3
ISSN : 1907 - 6037
1
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor,
Bogor 16680, Indonesia
2
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*)
E-mail: imz.mia@gmail.com
Abstrak
Dalam penelitian ini, Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan self-esteem yang rendah pada
seorang anak usia sekolah (laki-laki berusia 10 tahun). Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan model
intervensi yang bertujuan untuk mengurangi tekanan psikologis dan perilaku maladaptif dengan mengubah cara
berpikir. Desain penelitian ini adalah single-subject research desain yaitu penelitian eksperimen dengan
menggunakan satu orang partisipan yang bertujuan untuk menguji efektivitas sebuah terapi. Pelaksanaan
intervensi dilakukan sebanyak 13 kali pertemuan, dengan 2 kali pertemuan untuk melakukan penilaian (pre-test
dan post-test), 10 kali pertemuan untuk sesi-sesi intervensi, dan 1 kali pertemuan untuk evaluasi. Durasi setiap
pertemuan kira-kira selama 1,5-2,0 jam. Berdasarkan observasi, wawancara, serta hasil pre-test dan post-test,
dapat dikatakan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) terbukti efektif untuk meningkatkan self-esteem pada
partisipan.
Kata kunci: anak usia sekolah, cognitive behavior therapy (CBT), self-esteem
Abstract
In this research, Cognitive Behavior Therapy (CBT) was used to increase low self-esteem on a school-age
children (boy, 10 years old). Cognitive Behavior Therapy (CBT) is a treatment that aimed to reduce psychological
distress and maladaptive behavior by altering cognitive processes. The design of this study was single-subject
research design specifically experimental study which used one participant to verify the effectiveness of a
theraphy. This treatment consists of 13 sessions, with 2 sessions for the assessment (pre-test and post-test), 10
session for the treatment sessions, and 1 session for the evaluation). The duration of each session approximately
1,5 - 2 hours. Based on observations, interviews, pre-test and post-test, CBT was effective to increase self-
esteem on the participant.
kompetensi yang dimiliki oleh seorang anak Papalia, Olds, & Feldman, 2009). McGregor,
menghasilkan perasaan dihargai dan diterima Nash, dan Inzlicht (2009) dalam penelitian
(Guindon, 2010). eksperimennya menemukan pula bahwa self-
esteem yang tinggi berhubungan erat dengan
Rentang usia 8 hingga 12 tahun (middle ketahanan seseorang dalam menghadapi
childhood) adalah merupakan masa yang permasalahan maupun kegagalan yang
penting bagi perkembangan self-esteem. Anak- dialaminya.
anak di usia ini menurut teori Neo-Piagetian
telah mencapai kemampuan berpikir yang lebih Sebaliknya, anak-anak yang memiliki self-
kompleks dibandingkan dengan masa esteem rendah selalu melihat diri mereka
sebelumnya. Anak pada periode ini sudah dengan sudut pandang yang negatif. Mereka
mulai dapat menilai diri sendiri secara lebih lebih melihat kepada kelemahan-kelemahan
realistis, seimbang, dan komprehensif. Konsep yang mereka miliki (Harter, 1999). Anak-anak
ini disebut sebagai representational system ini menganggap kegagalan adalah sebuah hal
(Harter, 1999). Jika anak-anak berhasil yang tetap dan tidak dapat diubah lagi. Anak
mengevaluasi diri mereka secara lebih realistis, dengan self-esteem rendah memandang
seimbang dan komprehensif maka mereka kegagalan berasal dari kekurangan diri mereka
akan dapat mengembangkan self-esteem yang (Harter, 1999). Hal itu mengarahkan mereka
tinggi (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). menjadi anak yang inferior dan pesimis dalam
memandang kemampuannya untuk melakukan
Self-esteem pada anak merupakan sebuah sesuatu. Rosenberg dan Owen (2001), diacu
aspek yang sangat penting karena dapat dalam Guindon (2010) menyebutkan bahwa
memengaruhi motivasi, perilaku, tingkat anak yang memiliki self-esteem rendah lebih
kepuasan hidup, serta berkaitan erat dengan sensitif dalam menanggapi evaluasi-evaluasi
kesejahteraan psikologis (well-being) mereka. yang diberikan oleh lingkungan, sering salah
Harter (1999) menyebutkan bahwa self-esteem dalam mempersepsikan stimulus dari
dapat pula berfungsi untuk melindungi seorang lingkungannya, dan menganggap orang lain
anak dari pengalaman tidak menyenangkan, selalu memberikan kritik terhadap dirinya.
kekecewaan, bahkan peristiwa yang menyakit- Anak-anak ini biasanya sering mengalami
kan. kecemasan ketika berada dalam sebuah situasi
sosial dan terlihat kurang percaya diri untuk
Anak-anak yang memiliki self-esteem membangun sebuah hubungan interpersonal.
tinggi melakukan penilaian yang objektif dan
seimbang mengenai dirinya sehingga mereka Donnellan et al. (2005) menyebutkan
dapat mengenali kelebihan-kelebihan yang adanya korelasi yang kuat antara rendahnya
dimiliki sekaligus dapat pula mengakui self-esteem dengan masalah-masalah perilaku
kekurangan-kekurangan yang terdapat pada yang berhubungan dengan lingkungan di luar
dirinya. Secara umum, anak-anak ini memiliki anak, yaitu agresi, perilaku antisosial, dan
pandangan yang positif terhadap karakter diri deliquent behavior. Penelitian tersebut
mereka dan menghargai kompetensi yang menjelaskan bahwa seseorang dengan self-
mereka miliki (Harter, 1999; Baumeister et al., esteem yang rendah memiliki hubungan yang
2003). Anak-anak dengan self-esteem yang kurang kuat dengan orang-orang yang ada di
tinggi memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sekitarnya. Jika ditinjau dari social-bonding
pula (Zimmerman et al., 1997). Jika meng- theory, hubungan yang lemah dengan
hadapi kegagalan atau kekecewaan, mereka lingkungan sosial, membuat seseorang tidak
akan berusaha lebih giat lagi dan mencoba memperhatikan norma-norma sosial dan
berbagai macam cara sampai mereka berkembang menjadi deliquent behavior. Selain
menganggap mereka telah berhasil. Selain itu, itu, dalam hubungan self-esteem dengan
anak-anak ini juga cenderung memiliki sikap- agresivitas, Horney (1950) dan Adler (1956),
sikap yang mengarah kepada tindakan diacu dalam Donnelan et al. (2005) me-
prososial, misalnya mereka memiliki keinginan nyebutkan bahwa agresi dan perilaku antisosial
untuk menolong orang-orang yang kurang dimotivasi oleh perasaan-perasaan inferior
beruntung dari pada mereka (Karafantis & yang didasari oleh pengalaman-pengalaman
Levy, diacu dalam Papalia, Olds, & Feldman, ditolak dan diejek ketika masa kanak-kanak,
2009). Anak dengan self-esteem tinggi juga lebih khusus lagi disebutkan Tracy dan Robbins
dapat menunjukkan perilaku yang sesuai pada (2003) bahwa individu melindungi diri mereka
situasi-situasi sosial, cenderung tidak dari perasaan rendah diri dan malu dengan
memunculkan emosi-emosi negatif dan dapat menyalahkan orang lain atas kekurangan-
menyelesaikan masalah secara konstruktif kekurangan yang dimilikinya. Hal itu me-
(Eisenberg, Fabes, & Murphy, diacu dalam nimbulkan perasaan marah dan permusuh-
144 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Self-esteem merupakan kebutuhan dasar karena peneliti ingin melihat pengujian sebuah
manusia. Self-esteem dianggap sebagai pe- teknik terapi, yaitu Cognitive Behavior Therapy
megang peranan kunci dalam pengintegrasian terhadap cara partisipan untuk berpikir, merasa,
kepribadian individu, di dalam memotivasi dan berperilaku dalam konteks self-esteem.
tingkah laku, serta didalam pencapaian
kesehatan mental. Pengharapan mengenai diri Metode pengumpulan data menggunakan
akan menentukan bagaimana individu akan teknik wawancara mendalam dan observasi.
bertindak dalam hidup (Greenberg 1998, diacu Wawancara mendalam bersifat deskriptif yaitu
dalam Graham, 2005). Apabila seorang individu dapat menggambarkan keadaan partisipan apa
berpikir bahwa dirinya kompeten, individu akan adanya dengan mengungkap hal-hal yang
cenderung sukses, dan apabila individu dipikirkan, dirasakan, dan dilakukannya. Selain
tersebut merasa dirinya tidak berhasil, itu, wawancara juga bersifat eksploratif
sebenarnya ia telah menyiapkan dirinya untuk sehingga dapat menjelaskan lebih terperinci
gagal. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa dan mendalam. Wawancara pada partisipan di-
self-esteem merupakan bagian diri yang lakukan untuk mendapatkan data pre dan post-
memengaruhi setiap aspek pengalaman baik itu test dengan menggunakan The Rosenberg
pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu. Self-Esteem Scale (RSES; Rosenberg, 1965),
yaitu dengan menggali pikiran, perasaan, dan
Kesalahan dalam memandang dan menilai perilaku partisipan sebelum dan sesudah
diri sendiri adalah merupakan kekeliruan dalam intervensi. Peneliti juga melakukan wawancara
pola berpikir sehingga dapat menyebabkan kepada ibu partisipan untuk melengkapi dan
penilaian yang salah pula terhadap diri sendiri. mengonfirmasi data yang diberikan oleh
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk partisipan. Observasi yang dilakukan pada
mengubah kekeliruan dalam pola berpikir penelitian ini dilakukan untuk memperoleh hal-
adalah dengan intervensi cognitive behavior hal yang tidak dapat terungkap dalam
therapy (CBT). CBT adalah sebuah istilah untuk wawancara dan dapat menjadi data
menjelaskan intervensi psikoterapi yang pendukung, misalnya penampilan, sikap,
tujuannya adalah untuk mengurangi kesulitan ekspresi verbal dan nonverbal, dan kejadian-
psikologis dan perilaku maladaptif dengan kejadian penting yang partisipan tampilkan
mengubah cara berpikir (Kaplan, diacu dalam selama proses penelitian.
Stallard, 2005). CBT didasarkan kepada
pemahaman bahwa perilaku yang tampak Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
adalah hasil dari cara berpikir. Dengan ini adalah The Rosenberg Self-Esteem Scale
intervensi kognitif, maka akan dapat mengubah (RSES; Rosenberg, 1965, diacu dalam Sinclair
cara berpikir, merasa, dan berperilaku et al., 2010). Alat ukur ini disusun oleh Morris
(Kendall,1994). Rosenberg pada tahun 1960. Pada awal
penggunaan RSES ini, Rosenberg meng-
Oleh karenanya, dalam kajian ini peneliti ujikannya kepada 5.024 partisipan dari 10
memilih untuk menggunakan intervensi sekolah di New York, Amerika Serikat. Hasil
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk me- pengujian menunjukkan reliabilitas yang tinggi,
ningkatkan self-esteem pada anak usia sekolah dengan menggunakan teknik test-retest, di-
yang berinisial F seperti diilustrasikan dapatkan hasil korelasi yang berkisar antara
sebelumnya. Berdasarkan pemaparan di atas, 0,82 sampai dengan 0,88. Pengujian validitas
maka rumusan permasalahan yang harus pun menunjukkan hasil yang baik yaitu berkisar
dijawab dalam penelitian ini adalah: “Apakah antara 0,77 sampai dengan 0,88. Oleh karena
intervensi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) RSES memiliki reliabilitas dan validitas yang
efektif untuk meningkatkan self-esteem pada tinggi, hingga saat ini, RSES masih menjadi
anak usia sekolah yaitu pada kasus F?”. alat ukur yang paling banyak digunakan
(Schmitt & Allik, 2006).
METODE
The Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES)
Desain penelitian ini adalah single-subject terdiri atas 10 pernyataan yang mengukur
research design yaitu penelitian eksperimen penghargaan dan penerimaan diri yang
dengan menggunakan satu orang partisipan. dimanifestasikan sebagai perasaan suka
Desain ini biasanya digunakan untuk (pernyataan positif: 1, 2, 4, 6, 7); atau tidak
mendapatkan hubungan sebab-akibat pada suka terhadap diri sendiri (pernyataan negatif:
situasi yang telah dirancang sebelumnya, 3, 5, 8, 9, 10). Pengukuran dilakukan dengan
misalnya seorang peneliti ingin melihat menggunakan skala Likert menggunakan
efektivitas sebuah perlakuan (treatment) ter- rentang skor 1-4. Partisipan diminta untuk
hadap perilaku partisipan. Desain ini dipilih memberikan penilaian pada pernyataan
146 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
7. Strategi Mengubah Pada sesi ini F diajak untuk mengubah perilaku Ceramah
Perilaku negatifnya dengan mengganti perilaku tersebut Diskusi
dengan yang lebih positif. F juga diajak untuk menata Latihan
ulang aktivitas-aktivitas hariannya agar lebih
menyenangkan.
8. Strategi Sesi memberikan gambaran tentang kesalahan- Ceramah
Pemecahan kesalahan yang biasa dilakukan oleh orang-orang Diskusi
Masalah dalam mengatasi permasalahan. F diajarkan untuk Bercerita
mengembangkan teknik pemecahan masalah yang
efektif Latihan
Pemberian pekerjaan rumah
9. Mengembangkan Sesi ini adalah latihan penggabungan 3 sesi Review sekilas 3 materi
kemampuan sebelumnya yaitu dengan review, latihan dan role sebelumnya
mengontrol play Bercerita
pikiran, perasaaan Latihan
dan perilaku
10. Evaluasi dan Sesi ini merupakan rangkuman dan refleksi dari Refleksi
Penutup pelatihan. Selain itu, F juga diberikan penguatan Bercerita
dengan memberikan penghargaan karena ia berhasil Latihan dan evaluasi
merubah pola berpikir, merasa dan berperilaku. Sesi
ini juga memberikan pembekalan agar tidak terjadi Pemberian penghargaan
relaps
148 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
- F merasa kesal dengan teman-teman - F dapat menerima bahwa sikap buruk orang-orang
dan gurunya di sekolah karena sering di sekelilingnya adalah karena perilaku negatif yang
dituduh dan dicurigai F lakukan
- F merasa marah dan dendam kepada - F merasa bersyukur karena memiliki kelebihan lain
adik dan keluarga ibu yang sering di bandingkan dengan adik
mengejeknya
- F merasa rendah diri karena tidak - F merasa lebih percaya diri
memiliki kelebihan apapun yang bisa ia - F merasa bangga karena ia memiliki kelebihan di
banggakan bidang olahraga catur dan lari
Aspek Perilaku
- F menghindar dan membatasi diri untuk - F Lebih sering “curhat” kepada ibu mengenai
berinteraksi dengan keluarga ibu. F lebih harapan dan keinginannya
senang bermain sendirian di kamar, di
warnet, dan dipelabuhan
- F sering malas bicara dan menghindar - Ada inisiasi dari F untuk membangun hubungan
dari teman-teman dan guru. Di sekolah F dengan beberapa teman di sekolah
sering menyendiri di kelas. - F mulai mau ikut bermain sepak bola dengan anak-
anak di lingkungan rumah
- F sering berkelahi dengan adik - F sudah jarang berkelahi dengan adik
- F lebih memperhatikan penampilan, misalnya
memotong rambut agar terlihat rapi dan disukai oleh
orang lain
- F menampilkan perilaku acting out, - Ibu mengatakan F tidak lagi pernah mencuri di
seperti berbohong dan mencuri agar sekolah maupun di rumah
dirinya terlihat lebih baik di hadapan
orang lain.
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 149
kemudian mendorongnya merubah pola pikir esteem pada anak-anak, yaitu: Self-Perception
yang salah. Sebagai co-therapist, orang tua Profile for Children (SPPC: Harter, 1985), Self-
berperan lebih besar karena orang tua dilibatkan Esteem Inventory (SEI: Coopersmith, 1981), dan
dalam sesi terapi. Orang tua juga didorong Tennessee Self-Concept Scale (TSCS: Roid &
untuk mengawasi, memberikan prompt, dan Fitts, 1988).
memperkuat hal-hal yang telah dipelajari oleh
anak, di luar situasi intervensi. Pada dua peran Faktor penghambat ketiga adalah setting
yang telah disebutkan, orang tua dapat pelaksanaan intervensi. Tempat yang di-
membantu anak untuk mencapai tujuan dari gunakan selama pelaksanaan intervensi adalah
intervensi yang sudah ditetapkan. Alternatif di rumah partisipan yaitu sebanyak tujuh kali
lainnya adalah orang tua dan anak bersama- pertemuan, sedangkan tiga pertemuan
sama mengikuti sesi intervensi sebagai subjek, dilakukan di ruang pemeriksaan Fakultas
misalnya mengikuti parallel child-focused CBT Psikologi Universitas Indonesia. Alasan
untuk mempelajari cara berpikir yang positif dan pemilihan tempat ini karena partisipan memiliki
mencari pemecahan masalah. Graham (2005) aktivitas yang padat. Ia pulang sekolah pada
mengemukakan dengan metode tersebut, anak pukul 12.00 WIB dan pada pukul 16.00 WIB
dan orang tua diberdayakan agar membentuk mengaji di mushola. Pelaksanaan intervensi
sebuah tim yang solid dalam menyelesaikan dilakukan di sela-sela waktu tersebut, yaitu pada
permasalahan. Hal itu juga berguna untuk pukul 13.00-15.00 WIB. Lokasi rumah partisipan
mengurangi tingkat kecemasan yang dialami yang berada di Ancol, Jakarta Utara berjauhan
oleh orang tua. dari ruang pemeriksaan di Depok sehingga tidak
memungkinkan keseluruhan sesi dilaksanakan
Faktor penghambat kedua dan ketiga di tempat yang sudah dirancang sebelumnya,
berasal dari peneliti. Faktor kedua adalah dalam yaitu di ruang pemeriksaan Fakultas Psikologi
melakukan pre dan post-test, peneliti pada Universitas Indonesia. Hasil kajian menunjukkan
penelitian ini menggunakan alat ukur Rosenberg bahwa terdapat perbedaan ketika intervensi
Self-Esteem Scale (RSES, 1965). Peneliti tidak dilakukan di rumah partisipan dengan di ruang
dapat menemukan literatur yang menyatakan pemeriksaan. Jika intervensi di lakukan di
bahwa alat ukur ini pernah diadaptasi pada rumah, terdapat beberapa kendala, yaitu
anak-anak di Indonesia, sehingga validitas, suasana kurang nyaman, sirkulasi udara kurang
reliabilitas, dan norma tidak dapat dikatakan baik, dan kurang kondusif karena adik partisipan
baku dan akurat. Selain itu, penggunaan alat terlihat mondar-mandir membuat partisipan
ukur RSES (1965) ini adalah pengukuran sering teralih perhatiannya. Pada sebagian
unidimensional (global self-esteem) yang dapat besar anak-anak tempat dan atmosfir ketika
mengungkap perasaan positif atau negatif menjalani intervensi adalah merupakan hal yang
mengenai kemampuan dan keberhargaan penting, misalnya furnitur yang nyaman dan
seorang individu. Pengukuran multidimensional warna dinding yang menyejukkan. Ruang
(selective self-esteem) dirasa lebih tepat untuk tertutup juga lebih baik digunakan dalam sesi
melihat self-esteem pada anak-anak. Selain terapi karena dapat benar-benar menjamin
mudah dipahami oleh anak-anak, pengukuran privasi dan kerahasiaan dari topik pembicaraan
multidimensional juga dapat memperkaya sehingga dapat membuat anak bebas
informasi mengenai penilaian terhadap aspek- mengutarakan dan mengekspresikan pikiran
aspek pada diri mereka. Hal ini sesuai dengan serta perasaan mereka. Dengan ruang tertutup,
yang diutarakan oleh Harter (1999) bahwa mereka juga lebih dapat mempertahankan
ketika orang dewasa diminta untuk memikirkan perhatian dan konsentrasinya.
self-esteem yang terdapat dalam diri mereka,
maka yang akan muncul dalam pikiran mereka Selain faktor pendukung dan penghambat
adalah global appraisal yang didapat dari terdapat pula ancaman dalam intervensi ini.
kesadaran akan kekuatan dan kelemahan dalam Pada kasus ini, keluarga dan lingkungan di
berbagai aspek kehidupan mereka. Sedangkan sekitarnya memiliki peran yang besar dalam
pada anak-anak, self-esteem didapat pembentukan self-esteem partisipan sebelum
berdasarkan penilaian mereka dalam berbagai intervensi. Partisipan pernah tidak diakui,
aspek kehidupan mereka, yaitu academic com- diacuhkan, tidak diperdulikan oleh ayah dan
petence, social competence, physical/athletic keluarga ibunya. Pola pengasuhan pun
competence, dan physical appearance. menerapkan hukuman secara verbal dan fisik.
Penilaian anak-anak terhadap aspek-aspek di Keluarga ibu sering mengejek partisipan karena
atas akan mengindikasikan pandangan ia berbeda dengan adiknya. Partisipan juga
menyeluruh mengenai overall self-worth. diberikan label sebagai anak “bandel”. Peneliti
Guindon (2010) menyebutkan beberapa alat melihat hal ini merupakan sebuah ancaman
ukur yang cocok untuk melihat selective self- yang dapat menyebabkan partisipan kembali
Vol. 8, 2015 CBT UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM ANAK USIA SEKOLAH 151
relaps. Hal ini sesuai dengan penelitian Pawlak interpersonal success, happiness, or
et al. (1997); Variamparampil & Srivastava healthier lifestyles?. Psychological Science
(2014) yang mengatakan bahwa jika anak in the Public Interest, 4(1).
mengalami masalah dalam pengasuhan,
Donnellan, M. B., Trzesniewski, K. H, Robins, R.
merasa tidak dipedulikan, diabaikan, dan sering
W, Mofitt T. E., & Caspi, A. (2005). Low
menerima kritikan akan memiliki kecenderungan
Self-Esteem is Related to Aggression,
untuk memiliki self-esteem yang rendah.
Antisocial Behavior, and Delinquency.
Psychological Science Journal, 16, 328-
SIMPULAN DAN SARAN
335.
Intervensi Cognitive Behavior Therapy Graham, P. (2005). Cognitive behaviour therapy
(CBT) yang dilakukan pada penelitian ini terbukti for children and families 2nded. London:
efektif untuk meningkatkan self-esteem pada Cambridge University Press.
partisipan F. Adapun saran yang dapat
Guindon, M. H. (2010). Self esteem across the
direkomendasikan adalah yang pertama, yaitu
life span: issues and intervention. New
sebaiknya dilakukan follow up setidaknya 3
York: Taylor & Francis Group LLC.
bulan setelah intervensi. Aktivitas yang akan
dilakukan pada follow up ini bergantung pada Harter, S. (1999). The construction of the self: A
kondisi partisipan setelah 3 bulan menjalani developmental perspective. New York: The
intervensi tersebut, namun paling tidak berisi Guilford Press.
penguatan terhadap keterampilan yang sudah ia
Kendall, P. C. (1994). Treating anxiety disorders
dapatkan dalam mengatasi permasalahan
in children: results of a randomized clinical
sehari-hari, evaluasi terhadap pikiran, perasaan
trial. Journal of Consulting and Clinical
dan perilaku partisipan selama fase follow up
Psychology, 62, 100-110.
serta pemberian tugas yang dapat membuat
partisipan merasa dirinya semakin berharga. McGregor, I., Nash, K. A., & Inzlict, M. (2009).
Threat, high self-esteem and reactive
Saran selanjutnya adalah terkait partisipasi approach-motivation: Electrooencephalo
ibu. Berdasarkan hasil berinteraksi dengan graphic evidence. Journal of Experimental
partisipan dan keluarganya, terlihat bahwa ibu Social Psychology, 45, 1003-1007.
dapat menjadi faktor pendukung bagi me-
Rapee, R. M. (1997). The potential role of
netapnya pikiran dan perilaku partisipan. Oleh
childrearing practices in the development of
karena itu, sebaiknya ibu diberikan psiko-
anxiety and depression. Clinical Psychology
edukasi mengenai faktor penyebab partisipan
Review, 17, 47-67.
berpandangan buruk mengenai dirinya sehingga
ibu bisa mendukungnya dalam memberikan Papalia, Olds, & Feldman. (2009). Human
input positif. Development. USA: Mc Graw Hill.
Pawlak, Julie, L., Helen., Altman, Klein. (1997).
Saran ketiga yaitu terkait metode intervensi,
Parental conflict and self-esteem: The rest
ada baiknya untuk permasalahan self-esteem
of the story. The Journal of Genetic
pada anak yang memiliki masalah dengan orang
Psychology, 158(3), 303.
tua dan significant othersnya, dilakukan parallel
child-focused CBT, yaitu intervensi yang Schmitt, D. P., & Allik, J. (2006). Simultaneous
melibatkan anak dan orang tua secara ber- administration of the Rosenberg self-
samaan. Saran keempat yaitu perlunya esteem scale in 53 nations: exploring the
pemilihan alat ukur yang sesuai untuk melihat universal and culture-specific features of
self-esteem pada anak-anak. Selain itu, perlu global self-esteem. Journal of personality
juga dilakukan dilakukan uji validitas, reliabilitas, and social psychology, 89, 623 – 642.
dan normanya agar hasil pada alat ukur yang
digunakan agar hasil yang didapatkan benar- Sinclair, S. J., Blais, M. A., Gansler, D. A.,
benar menggambarkan self-esteem anak yang Sandberg, E., Bistis, K., & LoCicero, A.
(2010). Psychometric properties of the
sesungguhnya. Terakhir, perlunya pemilihan
setting intervensi yang dapat menjamin rosenberg self-esteem scale: Overall and
across demographic groups living within the
kenyamanan dan kerahasiaan klien.
United States. Evaluation & the Health
Professions Journal, 33(1), 56-80. USA:
DAFTAR PUSTAKA
SAGE Publications.
Baumeister, R. F., Campbell, J. D., Krueger, J. Stallard, P. (2005). A Clinician’s guide to think
I., & Vohs, K. E. (2003). Does high self- good-feel good: Using CBT with children
esteem cause better performance, and young people. West Sussex: John
152 ISLAMIAH, DAENGSARI, & HARTIANI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Wiley and Son’s Ltd. Richie, Caspi., Avshalom. (2006). Low Self-
esteem during adolescence predicts poor
Taylor, T. L., & Montgomery P. (2007). Can
health, criminal behavior, and limited
cognitive-behavioral therapy increase self
economic prospects during adulthood.
esteem among depressed adolescents?. A
Developmental Psychology Journal, 42,
systematic review. Children and Youth
381-390.
Services Reviewes, 29(7), 823-839.
Variamparampil, T., & Srivastava, N. (2014). A
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2002). Self-
study of parent-child relationship on
esteem and socioeconomic status:
adolescents self-esteem. Indian Journal of
Ametaanalytic review. Personality and
Health and Wellbeing, 5(12), 1520 – 1522.
Social Psychology Review, 6, 59–71.
Wanders, F., Serra, M., & Jongh, A. (2008).
Twenge, J. M., & Crocker, J. (2002). Race and
EMDR versus CBT for children with self-
self-esteem: Meta-analyses comparing
esteem and behavioral problems: A
White, Blacks, Latinos, Asians, and
randomized control trial. Journal of EMDR
American Indians, and comment on gray-
Practice and Research,180-189.
littleand Hafdahl. Psychological Bulletin,
128, 371-408. Zimmerman, M. A., Copeland, L. A., Shope, J.
T., & Dielman, T. E. (1997). A longitudinal
Tracy, J. L., & Robins, R. W. (2003). ‘‘Death of a
studyof self-esteem: Implications for
(narcissistic) salesman’’: An integrative
adolescent development. Journal of Youth
model of fragile self-esteem. Psychological
and Adolescence, 26(5), 117-141.
Inquiry, 14, 57–62.
Trzesniewski, K. H., Donnellan, M., Brent, M.,
Terrie, E., Robbins., Richard, W., Poulton.,