Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik, serta ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Dalam makalah yang berjudul “Mengenal Sejarah Pancasila” dibuat agar sejarah-
sejarah di Indonesia tidak terlupakan.
A. Latar Belakang
Dasar negara sangat penting bagi suatu bangsa. Tanpa dasar negara, negara akan
goyah, tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tidak tahu apa yang ingin dicapai setelah
negara tersebut didirikan. Sebaliknya dengan adanya dasar negara, suatu bangsa tidak akan
terombang ambing dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dapat datang darimana
saja.
Kita sebagai bangsa Indonesia mengetahui bahwa dasar negara Indonesia adalah
Pancasila. Pancasila adalah lima dasar, pancasila sebagai dasar negara memiliki sejarah yang
tak lepas dari kemerdekaan Indonesia. Kita sebagai bangsa Indonesia harus mengenal sejarah
pancasila.
B. Rumusan Masalah
Dengan pemilihan judul makalah “Mengenal Sejarah Pancasila” dan penyusunan makalah ini
diharapkan para pembaca dan penulis sendiri mampu memahami sejarah pancasila.
Sekaligus, makalah ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah filsafat
pancasila.
A. Kolonialisme Belanda
Sejarah Pancasila tidak bisa dipisahkan dari kisah perjuangan bangsa Indonesia
mengusir kolonialisme dan mendirikan Negara merdeka bernama Republik Indonesia.
Sejarah resmi yang diajarkan di SD menyebut Indonesia dijajah 350 tahun atau tiga
setengah Abad lamanya. Tetapi angka ini masih kontroversi. Sebab, Belanda dengan nama
VOC baru muncul pada 1602 (343 tahun). Sementara ada yang mengatakan, VOC itu hanya
kongsi dagang, belum mewakili Belanda. VOC bubar tahun 1799. Artinya, Belanda secara
resmi mengambil-alih Indonesia pada 1800-an. Tetapi, terlepas dari kontroversi itu, Belanda
menjajah Indonesia cukup lama. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan Belanda
menjalankan politik pecah-belah atau devide et impera.
Baru setelah memasuki abad ke-20 muncul semangat perlawanan baru, yaitu
kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia. Alat perlawanannya pun sudah sangat
modern, yaitu organisasi. Dimulai dari gagasan-gagasan Kartini, Tirto Adhisuryo (pendiri
Sarekat Priayi tahun 1906 dan Sarekat Dagang Islamiyah/SDI tahun 1909), hingga pendirian
Boedi Oetomo.
Sejak saat itu mulai muncul kesadaran baru tentang bangsa (Nation), bahwa manusia
yang mendiami kepulauan Nusantara punya kesamaan nasib, kesamaan kehendak untuk
bersatu, dan punya kesamaan cita-cita (menjadi bangsa Merdeka yang adil dan makmur).
Para penjajah Eropa menyebut daerah jajahannya di Asia tenggara dengan sebutan Hindia
timur. Masing-masing wilayah di Hindia Timur ini disesuaikan dengan nama penjajahnya.
Hindia-Belanda untuk wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Ada juga Hindia-Spanyol (Indias
Orientales Españolas), dan Hindia-British (jajahan Inggris).
Pada 4 Juli 1927, Soekarno bersama mahasiswa lain yang tergabung dalam Studie
Club mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Setahun kemudian berganti nama
menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dan PNI berjasa besar dalam
mempopulerkan nama Indonesia. Sejak awal PNI mengambil program politik cukup radikal:
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Strategi perjuangannya pun radikal, yakni non-
kooperasi alias menolak bekerjasama dengan Belanda. PNI juga menggunakan massa actie
(massa aksi) sebagai senjata perjuangannya.
Jauh sebelum mendirikan PNI, Soekarno sudah gandrung bicara persatuan. Tidak ada
kemerdekaan tanpa persatuan nasional, kata dia. Tahun 1926, dia menulis risalah berjudul
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, yang menganjurkan persatuan di kalangan
pergerakan untuk mengusir Belanda. Desember 1929, karena politiknya yang radikal,
Sukarno ditangkap Belanda. Dia kemudian dijebloskan ke penjara Bantjeuj di Bandung, Jawa
Barat. Di dalam ruang penjara yang sempit, gelap, pesing dan pengap itu Soekarno menulis
pledoi yang terkenal, Indonesia Menggugat.
Soekarno keluar penjara tahun 1931 dan langsung kembali ke dunia pergerakan. Tak
lama kemudian, tepatnya 1933, dia menulis artikel yang keras, Mencapai Indonesia Merdeka,
yang mengantarkannya pada penjara dan pembuangan. Tahun 1933, Sukarno kembali
C. Sidang BPUPKI
BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Sidang pertama ini
berlangsung hingga tanggal 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini, berbagai tokoh berpidato
tentang negara Indonesia, seperti Mohammad Yamin, Soepomo, dan Hatta. Namun, dari
semua tokoh yang berpidato, tak satupun yang menyinggung dan menjawab pertanyaan
Baru pada saat giliran Soekarno, yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, pertanyaan
itu terjawab. Soekarno berpidato tentang arti penting Philosofische grondslag (filosofi dasar)
dan Weltanschauung (pandangan hidup) bagi sebuah negara yang merdeka. Sukarno juga
menguraikan lima nilai dasar filosofis tersebut, yakni kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi
atau mufakat, keadilan sosial dan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Sukarno kemudian
menamai lima nilai filosofi dasar itu dengan nama Pantja-Sila atau Pancasila.
Pancasila ditetapkan sebagai Dasar Negara pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan
mengubah bunyi sila pertama Piagam Djakarta, menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Tahun 1947, Departemen Penerangan Republik Indonesia (RI)
mempublikasikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dengan nama Lahirnya Pancasila.
Kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat,
menyebut bahwa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Lahirnya Pancasila.
Sedangkan peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila baru dimulai secara resmi di
tahun 1964.
Desain Garuda dengan lima perisainya mulai muncul tahun 1950. Tahun 1950,
pemerintahan RIS menyelenggarakan sayembara desain lambang negara. Ada dua desain
yang menang: karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Tetapi karya Yamin
gugur, karena menggunakan sinar-sinar matahari yang identik dengan fasisme Jepang.
Alhasil, pemenangnya adalah desain karya Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak
ke-6.
Desain Sultan Hamid II menyerupai Garuda tunggangan suci Dewa Wisnu, yang
banyak ditemukan dalam arca dan relief candi-candi Nusantara. Dalam desain awal itu,
Garuda duduk di atas takhta bunga dengan dada terlindungi perisai. Kemudian, setelah
dialog dengan Soekarno dan Hatta, desain Sultan Hamid II itu disempurnakan. Sang Garuda
tidak lagi duduk bertakhta di atas bunga teratai, tetapi Garuda dengan sayap membentang dan
dua tangan memegang perisai Pancasila. Ditambah juga dengan pita putih yang dijepit oleh
kaki Garuda dengan tulisan “Bhineka Tunggal Ika”. Tetapi kepala Garuda masih gundul dan
belum berjambul. Desain ini kemudian diperkenalkan Soekarno kepada khalayak ramai di
Hotel Des Indes, Jakarta, pada 15 Februari 1950. Desain Sultan Hamid II ini kemudian
disempurnakan oleh pelukis Istana, Dullah. Dengan penambahan jambul dan posisi cakar
kaki mencengkeram pita dari depan.
Lirik lagu Garuda Pancasila, seperti yang kita nyanyikan sekarang, digubah oleh
seorang komponis muda anggota Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) bernama Sudharnoto.
Komponis kelahiran Kendal, Jawa Tengah, itu menggubah lagu Garuda Pancasila pada tahun
1956. Namun, karena peristiwa G 30 S/1965, Sudharnoto ditangkap dan dipenjara oleh rezim
Orde Baru. Keluar dari penjara, penggubah lagu Garuda Pancasila ini berjuang hidup dengan
menjadi penyalur es petojo, sopir taksi, dan pemain orkes.
Pada masa Orde Baru berlangsung intensif apa yang disebut “De-Sukarnoisasi”, yaitu upaya
menghapus peranan dan pemikiran Sukarno dalam perjuangan bangsanya dalam ingatan
Dalam uraian Nugroho, Soekarno bukanlah penemu Pancasila, orang pertama yang
mempidatokan lima dasar itu adalah Mohammad Yamin. Soekarno hanya memberi nama
“Pancasila”. Nugroho juga menyebut rumusan Pancasila yang otentik adalah yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Klaim Nugroho itu
menuai banyak bantahan. Pada Januari 1975, dibentuk Panitia Lima yang terdiri dari
Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, A.K. Pringgodidgo, dan Soenario—
semua bekas anggota BPUPKI. Panitia Lima menegaskan bahwa Sukarnolah yang
pertamakali berpidato tentang lima dasar yang kelak dinamai Pancasila. Mereka membantah
klaim Yamin dan menuduhkan “pinter nyulap”.
G. Penyelewengan Pancasila
Di masa Orde Baru, kendati Pancasila masih diakui sebagai Dasar Negara, tetapi
prakteknya banyak menyimpang. Mulai dari penggunaan Pancasila sekedar sebagai alat
“menjaga stabilitas” hingga penjaga kekuasaan Orde Baru. Di zaman itu, siapapun yang
mengeritik kebijakan pemerintah dicap “anti-Pancasila”.
Di zaman Orba, Pancasila dijadikan doktrin kaku yang disakralkan. Diajarkan secara
dotriner melalui Penataran P4 bagi semua aparatus negara dan pelajar/mahasiswa (dari SD
hingga perguruan tinggi). Akibatnya, Pancasila kehilangan keunggulannya sebagai
Bung Karno, sang penggali Pancasila, pernah bicara tentang Pancasila sebagai “Meja
Statis” dan “Leitstar Dinamis”. Pancasila sebagai “meja statis”berarti Pancasila sebagai dasar
negara atau fondasi bernegara yang statis, kokoh, tidak berubah sampai kapan pun. Di sini,
nilai-nilai Pancasila menjadi fondasi atau titik temu berbagai keragaman manusia Indonesia
dari suku, agama, ras, adat-istiadat, dan corak berpikir. Sebagai meja statis, Pancasila menjadi
dasar negara yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Tetapi Pancasila juga sebagai leitstar
atau bintang pimpinan yang memberi arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam
menggapai cita-cita nasionalnya. Ibarat kita sedang menumpang kapal di tengah laut, agar
sampai di pelabuhan yang bernama masyarakat adil dan makmur, maka Pancasila menjadi
bintang penuntun arahnya. Dan sebagai leitstar, Pancasila harus dinamis, harus selalu senapas
dengan perkembangan zaman.
Kenapa harus dinamis? Pertama, Pancasila itu harus bisa melakukan appeal, atau
ajakan/seruan, agar rakyat terus mengikuti panggilannya. “Pancasila harus bisa
menggerakkan rakyat untuk berjuang menggapai cita-cita,” kata Bung Karno. Tentu saja,
agar Pancasila bisa menjadi appeal, dia tidak bisa menjadi doktrin yang kaku dan disakralkan
seperti dipraktekkan di zaman Orde Baru. Sebaliknya, Pancasila harus tampil sebagai
perangkat gagasan atau pengetahuan yang senapas dengan perkembangan zaman.
Kedua, Pancasila harus bisa menjawab persoalan kebangsaan setiap zaman. Di sini
Pancasila diharapkan tidak menjadi seperangkat gagasan yang menggantung di langit
retorika, tetapi bisa dipraktekkan sekaligus menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Karena
itu, sebagai leitstar yang dinamis, Pancasila tidak perlu dipertentangkan dengan setiap upaya
untuk menggali dan memperkaya Pancasila dengan gagasan-gagasan yang memajukan dan
lebih praksis.