Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PSIKOPATOLOGI

GANGGUAN NEUROLOGIS & CBS

Oleh :
Nathanaela Candice 111911133134
Angelina Amanda 111911133136
Bitya Alvyna 111911133138
Adelia Hani 111911133163
Gabriella Emeralda 111911133164

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021
BAB I
KERANGKA TEORI

1.1. DEFINISI SINDROM

1.1.1 DEFINISI GANGGUAN NEUROLOGIS

Gangguan Neurologis merupakan gangguan yang terjadi pada sistem saraf. Pembahasan kali
ini akan membahas lebih lanjut mengenai sindrom delirium dan dementia yang merupakan
bagian dari gangguan neurologis.

1. Delirium
Delirium merupakan keadaan mental yang tidak normal dimana terjadi penurunan
kesadaran dan proses berpikir yang bersifat naik turun dan gawat (PPDGJ, 2015).

2. Dementia
Dementia merupakan gejala yang tidak normal disebabkan oleh kerusakan atau sakit
pada otak dan berkembang secara perlahan serta terjadi dalam jangka panjang. Tidak
jarang dementia juga mengganggu fungsi psikologis dan perilaku seseorang (PPDGJ,
2015).

1.1.2 DEFINISI CULTURE BOUND SYNDROME

Culture Bound Syndrome (CBS) merupakan gejala klinis yang terjadi secara abnormal atau
gangguan yang terjadi dengan gejala-gejala tertentu menurut konteks budaya atau etnis
tertentu yang bersifat berulang, berpola, dan mengganggu. Seringkali CBS dianggap oleh
masyarakat lokal sebagai penyakit atau penderitaan yang dinamakan sesuai kepercayaan lokal
(Henderson, ... Fricchione,2010).
1.2 GEJALA

1.2.1 GEJALA GANGGUAN NEUROLOGIS

1. Delirium
Gejala yang muncul yaitu, berkurangnya atensi (kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian), defisit memori, disorientasi, dan gangguan
berbahasa, agitasi (perasaan gelisah, jengkel, marah) psikomotor, gangguan persepsi,
gangguan emosi, kekacauan arus dan isi pikir, gangguan siklus tidur-bangun. Gejala ini
terjadi dalam periode waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari (PPDGJ,
2015).

2. Dementia

Gejala yang muncul yaitu, penderita kesulitan untuk mempelajari informasi baru dan
mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami serta gangguan fungsi kognitif kompleks
disertai gangguan perilaku seperti, disorientasi waktu dan tempat; kesulitan melakukan
pekerjaan sehari hari; tidak mampu membuat keputusan; kesulitan berbahasa; kehilangan
motivasi dan inisiatif; gangguan pengendalian emosi; nilai sosial terganggu; dan berbagai
perubahan perilaku dan psikologis lainnya (agresif impulsif, halusinasi, waham) (PPDGJ III,
2015).

1.2.2 GEJALA GANGGUAN CULTURE BOUND SYNDROME (CBS)

1. Ataque de nervious
Pada sindrom ini, gejala yang muncul berupa gangguan emosi yang intens termasuk,
kecemasan, kemarahan, dan kesedihan akut. Selain itu, penderita juga mengalami panas di
dada yang naik ke kepala, berteriak tak terkendali, menangis, gemetar, serta melakukan agresi
secara verbal dan fisik (DSM V, 2013).

2. Dhat

Gejala spesifik yang muncul pada sindrom dhat yaitu penderita mengalami kehilangan
air mani dan disfungsi seksual seperti impotensi. Sedangkan untuk gejala umum penderita
mengalami kecemasan ekstrim terkait rasa lemah, kelelahan, penurunan berat badan, depresi,
dan keluhan somatik ganda lainnya (DSM V, 2013).

3. Khyal Cap

Khyal attacks atau serangan angin yang ditemukan pada orang Kamboja di Amerika
Serikat menimbulkan beberapa gejala pada penderitanya yaitu, serangan panik seperti pusing,
jantung berdebar, sesak nafas, ekstremitas dingin, kecemasan, dan gairah otonom lainnya
(misalnya nyeri leher) (DSM V, 2013).

4. Kufungisisa

Kufungisisa atau terlalu banyak berpikir merupakan ungkapan distress yang terjadi di
Shona, Zimbabwe. Kufungisisa melibatkan perenungan terhadap peristiwa yang
menjengkelkan yang kemudian menimbulkan beberapa gejala seperti, kekhawatiran
berlebihan, depresi, gangguan somatik, kecemasan, serangan panik, mudah tersinggung, dan
perasaan panas atau sensasi merangkak di kepala (DSM V, 2013).

5. Maladi moun
Maladi moun atau secara harfiah disebut sebagai penyakit yang disebabkan oleh
manusia atau penyakit yang dikirim adalah sindrom yang terjadi di Haiti. Gejala yang
ditimbulkan penderita antara lain, psikosis yaitu, sulit membedakan antara kenyataan dengan
imajinasi, mengalami depresi, ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, dan kegagalan sosial atau akademis (DSM V, 2013).

6. Shenjing Shuairuo
Sindrom budaya Tiongkok terkait kelemahan sistem saraf. Sindrom ini didefinisikan
sebagai sindrom yang terdiri dari tiga dari lima kelompok gejala nonhierarkis yaitu,
kelemahan (kelelahan mental), tidur (misalnya, insomnia), emosi (misalnya, merasa kesal),
kegembiraan (misalnya, ingatan meningkat), dan nyeri saraf (misalnya, sakit kepala) (DSM
V, 2013).

7.Susto
Susto atau ketakutan lazim terjadi pada orang Mexico, Amerika Tengah, dan Amerika
Selatan. Gejala yang muncul pada sindrom ini antara lain, gangguan nafsu makan, kurang
tidur atau tidur berlebihan, susah tidur atau mimpi, perasaan sedih, rendah diri atau merasa
kotor, kepekaan interpersonal, kurangnya motivasi untuk melakukan sesuatu, dan gejala
somatik seperti, nyeri otot, pucat, sakit kepala, sakit perut, diare (DSM V, 2013).

8. Taijin Kyofusho
Gangguan ketakutan interpersonal dalam budaya Jepang. Gejala yang timbul berupa,
kecemasan, penghindaran situasi interpersonal karena adanya pemikiran, perasaan, atau
keyakinan bahwa penampilan dan tindakan seseorang dalam interaksi sosial tidak memadai
atau menyinggung orang lain. Sindrom ini mencakup dua bentuk yang berhubungan yaitu,
tipe sensitif yang mana penderita memiliki kepekaan sosial yang ekstrim dan merasa cemas
tentang interaksi antar pribadi dan tipe ofensif yang mana mayor perhatiannya menyinggung
orang lain (DSM V, 2013).

1.3 ETIOLOGI

1.3.1 ETIOLOGI GANGGUAN NEUROLOGIS

1. DELIRIUM
Disebabkan oleh kondisi medis umum diantaranya kerusakan sistem saraf pusat
seperti trauma di kepala; Penyakit sistemik seperti stroke akibat panas; Penyakit
jantung; Gangguan metabolik seperti diabetes; Penyakit paru seperti hipoksia;
obat-obatan semisal steroid; Endokrin contohnya pada abnormalitas tiroid;
Hematologi semisal anemia; Renal semisal gagal ginjal; Hepar semisal hipotitis.
Selain kondisi medis umum dapat disebabkan juga oleh intoksikasi zat serta putus zat
(PPDGJ, 2015).

2. DEMENTIA
Dementia disebabkan oleh sel-sel otak yang mati karena terjadinya plak yang
merupakan kumpulan dari beta amiloid serta serat yang kusut dimana tersusun dari
protein tau. Selain karena faktor di atas dementia juga bisa terjadi karena pembuluh
darah pada otak tersumbat sehingga menghalangi peredaran darah menuju otak dan
kekurangan vitamin B12 (PPDGJ, 2015).

1.3.2 ETIOLOGI CULTURE BOUND SYNDROME

Dalam konteks budaya, culture bound syndrome dipercaya terjadi karena adanya sihir,
mantra yang jahat, ataupun karena nenek moyang yang sedang marah. Dalam penelitian, CBS
disebabkan oleh adanya common ego defense mechanism dimana seseorang mengalami
perasaan bersalah atau rasa malu. Biasanya saat individu tidak melakukan upacara adat dalam
budayanya maka akan timbul perasaan bersalah, malu, ataupun rasa ingin menghukum orang
lain sehingga menimbulkan penyakit atau gangguan (Henderson, ... Fricchione,2010).
Di bawah ini merupakan beberapa etiologi culture bound syndrome yang dapat diidentifikasi
1. Ataque de Nervious (Attack of Nervous)
→ Sindrom yang terjadi pada keturunan latin
- Peristiwa stress yang berkaitan dengan keluarga seperti berita kematian
kerabat dekat, konflik dengan pasangan atau anak, atau menyaksikan
kecelakaan yang melibatkan anggota keluarga.
- Akumulasi pengalaman penderitaan
2. Dhat
→ Penderitaan fisik dan psikologi yang terjadi di india
- Tidak diketahui pasti penyebab fisiknya
- Adanya kepercayaan yang salah dan kesalahpahaman tentang norma fungsi
seksual
3. Khyal Cap
→ sindrom yang terjadi pada masyarakat kamboja yang berarti serangan angin
- Kekhawatiran khyal (zat seperti angin) akan masuk ke dalam tubuh bersama
dengan darah dan akan menyebabkan efek misterius.
- Adanya pemicu pikiran kecemasan yang berasal dari bau tertentu yang
dianggap negatif atau perilaku agorafobia (ketakutan pergi ke tempat ramai)
4. Kufungisisa
→ Penyakit mental yang berawal dari daerah zimbabwe
- Pemikiran yang berlebihan mengenai permasalahan hidup yang baru terjadi,
pengalaman menyedihkan di masa lampau
- Akumulasi pengalaman penderitaan
5. Maladi Moun
→Konsep yang berasal dari haiti yang berarti “penyakit yang disebabkan oleh
manusia”
- Dicurigai akibat niat buruk orang lain yang mengirimkan penyakit
- Secara ilmiah dijelaskan bahwa rasa iri dan kedengkian menyebabkan
kerugian dalam bentuk depresi
6. Shenjing Shuairuo
→ Neurasthenia (Kondisi penurunan saraf) yang terjadi di china
- Penurunan energi vital (qi) pada fungsi 5 sistem organ dalam tubuh yang
menyebabkan penurunan kekebalan tubuh
7. Susto
→ Syndrome yang terjadi di Amerika latin
- Penderitaan Somatik kronis yang berasal dari trauma emosional
- Dapat juga terjadi akibat melihat pengalaman traumatis orang lain
8. Taijin Kyofusho
→ berarti “interpersonal fear disorder” yang terjadi pada masyarakat
- Adanya perilaku body dysmorphia
- Kekhawatiran terhadap tindakan atau perilaku diri sendiri yang dapat
menyinggung atau tidak dapat ditoleransi orang lain

1.4 PENGUKURAN DAN DIAGNOSIS

1.4.1 PENGUKURAN DAN DIAGNOSIS NEUROLOGIS

Pengukuran Delirium

Alat ukur Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit (CAM-ICU)


merupakan ukuran yang valid dan dapat diandalkan dalam menentukan skala
keparahan delirium pada pasien yang berada di ICU. CAM-ICU memiliki skala 7
poin. Skor CAM-ICU selanjutnya dikategorikan sebagai 0-2: tidak ada delirium, 3-5:
delirium ringan sampai sedang, dan 6-7: delirium berat. Terdapat empat komponen
yang dinilai pada CAM-ICU yaitu, kemunculan delirium yang akut dan fluktuatif,
adanya gangguan perhatian, disertai dengan alur pemikiran yang tidak terorganisir,
dan penurunan tingkat kesadaran (Khan, 2018).

Diagnosis Delirium

Gangguan kesadaran yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan


memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian, adanya perubahan dalam
kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa), gangguan Psikomotor
berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas, gangguan siklus tidur berupa insomnia atau
siklus tidur terbalik. Gejala memburuk pada malam hari dan mimpi yang mengganggu
atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur,
Gangguan emosional berupa depresi, kecemasan, takut, lekas marah, euforia, apatis
dan rasa kehilangan akal (PPDGJ III, 2015).
Pengukuran Demensia

Salah satu alat ukur untuk mengukur demensia adalah Mini Mental State
Examination (MMSE). Alat ukur ini digunakan sebagai pemeriksaan kognitif terkait
daya ingat dan penurunan fungsi kognitif. MMSE yang dilakukan dengan wawancara
langsung pada pasien memiliki 11 item penilaian yang digunakan untuk menilai atensi
dan orientasi, memori, registrasi, recall, kalkulasi, kemampuan bahasa, dan
kemampuan untuk menggambar poligon kompleks. Rentang skor MMSE adalah 1-30.
Skor yang lebih rendah dari 24 dinyatakan memiliki gangguan kognitif (Creavin,
2016).

Diagnosis Demensia

Gangguan fungsi luhur, termasuk memori, orientasi, pemahaman, kalkulasi


dan kapasitas belajar, bahasa dan pertimbangan, kesadaran tidak berkabut, gangguan
fungsi kognitif biasanya disertai oleh deteriorasi kontrol emosi, perilaku sosial atau
motivasi. Gejala harus sudah nyata untuk setidak tidaknya 6 (enam) bulan bila ingin
membuat diagnosis klinis demensia yang mantap (PPDGJ III, 2015).

1.4.2 PENGUKURAN DAN DIAGNOSA CBS

1. Pengukuran Ataque de nervios

Explanatory Model Interview Catalogue (EMIC) diadaptasi oleh Guarnaccia


dan Lewis-Fernández berdasarkan format umum yang dikembangkan oleh Weiss et al.
(1992) yang digunakan dalam studi tentang berbagai sindrom dalam berbagai
pengaturan budaya. EMIC yang sudah diadaptasi berfungsi untuk menilai gagasan
umum peserta tentang berbagai bentuk nervios (saraf); deskripsi pengalaman spesifik
ataque de nervios, termasuk dukungan sistematis dari daftar periksa gejala; membantu
mencari ataque; evaluasi tingkat keparahan ataque; dan penyebab yang dirasakan dari
pengalaman ini. Selain itu, wawancara juga memasukkan 28 item daftar gejala yang
mungkin dialami peserta selama episode ataque de nervious yang ditanggapi dengan
(ya) atau (tidak).

Setelah EMIC, dilakukan Composite International Diagnostic Interview


(CIDI) untuk menilai diagnosis yang terkait dengan gejala ataque de nervios seperti,
gangguan panik, depresi berat, distimia, agorafobia, gangguan kecemasan umum,
gejala somatik dan disosiatif. Tanggapan atas pertanyaan CIDI kemudian dianalisis
menggunakan algoritma komputer (Febo San Miguel, V. E. dkk., 2006).

Diagnosis Ataque de nervios

Gangguan panik sebagai respon kecemasan akan perpisahan, gangguan


disosiatif, gangguan konversi (gejala neurologis fungsional), gangguan ledakan
intermiten, gangguan kecemasan spesifik dan tidak spesifik, trauma spesifik atau tidak
spesifik, dan gangguan terkait stressor (DSM V, 2013).

2. Pengukuran Dhat

Development of the preliminary Dhat disorder severity scale dimulai dengan


deskripsi keyakinan dan penyebabnya selama seminggu terakhir, diikuti dengan
pertanyaan untuk mengesampingkan penyebab alternatif pelepasan dan cara
perjalanan Dhat. Bagian berikutnya yaitu keyakinan kesehatan terdiri dari daftar 25
dimensi yang dinilai dari nol hingga tiga. Dimensi tersebut antara lain, persepsi
pandangan orang lain, organisasi logis atau kewajaran, fluktuasi dalam keyakinan atau
kurangnya stabilitas atau perubahan kekuatan, akurasi keyakinan, tingkat penerimaan
oleh orang lain atau keanehan, tingkat penerimaan oleh para ahli dalam sistem
pengobatan tradisional, wawasan tentang patologi keyakinan, wawasan keakuratan
keyakinan, kekuatan perlawanan, kecepatan pembentukan keyakinan, egosyntonic,
extension, salience atau kepentingan, pengaruh pengalaman, pengaruh pada kognisi,
pengaruh pada perilaku, pengaruh pada dampak, waktu yang dihabiskan, intensitas
keasikan, dan tekanan diri. Melalui keyakinan kesehatan tersebut, dapat diukur tingkat
keparahan depresi, kecemasan, dan neurotisme (Prakash, 2016).

Diagnosis Dhat

Gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten, gangguan kecemasan


umum, gangguan gejala somatik, gangguan kecemasan penyakit, gangguan ereksi,
ejakulasi dini (premature), disfungsi seksual spesifik atau tidak spesifik, dan masalah
akademis (DSM V, 2013).

3. Pengukuran Khyal Cap


Hopkin Symptom Checklist 25 (HSCL-25) adalah ukuran yang banyak
digunakan yang telah diterjemahkan dan divalidasi untuk populasi Laos, Kamboja,
dan Vietnam. Alat ukur ini berisi skala kecemasan (10 item) dan skala depresi (15
item), dengan setiap item dinilai pada skala tipe Likert 1-4. Selain itu, ditambahkan
item untuk menilai gejala somatik yang spesifik secara budaya seperti, tinnitus,
penglihatan kabur, nyeri leher, dan ekstremitas dingin dan sakit. Gejala pusing dan
pingsan juga harus ditambahkan yang nantinya dijadikan dalam satu pertanyaan
HSCL-25 bersama dengan "kelemahan" ("pingsan, pusing, atau lemah ”). Dalam
tambahan somatik, item terpisah harus menilai pusing, pingsan, kelemahan, dan
pusing saat berdiri (Hinton, 2006).

Diagnosis Khyal Cap

Serangan panik yang dapat membentuk pengalaman kecemasan dan trauma


lainnya, gangguan kecemasan umum, agoraphobia, gangguan stress pasca trauma, dan
gangguan kecemasan penyakit (DSM V, 2013).

4. Pengukuran Kufungisisa

Brain Fag Syndrome Scale (BFSS) adalah skala penyaringan yang


dikembangkan oleh Prince dan disempurnakan oleh Morakinyo. Terdapat tujuh aitem
dalam BFFS yaitu, i suffer unpleasant sensations in my body related to study, i am
satisfied with my general efficiency in studying and with retention (assimilation) of
what I study, these unpleasant sensations (burning, crawling, heat, cold) make it
difficult for me to study or assimilate what I read, i experience brain burning,
crawling heat or cold or other unpleasant sensations in my head, while studying, I
find it difficult to concentrate when studying, when I read, I feel that the words don't
make sense, dan I get period of complete exhaustion and fatigue. Skala ini menyaring
dan mendiagnosis sindrom brain-fag menggunakan tiga opsi respons 0, 1, 2, sesuai
dengan tidak pernah, kadang-kadang dan sering. Skor berkisar antara 1 - 14 dan skor
yang lebih tinggi mewakili manifestasi dari sindrom tersebut. Jika responden
memiliki skor 6 ke atas, responden dianggap memanifestasikan brain-fag (Ola, 2011).

Diagnosis Kufungisisa
Gangguan depresi mayor akibat kekhawatiran berlebihan, gangguan depresi
persisten (dysthymia), gangguan kecemasan umum, gangguan stress pasca trauma,
gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan kehilangan kompleks persisten (DSM V,
2013).

5. Pengukuran maladi moun

Alat ukur Haitian Crole berfungsi untuk mengukur adanya ketidakseimbangan


depresi yang secara khusus terjadi pada orang Haiti. Haitin Crole memanfaatkan basis
penelitian depresi kesehatan mental Eropa dan Amerika Utara yang menghasilkan
Zanmi Lasante Depression Symptom Inventory (ZLDSI). Terdapat 13 item ukuran
skrining di Kreol Haiti untuk suasana hati yang tertekan dan gejala vegetatif. Item
tersebut adalah thinking to much, feeling down, discouraged or totally hopeless,
thoughts that you would be better off dead, or of hurting yourself in some way, feeling
you are a failure or feeling bad about yourself feeling you’ve lost the taste for doing
anything, Feeling you have a constricted heart, having no appetite, crying or feeling
like crying, feeling tired or having little energy, low energy, moving or speaking so
slowly that people have noticed, difficulty sleeping without waking early, dan
difficulty falling asleep. Item ini diberi skor pada empat poin yaitu skala 0–3 yang
dimaksudkan untuk mengukur frekuensi kesusahan (Rasmussen, 2015).

Diagnosis maladi moun

Gangguan delusi yang muncul ketika terdapat gejala baru yang berpengaruh
pada perubahan perilaku sehingga menimbulkan kecurigaan akan adanya serangan
spiritual, tipe penganiayaan, dan skizofrenia dengan fitur paranoid. (DSM V, 2013)

6. Pengukuran Shenjing shuairuo

Shenjing shuairuo diukur menggunakan gejala neurasthenia dari sistem


diagnostik ICD-10. Diagnosis shenjing shuairuo dibuat jika salah satu dari dua gejala
inti muncul: 1) Kelelahan yang meningkat terus-menerus setelah upaya mental atau 2)
Kelemahan dan kelelahan tubuh setelah sedikit usaha dan disertai dengan dua gejala
tambahan (misalnya, nyeri otot, mudah tersinggung). Setiap item dinilai sebagai ada
atau tidak ada (diberi kode sebagai 0 tidak ada dan 1 ada). Reliabilitas konsistensi
internal berdasarkan Kuder-Richardson Formula 20 adalah 0,72 (Hall, B. J., dkk,
2018).

Diagnosis Shenjing shuairuo

Gangguan depresi mayor akibat ketidakmampuan untuk mengubah situasi


serta pikiran-pikiran yang bertentangan dan keinginan yang tidak terpenuhi, gangguan
depresi persisten, gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan sosial, fobia
spesifik, dan gangguan stress pasca trauma (DSM V, 2013)

7. Pengukuran Susto

Susto Symptoms Scale terdiri dari variabel untuk setiap gejala yang akan
digunakan untuk mengukur kesejahteraan fisik antara peserta yang berkelanjutan dan
yang tidak. Terdapat 22 gejala yaitu, dried up, cure, spirit, nightmare, no sleep, cry,
jump, worry, earth, heat, desire, fright, no eat, depress, headache, heart, pain, sickly,
fever, vomit, fall, dan bored. Untuk mengukur kesehatan fisik, informan ditanya
apakah pernah mengalami gejala berikut ini di masa lalu lima tahun. Skala Gejala
Susto dirancang untuk mengukur tingkat kesejahteraan individu dengan menetapkan
nilai numerik ke pilihan jawaban dalam skala tersebut. Jawaban ya dan tidak
diberikan masing-masing 1 dan 0. Skor maksimum yang dapat diterima seseorang
adalah 22, yang berarti mereka telah mengalami semua 22 gejala yang menonjol
secara budaya yang terkait (Brooks, 2016).

Diagnosis Susto

Gangguan depresi mayor terkait kehilangan, ditinggalkan, kesedihan, citra diri


yang buruk, dan keinginan bunuh diri, gangguan stress pasca trauma, trauma spesifik/
tidak spesifik lainnya, gangguan terkait stressor, dan gangguan gejala somatic yang
mana ditandai dengan penderita mencari perawatan kesehatan (DSM V, 2013).

8. Pengukuran Taijin kyofusho

Liebowitz Social Anxiety Scale (LSAS) berfungsi untuk mengukur


takut/kecemasan dan perilaku menghindar (avoidance) terhadap 24 situasi
“performance” dan “social”. Terdapat 13 aitem terkait performance dan 11 aitem
terkait social yang dinilai berdasarkan 4 pembeda, 0=tidak/tidak pernah, 1= jarang, 2=
sering, dan 3=sangat/hampir selalu). Item tersebut yaitu, menggunakan telepon di
depan umum, berpartisipasi dalam kelompok kecil, makan di depan umum, minum
dengan orang lain di tempat umum, berbicara kepada orang berwenang, pergi ke
pesta, memanggil seseorang yang tidak dikenal, bertemu orang asing, buang air kecil
di toilet umum, menjadi pusat perhatian, mengerjakan tes, dan lainnya (Vriends,
2013).

Diagnosis Taijin kyofusho

Gangguan kecemasan sosial, gangguan dysmorphic tubuh, gangguan delusi


(kekhawatiran mungkin memiliki kualitas delusi), gangguan obsesif-kompulsif yang
sejenis dengan gangguan obsesif-kompulsif, sindrom referensi penciuman (DSM V,
2013)

BAB II
ANALISA KASUS

2.1 DESKRIPSI KASUS SECARA UMUM

A. Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap


partisipan “E” di Jawa Tengah)
Kesurupan adalah keadaan dimana seseorang diambil alih
kemampuannya oleh spirit, roh atma nya sendiri, atau oleh energi lain di luar
pemikirannya (Sri Diniari & Hanati, 2012). Dimana pada akhirnya, orang itu
menjadi lain dalam hal bicara, perilaku dan sifatnya. Perilaku orang tersebut
akan menjadi seperti kepribadian yang ”memasukinya”. Kesurupan
menyebabkan seseorang bebas mengungkapkan emosi secara terang-terangan,
seperti marah, iri hati, kekerasan fisik, tanpa mendapat sanksi dari masyarakat.
Orang yang kesurupan biasanya mempunyai kepribadian histrionik dengan
keyakinan dan kepercayaan yang kuat sebagaimana halnya keinginan untuk
mengalami kesurupan (Sri Diniari & Hanati, 2012).
Pada saat mengalami kesurupan, partisipan “E” bersikap agresif seperti
mengamuk, memukuli dan mengejar orang yang dianggap pernah
menyakitinya. Gejala kesurupan terbagi dalam tiga fase, yaitu gejala pra
kesurupan, saat kesurupan, dan gejala pasca kesurupan (Anjaryani &
Rahardanto, 2016). Dalam gejala pra kesurupan, partisipan “E” mengalami
beberapa gejala fisik, yaitu merasa pusing dan kepala terasa berat. Partisipan
juga mengaku sebelum mengalami kesurupan biasanya mengalami mimpi
buruk, yang menjadi stimulus yang semakin memfasilitasi munculnya
kesurupan (Anjaryani & Rahardanto, 2016). Dalam kasus kesurupan patologis
yang dialami oleh partisipan “E”, ia mengalami kesembuhan melalui seorang
paranormal yang mengobati dirinya. Sebelumnya partisipan telah berobat
dengan berbagai cara, yaitu dengan cara ruqyah, dukun, hingga didoakan oleh
pendeta, namun semuanya tidak dapat menyembuhkan partisipan (Anjaryani
& Rahardanto, 2016).

B. Gangguan Neurologis : Demensia & Delirium (Studi kasus terhadap


penderita demensia senilis & terhadap pasien geriatri di RS Cipto
Mangunkusumo)
Demensia merupakan sindrom yang umumnya bersifat kronis atau progresif,
dimana terdapat penurunan fungsi kognitif lebih dari yang mungkin diharapkan dari
penuaan normal. Faktor utama dari demensia ini adalah faktor usia. Demensia
mempengaruhi memori, orientasi, pemikiran, pemahaman perhitungan, bahasa dan
penilaian, kapasitas belajar, namun tidak mempengaruhi kesadaran. Gangguan fungsi
kognitif penderita demensia biasanya disertai oleh kemunduran dalam kontrol emosi,
perilaku sosial, dan motivasi. (WHO, 2019) Perjalanan penyakit demensia biasanya
dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan ini pada
mulanya tidak disadari. Terdapat tiga kategori utama penyakit demensia, yaitu
Demensia Alzheimer, Demensia Senilis, dan Demensia Frontotemporal. Dalam kasus
ini, pasien mengidap demensia senilis, yang

Sedangkan, delirium adalah kondisi penurunan kesadaran yang bersifat akut,


terjadi secara mendadak, dan fluktuatif. Pengidap mengalami kebingungan parah dan
kesadaran terhadap lingkungan sekitar berkurang. Seringkali, demensia dan delirium
dianggap sama karena gejalanya yang tampak tumpang tindih. Tetapi, kedua sindrom
ini jelas berbeda. Tidak selalu pengidap delirium adalah penderita demensia. Dalam
kasus ini, delirium diidap oleh pasien geriatri, yang merupakan pasien usia diatas 60
tahun yang mengalami setidaknya paling sedikit dua penyakit. Bisa jadi penyakit
tersebut merusak organ dan juga penyakit yang menyerang secara biopsikososial.
Gejala delirium ditandai dengan: kemampuan berpikir yang buruk seperti buruknya
daya ingat, terutama untuk jangka pendek, disorientasi, kesulitan berbicara atau
mengingat kata-kata, bicara bertele-tele, serta kesulitan dalam memahami
pembicaraan, membaca dan menulis; gangguan emosional seperti gelisah, takut atau
paranoid, depresi, mudah tersinggung, apatis, perubahan mood mendadak, dan
perubahan kepribadian; serta mengalami perubahan perilaku seperti halusinasi,
gelisah dan berperilaku agresif, mengeluarkan suara mengerang atau memanggil,
menjadi pendiam dan menutup diri, pergerakan melambat, serta terganggunya
kebiasaan tidur. Sedangkan, gejala penderita demensia yang tampak ialah: hilangnya
ingatan atau pelupa, seperti lupa meletakkan kunci atau dompet, yang dapat menjadi
semakin buruk seiring berjalannya waktu; kesulitan berkomunikasi dan mencari
kata-kata yang tepat untuk menyampaikan keinginannya yang jika memburuk dapat
membuat pasien menjadi mudah frustasi dan mudah marah; kesulitan dalam membuat
perencanaan dan mengatur suatu hal, yang dapat terlihat dari hal-hal yang sederhana
seperti mencuci baju atau menyiapkan makanan; disorientasi atau kebingungan; serta
perubahan psikis karena berkurangnya kemampuan otak untuk berpikir, beralasan,
dan mengingat secara jelas.
Penanganan yang diterima selama ini oleh pengidap demensia ialah metode
dan teknik perawatan psikososial yang dilakukan oleh para pekerja sosial. Dengan
memberikan nasehat dan pandangan berkenaan dengan cara merawat pasien demensia
di rumah. Cara “care giving” dari keluarga sangat penting untuk memastikan
kenyamanan hidup pasien demensia terpenuhi. Lalu, penanganan yang telah diterima
oleh pasien geriatri di rumah sakit ialah, pemberian obat Quetiapin yang adalah obat
antipsikotik baru yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam
pengobatan delirium agitasi.
2.2 ANALISA KASUS
A. Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap
partisipan “E” di Jawa Tengah)
Pada saat berada pada simtom prakesurupan, mimpi buruk yang kerap dialami oleh
Partisipan “E” sering dihubungkan dengan pengalaman traumatis dan umumnya lebih sering
terjadi ketika individu dalam kondisi stres. Pada saat kesurupan, Partisipan memiliki persepsi
bahwa dirinya dirasuki oleh siluman kera, jin yang melindungi dirinya, dan juga arwah gadis
yang telah meninggal. Perilaku partisipan ini menyerupai karakteristik pada gangguan
identitas disosiatif, yakni terdapat dua atau lebih kepribadian berbeda, seperti yang tercantum
dalam DSM-V. Disisi lain, partisipan mengakui bahwa dirinya dapat mengetahui apa yang
terjadi saat kesurupan, tetapi dirinya merasa dikendalikan oleh kekuatan atau kepribadian
yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi kognitif partisipan “E” masih berfungsi,
namun partisipan kehilangan kendali akan fungsi motoriknya. Perilaku partisipan ini
menyerupai gejala gangguan depersonalisasi atau derealisasi dimana Individu merasa
menjadi pengamat di luar tubuhnya dan mengalami perasaan ketidaknyataan atau terpisah
dari tubuhnya (Anjaryani & Rahardanto, 2016).

Kesurupan patologis disebabkan oleh beberapa faktor pendukung. Selain itu, terdapat
faktor protektif dan upaya preventif dalam mencegah terjadinya kesurupan patologis. Faktor
protektif tersebut adalah ego yang masih berfungsi dengan baik. Faktor-faktor yang menjadi
faktor pendukung terjadinya kesurupan antara lain adalah faktor predisposisi, faktor
prepetuasi, faktor presipitasi, dan faktor risiko. Konflik- konflik yang menjadi latar belakang
memainkan peranan partisipan dalam mengelola elemen-elemen kepribadiannya. Dalam
konteks ini, kesurupan patologis dapat terjadi ketika partisipan tidak mampu
menyeimbangkan tuntutan antara id, ego dan super ego (Anjaryani & Rahardanto, 2016).
Konflik - konflik yang terjadi menimbulkan stres dan kecemasan yang menumpuk sehingga
tertimbun di alam bawah sadar partisipan. Partisipan “E” mengalami permasalahan dan
konflik dengan orangtua dan keluarganya, serta pola asuh yang permisif dalam keluarga,
membuat partisipan kurang merasa memiliki peran di dalam keluarganya. Partisipan juga
memiliki kepribadian yang temperamental, sehingga mengarah ke perilaku yang impulsif.
Selain itu, pengaruh budaya dan kepercayaan juga berpengaruh dalam hal ini (Anjaryani &
Rahardanto, 2016).

Rancangan Intervensi yang dapat dilakukan, sebagai berikut


1. Subjek yang memerlukan intervensi
● Partisipan “E”, Orang tua khususnya ibu, dan orang sekitar (rekan - rekan
kerja) “E”.
2. Intervention Objectives
● Partisipan “E” : partisipan “E” dapat mengelola stres dan kecemasan yang
timbul akibat keadaan lingkungan sekitar terutama lingkungan kerja dan
keadaan keluarga yang memiliki hubungan kurang baik terutama dengan ibu
partisipan. Partisipan dapat mengendalikan temperamen.
● Orang tua (ibu partisipan) : ibu partisipan mampu mengerti dan memahami
perbedaan pendapat yang muncul antara partisipan “E” dengan sang ibu. Ibu
partisipan mampu menyikapi perbedaan pendapat dengan sikap positif,
memberikan dukungan emosional, dan mengembangkan sikap altruistik.
● Untuk orang sekitar (rekan - rekan kerja) “E” : Intervensi pada level
Knowledge dimana rekan - rekan kerja “E” diharapkan mampu untuk
memahami dan mempraktekkan materi yang akan disampaikan pada sebuah
sesi psikoedukasi mengenai “bullying pada dunia kerja”.
3. Objective Criteria
● Untuk partisipan “E” : partisipan “E” tidak lagi mengalami kesurupan
patologis (intensitas berkurang 70% dari biasanya) yang akan diukur pada
evaluasi. Partisipan “E” dapat mengkomunikasikan keadaannya kepada orang
disekitarnya dan terbangun hubungan yang baik antara partisipan “E” dengan
keluarga serta rekan kerjanya.
● Untuk orang tua (ibu partisipan) : Tidak menggunakan kata kasar ketika
memiliki perbedaan pendapat dengan partisipan. Melakukan diskusi dua arah
ketika terjadi perbedaan pendapat. Memberi dukungan emosional dengan
menelpon partisipan paling tidak sekali dalam sehari untuk menanyakan kabar
partisipan dan memberi partisipan semangat untuk menjalani rutinitas.
● Untuk orang sekitar (rekan - rekan kerja) “E” : Memberi apresiasi dan
semangat kepada tiap orang yang ada di lingkungan kerja termasuk kepada
partisipan “E”
4. Metode Intervensi

Berdasarkan studi kasus yang dilakukan pada partisipan “E”, kami


mengusulkan beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan kepada partisipan “E”
dan orang disekitarnya termasuk orang tua. Bentuk intervensi yang kami usulkan
meliputi psikoedukasi, konseling, dan psikoterapi.

1. Psikoedukasi

Bentuk intervensi ini akan kami terapkan pada rekan - rekan


kerja partisipan “E” yang merupakan orang - orang yang turut
mengambil peran penting pada kesejahteraan psikologis partisipan “E”.
Psikoedukasi yang akan kami sampaikan merupakan psikoedukasi
mengenai “bullying di lingkungan kerja”. Intervensi ini diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan rekan - rekan kerja partisipan “E”
akan pentingnya menjaga kesejahteraan psikologis di lingkungan kerja.
Berikut adalah rancangan intervensi psikoedukasi yang hendak kami
lakukan :

a. Melakukan asesement kebutuhan klien


b. Menyusun dan mengembangkan modul yang difokuskan pada
pengembangan pengetahuan tertentu yang komponen nya
terdiri dari topik, tujuan, media, prosedur, waktu, materi.
2. Konseling

Konseling diberikan kepada orang tua khususnya ibu partisipan


“E” dengan tujuan untuk memberikan dorongan, pemahaman dan
membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan
komunikasi antara klien dengan anaknya atau partisipan “E”.
Frekuensi konseling akan dilakukan 2 minggu sekali dengan durasi 60
menit. Berikut merupakan tahapan intervensi konseling yang kami
rancang :

a. perkenalan antara klien dengan konselor : tahap ini diperlukan


untuk membangun hubungan dan komunikasi yang baik antara
klien dengan konselor guna proses konseling kedepannya.
b. Orientasi dan eksplorasi pengenalan : pada tahap ini, konselor
dan klien akan saling bertukar harapan masing - masing
terhadap proses konseling yang akan dijalani. Konselor mulai
meminta klien untuk menceritakan problemnya masing-masing
dan diharapkan klien mulai terbuka
c. Penjelasan konselor mengenai kesimpulan solusi dan
implementasi
d. rencana tindakan
e. evaluasi yang akan dilakukan secara bertahap selama proses
konseling berlangsung
3. Psikoterapi

Terapi Psikologi (psikoterapi) adalah kegiatan yang dilakukan


untuk penyembuhan dari gangguan psikologis atau masalah
kepribadian dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori yang
relevan dengan ilmu psikoterapi. Intervensi ini akan diterapkan pada
partisipan “E” setelah melalui serangkaian proses asesmen guna
mengetahui gangguan psikologis apa yang dialami partisipan “E” yang
menyebabkan partisipan “E” mengalami kesurupan patologis.

B. Gangguan Neurologis : Demensia & Delirium (Studi kasus terhadap


penderita demensia senilis & terhadap pasien geriatri di RS Cipto Mangunkusumo)
- Dementia
Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya dementia adalah faktor usia. Tetapi juga
didukung oleh faktor resiko diantaranya; penyakit Alzheimer, penyakit neurotik dan penyakit
lain yang memicu demensia seperti kolesterol, aktif merokok dan minum alkohol berlebihan,
warisan gen, malas berolahraga, pola makan tidak sehat, dan sering berpikir negatif. Dari
hal-hal tersebut serta penjelasan di bagian sebelumnya, dapat dilakukan rancangan intervensi
sebagai berikut :
1. Subjek yang memerlukan intervensi
● Pengidap Demensia, keluarga dari pengidap, pekerja sosial (yang merawat klien)

2. Intervention Objectives
● Pengidap Demensia : dapat menggunakan waktu dengan tetap produktif dan sehat,
tidak memendam pikiran negatif
● Keluarga dari pengidap : memastikan bahwa terpenuhinya kesejahteraan anggota
keluarga yang mengidap demensi
● Pekerja sosial : memberikan perawatan dan pertolongan yang sigap dan cakap disaat
klien membutuhkan

3. Objective Criteria
● Pengidap Demensia : Dengan mengikuti kegiatan yang positif, misalnya olahraga
ringan secara rutin, menjalankan hobi ringan seperti membaca, mendengarkan lagu.
Bergabung dalam komunitas yang positif untuk tetap menjaga interaksi dengan
lingkungan sosial dengan baik. Serta terbuka untuk bercerita kepada keluarga atau
orang yang dipercaya.
● Keluarga dari pengidap : Mempelajari keterampilan perawatan yang baik, memastikan
bahwa asupan nutrisi dan menerapkan pola makan sehat, misalnya dengan
mengonsumsi makanan rendah lemak dan tinggi serat.
● Pengasuh dan/pekerja sosial : Memiliki skill profesional dan sabar untuk merawat
klien, memberikan pertolongan klien untuk menghadapi, mengatasi dan memecahkan
berbagai hal, seperti memecahkan masalahnya, mengurangi kecemasan dan
ketegangannya, dan upaya-upaya untuk menenangkan.

4. Metode Intervensi
● Psikoterapi
- Melakukan asesmen untuk memastikan apakah gejala yang dialami klien merupakan
gejala demensia
- Membina hubungan profesional antara terapis dengan klien, terapis dengan keluarga,
dan hubungan baik dan suportif antara klien dan keluarga
● Psikoedukasi
Pentingnya dilakukan psikoedukasi bagi keluarga dan pengasuh klien untuk
memberikan pemahaman mengenai demensia sehingga mereka dapat memahami
bahwa dukungan moral bagi klien amat dibutuhkan untuk membantunya menghadapi
situasi ini. Sehingga terapis dan keluarga dapat bersinergi membantu klien.

- Delirium
1. Subjek yang memerlukan intervensi
● Pengidap Delirium, keluarga dari pengidap, pekerja sosial (yang merawat klien)
2. Intervention Objectives
● Pengidap Delirium : membangun kebiasaan baik sebelum usia rentan terkena delirium
dan menghindari faktor yang bisa menyebabkan terjadinya delirium
● Keluarga dari pengidap : dapat memberikan bantuan psikososial yang bersifat
mendorong pasien untuk dapat kembali kepada fungsi awal sebelum terjadinya
delirium
● Pekerja sosial : memberikan perawatan dan pertolongan yang sigap dan cakap disaat
klien membutuhkan

3. Objective Criteria
● Pengidap Delirium : menghindari penggunaan obat yang meningkatkan risiko
delirium, seperti ranitidin, digoksin, ciprofloxacin, kodein, amitriptilin (antidepresan),
benzodiazepine.
● Keluarga dari pengidap : Mengingat bahwa gejala delirium tidaklah khas, maka bila
keluarga dari klien melihat ada tanda-tanda yang cenderung ke gejala delirium, bisa
segera berkonsultasi pada ahli, memberikan perhatian dan juga motivasi pada pasien,
dengan mengajak berbicara, bercerita, berolahraga ringan dan kegiatan positif lainnya
sebagai bentuk dukungan moril.
● Pengasuh dan/pekerja sosial : Memiliki skill profesional dan sabar untuk merawat
klien, memberikan pertolongan klien untuk menghadapi, mengatasi dan memecahkan
berbagai hal, seperti memecahkan masalahnya, mengurangi kecemasan dan
ketegangannya, dan upaya-upaya untuk menenangkan.

4. Metode Intervensi
● Psikoterapi
- Melakukan asesmen untuk memastikan apakah gejala yang dialami klien merupakan
gejala delirium
- Membina hubungan profesional antara terapis dengan klien, terapis dengan keluarga,
dan hubungan baik dan suportif antara klien dan keluarga
● Psikoedukasi
Pentingnya dilakukan psikoedukasi bagi keluarga dan pengasuh klien untuk
memberikan pemahaman mengenai delirium sehingga mereka dapat memahami
bahwa dukungan moral bagi klien amat dibutuhkan untuk membantunya menghadapi
situasi ini. Sehingga terapis dan keluarga dapat bersinergi membantu klien.

2.3 DIAGNOSA MULTIAKSIAL

A. Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap


partisipan “E” di Jawa Tengah)
Axis I : F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
Axis II : tidak ada
Axis III : tidak ada
Axis IV : Hubungan yang tidak baik dengan keluarga terutama ibu, rekan kerja,
dan pengaruh budaya serta keyakinan yang kuat terhadap mahluk gaib.
Axis V : GAF : 55

B. Gangguan Neurologis : Dementia & Delirium (Studi kasus terhadap


penderita demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto Mangunkusumo)

Demensia
Axis I : F.002 Gangguan Mental Organik (+ Simtomatik)
Axis II : tidak ada
Axis III :
Axis IV :
Axis V : GAF : 70

Delirium
Axis I : F.050 Gangguan Mental Organik (+ Simtomatik)
Axis II : tidak ada
Axis III :
Axis IV :
Axis V : GAF : 70
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 SIMPULAN

Gangguan neurologis merupakan gangguan yang terjadi dalam sistem saraf yang
diantaranya adalah delirium dan juga dementia. Delirium sendiri merupakan gangguan serius
pada kemampuan mental yang menyebabkan penurunan kesadaran dan dan ketidakstabilan
berpikir serta kebingungan pada lingkungan sekitar. Delirium dapat diukur menggunakan
Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit (CAM-ICU) untuk menentukan skala
keparahan delirium pada pasien yang berada di ICU. Sedangkan dementia adalah penurunan
fungsi kognitif yang ditandai dengan penurunan memori, pemikiran, perilaku sosial, serta
kontrol emosi. Dementia dapat diukur menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE) dengan cara pemeriksaan kognitif terkait daya ingat dan penurunan fungsi kognitif.
Culture bound syndrome adalah keadaan abnormal yang berulang dan mengganggu
penderitanya yang dipengaruhi oleh budaya, etnis, atau daerah tertentu. Menurut DSM V
(2013) terdapat beberapa jenis CBS diantaranya ataque de nervios (Amerika), dhat (Asia
Selatan), khyal cap (Kamboja), kufungisisa (Zimbabwe), maladi moun (Haiti), shenjing
shuairuo (Tiongkok), susto (Meksiko), dan taijin kyofusho (Jepang).
Pada analisa kasus gangguan neurologis demensia dan delirium kami menggunakan
studi kasus terhadap penderita demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto
Mangunkusumo. Kami akan memberikan intervensi pada pengidap demensia dan delirium,
keluarga dari pengidap, pekerja sosial (yang merawat klien) dengan memberikan psikoterapi
pada penderita serta pemberian psikoedukasi pada keluarga dan pengasuh.
Dalam analisa kasus culture bound syndrome kami mengambil kasus kesurupan
patologis dengan studi kasus terhadap partisipan “E” di Jawa Tengah. Berdasarkan kasus
tersebut intervensi yang akan kami berikan diantaranya, psikoedukasi untuk lingkungan dekat
klien, pemberian konseling khususnya pada ibu klien serta psikoterapi bagi klien. Menurut
kami pemberian intervensi penting tidak hanya bagi klien, namun juga lingkungan sekitarnya
dengan harapan mempercepat proses penyembuhannya.
3.2 SARAN

Saran dan masukan untuk penelitian selanjutnya agar dapat memperdalam materi dan
menambahkan data-data yang akurat dari sumber yang terpercaya, juga memperdalam materi
yang akan dibuat. Makalah yang kami buat ini sudah cukup menggunakan berbagai literatur
guna pengumpulan data dan berasal dari sumber terpercaya. Serta parafrase kalimat sehingga
menjadi kalimat yang lebih mudah dipahami. Pada sub definisi hingga hasil analisa studi
kasus sudah cukup lengkap dan mudah dipahami. Pedoman gangguan mental dalam makalah
ini juga dijelaskan secara rinci dan dikaitkan dengan kasus yang kami observasi. Kami pun
menggunakan pedoman buku DSM V dan PPDGJ III untuk menggolongkan gangguan
neurologis dan CBS ini ke dalam multiaxial agar lebih mudah untuk mengintervensi. Kendala
yang kami alami saat pengerjaan, dalam mendapatkan data yang jelas dan lengkap pada studi
kasus guna menentukan intervensi yang tepat. Hal tersebut dikarenakan kami tidak
mengobservasi secara langsung, namun menggunakan kasus yang sudah ada. Kami berharap
kedepannya makalah ini bisa menjadi lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi para
pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA

Anjaryani, A. M., & Rahardanto, M. S. (2016). DINAMIKA KESURUPAN PATOLOGIS:

STUDI KASUS DI JAWA TENGAH. Experientia, 4(1), 11-22. 907-2172-1-SM.pdf

Brooks, B. B. (2016). Using a Susto Symptoms Scale to Analyze Social Wellbeing in the
Andes. Sociology and Anthropology , 106-113.

Creavin, S. T. (2016). Mini‐Mental State Examination (MMSE) for the detection of dementia
in clinically unevaluated people aged 65 and over in community and primary care
populations. Cochrane Database of Systematic Reviews.
David C. Henderson M.D., ... Gregory L. Fricchione M.D., in Massachusetts General
Hospital Handbook of General Hospital Psychiatry (Sixth Edition), 2010

Febo San Miguel, V. E., Guarnaccia, P. J., Shrout, P. E., Lewis-Fernández, R., Canino, G. J.,
& Ramírez, R. R. (2006). A Quantitative Analysis of Ataque de Nervios in Puerto Rico:
Further Examination of a Cultural Syndrome. Hispanic Journal of Behavioral Sciences,
28(3), 313–330.

Hall, B. J., Chang, K., Chen, W., Sou, K. L., Latkin, C., & Yeung, A. (2018). Exploring the
association between depression and shenjing shuairuo in a population representative
epidemiological study of Chinese adults in Guangzhou, China. Transcultural
Psychiatry, 1-21.

Hinton, D. E. (2006). Symptom Presentation and Symptom Meaning Among Traumatized


Cambodian Refugees: Relevance to a Somatically Focused Cognitive-Behavior
Therapy. HHS Public Access, 249-260.

Khan, B. A. (2018). The CAM-ICU-7 Delirium Severity Scale: A Novel Delirium Severity
Instrument for Use in the Intensive Care Unit. National Center for Biotechnology
Information, 851-857.

Ola, B. (2011). Factorial validation and reliability analysis of the brain fag syndrome scale.
Afican Health Science, 334-340.
Prakash, S. (2016). A study on phenomenology of Dhat syndrome in men in a general
medical setting. Indian Journal of Psychiatry, 129-141.

Rasmussen, A. (2015). Development and validation of a Haitian Creole screening instrument


for depression. Transcult Psychiatry, 33-57.

Sri Diniari, N. K., & Hanati, N. (2012). KESURUPAN, TINJAUAN DARI SUDUT

BUDAYA DAN PSIKIATRI. Medicina, 43(1), 37-40.

4949-1-7744-1-10-20130307.pdf

Vriends, N. (2013). Taijin Kyofusho and Social Anxiety and Their Clinical Relevance in
Indonesia and Switzerland. Frontiers in Psychology.

WHO. (2019, September 19). Dementia. Retrieved from World Health Organization:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia

Anda mungkin juga menyukai