
- F berpikir bahwa dirinya tidak memiliki - F dapat menemukan kelebihannya, yaitu unggul
kemampuan apapun yang bisa dalam bidang olahraga catur dan lari.
dibanggakan
Aspek Perasaan/Emosi
- F sering merasa sedih jika memikirkan - F merasa lebih lega karena menyadari bahwa
bahwa tidak ada orang yang keluarganya, terutama ibu masih memperhatikan
memperdulikan dan menyayanginya dan menyayanginya

- F merasa kesal dengan teman-teman - F dapat menerima bahwa sikap buruk orang-orang
dan gurunya di sekolah karena sering di sekelilingnya adalah karena perilaku negatif yang
dituduh dan dicurigai F lakukan
- F merasa marah dan dendam kepada - F merasa bersyukur karena memiliki kelebihan lain
adik dan keluarga ibu yang sering di bandingkan dengan adik
mengejeknya
- F merasa rendah diri karena tidak - F merasa lebih percaya diri
memiliki kelebihan apapun yang bisa ia - F merasa bangga karena ia memiliki kelebihan di
banggakan bidang olahraga catur dan lari
Aspek Perilaku
- F menghindar dan membatasi diri untuk - F Lebih sering “curhat” kepada ibu mengenai
berinteraksi dengan keluarga ibu. F lebih harapan dan keinginannya
senang bermain sendirian di kamar, di
warnet, dan dipelabuhan
- F sering malas bicara dan menghindar - Ada inisiasi dari F untuk membangun hubungan
dari teman-teman dan guru. Di sekolah F dengan beberapa teman di sekolah
sering menyendiri di kelas. - F mulai mau ikut bermain sepak bola dengan anak-
anak di lingkungan rumah
- F sering berkelahi dengan adik - F sudah jarang berkelahi dengan adik
- F lebih memperhatikan penampilan, misalnya
memotong rambut agar terlihat rapi dan disukai oleh
orang lain
- F menampilkan perilaku acting out, - Ibu mengatakan F tidak lagi pernah mencuri di
seperti berbohong dan mencuri agar sekolah maupun di rumah
dirinya terlihat lebih baik di hadapan
orang lain.
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 149

PEMBAHASAN mudah dipahami, juga agar intervensi menjadi


lebih menyenangkan bagi partisipan. Graham
Hasil penelitian studi kasus pada partisipan (2005) mengemukakan agar CBT berjalan lebih
menunjukkan bahwa intervensi CBT efektif efektif, materi-materi yang digunakan harus
untuk meningkatkan self-esteem yang rendah diadaptasi dan disampaikan sesuai dengan
pada anak. Hal itu sesuai dengan penelitian tingkat perkembangan anak. Konsep dan
yang telah dilakukan sebelumnya oleh Wanders, strategi pun harus diterjemahkan kedalam
Serra, dan Jongh (2008). Hasil kajian contoh-contoh dan analogi-analogi sederhana
menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dekat dengan kehidupan sehari-hari anak.
yang mendukung keberhasilan intervensi yang CBT untuk anak-anak sebaiknya menggunakan
telah diberikan. Pertama, sikap partisipan yang sedikit bahasa verbal dan menggunakan banyak
tergolong kooperatif dalam menjalani intervensi. media yang berbentuk visual (Graham, 2005).
Dari laporan evaluasi setiap sesi, partisipan Hal itu juga diperkuat oleh Ronen (1997), diacu
bersedia mengerjakan tugas-tugas yang dalam Graham (2005) bahwa metode bermain
diberikan, baik ketika sedang intervensi maupun dan games yang digunakan untuk menjelaskan
ketika diberikan pekerjaan rumah. Kedua, core concepts CBT adalah sebuah cara alami,
partisipan menyadari bahwa ia mempunyai tidak mengancam, dan menyenangkan bagi
masalah dan memiliki keinginan untuk berubah. anak-anak. Latihan mengerjakan kalimat-kalimat
Partisipan pun berkomitmen untuk menjalani yang belum selesai dapat menjadi alternatif
intervensi sampai dengan selesai. Motivasi yang yang sangat baik untuk mengidentifikasi pikiran
dimiliki oleh partisipan untuk mengikuti dan perasaan anak (Friedberg & McClure, 2002,
intervensi tergolong tinggi, hal ini dibuktikan diacu dalam Graham, 2005). Penggunaan
dengan keinginan yang besar pada dirinya gambar-gambar kartun dan bubble thoughts
dalam menjalankan intervensi meskipun tidak dapat mempermudah terapis mengakses
ditemani oleh ibu atau pun keluarganya ketika pikiran-pikiran anak. Selain itu, dengan
datang ke ruang pemeriksaan di Fakultas menggunakan metode tersebut, anak juga dapat
Psikologi Universitas Indonesia. Ketiga, lebih mencari pemikiran alternatif dengan cara
hubungan baik yang telah dibangun antara yang menyenangkan (Stallard, 2002, diacu
peneliti dengan partisipan sebelum pelaksanaan dalam Graham, 2005).
intervensi juga merupakan faktor yang berperan
dalam keberhasilan terapi. Partisipan terlihat Selain faktor-faktor pendukung, terdapat
lebih terbuka, tidak merasa malu, dan mau pula faktor-faktor yang menghambat intervensi
mengeluarkan pendapat dan gagasannya yang telah diberikan. Faktor pertama adalah
kepada peneliti. Hal itu sesuai dengan Friedberg kurangnya peran orang tua dan lingkungan
dan McClure (2002), diacu dalam Graham selama proses intervensi. Partisipan tinggal di
(2005) yang menyebutkan faktor-faktor yang tengah keluarga ibu yang mengalami disfungsi.
dapat mempengaruhi keberhasilan intervensi Keluarga ibu pun kurang peduli pada
diantaranya adalah kesediaan dari klien dan perkembangan partisipan. Meskipun begitu, dari
hubungan antara klien dengan terapis. Jika klien seluruh anggota keluarga, ibu masih terlihat
tidak memiliki keinginan dan merasa terpaksa cukup memerhatikan perkembangan partisipan.
untuk mengikuti intervensi, keberhasilan Akan tetapi, ibu sibuk bekerja untuk menopang
intervensi akan sulit dicapai. ekonomi keluarga sehingga perkembangan
partisipan terkadang kurang dipantau. Hal itu
Faktor keempat yang juga memiliki peran sangat disayangkan karena dalam menjalani
positif dalam intervensi ini adalah penyesuaian intervensi CBT pada anak-anak prapubertas
materi, metode, dan media dengan usia anak. diperlukan adanya keterlibatan orang tua atau
Peneliti menyesuaikan materi dengan mem- significant other. Peran orang tua besar
berikan bahasa-bahasa yang sederhana dan pengaruhnya ketika anak menjalani fase
dengan memberikan contoh-contoh. Metode intervensi dan maintanance.
yang digunakan adalah dengan permainan,
latihan, merefleksikan sebuah cerita, menonton Rapee (1997) menyebutkan bahwa sering
tayangan-tayangan, thoughts bubble, dan lain kali ahli-ahli klinis mengikutsertakan orang tua
sebagainya. Peneliti pun menggunakan ber- dalam program CBT. Orang tua dapat dilibatkan
bagai media misalnya partisipan diberikan dalam berbagai peran seperti sebagai fasilitator,
gambar segitiga ajaib, rambu-rambu perilaku, co-therapist, atau klien (Kendall, 1994). Peran
dan termometer perasaan agar partisipan dapat orang tua sebagai fasilitator memiliki peran yang
memvisualisasi materi yang disampaikan. Selain paling kecil dibandingkan dengan dua peran
itu, peneliti juga menggunakan media film lainnya. Dalam hal ini, terapis memberikan satu
inspiratif dan lembar latihan bergambar. Hal atau dua sesi psikoedukasi yang bertujuan agar
tersebut dilakukan selain agar intervensi dapat orang tua dapat memahami kondisi anak dan
150 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

kemudian mendorongnya merubah pola pikir esteem pada anak-anak, yaitu: Self-Perception
yang salah. Sebagai co-therapist, orang tua Profile for Children (SPPC: Harter, 1985), Self-
berperan lebih besar karena orang tua dilibatkan Esteem Inventory (SEI: Coopersmith, 1981), dan
dalam sesi terapi. Orang tua juga didorong Tennessee Self-Concept Scale (TSCS: Roid &
untuk mengawasi, memberikan prompt, dan Fitts, 1988).
memperkuat hal-hal yang telah dipelajari oleh
anak, di luar situasi intervensi. Pada dua peran Faktor penghambat ketiga adalah setting
yang telah disebutkan, orang tua dapat pelaksanaan intervensi. Tempat yang di-
membantu anak untuk mencapai tujuan dari gunakan selama pelaksanaan intervensi adalah
intervensi yang sudah ditetapkan. Alternatif di rumah partisipan yaitu sebanyak tujuh kali
lainnya adalah orang tua dan anak bersama- pertemuan, sedangkan tiga pertemuan
sama mengikuti sesi intervensi sebagai subjek, dilakukan di ruang pemeriksaan Fakultas
misalnya mengikuti parallel child-focused CBT Psikologi Universitas Indonesia. Alasan
untuk mempelajari cara berpikir yang positif dan pemilihan tempat ini karena partisipan memiliki
mencari pemecahan masalah. Graham (2005) aktivitas yang padat. Ia pulang sekolah pada
mengemukakan dengan metode tersebut, anak pukul 12.00 WIB dan pada pukul 16.00 WIB
dan orang tua diberdayakan agar membentuk mengaji di mushola. Pelaksanaan intervensi
sebuah tim yang solid dalam menyelesaikan dilakukan di sela-sela waktu tersebut, yaitu pada
permasalahan. Hal itu juga berguna untuk pukul 13.00-15.00 WIB. Lokasi rumah partisipan
mengurangi tingkat kecemasan yang dialami yang berada di Ancol, Jakarta Utara berjauhan
oleh orang tua. dari ruang pemeriksaan di Depok sehingga tidak
memungkinkan keseluruhan sesi dilaksanakan
Faktor penghambat kedua dan ketiga di tempat yang sudah dirancang sebelumnya,
berasal dari peneliti. Faktor kedua adalah dalam yaitu di ruang pemeriksaan Fakultas Psikologi
melakukan pre dan post-test, peneliti pada Universitas Indonesia. Hasil kajian menunjukkan
penelitian ini menggunakan alat ukur Rosenberg bahwa terdapat perbedaan ketika intervensi
Self-Esteem Scale (RSES, 1965). Peneliti tidak dilakukan di rumah partisipan dengan di ruang
dapat menemukan literatur yang menyatakan pemeriksaan. Jika intervensi di lakukan di
bahwa alat ukur ini pernah diadaptasi pada rumah, terdapat beberapa kendala, yaitu
anak-anak di Indonesia, sehingga validitas, suasana kurang nyaman, sirkulasi udara kurang
reliabilitas, dan norma tidak dapat dikatakan baik, dan kurang kondusif karena adik partisipan
baku dan akurat. Selain itu, penggunaan alat terlihat mondar-mandir membuat partisipan
ukur RSES (1965) ini adalah pengukuran sering teralih perhatiannya. Pada sebagian
unidimensional (global self-esteem) yang dapat besar anak-anak tempat dan atmosfir ketika
mengungkap perasaan positif atau negatif menjalani intervensi adalah merupakan hal yang
mengenai kemampuan dan keberhargaan penting, misalnya furnitur yang nyaman dan
seorang individu. Pengukuran multidimensional warna dinding yang menyejukkan. Ruang
(selective self-esteem) dirasa lebih tepat untuk tertutup juga lebih baik digunakan dalam sesi
melihat self-esteem pada anak-anak. Selain terapi karena dapat benar-benar menjamin
mudah dipahami oleh anak-anak, pengukuran privasi dan kerahasiaan dari topik pembicaraan
multidimensional juga dapat memperkaya sehingga dapat membuat anak bebas
informasi mengenai penilaian terhadap aspek- mengutarakan dan mengekspresikan pikiran
aspek pada diri mereka. Hal ini sesuai dengan serta perasaan mereka. Dengan ruang tertutup,
yang diutarakan oleh Harter (1999) bahwa mereka juga lebih dapat mempertahankan
ketika orang dewasa diminta untuk memikirkan perhatian dan konsentrasinya.
self-esteem yang terdapat dalam diri mereka,
maka yang akan muncul dalam pikiran mereka Selain faktor pendukung dan penghambat
adalah global appraisal yang didapat dari terdapat pula ancaman dalam intervensi ini.
kesadaran akan kekuatan dan kelemahan dalam Pada kasus ini, keluarga dan lingkungan di
berbagai aspek kehidupan mereka. Sedangkan sekitarnya memiliki peran yang besar dalam
pada anak-anak, self-esteem didapat pembentukan self-esteem partisipan sebelum
berdasarkan penilaian mereka dalam berbagai intervensi. Partisipan pernah tidak diakui,
aspek kehidupan mereka, yaitu academic com- diacuhkan, tidak diperdulikan oleh ayah dan
petence, social competence, physical/athletic keluarga ibunya. Pola pengasuhan pun
competence, dan physical appearance. menerapkan hukuman secara verbal dan fisik.
Penilaian anak-anak terhadap aspek-aspek di Keluarga ibu sering mengejek partisipan karena
atas akan mengindikasikan pandangan ia berbeda dengan adiknya. Partisipan juga
menyeluruh mengenai overall self-worth. diberikan label sebagai anak “bandel”. Peneliti
Guindon (2010) menyebutkan beberapa alat melihat hal ini merupakan sebuah ancaman
ukur yang cocok untuk melihat selective self- yang dapat menyebabkan partisipan kembali
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 151

relaps. Hal ini sesuai dengan penelitian Pawlak interpersonal success, happiness, or
et al. (1997); Variamparampil & Srivastava healthier lifestyles?. Psychological Science
(2014) yang mengatakan bahwa jika anak in the Public Interest, 4(1).
mengalami masalah dalam pengasuhan,
Donnellan, M. B., Trzesniewski, K. H, Robins, R.
merasa tidak dipedulikan, diabaikan, dan sering
W, Mofitt T. E., & Caspi, A. (2005). Low
menerima kritikan akan memiliki kecenderungan
Self-Esteem is Related to Aggression,
untuk memiliki self-esteem yang rendah.
Antisocial Behavior, and Delinquency.
Psychological Science Journal, 16, 328-
SIMPULAN DAN SARAN
335.
Intervensi Cognitive Behavior Therapy Graham, P. (2005). Cognitive behaviour therapy
(CBT) yang dilakukan pada penelitian ini terbukti for children and families 2nded. London:
efektif untuk meningkatkan self-esteem pada Cambridge University Press.
partisipan F. Adapun saran yang dapat
Guindon, M. H. (2010). Self esteem across the
direkomendasikan adalah yang pertama, yaitu
life span: issues and intervention. New
sebaiknya dilakukan follow up setidaknya 3
York: Taylor & Francis Group LLC.
bulan setelah intervensi. Aktivitas yang akan
dilakukan pada follow up ini bergantung pada Harter, S. (1999). The construction of the self: A
kondisi partisipan setelah 3 bulan menjalani developmental perspective. New York: The
intervensi tersebut, namun paling tidak berisi Guilford Press.
penguatan terhadap keterampilan yang sudah ia
Kendall, P. C. (1994). Treating anxiety disorders
dapatkan dalam mengatasi permasalahan
in children: results of a randomized clinical
sehari-hari, evaluasi terhadap pikiran, perasaan
trial. Journal of Consulting and Clinical
dan perilaku partisipan selama fase follow up
Psychology, 62, 100-110.
serta pemberian tugas yang dapat membuat
partisipan merasa dirinya semakin berharga. McGregor, I., Nash, K. A., & Inzlict, M. (2009).
Threat, high self-esteem and reactive
Saran selanjutnya adalah terkait partisipasi approach-motivation: Electrooencephalo
ibu. Berdasarkan hasil berinteraksi dengan graphic evidence. Journal of Experimental
partisipan dan keluarganya, terlihat bahwa ibu Social Psychology, 45, 1003-1007.
dapat menjadi faktor pendukung bagi me-
Rapee, R. M. (1997). The potential role of
netapnya pikiran dan perilaku partisipan. Oleh
childrearing practices in the development of
karena itu, sebaiknya ibu diberikan psiko-
anxiety and depression. Clinical Psychology
edukasi mengenai faktor penyebab partisipan
Review, 17, 47-67.
berpandangan buruk mengenai dirinya sehingga
ibu bisa mendukungnya dalam memberikan Papalia, Olds, & Feldman. (2009). Human
input positif. Development. USA: Mc Graw Hill.
Pawlak, Julie, L., Helen., Altman, Klein. (1997).
Saran ketiga yaitu terkait metode intervensi,
Parental conflict and self-esteem: The rest
ada baiknya untuk permasalahan self-esteem
of the story. The Journal of Genetic
pada anak yang memiliki masalah dengan orang
Psychology, 158(3), 303.
tua dan significant othersnya, dilakukan parallel
child-focused CBT, yaitu intervensi yang Schmitt, D. P., & Allik, J. (2006). Simultaneous
melibatkan anak dan orang tua secara ber- administration of the Rosenberg self-
samaan. Saran keempat yaitu perlunya esteem scale in 53 nations: exploring the
pemilihan alat ukur yang sesuai untuk melihat universal and culture-specific features of
self-esteem pada anak-anak. Selain itu, perlu global self-esteem. Journal of personality
juga dilakukan dilakukan uji validitas, reliabilitas, and social psychology, 89, 623 – 642.
dan normanya agar hasil pada alat ukur yang
digunakan agar hasil yang didapatkan benar- Sinclair, S. J., Blais, M. A., Gansler, D. A.,
benar menggambarkan self-esteem anak yang Sandberg, E., Bistis, K., & LoCicero, A.
(2010). Psychometric properties of the
sesungguhnya. Terakhir, perlunya pemilihan
setting intervensi yang dapat menjamin rosenberg self-esteem scale: Overall and
across demographic groups living within the
kenyamanan dan kerahasiaan klien.
United States. Evaluation & the Health
Professions Journal, 33(1), 56-80. USA:
DAFTAR PUSTAKA
SAGE Publications.
Baumeister, R. F., Campbell, J. D., Krueger, J. Stallard, P. (2005). A Clinician’s guide to think
I., & Vohs, K. E. (2003). Does high self- good-feel good: Using CBT with children
esteem cause better performance, and young people. West Sussex: John
152 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

Wiley and Son’s Ltd. Richie, Caspi., Avshalom. (2006). Low Self-
esteem during adolescence predicts poor
Taylor, T. L., & Montgomery P. (2007). Can
health, criminal behavior, and limited
cognitive-behavioral therapy increase self
economic prospects during adulthood.
esteem among depressed adolescents?. A
Developmental Psychology Journal, 42,
systematic review. Children and Youth
381-390.
Services Reviewes, 29(7), 823-839.
Variamparampil, T., & Srivastava, N. (2014). A
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2002). Self-
study of parent-child relationship on
esteem and socioeconomic status:
adolescents self-esteem. Indian Journal of
Ametaanalytic review. Personality and
Health and Wellbeing, 5(12), 1520 – 1522.
Social Psychology Review, 6, 59–71.
Wanders, F., Serra, M., & Jongh, A. (2008).
Twenge, J. M., & Crocker, J. (2002). Race and
EMDR versus CBT for children with self-
self-esteem: Meta-analyses comparing
esteem and behavioral problems: A
White, Blacks, Latinos, Asians, and
randomized control trial. Journal of EMDR
American Indians, and comment on gray-
Practice and Research,180-189.
littleand Hafdahl. Psychological Bulletin,
128, 371-408. Zimmerman, M. A., Copeland, L. A., Shope, J.
T., & Dielman, T. E. (1997). A longitudinal
Tracy, J. L., & Robins, R. W. (2003). ‘‘Death of a
studyof self-esteem: Implications for
(narcissistic) salesman’’: An integrative
adolescent development. Journal of Youth
model of fragile self-esteem. Psychological
and Adolescence, 26(5), 117-141.
Inquiry, 14, 57–62.
Trzesniewski, K. H., Donnellan, M., Brent, M.,
Terrie, E., Robbins., Richard, W., Poulton.,

Anda mungkin juga menyukai