Anda di halaman 1dari 125

Perhimpunan Dokter Spesialis

Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

PANDUAN
KETERAMPILAN KLINIS

BAGI DOKTER SPESIALIS


DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI
INDONESIA

Tahun 2021
Panduan Keterampilan Klinis
Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi
Indonesia

Tim Penyusun dan Editor


dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Prof. Dr. dr. Cita Rosita, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
dr. Danang Triwahyudi, Sp.KK, FINSDV, FAADV
Dr. dr. Windy Keumala Budianti, Sp.KK(K), FINSDV
Dr. dr. Prasetyadi Mawardi, Sp. KK (K) FINDSDV, FAADV
Dr. dr. Reiva Farah Dwiyana, Sp.KK(K), M.Kes
Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Dr. dr. Reti Hindritiani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
dr. Sarah Diba, Sp.KK(K), FINSDV
dr. Flandiana Yogianti, Ph.D., Sp.DV
dr. Miranti Pangastuti, Sp.DV

Sekretaris
dr. Vincentius Nathanael Sulaiman
dr. Annisa Maharani

Kontributor
Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia
Kelompok Studi Tumor dan Bedah Kulit Indonesia
Kelompok Studi Imunodermatologi dan Dermatosis Akibat Kerja

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia


(PERDOSKI)
Tahun 2021
Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI)

Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan


cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta

DISCLAIMER

- Panduan Keterampilan Klinis (PKK) PERDOSKI disusun berdasarkan


asupan dari para pakar Dermatologi dan Venereologi serta Kelompok
Studi terkait.
- Buku PKK ini dimaksudkan sebagai panduan melakukan tindakan medik
dalam dermatologi sehingga tidak berisi informasi lengkap tentang
penyakit atau kondisi kesehatan tertentu.
- Hasil apapun dalam penatalaksanaan pasien di luar tanggung jawab tim
penyusun PKK.

ISBN :

ii
Kata Sambutan
Ketua Pengurus Pusat PERDOSKI
2017-2021

Assalamu’alaikum wr wb.

Sejawat yang terhormat

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya, buku ini dapat
diselesaikan tepat waktu dan dapat disosialisasi bersamaan dengan KONAS PERDOSKI XVI
pada tanggal Desember 2021.

Dengan seiring berjalannya waktu, ditambah pada tahun 2020 kita harus menghadapi masalah
kesehatan yang besar di seluruh dunia yaitu Pandemi COVID-19, keilmuan kita akan terus
berkembang. Dengan melakukan telaah terhadap masalah kesehatan dan penyakit yang
tercantum, Buku Panduan Keterampilan Klinis (PKK) PERDOSKI ini adalah revisi dari buku
Panduan Keterampilan Klinis 2017 yang telah dimiliki dan digunakan oleh PERDOSKI
sebelumnya.

Sesuai dengan kebutuhan dan program Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bahwa
diperlukan Panduan dalam melaksanakan layanan yang dapat diakses dan diaplikasikan secara
nasional mulai dari layanan tingkat pratama sampai tingkat utama agar layanan berjalan sesuai
dengan keilmuan yang berkembang dan sesuai dengan prasana yang ada untuk tercapainya
pelayanan yang terbaik, maka panduan keterampilan klinis ini merupakan salah satu bentuk
penerapan standar pelayanan dalam meningkatkan standar pelayanan.

Rasa hormat dan penghargaan setingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyempurnaan buku ini, dan semoga panduan ini dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh
anggota dalam melaksanakan layanan dengan target peningkatan kesehatan nasional terutama
di bidang Kesehatan Kulit dan Kelamin.

Tak ada gading yang tak retak, masih diperlukan asupan dari teman Sejawat sekalian terhadap
panduan ini, terutama para anggota yang berada di daerah dengan masalah yang spesifik.

Semoga panduan ini dapat bermanfaat dalam membantu teman Sejawat melaksanakan layanan.

Jakarta, Desember 2021


Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI

Dr. dr. M. Yulianto Listiawan., Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

iii
Kata Sambutan Ketua Kolegium
Dermatologi dan Venereologi Indonesia
2017-2021

Panduan Keterampilan Klinis (PKK) bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi
Indonesia berbasis bukti terbaru sangat diperlukan bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan
Venereologi dalam menjalankan profesinya, agar pelayanan yang diberikan bermutu tinggi dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Kompetensi keterampilan dalam bidang dermatologi dan venereologi, termasuk estetik, telah
dipenuhi oleh seorang Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi selama menjalani
pendidikan. Namun, perkembangan ilmu di bidang dermatologi dan venereologi, serta berbagai
perubahan peraturan dalam bidang kesehatan berlangsung sangat cepat, sehingga diperlukan
panduan yang terus menerus diperbaharui.
Di tingkat Institusi Pendidikan Dokter Spesialis (IPDS), Kolegium Dermatologi dan Venereologi
Indonesia (KDVI) telah menyusun dan terus memperbaharui buku Modul Keterampilan Klinis
KDVI sebagai acuan pendidikan yang digunakan oleh staf dan peserta didik di 13 IPDS DV
Indonesia. Modul Keterampilan Klinis KDVI berisi langkah-langkah prosedur DV secara
terperinci, termasuk metode pembelajaran serta cara evaluasinya.
Saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Tim Penyusun PKK PERDOSKI serta para
kontributor, yang sebagian diantaranya merupakan staf dari 13 IPDS DV.

Jakarta, Desember 2021


Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi Indonesia 2017–2021

Prof. Dr. dr. Oki Suwarsa, Sp.KK(K), M.Kes

iv
Kata Pengantar

Dermatologi intervensi merupakan bidang ilmu dermatologi dan venereologi yang mencakup
keterampilan dalam melakukan berbagai tindakan medik yang umumnya dilakukan
denganperalatan tertentu. Beragam tindakan medik dalam dermatologi intervensi telah masuk
dalam program pendidikan dokter spesialis dermatologi dan venereologi serta menjadi
kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap dokter spesialis dermatologi dan venereologi
Indonesia.

Melihat kebutuhan dan perkembangan jenis tidakan dermatologi intervensi yang saat ini telah
dilakukan dalam layanan spesialis dermatologi dan venereologi, maka dipandang perlu dibuat
panduan melakukan tindakan medik yang mengacu pada berbagai panduan yang digunakan di
berbagai negara. Panduan ini selanjutnya disebut sebagai Panduan Keterampilan Klinis (PKK)
PERDOSKI 2021.

PKK PERDOSKI 2021 dibuat dengan memperhatikan modul tindakan medik yang dikeluarkan
oleh Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Indonesia 2021 serta mengacu pada informasi
yang berbasis bukti dengan mencantuman tindakan medik dengan level of evidence (LoE) yang
disepakati oleh para pakar dibidangnya. Pada buku PKK kali ini juga ditambahkan ketrampilan
dalam melakukan fototherapi sesuai dengan perkembangan saat ini bahwa berbagai rumah sakit
didaerah beberapa jenis alat fototherapi telah tersedia.

Masih terdapat beberapa topik yang belum tersusun dengan lengkap dan sempurna, namun
diharapkan berbagai acuan dalam PKK PERDOSKI 2021 ini dapat menjadi panduan awal dalam
melakukan tindakan medik sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing dokter
dan sarana maupun prasarana yang tersedia di layang kesehatan yang digunakan.

Panduan ini beserta Panduan Praktik Klinis (PPK) PERDOSKI 2021 dan Standar Kewenangan
PERDOSKI merupakan salah satu panduan dalam memberikan layanan kesehatan terbaik bagi
pasien dengan memperhatikan keselamatan dan kebutuhan pasien. Ketersediaan dan legalitas
alat maupun bahan medik yang digunakan juga perlu menjadi perhatian. Kebijakan seorang
dokter dalam memilih tindakan medik yang tepat bagi pasien merupakan prioritas utama.

Dengan selesainya buku PKK ini saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh
anggota tim penyusun dan editor serta para kontributor dari Kelompok Studi PERDOSKI yang
telah bekerja keras menyelesaikan panduan. Saran, koreksi dan asupan sangat diharapkan bagi
perbaikan dan penyempurnaan buku PKK PERDOSKI 2021 ini. Dengan demikianbuku ini dapat
menjadi panduan yang handal serta tepat untuk digunakan oleh setiap anggota PERDOSKI di
Indonesia dalam melaksanakan pengabdiannya.

Tim Penyusun
Ketua

dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

v
Daftar Isi

Halaman
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI ................................................. iii
Sambutan Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi........................................... iv
Kata Pengantar Tim Penyusun.................................................................................... v
Daftar Isi .......................................................................................................................... vi
Panduan Penyusunan Rekomendasi ........................................................................ vii

A. Keterampilan Diagnosis
A. 1. Autologous serum skin test (ASST).................................................................... 2
A. 2. Biopsi kulit........................................................................................................... 5
A. 3. Uji Intradermal..................................................................................................... 13
A. 4. Uji Provokasi Obat .............................................................................................. 16
A. 5. Uji Tempel........................................................................................................... 26
A. 6. Uji Tusuk............................................................................................................. 30

B. Keterampilan Terapeutik
B. 1. Bedah beku ........................................................................................................... 35
B. 2. Bedah eksisi/flap/graft ............................................................................................ 37
B. 3. Bedah kimia (chemical peeling) ............................................................................. 38
B. 4. Bedah kuku.......................................................................................................... 41
B. 5. Bedah kulit untuk vitiligo...................................................................................... 43
B. 6. Bedah listrik ............................................................................................................ 45
B. 7. Bedah Mohs ...................................................................................................... 48
B. 8. Bedah sedot lemak.............................................................................................. 50
B. 9. Bedah subsisi ......................................................................................................... 52
B.10. Blefaroplasti........................................................................................................ 54
B.11. Chemical Reconstruction of Skin Scars (CROSS)............................................... 56
B.12. Ekstraksi komedo................................................................................................. 58
B.13. Elevasi plong ....................................................................................................... 60
B.14. Face lift menggunakan benang.......................................................................... 62
B.15. Face lift: minimum incision face lift .................................................................... 64
B.16. Face lift: non-surgical face lift ............................................................................ 65
B.17. Fototerapi ......................................................................................................... 67
B.18. Injeksi bahan pengisi (filler)................................................................................ 72
B.19. Injeksi toksin botulinum ......................................................................................... 74
B.20. Injeksi kortikosteroid intralesi............................................................................... 76
B.21. Laser dan IPL untuk kelainan pigmen............................................................... 78
B.22. Laser dan IPL penghilang rambut ........................................................................ 83
B.23. Laser untuk kelainan tumor jinak kulit .................................................................. 86
B.24. Laser untuk kelainan vaskular............................................................................. 90
B.25. Laser untuk menghilangkan tato......................................................................... 94
B.26. Laser untuk resurfacing....................................................................................... 97
B.27. Laser untuk skar akne......................................................................................... 100
B.28. Mikrodermabrasi................................................................................................ 103
B.29. Skin needling ......................................................................................................... 106
B.30. Skleroterapi ........................................................................................................... 108
B.31. Transplantasi rambut........................................................................................... 110

Daftar kontributor ............................................................................................................ 112


Himbauan.................................................................................................................... 114

vi
PANDUAN PENYUSUNAN REKOMENDASI
Rekomendasi yang digunakan dalam Pedoman Keterampilan Klinis (PKK) Perdoski 2021
ini menggunakan kriteria level of evidence sesuai dengan GRADE System (Grading of
Recommendations, Assessment, Development and Evaluation). Sistem ini terdiri atas 2
komponen yaitu strength of recommendation dan quality of the evidence.

 Strength of the recommendation:


1. Strong recommendation:
Rekomendasi kuat diberikan apabila keuntungan (benefit) tindakan tersebut lebih
besar dari pada risiko (risk) yang terjadi pada seluruh pasien.
2. Weak/conditional recommendation:
Rekomendasi lemah jika risiko dan benefitnya seimbang, lebih besar risikonya
atau tidak diketahui.

 Quality of evidence ( tingkat pembuktian ):


Tingkat pembuktian dibagi menjadi 3 level yaitu A untuk high, B untuk moderate dan
C untuk low evidence.

Secara rinci GRADE system dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Grade of Recommendation (GRADE System)

Grade of Clarity of Quality of supporting evidence Implications


recommendation* risk/benefit

1A Benefits clearly Consistent evidence from well Strong


Strong outweigh risk performed randomized, recommendation,
recommendation and burdens, controlled trials or overwhelming can apply to
High quality or vice versa evidence of some other form. most patients in
evidence Further research is unlikely to most
change our confidence in the circumstances
estimate of benefit and risk. without
reservation

1B Benefits clearly Evidence from randomized, Strong


Strong outweigh risk controlled trials with important recommendation,
recommendation and burdens, limitations (inconsistent results, likely to apply to
Moderate quality or vice versa methodologic flaws, indirect or most patients
evidence imprecise), or very strong
evidence of some other form.
Further research (if performed) is
likely to have an impact on our
confidence in the estimate of
benefit and risk and may change
the estimate.

vii
1C Benefits Evidence from observational Relatively strong
Strong appear to studies, unsystematic clinical recommendation;
recommendation outweigh risk experience, or from randomized, might change
Low quality and burdens, controlled trials with serious when higher
evidence or vice versa flaws. Any estimate of effect is quality evidence
uncertain. becomes
available

Grade of Clarity of Quality of supporting Implications


recommendation* risk/benefit evidence

2A Benefits Consistent evidence from well Weak


Weak closely performed randomized, recommendation,
recommendation balanced with controlled trials or best action may
High quality risks and overwhelming evidence of differ depending on
evidence burdens some other form. Further circumstances or
research is unlikely to change patients or societal
our confidence in the estimate values
of benefit and risk.

2B Benefits Evidence from randomized, Weak


Weak closely controlled trials with important recommendation,
recommendation balanced with limitations (inconsistent alternative
Moderate quality risks and results, methodologic flaws, approaches likely to
evidence burdens, some indirect or imprecise), or very be better for some
uncertainty in strong evidence of some other patients under
the estimates form. Further research (if some
of benefits, performed) is likely to have an circumstances
risks and impact on our confidence in
burdens the estimate of benefit and
risk and may change the
estimate.

2C Uncertainty in Evidence from observational Very weak


Weak the estimates studies, unsystematic clinical recommendation;
recommendation of benefits, experience, or from other alternatives
Low quality risks, and randomized controlled trials may be equally
evidence burdens; with serious flaws. Any reasonable
benefits may estimate of effect is uncertain.
be closely
balanced with
risks and
burdens

viii
KETERAMPILAN DIAGNOSIS
A.1 Autologous serum skin test (ASST)
A.2 Biopsi Kulit
A.3 Uji Intradermal
A.4 Uji Provokasi Obat
A.5 Uji Tempel
A.6 Uji Tusuk

1
Keterampilan Diagnosis
A.1 Autologous Serum Skin Test

I. Definisi
The autologous serum skin test merupakan tes in vivo sederhana untuk
mendiagnosis urtikaria kronik idiopatik dengan cara menilai autoreaktivitas melalui
injeksi serum autologous intradermal.1,2

II. Indikasi
Urtikaria kronik.1-4
Pemeriksaan ASST memiliki sensitivitas 70 % dan spesifisitas 80%.5

III. Kontraindikasi
1. Sedang dalam terapi antihistamin1,2
Antihistamin short acting sebaiknya dihentikan pemberiannya minimal 3 hari
sebelum dilakukan uji tusuk dan antihistamin long acting dihentikan minimal 7
hari sebelum dilakukan uji tusuk.1
2. Sedang dalam terapi kortikosteroid dosis tinggi (lebih dari 10 mg/hari).1
3. Sedang menggunakan kortikosteroid topikal.1

IV. Efek Samping


1. Belum pernah dilaporkan adanya efek samping ASST.
2. Ada kemungkinan terjadi infeksi mikrobial akibat teknik aseptik yang tidak
sempurna.1,2

V. Persiapan
Ada berbagai rekomendasi metode ASST.
Metode yang paling banyak digunakan adalah metode yang direkomendasikan oleh
European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI), The Global Allergy
and Asthma European Network (GA2LEN).2

Persiapan alat dan bahan


Siapkan dan cek kembali alat-alat dan bahan yang akan digunakan, yaitu:
1. Syringe
2. Sarung tangan
3. Alkohol 70%
4. Spidol
5. Penggaris
6. Tabung gelas steril tanpa clotting accelerator atau anticoagulant
7. Histamin (10 µg/mL), dan normal salin (0,9%)
8. Sentrifuge
9. Kit emergensi

Persiapan pasien
1. Informed concent
2. Penentuan lokasi yaitu lengan bawah bagian fleksor
2
Keterampilan Diagnosis
3. Lakukan tindakan antiseptik mengunakan kapas yang dibasahi larutan alkohol
70% dengan olesan ringan, tanpa menggosok
4. Tandai jarak antara suntikan yaitu 3-5 cm

Persiapan operator
1. Cuci tangan
2. Memakai sarung tangan steril

VI. Prosedur Tindakan


Pelaksanaan ASST1,2,6 (2B)
1. Atur posisi pasien agar merasa nyaman.
2. Pengambilan dari vena antecubiti pasien.
3. Bersihkan lokasi pengambilan darah dibersihkan dengan alkohol 70%.
4. Darah dari vena yang telah diambil  7 cc kemudian ditampung dalam tabung
gelas steril tanpa clotting accelerator atau anticoagulant.
5. Diamkan selama 30 menit pada suhu ruangan agar darah menggumpal sehingga
plasma terpisah.
6. Serum diperoleh dari sentrifugasi spesimen dengan kecepatan 450-500 g
selama 10 menit atau dikonversi dalam rotasi per menit/RPM 2450-2500/menit
selama 10 menit. Proses sentifugasi ini bertujuan untuk mendapatkan serum
yang bebas faktor pembekuan.
7. Sampel serum autolog, histamin (10 µg/mL), dan normal salin (0,9%), masing-
masing 50 µL, disuntikkan intradermal dengan jarak 3-5 cm pada bagian volar
lengan bawah yang bebas lesi urtika minimal 24 jam. Urutan suntikan dari
proksimal ke distal.
8. Pembacaan hasil: pada menit ke 30 setelah ASST dilakukan. Bila terdapat reaksi
yang positif, maka diameter urtikaria diukur.

VII. Pasca Prosedur Tindakan


1. Interpretasi Hasil2-4 (2B)
2. Autoreaktivitas ditandai dengan wheal dan flare yang terasa gatal, sebagai
respons dari berbagai faktor dalam serum autologous melalui pelepasan
berbagai mediator dari sel mastosit atau pengaruhnya secara langsung pada
pembuluh darah kecil di kulit.
3. Pemeriksaan ASST positif membuktikan adanya histamine releasing factor
dalam serum.
4. ASST disebut positif bila selisih diameter urtika serum autolog dengan salin ≥ 1,5
mm.

3
Keterampilan Diagnosis
Pembacaan dan Interpretasi hasil

Sumber: Kostantinou.2

Kriteria Kepositifan ASST yaitu bila selisih diameter urtika serum autolog dengan salin lebih
atau sama dengan 1,5 cm. (2C)

VIII. Kepustakaan
1. Kulthanan K, Jiamton S, Gorvanich T, Pikaew S. Autologous Serum Skin Test in Chronic
Idiopathic Urticaria: Prevalence, Corelation and Clinical Implications. Asian Pacific Journal of
Allergy and Imunology. 2006;24:201-6.
2. Kostantinou G, Asero R, Maurer M, Sabroe RS, Schmid-Grendelmeier P, Grattan C.
EAACI/GA2LEN task force consesus report: the autologous serum skin test in urticaria. Allergy.
2009;64:1256-1268.
3. Powell RJ, Leech SC, Till S, Huber PAJ, Nasser SM, Clark AT. BSACI guideline for the
management of chronic urticaria and angioedema. Clin. Exp. Allergy. 2015;45:547-65.
4. Sabroe RA, Greaves MW. The Pathogenesis of chronic idiopathic urticaria. Arch Dermatol
1997;133:1003-8.
5. Sabroe RA, Seed PT, Francis DM, Barr RM, Black AK, Greaves MW. Chronic idiopathic urticaria:
comparison of the clinical features of patients with and without anti-Fc epsilon RI or anti-IgE
autoantibodies. J Am Acad Dermatol. 1999;40:443-50.
6. Swaroop MR, Sathyanarayana BD, Gupta A, Aneesa, Kumari P, Raghavendra J. Autologous
Serum Skin Test in Chronic Urticaria. IJCED. 2015;1(1):25-7.

4
Keterampilan Diagnosis
A.2 Biopsi Kulit

I. Definisi1-5
Pengambilan jaringan kulit untuk pemeriksaan histologi, imunofluoresensi,
imunohistokimia, polymerase chain reaction (PCR), dan kultur jaringan.

II. Indikasi1-5
Membantu menegakkan diagnosis, menyingkirkan diagnosis banding, dan mengikuti
perjalanan (evaluasi) berbagai penyakit kulit, tumor jinak, dan tumor ganas di kulit.

III. Efek Samping1-5


Hipersensitivitas terhadap agen anestesi lokal, perdarahan, infeksi, terbentuk skar
(hipertrofik skar atau keloid).

IV. Kontraindikasi6
1. Biopsi tidak boleh diambil dari area terinfeksi dan telah banyak manipulasi. Bila
telah menggunakan kortikosteroid topikal maupun oral, sehingga lesi menjadi
pudar.
2. Pasien memiliki gangguan pembekuan darah.
3. Pasien dalam terapi aspirin dan NSAID. Pasien yang mengkonsumsi aspirin dan
NSAID sebagai profilaksis dan bukan atas indikasi penyakit jantung atau stroke,
maka aspirin dihentikan 7 hari sebelum tindakan dan NSAID dihentikan 3 hari
sebelum tindakan. Pasien dengan riwayat serangan jantung, angina, transient
ischemic attack, atau stroke diperbolehkan melanjutkan terapi aspirin, NSAID,
atau warfarin selama waktu perdarahan dalam batas normal. 7

V. Persiapan1-5
Persiapan Dokter
1. Memeriksa bleeding time, clotting time, PT, dan APTT pasien, bila ada indikasi.
2. Mempersiapkan alat dan bahan untuk tindakan biopsi.
3. Pemberian keterangan tentang tindakan biopsi yang diberikan dalam formulir
khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi.
4. Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan).
5. Dokumentasi lesi awal sebelum tindakan biopsi.
6. Dokter cuci tangan, memakai masker, topi, baju, dan sarung tangan.
7. Tindakan biopsi disesuaikan dengan diagnosis penyakit, waktu pengambilan,
lokasi, dan metode biopsi.
8. Cuci tangan dan perawatan paska-tindakan.

Persiapan Pasien
1. Persetujuan tindakan medik.
2. Pencegahan infeksi, hingga perawatan luka pasca-tindakan biopsi, dilakukan
sesuai dengan standar operasional tindakan bedah kulit lainnya.

5
Keterampilan Diagnosis
Alat dan Bahan
1. Botol + formalin 10% (buffered formalin jika ada) engan perbandingan jaringan
biopsi terhadap formalin buffer = 1:10 – 1:40
2. Set eksisi
3. Punch biopsy ukuran 3.0 – 6.0
4. Gentian violet dan tusuk gigi//surgical marker
5. Povidon iodin 10%/Chlorhexydine
6. Benang absorbable dan/ atau non-absorbable (sesuai kebutuhan)
7. Sarung tangan steril
8. Gunting benang
9. NaCl 0,9%
10. Salep antibiotik
11. Plester penutup luka (hipafix)

VI. Prosedur Tindakan


Khusus untuk tujuan diagnostik, diperlukan beberapa pertimbangan dalam
pengambilan jaringan dan teknik bedah yang akan dilakukan, yaitu dijelaskan
sebagai berikut:

Tabel 1. Rekomendasi metode dan lokasi biopsi

Penyakit Waktu Lokasi Metode Biopsi Evidence


Pengambilan rating
Acrodermatitis Stadium lanjut Tengah lesi dan Dua punch. C
chronica jaringan kulit Alternatif: biopsi
atrophicans normal sekitarnya insisi meliputi kulit
normal dan bagian
atrofik

Alopesia areata Stadium aktif Tepi lesi Dua buah punch 4 C


mm, dengan
Alopesia anagen Stadium aktif Paling tidak potongan mikrotom C
atau telogen berambut horizontal dan
effluvium vertikal

Alopecia, scarring Lesi aktif Eritematosa, C


(DLE, LP, folliculitis sumbatan folikel,
decalvans, central folikel terinflamasi
centrifugal,
cicatrizing, etc.)

Alopesia Papula Tengah Punch C


paraneoplastik

Dermatitis atopik Stadium akut Vesikel kulit Punch C


atau kontak eritematosa

6
Keterampilan Diagnosis
Penyakit Waktu Lokasi Metode Biopsi Evidence
Pengambilan rating
Dermatitis atopik Stadium kronik Area likenifikasi Punch C
atau kontak

Atrophoderma Stadium lanjut Regio tengah Dua punch. C


Passini-Pierini atrofik dan kulit Alternatif: biopsi
normal sekitarnya insisi meliputi kulit
normal dan bagian
atrofik

Chondrodermatitis Aktif Lesi Shave dalam C


nodularis, chronica
helicis

Eksantem Aktif Lesi Punch C

Erythema annulare Lesi Tepi aktif Punch C


centrifugum atau berkembang
eritema reaktif sempurna (full
blown)

Eritema multiforme Lesi target Satu dari daerah Punch C


tengah yang
gelap/kehitaman;
satu dari tepi
eritematosa

Eritema nodosum Lesi aktif, Tengah Insisi dalam C


dan semua minggu pertama meluas ke
panikulitis subkutis, dengan
kultur jaringan

Fasciitis Aktif Tengah Insisi diperluas C


hingga fascia

Granuloma anulare Lesi aktif Tepi meninggi Punch C

Larva migrans Eritema migrans Kulit normal 2mm Punch C


di luar batas tepi
eritematosa

Liken planus Tiap saat Papul violaseus/ Punch C


keunguan

Liken Sklerosus et Lesi aktif Tepi Punch C


Atrofikus

Liken Sklerosus et Stadium lanjut Porcelain atrophic Punch C


Atrofikus center

Lupus Lesi aktif Plak berskuama Punch C


eritematosus, eritematosa
discoid dengan sumbatan
folikular

Lupus tumidus Lesi aktif Dimana saja C

7
Keterampilan Diagnosis
Penyakit Waktu Lokasi Metode Biopsi Evidence
Pengambilan Rating
Lupus Lesi aktif Dimana saja C
eritematosus, kulit
subakut
Lupus eritematosus Lesi aktif Dimana saja C
sistemik

Lupus profundus Depresi bagian Tengah Insisi atau eksisi C


tengah dan
daerah
sekitarnya

Mikosis fungoides Stadium Tengah Dua atau lebih C


patch/bercak, punch, Shave lebar
lesi belum
diterapi
Stadium plak, Bagian yang paling Satu atau lebih C
non-ulseratif terinfiltrasi punch, shave lebar

Stadium tumor, Area berindurasi Punch, shave lebar C


non-ulseratif

Primary cutaneous Setiap saat Area indurasi Insisi dalam C


B-cell lymphoma

Morfea  Awal Lilac ring  Punch C


 Lanjut  Punch

Necrobiosis Setiap saat Bagian tengah Punch C


lipoidica atrofi berwarna
lebih putih, hindari
area bertulang

Nephrogenic Plak sklerotik Area berindurasi Dua punch 5mm. C


fibrosing atau plak sklerotik Lesi punch dibagi
dermopathy dan kulit tampak dua. Satu untuk
normal pemeriksaan
patologis dan satu
dengan kulit normal
untuk identifikasi
gandolinium (bila
tersedia)

Parapsoriasis, large Semua stadium Lesi belum diterapi Dua atau lebih C
plaque punch

Parapsoriasis, Semua stadium Tengah Beberapa punch C


small plaque

Pitiriasis likenoides 2-3 minggu Papula Punch C


kronik papuloskuamosa

PLEVA 2-3 minggu Papul nekrotik Punch C


Psoriasis: Punch 4mm C
 Gutata  Stadium  Lesi
 Plak lanjut  Dimana saja
 Pustular  Plak  Dimana saja
 Pustul awal

8
Keterampilan Diagnosis
Penyakit Waktu Lokasi Metode Biopsi Evidence
Pengambilan Rating
Pioderma Lesi kecil, awal Seluruh lesi Eksisi dengan C
gangrenosum non-ulseratif kultur jaringan
dan penyakit
ulseratif

Relapsing Lesi ulseratif Ulkus dengan tepi Punch 5mm C


polychondritis dengan kultur

Lesi aktif Telinga Punch sampai


pinna, diikuti
dengan penjahitan
kulit pada kedua
sisi lebih dipilih
dibandingkan
wedge biopsy

Nasofaring Biopsi oleh divisi


telinga hidung
tenggorokan

Skabies Area tidak Tepi proksimal Punch C


infeksi terowongan

Skleromiksedema Kulit sklerotik Papul berbintik- Punch C


bintik

Tinea korporis Belum diterapi, Tepi eritematosa Punch C


bila meninggi
memungkinkan

Tinea pedis Belum diterapi, Tepi vesikular atau Punch C


bila plak
memungkinkan

Urtikaria dan Aktif tiga hari Lesi Punch C


urticarial vasculitis

Vakulitis, pembuluh Minggu pertama Purpura yang Punch dalam, insisi C


darah kecil menimbul/ teraba atau eksisi
(palpable)

Vaskulitis, vena Minggu pertama Tengah lesi Insisi dalam C


atau arteri
sedang/besar

Vaskulitis, livedo Kapan saja Tengah (cincin Punch dalam atau C


non-livid atau insisi
eritematosa)

 Vesikel kecil intak Eksisi


Penyakit Lesi awal (bila
 Perilesi < 1 cm
Vesikobulosa (BP, mungkin <12jam)
dari tepi vesikel / C
PV, DH, linear IgA,
bula
PCT, EBA, dll.) (imunofluoresensi)

Vesikel/kulit Eksisi C
SSJ/TEN/SSSS Lesi awal
deskuamasi

9
Keterampilan Diagnosis
Tabel 2. Rekomendasi metode biopsi
Penyakit Metode Biopsi Evidence
rating
Melanoma maligna Eksisi biasa, bila memungkinkan punch dari area B
paling infiltratif

Lentigo maligna Shave B

Nevus junctional Seluruh lesi dengan punch/eksisi B

Nevus intradermal/ Shave, punch, eksisi C


compound

Karsinoma sel basal, Shave C


superfisial

Karsinoma sel basal, nodular, Punch dalam C


mikronodular, infiltrating, atau
morfea

Karsinoma sel skuamosa, Punch dalam sampai dasar lesi C


insitu (Bowen’s disease),
infiltrating, dan keganasan
lainnya

Keterangan:
1. Biopsi punch/plong: adalah pengambilan jaringan kulit menggunakan alat
berbentuk silinder (punch/plong), berukuran diameter 2-8 mm.
2. Biopsi shave: adalah pengambilan jaringan kulit menggunakan pisau scalpel/
silet khusus shave biopsy hingga kedalaman dermis superfisial/tengah.
3. Biopsi insisi: adalah pengambilan jaringan kulit menggunakan pisau scalpel,
tanpa mengambil keseluruhan lesi kulit.
4. Biopsi eksisi: adalah pengambilan jaringan kulit menggunakan pisau scalpel,
dengan mengangkat seluruh lesi kulit.

10
Keterampilan Diagnosis
VII. Level of Evidence8

Rekomendasi klinis Evidence rating Keterangan

Biopsi eksisi untuk tujuan diagnostik, sedapat C Consensus


mungkin dilakukan dengan margin yang guidelines
sempit.

Biopsi plong atau biopsi shave hanya dapat C Consensus


dilakukan pada keadaan klinis tertentu guidelines
(contoh: lesi yang besar, kecurigaan
terhadap melanoma rendah) mengingat efek
terhadap penentuan derajat dan prognosis.

Lesi yang dicurigai melanoma harus dieksisi C Consensus


dengan batas 1- 3 mm. guidelines

Tipe biopsi tidak mempengaruhi angka B Merupakan hasil


harapan hidup pada pasien melanoma dari 7 uji kasus
kontrol yang
melibatkan 5240
pasien

A= Konsisten, bukti berorientasi pada pasien dengan kualitas baik serta konsisten,
B= Bukti berorientasi pada pasien dengan kualitas terbatas atau tidak konsisten
C= Konsensus, bukti berorientasi pada penyakit, praktek sehari-hari, pendapat ahli,
atau kasus serial.

VIII. Pasca Prosedur Tindakan1-5


1. Menghentikan perdarahan dari lesi yang di biopsi.
2. Lesi diberikan antibiotik topikal, kemudian ditutup kassa steril.
3. Lesi dipertahankan tetap kering dan bersih.
4. Edukasi ke pasien, perawatan terhadap lesi, setiap hari (membersihkan,
pemberian antibiotik topikal, dan mengganti kassa steril (untuk luka tanpa
penjahitan).
5. Kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat penyembuhan luka bekas biopsi.
6. Bila dilakukan penjahitan, kontrol 3 hari setelahnya untuk melihat penyembuhan
luka.
7. Pengangkatan benang jahitan dilakukan setelah terjadi penyembuhan luka.

11
Keterampilan Diagnosis
IX. Kepustakaan
1. Sina B, Kao GF, Deng AC, Gaspari AA. Skin biopsy for inflammatory and common neoplastic
skin diseases: optimum time, best location and preferred techniques. A critical review. J Cutan
Pathol 2009:36:505–510.
2. Elston DM, Stratman EJ, Miller DJ, Skin biopsy. Biopsy issues in specific diseases. J Am Acad
Dermatol. 2016:74:1.
3. Nischal U, Nischal KC, Khopkar U. Techniques of Skin Biopsy and Practical Considerations. J
Cutan Aesthet Surg. 2008 Jul-Dec;1(2):107–111.
4. Werner B. Skin biopsy and its histopathologic analysis. Why? What for? How? Part I. An Bras
Dermatol. 2009;84(5):507-13.
5. Werner B. Skin biopsy and its histopathologic analysis. Why? What for? How? Part II. An Bras
Dermatol. 2009;84(5):507-13.
6. Alguire PC, Mathes BM. Skin biopsy techniques for the internist. J Gen Intern Med. 1998
Jan;13(1):46-54.
7. Otley CC. Continuation of medically necessary aspirin and warfarin during cutaneous surgery.
Mayo clin proc. 2003;78:1392-96.
8. Pickett H. Shave and punch biopsy for Skin Lesions. Am Fam Physician. 2011;84(9):995-1002.

12
Keterampilan Diagnosis
A.3 Uji Intradermal

I. Definisi
Uji intradermal adalah pemeriksaan untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi oleh IgE terhadap bahan yang diujikan.1,2
Uji ini juga dapat digunakan untuk mengetahui reaksi hipersentivitas tipe lambat
tetapi dalam hal ini dibatasi uji intradermal untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas
tipe cepat.3

II. Indikasi
Keperluan untuk menyuntikkan obat sistemik, contoh: penisilin.4,5

III. Kontraindikasi5
Sudah diketahui terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap bahan/obat yang diujikan.

IV. Efek Samping6


1. Reaksi anafilaksis
2. Urtikaria
3. Reaksi iritasi
4. Nyeri saat penyuntikan

V. Persiapan
Persiapan alat dan bahan4,5,7 (2B)
1. Tentukan obat yang akan diujikan
2. Phenolated saline (0,5% fenol dalam larutan Nacl 0,9%) atau larutan NaCl
0,9%
3. Kontrol positif (larutan histamin 0,01 g/ml) (Digunakan untuk memastikan pada
keadaan anergi)
4. Kontrol negatif (larutan NaCl 0,9%)
5. Spuit 1 cc (untuk uji intradermal)
6. Perlengkapan kedaruratan medik:
 Tempat tidur
 Oksigen
 Set infus
 Cairan NaCl 0,9% 500cc
 Spuit 1 cc dan 3 cc
 Adrenalin/epinefrin injeksi
 Kortison/kortikosteroid parenteral lain.

Persiapan pasien
1. Pemeriksaan dilakukan bila telah diketahui hasil uji tusuk obat sebelumnya
negatif.3,4

13
Keterampilan Diagnosis
2. Hentikan obat yang dapat memengaruhi hasil sesuai waktu paruh obat (pada
umumnya 3-5 hari sebelumnya). Obat yang dapat memberi hasil positif palsu:
morfin, kodein, aspirin,  blocker, tetrasiklin. Obat yang memberi hasil negatif
palsu: antihistamin, epinefrin, efedrin, aminofilin, kortikosteroid lebih dari 10 mg
prednison per hari.3
3. Awasi tanda-tanda vital pasien.3

Persiapan dokter
Tidak ada persiapan khusus

VI. Prosedur Tindakan


Pengenceran bahan uji intradermal4,5 (2B)
1. Pengenceran bahan dilakukan tidak melebihi 2 jam sebelum uji kulit intradermal
dilakukan.
2. Cara pengenceran obat: solusio steril dari obat yang dicurigai diencerkan
menggunakan phenolated saline (0,5% fenol dalam larutan NaCl 0,9%) atau
dalam larutan NaCl 0,9% sehingga diperoleh konsentrasi obat 10-1.

Penyuntikan bahan uji intradermal4,5.(2B)


1. Phenolated saline atau larutan NaCl 0,9% digunakan sebagai kontrol negatif.
2. Sejumlah 0,01 ml larutan histamin 0,01 g/ml disuntikkan pada volar lengan
bawah sampai terbentuk indurasi dengan diameter 4-6 mm.
3. Uji intradermal dimulai dengan penyuntikan larutan obat dengan konsentrasi
10-1.
4. Sejumlah 0,01 ml larutan obat disuntikkan pada kulit ekstensor lengan hingga
terbentuk indurasi dengan diameter 4-6 mm.

Pembacaan hasil uji intradermal


1. Pembacaan hasil: pada menit ke 15-30 setelah uji intradermal dilakukan.4,5,7 (2B)
2. Uji intradermal disebut positif (+) bila dalam 30 menit setelah penyuntikan bahan
obat terjadi urtika dengan diameter lebih dari 10 mm dan eritem di sekitar
urtika4,5,7 (2B) atau bila selisih diameter urtika bahan uji dan kontrol negatif 1,5
mm atau terjadi perluasan diameter urtika 1,5 mm dibanding diameter urtika
awal penyuntikan.

VII. Pasca Prosedur Tindakan


Pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping.

14
Keterampilan Diagnosis
VIII. Kepustakaan
1. Li JT. Allergy testing. 2002. [cited 2016 December, 25]. Available from URL: www.aafp.org/afp.
2. Schwindt C, Hutchenson PS, Leu SY, Dykewicsz MS. Role of intradermal skin test in the
evaluation of clinically relevant respiratory allergy assesed using patient history and nasal
challenges. Ann Allergy Asthma Immunol. 2005;94:627-33.
3. Chiriac AM, Bousquet J, Demoly P. In vivo methods for the study and diagnosis of allergy.
Dalam: Adkinson NF, Bochner BS, Burks AW, Busse WW. Holgate ST, Lemanske RF, dkk
(penyunting). Middleton’s allergy principles and practice. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders;
2014.h.1119-32.
4. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A. Guidelines for performing skin test with drugs in
the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Cont Derm. 2001;45:321-328.
5. Barbaud A, Penetrat SR, Trechot P, Petit MA. The use of skin testing in the inverstigation of
cutaneous adverse drug reactions. Br J Dermatol. 1998;139:49-58.
6. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J. General conciderations for skin test procedures in the
diagnosis of drug hipersensitivity. Allergy. 2002;57:45-51.
7. European Academy of Allergy and Clinical Immunology. Allergy Spesific Test Intradermal Test.
2009. [diakses tanggal 24 Februari 2017]. Tersedia di: http://www.eaaci.org/patients/diagnosis-
and-treatment/allergy-spesific-test/intradermal-test.html.

15
Keterampilan Diagnosis
A.4 Uji Provokasi Obat

I. Definisi
Uji Provokasi Obat (UPO)/ drug provocation test (DPT) adalah pemberian obat
secara terkontrol dibawah pengawasan medis untuk mendiagnosis reaksi
hipersensitivitas obat, baik terhadap obat itu sendiri, maupun senyawa obat lain atau
yang memiliki hubungan struktur dan/ atau farmakologis dengan obat penyebab
hipersensitivitas.1,2 Uji provokasi obat dilakukan jika metode tes lain memberikan
hasil negatif atau tidak tersedia (Gambar 1).3

II. Indikasi1,3-7
1. Untuk menyingkirkan diagnosis hipersensitivitas pada pasien terduga erupsi obat
alergi (EOA) dengan riwayat yang kurang mendukung atau dengan gejala tidak
spesifik.
2. Untuk menilai keamanan obat-obat yang secara farmakologis dan/ atau
struktural tidak berkaitan dengan obat penyebab EOA. Hal ini dapat dilakukan
untuk membantu dalam memberikan pengobatan kepada individu yang sangat
cemas, sehingga menolak semua obat yang direkomedasikan tanpa adanya
bukti toleransi.
3. Untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi silang terhadap obat yang memiliki
hubungan dengan obat penyebab EOA.
4. Untuk menegakkan diagnosis hipersensitivitas obat pada seseorang dengan
riwayat positif dengan hasil tes alergi negatif, tidak dapat disimpulkan, atau tidak
tersedia.

III. Kontraindikasi
1. Ibu hamil, dengan pengecualian pada obat yang sangat dibutuhkan selama
kehamilan atau pada saat persalinan.1,3,6-8
2. Faktor komorbiditas seperti alergi dan infeksi akut, asma yang tidak terkontrol,
penyakit jantung (misalnya, pada pasien yang menggunakan β-blocker atau
terdapat kontraindikasi menggunakan adrenalin), gangguan ginjal, dan gangguan
hepar.1,3,8,9
3. Riwayat reaksi obat jenis yang berat atau mengancam kehidupan yaitu: 1,3,4,6-9
 Generalized bullous fixed drug eruption;
 Acute generalized exanthematous pustulosis;
 Toxic epidermal necrolysis;
 Steven Johnson syndrome;
 Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) / drug hypersensitivity syndrome
(DIHS) / drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS);
 Vaskulitis sistemik;
 Manifestasi organ spesifik (sitopenia, hepatitis, nefritis, pneumonitis);
 Anafilaksis;
 Drug induced autoimmune disease (lupus eritematosus sistemik, pemfigus
vulgaris, dan pemfigoid bulosa).

16
Keterampilan Diagnosis
IV. Efek Samping
Syok anafilaktik atau bronkospasme1

V. Persiapan
Persiapan alat dan bahan3,5
1. Obat terduga harus jauh lebih efektif daripada obat alternatif atau tidak dapat
diganti.1,7,8
2. Jenis obat yang diberikan biasanya merupakan obat komersil. Khusus untuk obat
kombinasi, jika tersedia, masing-masing penyusun obat dan bahan aditif juga
harus diujikan karena dapat pula memicu reaksi EOA.1,8
3. Ketersediaan fasilitas resusitasi untuk kegawatan, termasuk diantaranya
prosedur intubasi, disarankan bergantung pada berat ringannya reaksi EOA
sebelumnya, dan jenis obat yang diujikan.1,3,7,8,10
4. Obat-obat kegawatan seperti kortikosteroid, antihistamin, adrenalin, teofilin, dan
inhalan beta-mimetik harus sudah dipersiapkan sebelum prosedur UPO.1

Persiapan pasien
1. UPO dapat dilakukan minimal 4-6 minggu setelah lesi EOA resolusi. Waktu paruh
eliminasi obat harus ditunggu setidaknya lima kali untuk memastikan eliminasi
seluruhnya.1,7,8
2. UPO harus dianggap sebagai suatu uji yang serius dan berpotensi bahaya
terhadap pasien, sehingga keputusan “to provoke or not to provoke” harus
berdasarkan pertimbangan risk-benefit ratio.1,3
3. Pastikan pasien sudah dijelaskan mengenai UPO dan menandatangani informed
consent.3
4. Pasien harus dalam keadaan sehat pada saat tes dilakukan, tidak ada tanda-
tanda alergi, atau infeksi virus.1,8,11
5. Obat-obat selain yang diujikan tidak boleh dikonsumsi selama UPO.1
6. Washout obat-obat yang dikhawatirkan memengaruhi atau mengganggu hasil
uji, termasuk diantaranya antihistamin, antidepresan, glukokortikoid, β-blocker,
dan ACE-inhibitor (Tabel 1).1,4,6,8,10
7. Dokumentasi yang baik mengenai identitas, riwayat medis, dan pengobatan
yang dikonsumsi sebelum UPO.1,8
8. Sebelum dan sesudah UPO, seluruh gejala klinis yang relevan, perubahan
laboratorium, dan hasil pemeriksaan khusus, misalnya spirometri pada pasien
dengan riwayat bronkospasme atau elektrokardiografi (EKG), jika ada harus
dicatat lengkap.1,8 Pemantauan tanda vital misalnya tekanan darah dan denyut
nadi dilakukan sesuai dengan keadaan individu pasien. 1
9. Kebutuhan untuk akses intravena bergantung pada berat ringannya reaksi EOA
sebelumnya.1

VI. Prosedur Tindakan


Pemberian obat untuk UPO dapat dilakukan secara oral, parenteral (iv, im, sc), serta
topikal (nasal), bronkhial, konjuntiva, dan perkutan. Sebaiknya obat harus diberikan
dengan cara yang sama seperti yang diberikan ketika reaksi EOA terjadi, ataupun
ketika nantinya dapat diberikan dalam pengobatan di masa mendatang. Secara umum
untuk reaksi EOA, jalur pemberian obat uji peroral lebih banyak dipilih dibandingkan
parenteral karena absorbsinya lebih lambat sehingga bila muncul reaksi dapat segera
diterapi.1,3,7,8,11
17
Keterampilan Diagnosis
Salah satu guideline UPO yang sering dijadikan acuan adalah protokol dari
European Network for Drug Allergy (ENDA) 2003. Protokol UPO yang lain berasal
dari berbagai penelitian kohort dalam skala kecil terhadap beberapa jenis obat,
diantaranya aspirin, cyclooxigenase-2 inhibitor, beta-laktams.9,10,12,13 (2C)
1. Protokol ENDA: pasien dengan riwayat reaksi EOA berat dirawatinapkan,
sedangkan prosedur pada pasien dengan riwayat delayed type reaction atau
pada pasien dengan reaksi yang tidak membahayakan dapat dilakukan dengan
rawat jalan. Prosedur UPO dengan segala keterbatasannya cukup aman dan
efektif bila dilakukan secara hati-hati dan dalam pengawasan ahli pada pasien
rawat jalan dengan riwayat reaksi EOA yang tidak berat.1,9
2. Dosis obat untuk UPO tergantung jenis dan derajat keparahan reaksi EOA
sebelumnya, rute pemberian, perkiraan waktu laten antara uji hingga timbul
reaksi, dan status kesehatan pasien. Secara umum uji dimulai dari dosis rendah,
kemudian dinaikkan secara hati-hati, dan dihentikan segera setelah reaksi
muncul. Jika tidak ada gejala yang muncul, dapat diberikan dosis maksimal
tunggal atau diberikan dosis harian tertentu (Tabel 2, 3, 5, 5).1,8
3. ENDA menetapkan dosis awal UPO dengan reaksi tipe immediate (riwayat reaksi
obat kurang dari 1 jam setelah pemberian obat berupa urtikaria, angioedema,
konjungtivitis, rhinitis, bronkospame) dapat dimulai antara 1/10.000 hingga 1/10
dosis terapi tergantung berat ringannya riwayat reaksi. Dosis obat dapat dinaikkan
bertahap dengan interval minimal 30 menit hingga dosis terapi tercapai atau
hingga gejala reaksi obat muncul.1,8,10,12
4. Pada reaksi non-immediate (riwayat reaksi obat lebih dari 1 jam setelah
pemberian obat, misalnya berupa erupsi makulopapular, urtikaria atau
angioedema tipe delayed) ENDA menetapkan dosis awal obat tidak boleh lebih
dari 1/100 dari dosis terapi, dengan pengecualian pada fixed drug eruption.1,8,12
5. UPO harus dilakukan dengan kontrol placebo (pil laktosa atau salin 0,9% untuk
prosedur parenteral), buta tunggal, atau bila diperlukan buta ganda. Pemberian
plasebo paling sering dilakukan pada hari pertama provokasi tes dengan satu,
dua, atau 3 dosis plasebo dalam interval waktu bervariasi disesuaikan dengan
interval obat yang diujikan, rata-rata 1 hingga 4 jam. Plasebo dapat pula diberikan
setelah UPO terhadap obat uji selesai dilakukan untuk kofirmasi hasil yang
meragukan dalam periode waktu yang berbeda.1,4,8
6. Pada reaksi EOA dengan kemungkinan obat penyebab multipel, UPO pertama
dilakukan terhadap obat yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk
menimbulkan reaksi alergi dan obat yang paling dicurigai sebagai penyebab
reaksi hipersensitivitas diberikan paling akhir. Provokasi selanjutnya dapat
dilakukan dalam beberapa hari hingga beberapa bulan ke depan tergantung pada
jenis obat dan reaksi UPO sebelumnya.1,9,10
7. Lama pengawasan UPO, bergantung pada riwayat reaksi EOA sebelumnya dan
obat yang diujikan.1,8,13 ENDA menetapkan waktu untuk pengawasan ketat
minimal 2 jam setelah stabilisasi, tetapi untuk pertimbangan keamanan
menyarankan pengawasan hingga 24 jam.1,8 Jika terjadi reaksi yang berat,
misalnya syok anafilaksis, pasien harus dirawat inap karena terdapat
kemungkinan episode bifasik yang dapat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan
diterapi lebih awal.1,8,13 Setelah diperbolehkan rawat jalan, pasien dapat dibekali
dengan obat-obat pertolongan pertama, termasuk antihistamin, betamimetik,
kortikosteroid, untuk gejala lanjutan yang mungkin masih bisa terjadi.1,8

Protokol Lammintausta dkk., (2005), sebagai modifikasi protokol UPO dari ENDA: 9

18
Keterampilan Diagnosis
1. UPO terbukti aman dilakukan dengan rawat jalan setelah pasien dengan riwayat
reaksi EOA yang berat disingkirkan terlebih dahulu.
2. Pengawasan ketat di rumah sakit hanya pada hari pertama UPO dengan
pemantauan pada reaksi kulit, tekanan darah, denyut jantung, dan suhu tubuh.
3. Pasien diperbolehkan untuk pulang ke rumah setelah 3 hingga 4 jam dosis terapi
obat tercapai. Selanjutnya bisa diteruskan dengan dosis harian regular selama 3-
7 hari di rumah. Jika reaksi tidak muncul, maka pasien diminta menghubungi;
sebaliknya jika reaksi dirasakan muncul, pasien diminta segera menghubungi,
menghentikan obat, dan segera memeriksakan diri kembali.

Blanca-Lopez dkk., dalam uji provokasi obat terhadap golongan aminopenicillin


dengan riwayat reaksi non-immediate.
1. Menetapkan setelah dosis terapi harian tercapai dilakukan pengawasan selama
6 jam di rumah sakit.
2. Pasien selanjutnya dapat melakukan UPO di rumah dengan dosis harian selama
5 hari dengan pemantauan dokter.
3. Pasien diminta segera menghubungi dan mendatangi rumah sakit bila reaksi
muncul.10,13

VII. Pasca Prosedur Tindakan


Penilaian Hasil UPO (2C)
1. Uji provokasi obat membantu identifikasi obat penyebab EOA, namun tidak untuk
mengetahui mekanisme patogenesis.1
2. UPO dinyatakan positif bila didapatkan adanya gejala atau tanda reaksi obat
yang sesuai dengan reaksi hipersensitivitas pada riwayat sebelumnya (original
symptoms). Untuk reaksi tipe immediate (urtikaria, angioedema, rhinitis,
bronkospasme, dan syok anafilaktik) muncul dalam waktu kurang dari 1 jam
setelah dosis obat terakhir diberikan (3 jam untuk obat golongan aspirin dan
NSAID).1,8
3. UPO dinyatakan negatif bila setelah dosis harian regular diberikan 2 hingga 4
kali tidak ditemukan adanya gejala dan atau tanda-tanda reaksi
hipersensitivitas.13
4. UPO ulangan dengan dosis terakhir sangat disarankan untuk dilakukan pada
pasien dengan riwayat reaksi obat dengan gejala subjektif, hasil UPO yang
serupa dan tidak khas, dan setelah dikonfirmasi dengan placebo challenge
hasilnya negatif.1,8
5. Penggunaan kriteria evaluasi dalam menilai hasil UPO dapat membantu dalam
beberapa kasus (Tabel 6).1
6. Spesifisitas dan sensitivitas UPO memiliki keterbatasan karena uji ini tidak dapat
dilakukan pada pasien dengan hasil uji kulit positif atas pertimbangan etik. Nilai
prediksi UPO sangat tergantung pada mekanisme reaksi dan obat yang terlibat.
Keterbatasan lain dari tes ini yang harus dipertimbangkan pemeriksa adalah
kemungkinan positif palsu dan negatif palsu (Tabel 7), sehingga UPO dengan
hasil negatif bukan merupakan jaminan toleransi terhadap obat dimasa yang
akan datang.1,7,8,14

Penatalaksanaan reaksi obat oleh karena UPO:


1. Pada setiap prosedur UPO penilaian perlu tidaknya pemberian terapi terhadap
reaksi obat sangat bervariasi bergantung pada berat ringan dan tipe reaksi.1,8

19
Keterampilan Diagnosis
2. Tahap pertama adalah penghentian pemberian obat uji segera diikuti prosedur
umum maupun spesifik setelah reaksi muncul.1,8
3. Pemberian terapi supresif atau remittive dapat mulai diberikan bila gejala cukup
khas sehingga dapat diambil kesimpulan dari hasil uji.1,8
4. Prosedur penatalaksanaan reaksi harus disesuaikan dengan kondisi pasien
dan secara umum mengikuti kaidah umum terapi kegawatdaruratan.1,8
5. Pada tipe immediate dapat diberikan prednisolon 40-60 mg dan antihistamin
selama 2 hari.4,10
6. Pada kasus berat seperti reaksi anafilaksis, dapat diberikan terapi tambahan
berupa injeksi intramuskular epinefrin 0,25 μg.4,10
7. Gejala kulit yang disebabkan oleh UPO harus didokumentasikan dalam foto.
Pemeriksaan histopatologi gejala kulit akibat UPO tidak direkomendasikan
sebagai tindakan yang rutin karena tidak patognomonik pada kebanyakan
kasus. Dalam beberapa kasus, misalnya pada lichenoid exanthema, eritema
multiforme, atau vaskulitis, pemeriksaan histopatologi dapat mendukung
diagnosis klinis.1,8
8. Pasien memerlukan dokumentasi yang baik sehingga perlu diberikan ‘Kartu
atau Paspor Alergi’ yang berisikan: nama dan bahan aktif obat uji; tanggal
terjadi, tipe, dan tingkat keparahan reaksi obat; metode yang digunakan untuk
mengevaluasi; serta rekomendasi obat alternatif yang aman. 1,8

VIII. Kepustakaan
1. Aberer W, Bircher A, Romano A, et al. Drug provocation testing in the diagnosis of drug
hypersensitivity reactions: General considerations. Allergy. 2003;58:854-63.
2. Tanno LK, Calderon MA, Li J, Casale T, Demoly P. Joint Allergy Academies. Updating allergy
and/or hypersensitivity diagnostic procedures in the WHO ICD-11 revision. J Allergy Clin Immunol
Pract 2016;4:650–657.
3. Soyer O, et al. Pro and Contra: Provocation Tests in Drug Hypersensitivity. Int J Mol Sci.
2017;18(7):1437.
4. Bousquet PJ. Provocation Tests in Diagnosing Drug Hypersensitivity. Current Pharmaceutical
Design, 2008;14:2792-2802.
5. Brockow K, Romano A, Blanca M, et al. Rostrum: General considerations for skin test procedures
in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy. 2002;57:43-51.
6. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, et al. BSACI guideline for the management of drug allergy.
Clin Exp Allergy 2008;39:43-61.
7. Demoly P, et al. International Consensus (ICON) on drug allergy. American College of Allergy,
Asthma, and Immunology. Allergy 2014; 69: 420–37
8. Aberer W, Kränke B: Provocation tests in drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am.
2009, 29: 567-84. 10.1016/j.iac.2009.04.008.
9. Lammintausta K, Kortekangas-Savolainen O. The usefulness of skin test to prove drug
hypersensitivity. Br J Dermatol. 2005;152:968-74.
10. Messad D, Sahla H. Benahmed S, et al. Drug provocation test in patiens with history suggesting
an immediate drug hypersensitivity reaction. Annals Internal Med 2004;140:1001-6.
11. Aberer W, Kranke B. Clinical manifestations and mechanisms of skin reactions after systemic drug
administration. Drug Discovery Today: Disease Mechanisms 2008;5:237-47.
12. Blanca M, Romano A, Torres MJ, et al. Update on the evaluation of hypersensitivity reaction to
betalactams. Allergy 2009;64:183-93.
13. Blanca-Lopez N, Zapatero L, Alonso E, et al. Skin testing and drug provocation in the diagnosis
of nonimmediate reactions to aminopenicillins in children. Allergy. 2009;64:229-33.
14. Chiriac AM, Demoly P. Drug provocation tests: up-date and novel approaches. Allergy Asthma
Clin Immunol. 2013;9(1):12.

20
Keterampilan Diagnosis
Curiga reaksi
hipersensitivitas obat

Evaluasi klinis dan


riwayat pengobatan

Bukan Tidak Kemungkinan


hipersensitivitas hipersensitivitas
obat obat?

Ya

Ya Uji kulit dapat


dilakukan?

Positif Negatif
Hasil Tidak

Tidak Uji provokasi Ya


obat dapat Uji provokasi obat**
dilakukan?*

Negatif
Hasil

Positif

Pendekatan Bukan Terbukti


Terbukti alergi obat
terapeutik*** hipersensitivitas obat hipersensitivitas obat

* Saat ini tes biologis yang tersedia untuk mendiagnosis alergi obat kurang sensitif.
** Jika tidak ada kontraindikasi
*** Jika tidak ada obat alternatif (misalnya neuromuscular blocking agent, obat kemoterapi) pemberian obat
kembali dapat dilakukan dalam pengawasan dan pertimbangkan pemberian premedikasi dan/atau desensitisasi.

Gambar 1. Algoritma diagnostik reaksi hipersensitivitas obat.3,7

21
Keterampilan Diagnosis
Tabel 1. Obat yang perlu dihindari sebelum melakukan uji provokasi obat1,4,6,8,10

Reaksi Reaksi non- Interval


Golongan Konsekuensi
Immediate Immediate bebas obat
Anti-histamin H1 + - 3-7 hari
Antidepresan + - 5 hari
Menutup reaksi
(imipramin dan
fenotiazin)
Agonis β-2
 Kerja cepat + - 6-8 jam
(short acting)
Menutup reaksi
 Kerja lambat + - 1-2 hari
(long acting)
Β-blocker
 Per OS + + 1-2 hari Memperberat
 Tetes mata +/- - 1-2 hari reaksi
Kortikosteroid
 Jangka +/- - 3-5 hari
pendek dosis
rendah (<50
mg)
 Jangka +/- + 1 minggu
Menutup reaksi
pendek dosis
tinggi (>50
mg)
 Jangka +/- + 3 minggu
panjang
Ipratropium + - 6-8 jam Menutup reaksi
bromida
Leukotriene + - >1 minggu Menutup reaksi
modifier
Teofilin kerja + - 1-2 hari Menutup reaksi
lambat
ACE inhibitor + + 1 hari Memperlambat
reaksi

22
Keterampilan Diagnosis
Tabel 2. Sekuens peningkatan dosis β-laktam saat uji provokasi obat.10

Dosis harian
Obat Golongan Dosis* Rute
untuk dewasa**
Amoksisilin Penisilin 1,5,25,100,500,1000 Oral 1000-2000 mg
Ampisilin Penisilin 1,5,25,100,500,1000 Oral 2000 mg
Kloksasilin Penisilin 1,5,25,100,500,1000 Oral 2000 mg
Cefaclor Cephalosporin 1,5,25,100,500 Oral 750 mg
Cefadroxil Cephalosporin 1,5,25,100,500,1000 Oral 2000 mg
Cefatrizine Cephalosporin 1,5,25,50,250,700 Oral 1000 mg
Cefazolin Cephalosporin 1,5,25,100,500,2000 Intravena 1500-3000 mg
Cefuroxime Cephalosporin 1,5,20,80,400 Oral 500 mg
Ceftazidime Cephalosporin 1,5,25,100,500,2000 Intravena 3000 mg
Cefixime Cephalosporin 1,5,25,100,225 Oral 400 mg
Ceftriaxone Cephalosporin 1,5,25,100,500,1000 Intravena 1000-2000 mg
* Sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dosis awal pada syok anafilasis, satuan yang sama dengan
kolom 5
** Berdasarkan rekomendasi French Agency on Drug Safety (www.AFSSAPS.sante.fr)

Tabel 3. Sekuens peningkatan dosis antibiotik non β-laktam saat uji provokasi obat.1,8

Dosis harian untuk


Obat Golongan Dosis* Rute
dewasa**
Azitromisin Makrolida 1,5,25,75,125,250 Oral 500 mg
Klaritromisin Makrolida 1,5,25,100,500,1000 Oral 1500-2000 mg
Eritromisin Makrolida 1,5,25,100,500,1500 Oral 2000-3000 mg
Josamycin Makrolida 1,5,25,100,500,1000 Oral 1000-2000 mg
Roxithromycin Makrolida 1,5,25,150 Oral 300 mg
Spiramisin Makrolida 15.000, 75.000, Oral 6-9 mIU
325.000, 75.000,
1.500.000, 4.500.000
Siprofloksasin Kuinolon 1,5,25,100,500 Oral 500-1500 mg
Ofloksasin Kuinolon 2,10,50,100,200 Oral 400 mg
Pefloksasin Kuinolon 4,20,100,200,400 Oral 800 mg
* Sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dosis awal pada syok anafilasis, satuan yang sama dengan
kolom 5
** Berdasarkan rekomendasi French Agency on Drug Safety (www.AFSSAPS.sante.fr)

23
Keterampilan Diagnosis
Tabel 4. Sekuens peningkatan dosis NSAID saat uji provokasi obat.10

Dosis harian untuk


Obat Dosis* Rute
dewasa**
Diklofenak 1,5,20,80 Oral 100-150 mg
Ibuprofen 1,5,20,80,150,300 Oral 200-1200 mg
Ketoprofen 1,5,20,80 Oral 100-200 mg
Asam 1,5,20,80, 200 Oral 300-400 mg
Tiaprofenik
Meloxicam 1,3,5,7 Oral 7,5-15 mg
Piroxicam 1,3,6,10 Oral 20 mg
Asam niflumik 1,5,25,125,625 Oral 750-1000 mg
Aspirin 1,5,20,50,100,200,500 Oral 500-3000 mg
Parasetamol 1,5,20,50,250,500,1000 Oral 500-4000 mg
* Sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dosis awal pada syok anafilasis, satuan yang sama dengan
kolom 5
** Berdasarkan rekomendasi French Agency on Drug Safety (www.AFSSAPS.sante.fr)

Tabel 5. Sekuens peningkatan dosis obat saat uji provokasi obat.10

Dosis
harian
Obat Golongan Dosis* Rute
untuk
dewasa**
Betamethasone Steroid 0.2,1,2,4 Oral 3-12 mg
Metilprednisolone Steroid 1.6,8,16,32 Oral 16-64 mg
Prednisolone Steroid 2,10,20,40 Oral 20-80 mg
Omeprazole Proton-pump 1,5,10,20 Oral 20-40 mg
inhibitor
Pristinamycin Synergistin 1,5,25,100,500,1500 Oral 2000-3000
mg
Tetrazepam Benzodiazepin 1,2.5,25,50 Oral 50-100 mg
Vaksin apa saja Vaksin 0.1,0.4,0.5 Subkutan 0.5 (1.0) ml
Lidokain/Artikain Anastesi lokal 0.1,1,2 Subkutan 1-3 ml
* Sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dosis awal pada syok anafilasis, satuan yang sama dengan
kolom 5
** Berdasarkan rekomendasi French Agency on Drug Safety (www.AFSSAPS.sante.fr)

24
Keterampilan Diagnosis
Tabel 6. Kriteria evaluasi penilaian hasil uji provokasi obat.1

Gejala/Reaksi Evaluasi

Gejala/ reaksi Identik Ya Ya Ya Tidak Tidak


Peningkatan keparahan Ya Tidak Tidak - -
dan luas lesi, interval
waktu lesi muncul lebih
pendek
Keparahan, luas, serta - Ya Tidak - -
interval waktu lesi
muncul identik
Prodormal - - - Ya Tidak
Interpretasi hasil P3 P2 P1 S N
P = Positif [P3-P1 merupakan subgrup dari positif], S = Sugestif, N = Negatif

Tabel 7. Penyebab hasil positif dan negatif palsu pada uji provokasi obat.1

Potensi Penyebab
Reaksi positif palsu Reaksi negatif palsu
 Gejala psikologis  Obat anti alergi
 Gejala yang sudah ada sebelumnya  Hilangnya cofactor (cahaya, obat-obat
(contoh: urtikaria) lainnya, infeksi virus, kelelahan fisik, dll)
 Obat memicu perburukan penyakit  Waktu pajanan atau observasi terlalu
yang sudah ada sebelumnya singkat
 Self infliction  Interval waktu munculnya reaksi terlalu
pendek atau terlalu panjang
 Dosis terlalu rendah
 “Desentisasi” oleh proses uji

25
Keterampilan Diagnosis
A.5 Uji Tempel

I. Definisi
Pemeriksaan in vivo untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan
bertujuan untuk mengidentifikasi alergen penyebab.1-5

II. Indikasi
1. DKA1,2
2. Dermatitis kontak iritan (DKI) dengan diagnosis banding DKA1,2
3. Dermatitis kronis dengan penyebab belum diketahui1,2
4. Erupsi obat alergi6

III. Kontraindikasi
1. Dermatitis yang diderita masih dalam fase akut2 (2C*)
2. Kehamilan (medikolegal)2 (2C*)
3. Menggunakan obat-obat yang dapat mempengaruhi reaksi kulit, misalnya
setara prednison ≥20 mg/hari dan imunomodulator 2,7. (1A)

IV. Efek Samping2,8


1. Sensitisasi
2. Reaksi iritan
3. Kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya
4. Fenomena Koebner
5. Reaksi positif yang persisten
6. Reaksi anafilaktoid
7. Lesi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi positif
8. Efek karena tekanan
9. Infeksi bakteri dan virus
10. Nekrosis, terbentuknya skar dan keloid

V. Persiapan
Persiapan alat dan bahan9
1. Alergen kontaktan:
 Standar/komersial (Eropa, Jepang, Internasional)
 Non-standar/tidak komersial/own material dalam vehikulum vaselin atau
cairan
 Obat tersangka dalam vehikulum vaselin atau cairan
2. Unit uji tempel: Finn Chamber, Gama chamber, Plastic square chamber
(vanderBend, IQ square)
3. Plester hipoalergenik
4. Perlengkapan kedaruratan medik
 Tempat tidur
 Oksigen
 Set infus

26
Keterampilan Diagnosis
 Cairan NaCl 0,9% 500 cc
 Spuit 1 cc dan 3 cc
 Kortison/kortikosteroid parenteral lain

Persiapan pasien
1. Lesi kulit dalam keadaan tenang.1,2
2. Uji dilakukan minimum 1 minggu setelah pasien menghentikan penggunaan
kortikosteroid atau inhibitor kalsineurin topikal pada lokasi uji, minimum 2 minggu
untuk kortikosteroid sistemik (prednison >20 mg/hari),7 (1A) dan
imunomodulator.9
3. Tidak mengonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik.1,2
4. Untuk alergen nonstandar tertentu perlu pengenceran 1/1.000, 1/100, 1/10.1,2
5. Uji dilakukan minimum 2 minggu setelah lesi tenang. Pada erupsi obat alergik
uji dilakukan 6 minggu-6 bulan setelah lesi tenang.2
6. Uji dilakukan minimum 2 minggu setelah pajanan berat sinar matahari/fototerapi
UVB.Pada saat dilakukan uji tempel, area uji jangan terpapar langsung sinar
matahari. 2

VI. Prosedur Tindakan1-3,10,11 (2C)


Uji tempel dengan Finn chamber merupakan uji tempel yang paling sering
digunakan.
1. Tentukan lokasi uji yaitu punggung atas atau interskapula. Bila tidak
memungkinkan, dapat dilakukan di lengan atas sisi lateral.
2. Bahan alergen yang akan diujikan diisikan pada unit uji tempel dan diberi tanda.
Isikan alergen sebanyak 20 mg atau sepanjang 8 mm pada unit chamber atau
bila berupa alergen cair, diteteskan 20 µL atau 1 tetes di atas kertas filter yang
diletakkan pada unit chamber.
3. Posisi pasien duduk atau telungkup.
4. Kulit dibersihkan dengan kapas alkohol apabila area uji berminyak. Apabila tidak
berminyak cukup dengan air bersih. Penempelan dilakukan setelah larutan larutan
alkhohol evaporasi. Di Eropa penggunaan bahan degreasing membersihkan area
uji praktis tidak pernah dilakukan
5. Unit uji tempel ditempelkan di kulit dan diberi perekat/plester hipoalergenik.
6. Pada uji tempel obat, pasien diminta menunggu di tempat selama 30 menit
untuk mendeteksi efek samping reaksi tipe cepat yang mungkin terjadi.
7. Pasien diijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji tidak basah kena air dan
tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan keringat berlebihan.
8. Apabila timbul perih/nyeri (reaksi iritan) harus menghubungi dokter.
9. Unit uji tempel bisa dilepas lebih awal jika timbul keluhan sangat gatal atau rasa
terbakar pada lokasi uji tempel).
10. Pembacaan pada umumnya dilakukan pada jam ke 48, 72 dan 96. Untukalergen
tertentu pembacaan dapat ditambah lebih dari 96 jam.
11. Hasil tes tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan anamnesis
dan gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab.
12. Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna.

27
Keterampilan Diagnosis
VII. Pasca Prosedur Tindakan
Pembacaan dan interpretasi hasil uji tempel:1-6 (2B)
1. Setelah 48 jam unit dibuka, diberi tanda dengan larutan gentian violet/skinmarker
2. Pembacaan dilakukan 15-30 menit setelah plester di lepaskan
3. Hasil uji tempel dibaca sesuai metode ICDRG yaitu:
? eritema
+ eritema, infiltrat, papul
++ eritema, infiltrat, papul, vesikel
+++ eritema, infiltrat, papul, vesikel berkonfluesi atau bula
- negatif
IR reaksi iritan
NT tidak dilakukan uji
4. Pasien diizinkan pulang namun lokasi uji tetap dianjurkan untuk tidak basah/
terkena air
5. Pada hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) dilakukan pembacaan ulang
dengan cara yang sama
6. Dari hasil pembacaan disimpulkan reaksi yang timbul bersifat alergik atau iritan
7. Hasil uji tempel yang positif bermakna (minimal +) dinilai relevansinya melalui
anamnesis dan gambaran klinis. Hasil dengan relevansi positif ditetapkan
sebagai penyebab kelainan kulit saat ini. Jika ditemukan relevansi dari reaksi
positif, maka seharusnya dihindari bahan-bahan sebagai penyebab.

Bila hasil uji tempel meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan pada
penderita dengan menggunakan Repeated Open Application Test (ROAT).1,2 (2C)

Reaksi positif palsu


Beberapa keadaan yang memberikan reaksi positif palsu antara lain:1-4
1. Angry back (excited skin syndrome)
2. Konsentrasi bahan terlalu tinggi
3. Terlalu cepat dilakukan evaluasi
4. Dermatitis karena plester.

Reaksi negatif palsu


Reaksi negatif palsu dapat timbul pada keadaan:1-4 (2C)
1. Konsentrasi bahan untuk dilakukan tes terlalu rendah.
2. Terlalu cepat melepaskan tes tempel dan melakukan interprestasi.
3. Vehikulum yang tidak sesuai.
4. Kondisi yang memudahkan timbulnya dermatitis (keringat, gesekan, tekanan,
ulserasi).
5. Bila alergen bersifat fotosensitizer.
6. Penggunaan kortikosteroid.

28
Keterampilan Diagnosis
VIII. Kepustakaan
1. Devos SA, Pieter VDV. Epicutaneous Patch Testing: a review. Eur J Dermatol. 2002;12(5): 506-
13.
2. Lachapelle JM, Malbach HI. Patch testing methodology. Dalam: Lachapell JM, Maibach HI,
penyunting. Patch testing and prick testing, a practical guide. Edisi kedua. Jerman;Springer;
2009.h.33-67
3. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Edisi kedelapan. New York: Mc Graw Hill; 2003.h.152-64.
4. Lachapelle JM, Maibach HI. The standart and additional series of the patch test. Dalam: Lachapell
JM, Maibach HI, editor. Patch testing and prick testing, a practical guide. Edisi kedua.
Jerman;Springer; 2009.h.70-94.
5. Fortina AB, Cooper SM, Spiewak R, Fontana E, Schnuch A, Uter W. Patch test results in children
and adolescents across Europe. Analysis of the ESSCA Network 2002–2010. Pediatr Allergy
Immunol. 2015;26(5):446-55.
6. Barbaud A. Skin testing and patch testing in non-IgE-mediated drug allergy. Curr AllergyAsthma
Rep. 2014:14:442.
7. Anveden I, Lindberg M, Andersen KE, Bruze M, Isaksson M, Liden C, et al. Oral prednisone
suppresses allergic but not irritant patch test reactions in individuals hypersensitive to nickel.
Contact Dermatitis. 2004;50(5):298-303.
8. Hillen U, Frosch PJ, John SM, Pirker C, Wundenberg J, Goos M. Patch test sensitization caused
by para-tertiary-butylcatechol. Results of a prospective study with a dilution series. Contact
Dermatitis 2001:45:193-196.
9. Johansen JD, Korte KA, Agner T, Andersen KE, Bicher A, et al. European society of contact
dermatitis guideline for diagnostic patch testing-recommendations on best practice. Contact
Dermatitis. 2015:1-27.
10. Manuskiatti W, Maibach H I. 1- versus 2- and 3-day diagnostic patch testing. Contact Dermatitis.
1996:35:197-200.
11. Brasch J, Geier J, Henseler T. Evaluation of patch test results by use of the reaction index. An
analysis of data recorded by the Information Network of Departments of Dermatology (IVDK).
Contact Dermatitis 1995:33:375-380.

29
Keterampilan Diagnosis
A.6 Uji Tusuk

I. Definisi
Pemeriksaan in vivo untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas tipe cepat, dan
bertujuan untuk mengidentifikasi alergen penyebab.1,2

II. Indikasi3,4
Identifikasi sensitisasi terhadap alergen tertentu pada penyakit-penyakit dengan
dasar reaksi hipersensitivitas tipe 1:
 Urtikaria
 Dermatitis atopik
 Erupsi obat alergik
 Asma bronkial
 Rinitis alergika
 Konjungtivitis alergik.

III. Kontraindikasi2,3,5
1. Kehamilan
2. Penyakit dalam keadaan aktif
3. Terdapat lesi kulit yang dapat mengganggu pembacaan pada lokasi uji
4. Pasien yang tidak kooperatif atau takut jarum
5. Riwayat anafilaksis

IV. Efek Samping2


1. Syok anafilaksis
2. Syok neurogenik
3. Bronkospasme
4. Urtikaria

V. Persiapan
Persiapan alat dan bahan5,6,7(2B)
1. Alergen yang telah distandarisasi (makanan, hirup, dan obat tersangka dalam
vehikulum cairan)
2. Jarum 25–27G/lancet sesuai jumlah alergen
3. Kontrol positif (histamin klorhidrat 10 mg/ml)
4. Kontrol negatif (Larutan NaCl 0,9% atau vehikulum yang digunakan pada
alergen)
5. Perlengkapan kedaruratan medik:
 Tempat tidur
 Oksigen
 Set infus
 Cairan NaCl 0.9% 500 cc
 Spuit 1 cc dan 3 cc
 Adrenalin/epinefrin injeksi

30
Keterampilan Diagnosis
 Kortison/kortikosteroid parenteral lain

Persiapan pasien
Hentikan obat-obat antihistamin, seperti setirizin, loratadin, feksofenadin, ebastin,
mizolastin, desloratadin, dan levosetirizin selama 3 hari. Ketotifen dihentikan selama
15 hari. Obat yang dapat memberi hasil positif palsu: morfin, kodein, aspirin, β
blocker, tetrasiklin. Obat yang dapat memberi hasil negatif palsu: epinefrin, efedrin,
aminofilin, kortikosteroid lebih dari 10 mg prednison perhari.6

VI. Prosedur Tindakan2,3,5,7-9 (2B)


1. Lokasi: lengan bagian volar atau punggung bagian atas. Pemeriksaan dilakukan
di lengan bagian volar, dengan jarak 3 cm dari siku dan 5 cm dari pergelangan
tangan.
2. Bersihkan lokasi uji dengan kapas alcohol.
3. Lokasi penusukan ditandai dengan jarak kurang lebih 2 cm.
4. Sebelum melakukan pemeriksaan dengan alergen, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan dengan kontrol positif dan kontrol negatif.
5. Kontrol positif harus menghasilkan urtika dengan diameter minimal 3 mm, dan
kontrol negatif memberikan hasil negatif.
6. Teteskan alergen pada area yang telah ditandai dan menusuk area tersebut
dengan lancet atau jarum dengan sudut 30-400 untuk menghindari pendarahan.
7. Lancet/jarum diganti di setiap tusukan alergen yang berbeda.
8. Pasien dianjurkan untuk tidak menggaruk walaupun terdapat rasa gatal.

VII. Pasca Prosedur Tindakan


Pembacaan Hasil Uji Tusuk dan Relevansi:2,3,4,10 (2B)
1. Setelah 15-20 menit alergen dan kontrol dikeringkan dengan tisu.
2. Ukur diameter setiap urtika.
3. Diameter urtika kontrol positif harus minimum 3 mm lebih besar daripadakontrol
negatif.
4. Hasil positif bila alergen dengan diameter urtika >50% dari jumlah diameter
kontrol positif dan kontrol negatif.
5. Penilaian relevansi dilakukan terhadap hasil uji yang positif dihubungkan
dengan anamnesis dan gejala klinis.

31
Keterampilan Diagnosis
VIII. Kepustakaan
1. Caffarelli C, Dondi A, Dascola CP, Ricci G. Skin prick test to foods in childhood aopic eczema:
pros and cons. Ital J Pediatr. 2013;31;1-5.
2. Heinzerling L, Mari A, Bergman KC, Bresciani M, Burbach G, Darsow U, dkk. The skin prick
test-European standards. Clin Trans Allerg. 2013;3:1-10.
3. Coetzee O, Green RJ, Masekela R. A guide to performing skin prick testing in practice: tips and
tricks of the trade. S AfrFamPract. 2013;55:415-9.
4. Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, Papadopoulos NG, Bousquet PJ, Burney PG, et al.
Practical guide to skin prick tests in allergy to aeroallergens. Allergy. 2012;67:18-24.
5. Morris A. Allsa position statemen: allergen skin-prick testing. Curr Allerg Clin Immunol.
2006;19:1-4.
6. Lachapelle JM, Malbach HI. The methodology of open (non-prick) testing, prick testing, and its
variants. Dalam: Lachapell JM, Maibach HI, penyunting. Patch testing and prick testing.
Edisikedua. Jerman;Springer:2009. Hlm.141-52.
7. Nelson HS, Knoetzer J, Bucher B. Effect of distance between sites and region of the body on
results of skin prick tests. J Allergy Clin Immunol. 1996;97(2):596-601.
8. Demoly P, Bousquet J, Manderscheid JC, Dreborg S, Dhivert H, Michel FB. Precision of skin
prick and puncture tests with nine methods.J Allergy Clin Immunol. 1991;88(5):758-62.
9. Konstantinou GN, Bousquet PJ, Zuberbier T, Papadopoulos NG.The longest wheal diameter is
the optimal measurement for the evaluation of skin prick tests.Int Arch Allergy Immunol.
2010;151(4):343-5.
10. Sampson HA, Albergo R. Comparison of results of skin tests, RAST, and double-blind, placebo-
controlled food challenges in children with atopic dermatitis.J Allergy ClinImmunol.
1984;74(1):26-33

Keterampilan Terapeutik 32
TINDAKAN DALAM DERMATOLOGI
B.1 Bedah beku
B.2 Bedah eksisi/flap/graft
B.3 Bedah kimia (chemical peeling)
B.4 Bedah kuku
B.5 Bedah kulit untuk vitiligo
B.6 Bedah listrik
B.7 Bedah Mohs
B.8 Bedah sedot lemak
B.9 Bedah subsisi
B.10 Bedah plong
B.11 Bedah cross excision
B.12 Blefaroplasti
B.13 Ekstraksi komedo
B.14 Face Lift menggunakan benang
B.15 Face Lift: minimum incision face lift
B.16 Face Lift: non-surgical face lift
B.17 Fototerapi
B.18 Injeksi bahan pengisi (filler)
B.19 Injeksi toksin botulinum
B.20 Injeksi kortikosteroid intralesi
B.21 Laser dan IPL untuk kelainan pigmen
B.22 Laser dan IPL penghilang rambut
B.23 Laser untuk kelainan tumor jinak kulit
B.24 Laser untuk kelainan vaskular
B.25 Laser untuk menghilangkan tato

Keterampilan Terapeutik 33
B.26 Laser untuk resurfacing
B.27 Laser untuk skar akne
B.28 Mikrodermabrasi
B.29 Skin Needling
B.30 Skleroterapi
B.31 Transplantasi rambut

Keterampilan Terapeutik 34
B.1 Bedah Beku

I. Definisi
Tindakan bedah menggunakan bahan kriogen/pembeku dengan tujuan
menghancurkan sel dari jaringan patologis.

II. Indikasi

Tabel 1. Indikasi tindakan bedah beku pada berbagai penyakit kulit.


No Jenis penyakit GOR LOE Keterangan
Kelainan jinak
1. Veruka3 B 1 Bila rekuren dengaan terapi
topikal
2 Kondiloma4 B 1 -
3 Molluskum kontangiosum5 B 1 -
4 Keratosis seboroik1,2 B 5 -
5 Lentigo solaris1,2 B 5 -
6 Keloid/ skar hipertrofi C 2 Kombinasi dengan modalitas
lain untuk keloid
7 Dermatofibroma1,2 C 5 -
8 Hiperplasia sebasea1 C 5 -
6
9 Skin tag/ fibroma mole B 5 -
10 Granuloma piogenik6 C 5 -

Kelainan prakanker
1 Keratosis aktinik7 B 1 Lesi jumlah sedikit dan
localized9
2 Penyakit Bowen8 B 1 Efek samping lebih sering
pada tungkai9

Kelainan ganas
1 Karsinoma sel basal10 B 1 Bila pasien tidak dapat
dibedah pisau
2 Karsinoma sel skuamosa11 B 4 KI bila biopsi tampak invasi di
subkutan9
3 Lentigo maligna12 C 4 Bila pasien tidak dapat
dibedah pisau
4 Terapi paliatif2 C 5 Terapi untuk mengurangi
massa atau perdarahan pada
pasien yang tidak dapat
menjalani terapi lainnya.
Keterangan: KI= kontraindikasi, GOR= grade of recommendation, LOE= level of evidence

III. Persiapan
1. Persiapan pasien: pada beberapa kondisi diperlukan terapi pratindakan. Buat
persetujuan tindakan medis dengan pasien. Persiapan petugas: cuci tangan
petugas medis yang terlibat.
2. Persiapan alat: sarung tangan, larutan antiseptik, anestesi lokal (bila diperlukan),
tabung spray bedah beku/kapas lidi, nitrogen cair, kassa basah, pisau atau silet
(bila diperlukan) wadah kecil berisi air hangat.

Keterampilan Terapeutik 35
IV. Prosedur Tindakan
1. Lakukan anestesi (umumnya anestesi topikal) bila diperlukan. Gunakan sarung
tangan.
2. Kompres lesi kulit terutama yang hiperkeratotik selama 5 menit dengan kassa
basah. Lalu bersihkan lapangan tindakan dengan larutan antiseptik.
3. Lama pengerjaan sesuai waktu karakteristik lesi kulit yang dikerjakan. Lesi jinak
biasanya 1 siklus, sedangkan lesi prakanker dan kanker kulit memerlukan 2
siklus freeze–thaw. Terapi paliatif memerlukan beberapa sesi pengerjaan.
Terdapat 2 jenis teknik bedah beku dengan nitrogen cair
 Teknik spray: semprotkan tabung bedah beku
 Teknik kapas lidi: tutul kapas lidi yang telah jenuh direndam larutan
nitrogen cair.
4. Perdarahan yang terjadi dihentikan, lapangan tindakan dibersihkan darah dan
larutan antiseptik. Lesi kulit yang masih intak tidak perlu ditutup kassa. Bila
terdapat erosi hingga ulkus dapat diberikan vaselin album atau salap antibiotik
(bila terdapat infeksi) dan ditutup kassa.
5. Ajarkan pasien untuk:
 Tetap membersihkan lesi kulit atau luka dengan air dan sabun 2 kali sehari
dilanjutkan perawatan luka sesuai kondisi yang terjadi hingga luka sembuh.
Hal ini untuk mencegah infeksi sekunder pasca tindakan
 Bila terdapat nyeri dapat diberi analgetik pada 2 hari pertama
 Konsultasi ulang sesuai anjuran atau bila terdapat efek samping yang berat.

V. Kepustakaan
1. Vujevich JJ, Goldberg LH. Cryosurgery and electrosurgery. Dalam: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, editor. Fitzpatrick’s
Dematology, edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill, 2019.h.3791-801.
2. Pasquali P. Cryosurgery. Dalam: Nouri K, editor. Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blackwell; 2013. p. 51-57.
3. Gibbs S, Harvey I, Sterling JC, Stark R. Local treatments for cutaneous warts. Cochrane
Database Syst Rev. 2003;(3).
4. Noah S. Genital warts. Dermatology Online Journal [internet]. 2006 [cited 2016 Oct 17];12(3).
Available from: http://escholarship.org/uc/item/7v57p744
5. He H, Lu JY, Fang J. Observation on effect of four kinds of therapy for molluscum
contagiosum. Chinese Journal of Dermatovenereology 2001;15(5):308-9.
6. Zimmerman E, Crawford P. Cutaneous cryosurgery. American Family
Physician. 2012;86(12):1118-1124.
7. Pierre P, Weil E, Chen S. Cryotheraphy versus topical 5-fluouracil therapy of actinic
keratosis: a systematic review. Allergologie. 2001;24:204-5.
8. Morton CA, Whitehurst C, Moseley H, McColl JH, Moore JV, MacKie RM. Comparison of
photodynamic therapy with cryotherapy in the treatment of Bowen’s disease. Br J Dermatol.
1996;135:766-71.
9. Williams H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B. Evidence-based
dermatology. Edisi ke-2. Singapore: Blackwell Publishing; 2008.h.294-314.
10. Thissen MR, Nieman FH, Ideler AH, Berretty PJ, Neumann HA. Cosmetic results of
cryosurgery versus surgeical excision for primary uncomplicated basal cell carcinomas of the
head and neck. Dermatol Surg. 2000;26:759-64.
11. Zacarian SA. Cryosurgery of cutaneous carcinomas. An 18-year study of 3022 patients with
4228 carcinomas. J Am Acad Dermatol. 1983;9:947-56.
12. Samaniego E, Redondo P. Lentigo Maligna. Actas Dermo-Sifiliográficas (English Ed. AEDV.
2011;147(10):1211–3.

Keterampilan Terapeutik 36
B.2 Bedah Eksisi/Flap/Graft

I. Definisi
Pemindahan jaringan kulit yang masih tersambung pada tempat asalnya atau
pengambilan tandur kulit untuk menutupi defek pada bedah kulit.

II. Indikasi
Adanya defek kulit yang perlu ditutup akibat pembedahan tumor jinak: lipoma, kista,
nevus, tumor ganas: karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, melanoma
maligna dan kelainan kulit lain: revisi skar, dll.

III. Prosedur Tindakan


1. Pemberian informasi dan persetujuan tindakan medis.
2. Persiapan pasien, alat, tenaga medis.
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan dengan tindakan aseptik dan antiseptik
pada daerah operasi dan sekitarnya.
4. Daerah operasi ditutup dengan penutup lapangan operasi steril.
5. Gambar garis insisi menggunakan marking pen
6. Anestesi lokal atau anestesi umum bila diperlukan.
7. Tindakan:
 eksisi lesi, jaringan dibebaskan
 undermining dengan gunting hingga jaringan subkutis
 evaluasi hasil undermining
 penutupan luka dengan jahitan kulit, untuk luka dengan diperlukan
jahitan subkutis.
 bersihkan lapangan operasi dengan NaCl 0,9%. Olesi salep antibiotik
dan ditutup dengan kassa steril.
8. Perawatan paska tindakan:
 edukasi sesuai
 bebat luka dapat diganti setiap 2-3 hari.
 evaluasi untuk buka jahit, pada hari 5,7,14 tergantung pada letak anatomis.

IV. Kepustakaan
1. Nguyen TH, McGinness JL. Skin flaps. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step
by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:77-95.
2. Hainovic A, Sheehan JM, Rohrer TE. Excisional surgery and repair, flaps, and grafts.
Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer
JS [Ed]. Fitzpatrick’s Dematology, edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill, 2019.h.3726-60.
3. Rohrer TE, Cook JL, Nguyen TH, Mellette JR Jr. Flaps and grafts in dermatologic
surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007.

Keterampilan Terapeutik 37
B.3 Bedah Kimia (Pengelupasan Kimiawi/Chemical Peeling)

I. Definisi
Bedah kimia merupakan suatu tindakan aplikasi bahan kimia pada kulit agar terjadi
pengelupasan kulit terkontrol, yang akan diikuti dengan regenerasi lapisan epidermis
dan dermis.1-3
Klasifikasi bedah kimia 3-6
1. Sangat superfisial: bila kedalaman pengelupasan mencapai lapisan stratum
corneum dan dapat sampai bagian atas lapisan stratum spinosum.
2. Superfisial: bila kedalaman pengelupasan mencapai seluruh epidermis dan dapat
sampai papila dermis.
3. Medium: bila kedalaman pengelupasan mencapai seluruh epidermis dan dapat
sampai lapisan atas retikularis dermis.
4. Dalam: bila kedalaman pengelupasan mencapai midretikularis dermis.

II. Indikasi
1. Kerusakan struktur kulit: photodamage2-4,7-9 (1A), skar2-4,6,9,10 (1A), pigmentasi2-4,7
(1A), pelebaran pori-pori3,6, xerosis3, fine lines4,6,9 (1A), rough texture3,6, kulit
kusam3,8,9,11.
2. Tumor kulit superfisial: keratosis seboroik3,6, lentigenes4,9, keratosis aktinik4,9 (1A),
keratosis pilaris3,6.
3. Inflamasi kronik: akne 4,12,13 (1A), rosasea4 (1A).

III. Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif:
1. Iradiasi radioterapi pada area tindakan2,3,6
2. Pekerjaan pasien di luar ruangan yang terpajan sinar matahari3,6,14
3. Kehamilan dan menyusui2,3,6,15 (1A)
4. Infeksi aktif (herpes simpleks, veruka, infeksi jamur, impetigo, dan
selulitis)2,3,6,18,15 (1A)
5. Tindakan bedah kepala atau leher beberapa waktu sebelumnya 6
6. Hair removal fasial beberapa waktu sebelumnya6,9
7. Penggunaan isotretinoin 6 bulan terakhir3,6,14 (1A)
8. Keloid atau skar hipertrofik3,9,14 (1A)
9. Gangguan penyembuhan luka (imunosupresi)6,14 (1A)
10. Dermatosis pada area tindakan (vitiligo, psoriasis, dan dermatitis atopik)6,14.

Kontraindikasi absolut:
1. Alergi terhadap bahan bedah kimia, aspirin (asam salisilat)6 (1A)
2. Pasien yang memiliki harapan tidak realistis2,3,14. (1A)

IV. Efek Samping


1. Nyeri 2,3,6
2. Eritem persisten2,3,5,6
3. Dapat terjadi dermatitis kontak iritan, hiperpigmentasi dan hipopigmentasi pasca
inflamasi2,3,5,6

Keterampilan Terapeutik 38
4. Rasa terbakar5,6
5. Munculnya jaringan parut terutama pada bedah kimia yang dalam3,5,6
6. Reaksi alergi/hipersensitivitas3,6
7. Milia3,5,6
8. Erupsi akneiformis2,3
9. Infeksi (akne, impetigo, kandidiasis atau herpes simplex aktif) 2,3,5,6
10. Salisilisme (sangat jarang, jika menggunakan asam salisilat)3

V. Persiapan
Alat dan Bahan
1. Bahan bedah kimia (dapat dipilih salah satu sesuai indikasi)
a. Asam retinoat3,8,13 (1A)
b. Asam salisilat10-12,16-18(1A)
c. Glycolic acid (GA)10,11,19,10 (1A)
d. Alpha hydroxyl acid (AHA), BHA, PHA6,12,13 (1A)
e. Asam azaleat13,15 (1A)
f. Trichloroasetic acid (TCA) 13,17,21 (1A)
g. Kombinasi berbagai zat kimia dalam formula, antara lain: Jessner1,16,18,19
(1B), Jessner modifikasi17(1B), dan lain-lain.
2. Kuas
3. Bandana
4. Handuk kecil
5. Kipas angin kecil
6. Mangkuk kecil
7. Kapas
8. Tisu
9. Sarung tangan
10. Pembersih wajah dan spons
11. Vaselin/petrolatum
12. Tabir surya spektrum luas

Pasien
1. Kulit wajah pasien dilakukan priming terlebih dahulu selama kurang lebih 2
minggu.
2. Informed consent
3. Dokumentasi pasien sebelum tindakan

VI. Prosedur Tindakan1-4,6 (1A)


1. Pasien berbaring, dengan posisi kepala elevasi sekitar 30-450.
2. Wajah pasien dibersihkan.
3. Vaseline atau petrolatum dioleskan di ujung mata, hidung dan bibir pasien.
4. Kipas angin dinyalakan dan diarahkan ke wajah pasien.
5. Bahan bedah kimia dioleskan dengan kuas atau kasa secara rata dan cepat ke
seluruh wajah.
6. Pada bedah kimia menggunakan GA, perlu dilakukan netralisasi.
7. Dioleskan krim pelembab dan tabir surya.

Keterampilan Terapeutik 39
VII. Pasca Prosedur Tindakan2-4,6
1. Hindari pajanan sinar matahari
2. Hindari menggosok wajah sampai kulit selesai mengelupas
3. Gunakan tabir surya spektrum luas

VIII. Kepustakaan
1. Deprez P. Chemical peeling. Dalam: Baran R, Maibach HI, penyunting. Textbook of Cosmetic
Dermatology. Edisi ke-5. San Francisco: Taylor & Francis Group, 2017: 498-509.
2. Monheit G, Tayebi B. Chemical peels and dermabrasion. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner
AL, Enk AH, Margolis DJ, dkk, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology, Edisi ke-9. New York:
McGraw-Hill, 2018: 3895-905.
3. Small R, Hoang D, Linder J. Chemical peel introduction and foundation concepts. Dalam: Small
R, Hoang D, Linder J, penyunting. Chemical Peels, Microdermabrasion, & Topical Products.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2013: 37-110.
4. Soleymani T, Lanoue J, Rahman J. A practical approach to chemical peels:a review of
fundamentals and step-by-step algorithmic protocol for treatment. J Clin Aesthet Dermatol.
2018;11(8): 21-8.
5. Lee KC, Wambier CG, Soon SL, Sterling JB, Landau M, Rullan P, dkk. Basic chemical peel:
superficial and medium-depth peel. J Am Acad Dermatol 2019;81:313-24.
6. O’Connor AA, Lowe PM, Shumack S, Lim AC. Chemical peels: a review of current practice. Aust
J Dermatol. 2018;59:171–181.
7. Reserva J, Champlain A, Soon SL, Tung R. Chemical peels: indications and special
considerations for the male patient. Dermatol Surg. 2017;0:1–11.
8. Faghihi G, Fatemi-Tabaei S, Abtahi-Naeini B, Siadat AH, Sadeghian G, Nilforoushzadeh MA,
Mohamadian-shoeili H. The effectiveness of a 5% retinoic acid peel combined with
microdermabrasion for facial photoaging: a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical
trial. Dermatol Res Pract. 2017;2017:1-6. https://doi.org/10.1155/2017/8516527.
9. Salam A, Dadzie OE, Galadari H. Chemical peeling in ethnic skin: an update. Br J Dermatol.
2013;169(Suppl. 3):82–90.
10. Al-Talib H, Hameed A, Al-khateeb A, Murugaiah C. Effcacy and safety of superfcial chemical
peeling in treatment of active acne vulgaris. An Bras Dermatol. 2017;92(2):212-6.
11. Sarkar R, Garg V, Bansal S, Sethi S, Gupta C. Comparative evaluation of efficacy and tolerability
of glycolic acid, salicylic mandelic acid, and phytic acid combination peels in melasma. Dermatol
Surg. 2016;42:384-91.
12. Levesque A, Hamzavi I, Seite S, Rougier A, Bissonnette R.Randomized trial comparing a
chemical peel containing a lipophilic hydroxy acid derivative of salicylic acid with a salicylic acid
peel in subjects with comedonal acne. J Cosmet Dermatol. 2011;10:174-8.
13. Chen X, Wang S, Yang M, Li L. Chemical peels for acne vulgaris: a systematic review of
randomised controlled trials. BMJ Open. 2018; 8:e019607.
14. Anitha B. Prevention of complications in chemical peeling. J Cutan Aesthet Surg. 2010; 3(3):186-
9.
15. Faghihi G, Taheri A, Shahmoradi Z, Nilforoushzadeh MA. Solution of azelaic acid (20%),
resorcinol (10%) and phytic acid (6%) versus glycolic acid (50%) peeling agent in the treatment
of female patients with facial melasma. Adv Biomed Res.2017;6:9.
16. Bae BG, Park CO, Shin H, Lee SH, Lee ys, et al. Salicylic acid peels versus Jessner’s solution
for acne vulgaris: a comparative study. Dermatol Surg. 2013; 39:248-53.
17. Nofal E, Nofal A, Gharib K, Nasr M, Abdelshafy A, Elsaid E. Combination chemical peels are
more effective than single chemical peel in treatment of mild‐to‐moderate acne vulgaris: a split
face comparative clinical trial. J Cosmet Dermatol. 2018;17(5):802-10.
18. Bae BG, Park CO, Shin H, Lee SH, Lee YS, Lee SJ, Chung KY, Lee KH, Lee JH. Salicylic acid
peels versus Jessner’s solution for acne vulgaris: a comparative study. Dermatol Surg.
2013;39:248-53.
19. In Jae J, Dong Ju H, Dong Hyun K, Yoon MS, Lee HJ. Comparative study of buffered 50% glycolic
acid (pH 3.0)+0,5% salicylic acid solution vs Jessner’s solution in patients with acne vulgaris. J
Cosmet Dermatol. 2018;17(5):797-801.
20. Saeed W, Altaf F, Rashid S, Rani Z. Efficacy and safety of 50% glycolic acid peels in the
treatment of melasma in Fitzpatrick’s skin type IV and V. J Pakistan Assoc Dermatol. 2016;
26(1):26-30.
21. Dayal S, Sahu P, Yadav M, Jain VK. Clinical effcacy and safety on combining 20% trichloroacetic
acid peel with topical 5% ascorbic acid for melasma. J Clin Diagn Res. 2017;11(9): WC08-11.
Keterampilan Terapeutik 40
B.4 Bedah Kuku

I. Definisi
Tindakan bedah untuk kelainan pada kuku, yang bertujuan untuk menegakkan
diagnosa dengan biopsi, untuk menyembuhkan infeksi, untuk mengurangi nyeri,
menghilangkan tumor, dan untuk memastikan hasil kosmetik terbaik pada kelainan
kuku yang kongenital ataupun didapat.

II. Indikasi1-3
1. Diagnostik
2. Kelainan kongenital
3. Infeksi
4. Proses peradangan
5. Tumor
6. Trauma kuku
7. Medikasi
8. Kosmetik

III. Persiapan1-3
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Alat yang dibutuhkan sama seperti peralatan bedah kulit lainnya, namun
ditambah
a. nail elevator (dental elevator, Freer elevator, dura mater elevator),
b. nipper (Dual action nail nippers, English nail splitter, Straight nail nipper)
c. Torniquet (Penrose drain /sarung tangan)
d. Bila perlu bone rongeur untuk tumor yang melibatkan tulang.
e. Skin hook
f. Skin punch G.

IV. Prosedur Tindakan3


1. Pencegahan infeksi sebelum tindakan (asepsis dan antisepsis)
2. Drapping (menutup area tindakan dengan kain steril/ duk bolong).
3. Anestesi lokal/blok:
 Proximal digital block
 Distal digital block
 Transthecal block
 Wrist block
4. Pemasangan Tourniquet (Penrose drain / sarung tangan steril)
5. Tindakan bedah kuku berdasarkan lokasi kelainan kuku:
a. Bedah lempeng kuku
b. Bedah Proximal nail fold
c. Bedah Lateral nail fold
d. Bedah Nail bed
e. Bedah Distal nail fold
f. Bedah Nail matrix

Keterampilan Terapeutik 41
g. Bedah seluruh unit kuku
h. Bedah yang melibatkan tulang
i. Cosmetic Nail Surgery
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan.

V. Perawatan pasca-prosedur1,3
a. Desinfeksi area operasi
b. Tutup luka dengan salap, tulle, kasa tebal, bebat elastik
c. Antibiotika dan analgetika sesuai kebutuhan
d. Pasien dianjurkan untuk elevasi ekstremitas yang dioperasi setinggi jantung
selama dua hari.
e. Pasien kontrol 2 hari setelah tindakan bedah kuku untuk ganti balutan (rendam
jari / kuku dalam NaCl 0,9% untuk melepaskan balutan)
f. Setelah itu pasien kontrol 5-7 hari, keculi bila dianggap perlu mengganti balutan
lebih cepat
g. Luka perlu tetap lembab selama 2 minggu dengan penggunaan salap.

VI. Kepustakaan
1. Baran R, Cogrel O. Nail surgery. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS [Ed]. Fitzpatrick’s Dematology, edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill,
2019.h.3774-90.
2. MacRarlane DF, Scher RK. Nail surgery. Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in
Dermatology Surgery. Edinburgh, Mosby; 2003.h.195-201

Keterampilan Terapeutik 42
B.5 Bedah Kulit Untuk Vitiligo

I. Definisi
Tindakan bedah untuk vitiligo yang telah stabil lebih dari 1 tahun dan usia di atas 12
tahun, lesi < 3% luas tubuh.

II. Indikasi
Kriteria stabilitas vitiligo: (dalam 6 bulan- 3 tahun terakhir)
1. Tidak didapatkan lesi baru
2. Lesi yang ada cenderung menetap ukurannya
3. Tidak didapatkan koebnerisasi
4. Mengalami repigmentasi spontan
5. Jika dilakukan minigraft, tes minigraft positif.

III. Kontraindikasi
Predisposisi terjadinya keloid dan atau skar hipertrofik.

IV. Persiapan
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

V. Prosedur Tindakan7,8
1. Anastesi lokal
2. Tindakan: autologous skin graft dengan menggunakan biopsi plong, split
thickness graft, epidermal blister graft, cultured melanocyte graft, single hair graft
3. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan

Minigraft Blister graft Split Cultured Non cultured


Thickness cellular cellular
graft transplant transplant
Sumber Punch Atap bula Lembaran Shave biopsy Shave biospy
melanosit biopsy dermis
graft epidermis
tipis

Ukuran lesia Kecil- Kecil Luas Ekstensif Ekstensif


sedang

Durasi prosedurb Pendek- Panjang Panjang Panjang Pendek-


sedang sedang

Peralatan yang Punch Suction Dermatom, Laboratorium Dermatom,


diperlukan biosy blister Dermabrader khusus, Dermabrader,
apparatus, Dermatom, media kultur
Dermabrader Dermabrader,
media kultur
Keterampilan Terapeutik 43
Immobilisasi/ 7-14 7-14 7-14 5-14 4-7
periode dressing
(hari)

Kelebihan Mudah, Mudah, Keberhasilan Dapat Day care,


tidak aman, tidak lebih tinggi menghasilkan tidak
mahal mahal, hasil banyak sel dari memerlukan
kosmetik sampel yang laboratorium
lebih baik sedikit khusus

Kekurangan Cobble Perlu waktu Milia, skar, Mahal, Pelatihan dan


stone lebih lama, hematom laboratorium instrumen
nyeri khusus, dan yang khusus
perlu beberapa
kali kunjungan

Grade of 2C 2B 2A 2B 2B
Recommendation

aKecil,
<20 cm; sedang, 20-50 cm; luas, 100-250 cm; ekstensif, 300-500 cm; bpendek, 45 menit-1 jam;
sedang 1-2 jam; panjang 2-4 jam

VI. Kepustakaan
1. Sheth R, Kamat A, Doshi A, Lodaya B. Cosmetic dermatologic surgery in ethnic skin. Dalam:
Nouri K, editor. Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2013.h.293-
298
2. Avram MR, Tsao S, Tannous Z, Avram MM. Color atlas of cosmetic dermatology. New York:
McGraw-Hill; 2007.
3. Savant SS. Miniature punch grafting. Dalam: Savant SS, Shah R, Gore D, editor. Textbook and
atlas of dermatosurgery and cosmetology. Mumbai: ASCAD; 2004.h.998:235-9.
4. Jin SIK BURM, Rhee SC, Kim YW. Superficial dermabrasion and suction bilister epidermal
grafting for postburn dyspigmentation. Dalam: Asian Skin Dermatologic Surgery; 2007.h.33:326-
32
5. Oiso N, Suzuki T, Kaneda MW, Tanemura A, Tanioka M, Fujimoto T. Guidelines for the diagnosis
and treatment of vitiligo in Japan. Journal of Dermatology. 2013;40:344-354.
6. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ, et al. Dalam Fitzpattrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York: Mc Grawhill;
2012.h.792-803.
7. Mulekar SV, Isedeh P. Surgical interventions for vitiligo: an evidence-based review. British
Journal of Dermatology 2013; 169 (Suppl 3): 57-66
8. Whitton M, Pinart M, Batchelor JM, Bee L, Gonzalez U, Jiyad Z, et al. E:vidence based
management of vitiligo: summary of a Cochrane systematic review. British Journal of
Dermatology 2016; 174: 962-69

Keterampilan Terapeutik 44
B.6 Bedah Listrik

I. Definisi
Penggunaan arus listrik frekuensi tinggi pada jaringan biologi dengan tujuan
memotong, melakukan koagulasi, desikasi, dan fulgurasi jaringan. Sebutan tindakan
bedah listrik di bidang dermatologi mencakup modalitas: elektrofulgurasi,
elektrodesikasi, elektrokoagulasi, elektroseksi, elektrokauter, dan, elektrolisis.

II. Indikasi
1. Elektrofulgurasi: penggunaan elektroda mono terminal yang mampu
menghasilkan bunga api tanpa menyentuh jaringan. Indikasi: veruka, skin tag,
atau keratosis seboroik yang berada pada lapisan epidermis (superfisial).
2. Elektrodesikasi: pada prinsipnya sama dengan elektrofulgurasi kecuali
elektrodanya kontak dengan jaringan dan tidak menghasilkan bunga api.
Walaupun kerusakan jaringan yang ditimbulkan lebih jika dibandingkan
elektrofulgurasi, namun tetap pada lapisan epidermis (superfisial). Indikasi:
keratosis, veruka.
3. Elektrokoagulasi: penggunaan elektroda bi-terminal, dimana kerusakan jaringan
yang terjadi lebih dalam dibandingkan elektrofulgurasi/elektrodesikasi. Teknik
ini bertujuan menghasilkan panas pada jaringan, sehingga tercapai koagulasi
jaringan. Indikasi: hemostasis.
4. Elektroseksi: untuk memotong jaringan dengan perdarahan yang minimal (efek
koagulasi).
5. Elektrokauterisasi: penggunaan filamen pemanas pada ujung elektroda dengan
tujuan untuk transfer panas dari filamen ke jaringan target, sehingga terjadi
denaturasi protein dan koagulasi jaringan. Tidak terjadi transfer listrik pada target
jaringan, sehingga aman untuk pasien dengan pace-maker, ataupun pada
jaringan dengan konduktifitas listrik rendah (tulang rawan, tulang, atau kuku).
6. Elektrolisis: penggunaan arus elektroda negatif ke positif dengan tujuan untuk
lisis dan koagulasi jaringan. Indikasi: hair removal.

III. Kontraindikasi
Tidak terdapat kontraindikasi absolut.
Penting diperhatikan pada pasien dengan IECD (implantable electronic cardiac
device) yang mendapatkan tindakan bedah listrik sebaiknaya diawasi oleh supervisor
dan ahli anestesi. Hasil EKG paling tidak 1 lead dimana spike dan atau kompleks
QRS dapat terlihat dan teridentifikasi.

IV. Efek Samping


1. Burns. Risiko terbakar dapat terjadi jika lempeng elektroda tidak berkontak
dengan baik.
2. Percikan api dapat terjadi akibat pemakaian desinfektan berupa alkohol. Hindari
pengoperasian alat di dekat kanula hidung, masker, oksigen endotrakeal,
ataupun duk operasi berbahan kertas.

Keterampilan Terapeutik 45
3. Channeling yang merupakan nyeri atau kerusakan jaringan pada jaringan
tissue jauh akibat arus listrik yang berjalan mengikuti saraf.
4. Infeksi dan mutagenisitas. Asap hasil pembakaran yang terhirup dapat
membawa partikel bakteri atau virus.

V. Persiapan
1. Persetujuan tindakan medis.
2. Pemasangan monitor rekam jantung pada pasien dengan riwayat pemakaian
alat picu jantung ataupun defibrilator jantung tanam.
3. Persiapan pasien, alat, dan petugas.
4. Pasien diminta untuk melepas perhiasan ataupun logam/metal yang ada pada
badan.
5. Pasien dalam posisi supinasi atau pronasi pada bed tindakan.
6. Pemasangan lempeng elektroda pada pasien.
7. Pencegahan infeksi sebelum tindakan (hindari pemakaian alkohol sebagai
disinfektan).
8. Anastesi lokal menggunakan pehakain dengan epinefrin.

VI. Prosedur Tindakan


1. Lesi patologis dihancurkan atau dipotong dengan menyentuhkan jarum
elektroda pada jaringan dengan menggunakan power rendah.
2. Lesi patologis tampak keabu-abuan dengan adanya lapisan terbakar pada
keseluruhan lesi.
3. Jaringan terbakar dibuang dengan menggosok menggunakan kasa steril atau
kuret.
4. Tindakan diulang hingga keseluruhan lapisan lesi bersih.
5. Perdarahan dihentikan dengan penekanan, elektrofulgurasi, atau
elektrokoagulasi bipolar.
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan.

VII. Pasca Prosedur Tindakan


1. Edukasi mengenai tindakan dan komplikasi yang dapat terjadi
2. Bebat kasa dapat diganti setelah 24-48 jam
3. Lokasi tindakan dibersihkan dengan cairan normal salin
4. Pengolesan antibiotik topikal atau petroleum jelly setiap hari disertai
penggantian bebat kasa hingga sembuh.

Keterampilan Terapeutik 46
VIII. Kepustakaan
1. Choudry S, Mcleod MP, Leal-Khouri S. Electrosurgery. Dalam: Nouri K. Dermatologic surgery
step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:77-95.
2. Vujevich JJ, Goldberg LH. Cryosurgery and electrosurgery. Dalam: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, editor. Fitzpatrick’s
Dematology, edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill, 2019.h.3791-801.
3. Leal-Khouri S, Lodha R, Nouri K. Electrosurgery.Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in
Dermatology Surgery. Edinburgh; Mosby, 2003:81-3
4. Bisaccia E, Scarborough D.A. The Columbian Manual of Dermatologic Cosmetic Surgery. New
York: McGraw-Hill; 2002.
5. Bracamonte B.G, Rodriguez J, Casado R, Vanaclocha F. Electrosurgery in patients with
implantable electronic cardiac devices (pacemakers and defibrillators). Acta Dermo Syph. 2012:
128-32.
6. Pollack SV. Electrosurgery. Dalam: Gallen JP, Horn TD, Mancini AJ, dkk. Dermatology, edisi ke-
2. Spanyol: Mosby Elsevier, 2008:2139-45.

Keterampilan Terapeutik 47
B.7 Bedah Micrographic Mohs

I. Definisi
Suatu teknik eksisi tumor kulit dengan pemeriksaan histopatologi (horizontal frozen
section) yang terintegrasi. Bedah Mohs merupakan prosedur yang paling teliti dalam
mengevaluasi batas lesi bebas tumor, sehingga dapat sesedikit mungkin
mengangkat jaringan sehat sekitar tumor.

II. Indikasi
1. Karsinoma sel basal
2. Karsinoma sel skuamosa
3. Melanoma
4. Lentigo maligna melanoma
5. Extramammary Paget’s disease
6. Dermatofibrosarkoma

III. Persiapan
1. Pemberian informasi dan persetujuan tindakan medik
2. Persiapan pasien, alat, tenaga medis

IV. Prosedur Tindakan


1. Pencegahan infeksi sebelum tindakan.
2. Anestesi lokal atau anestesi umum bila diperlukan.
3. Tindakah bedah Mohs:
 Verifikasi lesi
 Eksisi lesi
 Orientasi jaringan
 Pemrosesan jaringan
 Evaluasi histologi.
4. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan.
5. Perencanaan penutupan defek, dapat menggunakan teknik flap kulit, tandur
kulit, atau penyembuhan sekunder.

Keterampilan Terapeutik 48
V. Kepustakaan
1. Christensen SR, Leffell DJ. Mohs micrographic surgery. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner
AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS [Ed]. Fitzpatrick’s Dematology, edisi ke-
9. New York: Mc Graw-Hill, 2019.h.3761-74.
2. Nouri K, Leal-Khouri, Lodha L. Mohs micrographic surgery . Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S.
Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh;Mosby;2003:103-16
3. Wheeland RG, Ratz JL, Bailin PL, Mohs micrographic surgery technique. Dalam: Roenigk
RK, Roenigk HH. Roenigk & Roenigk’s Dermatologic Surgery Principle and Practice, edisi
ke-2. New York;Marcell Dekker:738-44
4. Arnon O, Pagkalos VA, Xanthinaki AA, Silberstein E. Double- Bladed Scalpel in Mohs
micrographic surgery. ISRN Dermatology; 2012: 1-4
5. Foroozan M, Sei JF, Amini M, Beauchet A, Saiag P. Efficacy of Mohs micrographic surgery
for the treatment of derrmatofibrosarcoma protuberans: systematic review. Arch Dermatol.
2012 Sep;148(9):1055-63.

Keterampilan Terapeutik 49
B.8 Bedah Sedot Lemak

Peringatan
Pengambilan lemak lebih dari 100 ml (yaitu jumlah yang sesuai untuk kebutuhan tandur
kulit dan mesenchymal stem cells), memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan
dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I. Definisi
Tindakan pengambilan kumpulan jaringan lemak subkutis untuk keperluan tandur
dan donor mesenchymal stem cells dan untuk menghilangkan lemak yang tidak
dikehendaki.

II. Indikasi
Tandur lemak untuk rekonstruksi maupun mendapatkan dan memperbaiki contour
tubuh, lipoma, lipodistrofi, hiperhidrosis aksilaris, rekonstruksi.

III. Kontraindikasi
1. Pasien dengan psikologi tak stabil.
2. Pasien dengan obat anticoagulant dan herbal dg efek anticoagulant; perhatian
khusus pada pasien dengan obat obat yang berinteraksi dengan lidokain.

IV. Efek Samping


1. Infeksi
2. Perdarahan
3. Contour tidak rata
4. Seroma
5. Bekas luka insersi ada skar
6. Sensibilitas berkurang

V. Persiapan
Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet,
prothrombin time, partial thromboplastin time, fungsi hati.

VI. Prosedur Tindakan


1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal pada lemak subkutis dengan tumesen (1000 cc NaCl 0,9%, 1 cc
adrenalin/epinefrin 1:1000, 10 cc natrium bikarbonat 8,4%, 50 cc lidokain 1%)
Tunggu 15-20 menit. Atau modifikasi konsentrasi lidocaine, dengan dosis 45-50
mg/kgBB

Keterampilan Terapeutik 50
5. Tindakan: lemak disedot dengan kanula diameter 2-5 mm, tumpul (atraumatik)
dengan menggunakan spuit untuk harvest lemak atau alat spuit atau suction
untuk keperluan body contouring
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan
7. Pasca tindakan: daerah yang disedot harus diberikan pembalut elastis/korset
selama 7-10 hari untuk mencegah hematoma

VII. Pasca Prosedur Tindakan


Pasca tindakan: daerah yang disedot harus diberikan pembalut elastis/korset
selama 7-10 hari untuk mencegah hematoma dan kulit dapat.

VIII. Kepustakaan
1. Hanke CW, Gustafson CJ, Stebbins WG, Leonard AL. Liposuction using Tumescent Local
Anesthesia. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
Orringer JS [Ed]. Fitzpatrick’s Dematology, edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill, 2019.h.3761-
74.
2. Narins RS. Safe liposuction and fat transfer. New York: Marcel Dekker, Inc; 2003.
3. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic surgery. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2002.
4. Sattler G, Sonja G, Ferris KM, Al Qubaisy Y. Liposuction. Dalam: Nouri K, editor.
Dermatologicsurgery step by step. West Sussex: Wiley-Blcakwell; 2013:223-227.
5. Lawrence Naomi, Nemeth SA and Leonhardth Janie. Liposuction. Dalam: Robinson JK,
HankeCW, Siegel DM et al. Surgery of the skin. Edinburg. Mosby Elsivier; 2010.

Keterampilan Terapeutik 51
B.9 Bedah Subsisi

I. Definisi
Tindakan subsisi untuk memperbaiki skar akne adalah prosedur operatif dengan
menggunakan jarum untuk merusak jaringan ikat di bawah skar akne atrofi yang
dalam.1-2

II. Indikasi
1. Skar hipotrofik yang tertarik ke dermis1,2 (2C)
2. Skar akne tipe rolling menunjukkan respons paling baik8 (1A)
3. Skar akne tipe boxcar yang dalam tidak menunjukkan respons yang baik8 (1C)
4. Selulit9 (2B)

III. Kontraindikasi3-6
1. Infeksi aktif, seperti infeksi herpes simpleks, veruka vulgaris, dll.
2. Akne vulgaris aktif (1A)
3. Kulit terbakar matahari
4. Penggunaan agen topikal seperti glycolic acids, alphahydroxy acids, dan Retin-
A
5. Setelah prosedur peeling kimiawi
6. Diabetes tidak terkontrol
7. Eczema, dermatitis
8. Kanker kulit
9. Lesi vaskular
10. Penggunaan obat pengencer darah (1A)
11. Gangguan pembekuan darah (1A)
12. Penggunaan obat oral isotretinoin dalam satu tahun terakhir
13. Rosacea
14. Kehamilan
15. Riwayat skar hipertrofik atau keloid

IV. Efek Samping4-6


1. Edema (1A)
2. Nyeri (1A)
3. Perdarahan
4. Pembentukan nodul subdermal akibat fibroplasia eksesif
5. Memar yang dapat hilang dalam 1 minggu

V. Persiapan7 (2C)
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

Keterampilan Terapeutik 52
VI. Prosedur Tindakan7 (2C)
1. Anastesi lokal dengan suntikan.
2. Tindakan: aseptik kulit, jarum (18G 1,5 inch Nokor Admix ) ditusukkan 900 atau
secara horizontal sejajar permukaan kulit. Kemudian dilakukan gerakan
memotong seperti kipas atau maju-mundur guna membebaskan permukaan kulit
dari subkutis.
3. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan.

VII. Pasca Prosedur Tindakan7 (1A)


Oleskan antibiotik topikal di daerah subsisi.

VIII. Kepustakaan
1. Alsufyani MA. Subcision: a further modification, an ever continuing process. Dermatology
Research and Practice; 2012.
2. Sanchez FH. Treatment of acne scars. Dalam: Nouri K, editor. Dermatologic surgery step by
step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:197-206.
3. Kucuktas M, Engin B, Kutlubay Z, Serdaroglu S. Subcision treatment of acne scars. Journal of
the Turkish Academy of Dermatology, 2013;7(3):1-5.
4. AbouKhedrs NAE, Hussein TM, El-Fatah AMEA. Comparing the role of subcission suction
method with and without the injection of platelet-rich plasma in the treatment of depressed scars.
2016;1-10.
5. Robati RM, Abdollahimajd, Robati AM. Evaluation of subcision for the correction of the prominent
nasolabial folds. Dermatology research and practice, 2015:1-7
6. Alam M, Omura N, Kaminer MS. Subcision for acne scarring: technique and outcomes in 40
patients. 2005;31:310-317.
7. Kucuktas M, Engin B, Kutlubay Z, Serdaroglu S. Subcision treatment of acne scars. J Turk Acad
Dermatol. 2013;7(3):1373-1378.
8. Boen M, Jacob C. A review and update of treatment options using the acne scar classification
system. Dermatol Surg. 2019;45(3):411–22.
9. Friedmann DP, Vick GL, Mishra V. Cellulite: a review with a focus on subcision. Clin Cosmet
Investig Dermatol. 2017;10:17-23

Keterampilan Terapeutik 53
B.10 Blefaroplasti

Peringatan
Pengambilan kulit bagian dermis, memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan
dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I. Definisi1.2
Tindakan pembedahan dari kelopak mata bagian atas dan bawah yang melibatkan
rekonstruksi kulit kelopak mata, otot orbikulris okuli, dan lemak orbital untuk
peremajaan dan perbaikan kelainan fungsional.

II. Indikasi2
Kelopak bagian atas:
• Fungsional: epiblefaron dengan ptosis bulu mata, blefarokalasis, inflamasi, trauma
• Kosmetik: untuk kebutuhan estetik

Kelopak bagian bawah:


Rhytidosis, dermatochalasis, steatoblefaron relatif, pronounced nasojugal groove,
deflasi infraorbital/malar, malar mounds atau festoons dan kelopak mata bawah yang
asimetris.

III. Persiapan2,3
1. Persetujuan tindak medik
2. Mempersiapkan pasien, alat, petugas, pastikan pasien tidak sedang minum
antikoagulan/pengencer darah
3. Design operasi dan disetujui pasien
4. Anamnesis: riwayat medis (salah satunya penyakit tiroid), riwayat operasi pada
optalmik sebelumnya, riwayat trauma, riwayat perdarahan.
5. Pemeriksaan fisik: posisi kelopak mata, kullit periokular, prolapse dari lemak
orbital, penilaian apakah adanya deformitas tear trough, mata kering, kelemahan
kelopak mata, kelemahan tendon canthal, proyeksi pipi, dan malar festoons,
fungsi nervus VII.
6. Dokumentasi dengan mata pada posisi primer.

IV. Prosedur Tindakan1,2,3,8


1. Pencegahan infeksi sebelum tindakan, membersihkan kelopak mata dengan
disinfektan yang tidak iritasi mata.
2. Dekontaminasi operator dan asisten, pakaian perlengkapan operasi minor.
3. Anastesi lokal dengan lidokain yang mengandung epinefrin 1/100.000
menggunakan jarum 27 sampai 30 gauge, bisa dengan atau tanpa sedasi, tetapi
jangan menidurkan pasien, karena perlu kooperasi pasien untuk membuka
mata.
4. Tindakan: kulit di buka (sesuai design) dengan skalpel/ bedah listrik/ laser CO2.
Bila perlu dilakukan eksisi sebagian m. orbicularis occuli dan ekstirpasi lemak
secukupnya (diperlukan kualifikasi tambahan). Dilakukan hemostasis yang
cermat. Kulit dirapatkan kembali dengan jahitan halus, atau tidak perlu penjahitan
Keterampilan Terapeutik 54
(pada kelopak mata bawah, bila teknik transkonjungtiva).
5. Perawatan pascaoperasi

V. Perawatan Setelah Tindakan


1. Menggunakan kompres es pada tempat yang dilakukan tindakan selama tiga hari
untuk meminimalisir bengkak.
2. Topikal siprofloksasin opthalmic ointment pada lokasi inisisi diberikan selama 2
minggu.
3. Apabila menggunakan benang non-absorbable, dapat diangkat setelah 1 minggu.
4. Menghindari aktivitas berat selama minimal 1 minggu.

VI. Kepustakaan
1. Alghoul M. Blepharoplasty: anatomy, planning, techniques, and safety. Aesthet Surg J.
2019;39(1):10-28.
2. Bhattacharjee K, Misra DK, Deori N. Updates on upper eyelid blepharoplasty. Indian J
Opthalmol. 2017;65(7):551.
3. Bhattacharjee K, Ghosh S, Ugradar S, Azhdam AM. Lower eyelid blepharoplasty: An overview.
Indian J Opthamol. 2020;68(10):2075.
4. Lee WW, Samimi DH. Upper eyelid blepharoplasty. fillers. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic
surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2013.h.229-232.
5. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of Cosmetic Surgery. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2002.
6. Butani A. Blepharoplasty. Dalam: Alam M.(eds). Evidence based procedural dermatology. New
York: Springer; 2012:403-415.
7. Moody BR, Weber PJ. Blepharoplasty and browlift. Dalam: Robinson JK, Hanke CW,
Sengelmann RD, Siegel DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005;673-690.
8. Naik MN, Honavar SG, Das S, Desai S, Dhepe N. Blepharoplasty: an overview. J Cutan
Aesthet Surg. 2009;2(1):6.

Keterampilan Terapeutik 55
B.11 Chemical Reconstruction of Skin Scars (CROSS)

I. Definisi
Merupakan prosedur rekonstruksi secara kimiawi terhadap skar akne menggunakan
asam trikloroasetat (TCA) dengan konsentrasi tinggi yaitu 65-100%.1-4

II. Indikasi
Skar akne tipe ice pick dan box scar kecil1-5 (1A)

III. Kontraindikasi1-4
1. Iradiasi radioterapi pada area tindakan
2. Memiliki kecenderungan keloid
3. Dermatitis atau kondisi inflamasi lain pada wajah
4. Penggunaan isotretinoin oral 6 bulan terakhir
5. Luka terbuka atau ekskoriasi pada area tindakan

IV. Efek samping1,2


1. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi pasca inflamasi
2. Infeksi
3. Eritema yang berkepanjangan
4. Dermatitis kontak
5. Ulkus yang nyeri
6. Skar yang lebih besar

V. Persiapan1-4,6
1. Alat dan bahan
 Disposable syringe
 Mangkuk kecil
 Aplikator dengan ujung runcing atau tusuk gigi
 TCA 65-100%
 Kipas angin
 Air dingin

2. Pasien
 Informed consent
 Kulit wajah pasien dilakukan priming dan pemakaian tabir surya terlebih
dahulu selama 2 minggu
 Membersihkan wajah
 Dokumentasi pasien sebelum tindakan

Keterampilan Terapeutik 56
VI. Prosedur Tindakan1-4,6 (1A)
1. Larutan TCA secukupnya diambil menggunakan syringe dan dituangkan ke
dalam mangkuk.
2. Pasien diberitahu bahwa pengolesan akan dimulai. Dapat menggunakan kipas
angin yang dinyalakan dan diarahkan ke lesi untuk mengurangi rasa panas, pedih
dan gatal yang akan timbul selama bahan kimia menempel di kulit.
3. Aplikator dengan ujung runcing atau tusuk gigi yang digunakan sebagai aplikator
dicelupkan pada mangkuk, kemudian ditiriskan pada pinggir mangkuk agar tidak
ada larutan yang menetes.
4. Kulit di sekitar skar diregangkan, kemudian aplikator ditekan sampai pada bagian
dasar atau terdalam skar atrofik sampai muncul white frost solid (‘fridge white’)
dalam 10 detik atau lebih.
5. Ulangi prosedur di atas pada skar yang lain
6. Area tindakan dikompres menggunakan kassa yang telah dibasahi dengan air
dingin hingga rasa panas pada wajah berkurang
7. Wajah dikeringkan menggunakan tisu kering

VII. Pasca Prosedur Tindakan1,3,4,6


1. Lakukan dokumentasi pasien setelah tindakan
2. Oleskan pelembab secara merata, diikuti pengolesan krim tabir surya
3. Daerah tindakan dievaluasi 1 minggu kemudian

VIII. Kepustakaan
1. Monheit GD, Tayebi B. Chemical Peels and Dermabrasion. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner
AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi
ke-9. New York: McGraw Hill; 2019. h.3895-905.
2. Landau M, Ghannam SF. Chemical peels. Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Siegel DM, Fratila A,
dkk, penyunting. Surgery of The Skin. Edisi ke-3. 2015. h.393-408.
3. Sanchez FH. Treatment of acne scars. Dalam: Nouri K, penyunting. Dermatologic Surgery Step by
Step. Willey Blackwell. 2013. h.197-206.
4. Monheit GD, Chastain MA. Chemical and mechanical skin resurfacing. Dalam: Bolognia J, Schaffer
J, Cerroni L, penyunting. Dermatology. Edisi ke-4. New Haven: Elsevier Limited; 2018. h.2593-609.
5. Bhargava S, Cunha PR, Lee J, Kroumpouzos G. Acne scarring management: systematic review
and evaluation of the evidence. Am J Clin Dermatol. 2018;19(4):459-77.
6. Khunger N, Bhardwaj D, Khunger M. Evaluation of CROSS technique with 100% TCA in the
management of ice pick acne scars in darker skin types. J Cosmet Dermatol. 2011;10:51-7

Keterampilan Terapeutik 57
B.12 Ekstraksi Komedo

I. Definisi
Ekstraksi komedo adalah tindakan untuk mengeluarkan komedo, baik komedo
terbuka maupun tertutup.1

II. Indikasi1 (1C)


1. Komedo terbuka: untuk tujuan estetik.
2. Komedo tertutup: untuk mencegah ruptur duktus pilosebasea, mencegah
komplikasi lebih lanjut.

III. Kontraindikasi1
1. Lesi inflamasi
2. Lesi terinfeksi

IV. Efek Samping


1. Nyeri3
2. Perdarahan3
3. Pressure urticaria

V. Persiapan1-4 (1C)
1. Alat dan bahan
 Ekstraktor komedo
 Alcohol swab
 Kassa steril
 Sarung tangan
 Larutan NaCl 0.9%
 Jarum 26G
 Antibiotik topikal
2. Pasien
 Informed consent
 Membersihkan wajah
 Dokumentasi pasien sebelum tindakan

VI. Prosedur Tindakan1-4 (1C)


1. Aseptik dan antiseptik daerah tindakan dengan alcohol swab.
2. Lubangi komedo tertutup dengan menggunakan jarum 26G, untuk komedo
terbuka tidak perlu dilubangi.
3. Tekan tepi komedo sehingga isinya dapat keluar seluruhnya.
4. Bila terjadi perdarahan, hentikan dengan penekanan menggunakan kassa steril
yang dibasahi larutan NaCl 0.9%.

Keterampilan Terapeutik 58
VII. Pasca Prosedur Tindakan5 (1C)
1. Dokumentasi setelah tindakan.
2. Kompres dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl 0.9% selama 15 menit.
3. Oles dengan antibiotik topikal.

VIII. Kepustakaan
1. Goh C, Cheng C, Agak G, Zaenglin AL. Graber EM, dkk. Acne vulgaris. Dalam: Kang S, Amagai
M, Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi
ke-9. New York: McGraw-Hill; 2019: 1409-18.
2. Wise EM, Graber EM. Clinical pearl: Comedone extraction for persistent macrocomedones while
on isotretinoin therapy. J Clin Aesthet Dermatol. 2011;4(11):20–21.
3. Steventon K. Expert opinion and review article: the timing of comedone extraction in the treatment
of premenstrual acne-a proposed therapeutic approach. Int J Cosmet Sci. 2011;33:99-104.
4. Khunger N. Standard guidelines of care for acne surgery. Indian J Dermatol Venereol Leprol.
2008;74(7):5-12.
5. Fox L, Csongradi C, Aucamp M, du Plessis J, Gerber M. Treatment modalities for acne. Molecules.
2016;21(8):1063.

Keterampilan Terapeutik 59
B.13 Elevasi Plong

I. Definisi
Elevasi plong merupakan teknik menaikkan jaringan skar atrofi menggunakan alat
bedah plong sehingga lesi menjadi sejajar dengan permukaan kulit sekitar. 1-3

II. Indikasi4
Skar akne tipe boxcar.1-4 (1B)

III. Kontraindikasi5,6
1. Sedang mengalami infeksi aktif dan kelainan kulit lainnya di area prosedur 2,5
2. Penggunaan obat pengencer darah2
3. Gangguan pembekuan darah2
4. Ibu hamil 2
5. Riwayat skar hipertrofik atau keloid2,5
6. Riwayat alergi zat anestesi2,5
7. Pasien dengan ekspektasi yang tidak realistis.

IV. Efek samping


1. Eritema dan edema2
2. Perdarahan2
3. Infeksi dan ulserasi2,5
4. Skar2,5
5. Nyeri2

V. Persiapan1,2,5
1. Alat dan bahan
 Punch biopsy 1,5-3,5 mm
 Anestesi lokal
 Antibiotik topikal
 Alcohol swab
 Kassa steril
 Plaster/Steri-Strip
 Sarung tangan
2. Pasien
 Informed consent
 Membersihkan wajah
 Dokumentasi pasien sebelum tindakan

VI. Prosedur Tindakan (1B)


1. Pasien berbaring
2. Tandai area tindakan dengan marker5, desinfeksi daerah tindakan, dan dilakukan
anestesi lokal1

Keterampilan Terapeutik 60
3. Dilakukan penekanan dengan plong pada skar yang disesuaikan dengan ukuran
skar, sehingga jaringan dibebaskan sampai jaringan subkutan. 1,2,4-8
4. Kemudian jaringan dinaikkan dan disesuaikan dengan jaringan normal sekitar
untuk menghindari retraksi pada saat penyembuhan.1,2,4-8
5. Jaringan yang dinaikkan ditutup dengan plaster/Steri-Strip.

VII. Pasca Prosedur Tindakan1,2


1. Dokumentasi pasien setelah tindakan
2. Oleskan antibiotik topikal
3. Tutup daerah dengan kassa steril
4. Daerah tindakan dievaluasi 1 minggu kemudian

VIII. Kepustakaan
1. Obagi S, Casey AS. Facial scar revision in Cosmetic Dermatology: Principles and Practice. 2nd ed.
Baumann L, Saghari S, Weisberg E, eds. New York: McGraw-Hill. 2009; 227-9.
2. Faghihi G, Nouraei S, Asilian A, et al. Efficacy of punch elevation combined with fractional carbon
dioxide laser resurfacing in facial atrophic acne scarring: A randomized split-face clinical study.
Indian J Dermatol. 2015;60(5):473–8.
3. AlGhamdi KM, AlEnazi MM. Versatile Punch Surgery. J Cutan Med Surg. 2011;15(2):87–96.
4. Basta-Juzbašić A. Current therapeutic approach to acne scars. Acta Dermatovenerol Croat.
2010;18(3):171-175
5. Nischal U, Nischal KC, Khopkar U. Techniques of skin biopsy and practical considerations. J Cutan
Aesthet Surg. 2008;1(2):107–11
6. Hession MT, Graber EM. Atrophic acne scarring: a review of treatment options. J Clin Aesthet
Dermatol. 2015;8(1):50–58.
7. Fife D. Practical evaluation and management of atrophic acne scars: tips for the general
dermatologist. J Clin Aesthet Dermatol. 2011;4(8):50–7.
8. Gozali MV, Zhou B. Effective treatments of atrophic acne scars. J Clin Aesthet Dermatol.
2015;8(5):33–40.

Keterampilan Terapeutik 61
B.14 Face lift Menggunakan Benang

I. Definisi
Tindakan bedah kulit untuk penanganan pengenduran jaringan lunak kulit atau
ptosis wajah akibat gravitasi menggunakan benang Aptos.1,2

II. Indikasi1-5 (2C)


Ptosis lemak malar, ptosis kulit mandibula, ptosis alis.

III. Kontraindikasi1-5 (2C)


1. Pasien dengan riwayat konsumsi obat
2. Pasien dengan riwayat perokok

IV. Efek Samping1-5 (1A)


1. Hematoma
2. Infeksi
3. Trauma pada saraf
4. Edema dan ekimosis
5. Skar
6. Alopesia
7. Nekrosis flap
8. Komplikasi sistemik: Deep vein Trombosis (DVT)

V. Persiapan5 (2C)
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

VI. Prosedur Tindakan5 (2C)


1. Marking
2. Anesthesia tumesen
3. Insersi benang
4. Tarik kulit kearah kaudal
5. Pemotongan kelebihan benang
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska tindakan

VII. Pasca Prosedur Tindakan5 (1A)


1. Segera setelah operasi :
a. Bed rest dalam 24 jam pertama pasca operasi
b. Luka operasi tidak boleh terbuka dalam 24 jam pertama
c. Kepala elevasi dalam 1 minggu pasca operasi
d. Tidur dalam posisi supine dalam 2 minggu pertama pasca operasi
2. Awasi perdarahan, bengkak

Keterampilan Terapeutik 62
3. Nyeri dapat diberikan acetaminophen
4. Diet adekuat
5. Perawatan luka
6. Antibiotik

VIII. Kepustakaan
1. Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift. Dalam: Robinson JK, Hanke
CW, Sengelmann RD, Siegel DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005.h.657-
672
2. Sulaimanidze MA, Fournier PF, Sulaimanidze GM. Removal of facial soft tissue ptosis with
special threads. Dermatol Surg 2000;28:367-371.
3. Sandhofer M, Sandhofer-Novak R, Blugerman G, Sattler G. Aptos-lifting: Eine minimal invasive
method zur gesichtsrejuvenation. Aesthet Dermatol 2003;1:10-17.
4. Lycka B, Bazan C, Poletti E, Treen B. The emerging technique of the antiptosis subdermal
suspension thread. Dermatol Surg 2004;30:41-44.
5. Fereydoun Pourdanesh, Mohammad Esmeelinejad, Seyed Mehrshad Jafari and Zahra
nematollahi. Facelift : Current Concepts, techniques, and Principles: 2016,653-679.

Keterampilan Terapeutik 63
B.15 Face Lift: Minimum Incision Face Lift

Perhatian: Memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan dari Kolegium Ilmu


Kesehatan Kulit dan Kelamin

I. Definisi
Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher dengan pembedahan
kulit.

II. Indikasi
Ptosis kulit akibat faktor gravitasi berupa kulit yang kendur pada sisi mandibula dan
bawah dagu.

III. Persiapan
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

IV. Prosedur Tindakan


1. Tindakah bedah
a. Marking
b. Anestesia tumesen
c. Insisi
d. Undermining
e. Plikasi SMAS
f. Pemotongan kelebihan kulit
g. Penjahitan luka
2. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan

V. Kepustakaan
1. Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift. Dalam: Robinson JK, Hanke CW,
Sengelmann RD, Siegel DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.h.657-672
2. Chipps LK, Moy RM. Facelifts. Dalam: Nouri K , editor. Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blackwell; 2013.h.233-239.

Keterampilan Terapeutik 64
B.16 Face lift: Non Surgical Face Lift

I. Definisi
Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher tanpa pembedahan.1

II. Indikasi2 (2C)


Mengencangkan dan menarik kulit muka sehingga kerutan berkurang, serta
menghilangkan kulit yang kendur pada sisi mandibula dan bawah dagu.

III. Kontraindikasi7,8 (1A)


1. Vitiligo
2. Laktasi
3. Kehamilan
4. Gagal jantung
5. Trombosis
6. Diabetes
7. Trombosis
8. Infeksi lokal dan sistemik aktif
9. Penggunaan jangka panjang imunosupresif dan antikoagulan

IV. Efek Samping7,8 (1A)


1. Kulit kemerahan
2. Sedikit kesemutan
3. Pembengkakan ringan (hematoma) pada jaringan yang bertahan selama 2-6
jam

V. Persiapan7,8 (1A)
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Semua make up dibersihkan terlebih dahulu
5. Dua minggu sebelum tindakan, menggunakan krim tretinoin 0,025% setiap
malam, sunscreen setiap pagi

VI. Prosedur Tindakan7 (2C)


1. Tindakan non surgical face lift
a. Laser untuk pengencangan kulit
b. Radiofrekuensi non ablatif
c. High Intensity Focused Ultrasound
2. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan

Keterampilan Terapeutik 65
VII. Pasca Prosedur Tindakan (1A)
1. Tidak berjemur (sunbathing) setelah tindakan.
2. Pasien tidak boleh menggunakan make up minimal 1 jam setelah tindakan.
3. Obat topikal boleh digunakan kembali setelah 3-4 minggu tindakan dan
dilanjutkan hingga 3 bulan untuk hidrokuinon dan 6 bulan untuk tretinoin dan
sunscreen. 8

VIII. Kepustakaan
1. Weiss RA, Weiss MA, Munavalli G. Monopolar radiofrequency facial tightening: a retrospective
analysis of efficacy and safety inover 600 treatments. J Drug Dermatol. 2006 Sep;5(8):707-712.
2. Alster TS, Tanzi E. Improvement of neck and cheek laxity with a nonablative radiofrequency
device: a lifting experience. Dermatol Surg. 2004;30(4 pt 1):503-507.
3. Lauback HJ. Intensed focused ultrasound: evaluation of a new treatment modality for precise
microcoagulation within the skin. Dermatol Surg. 2008;34:727-734.
4. Key DJ. Single treatment skin tightening by radiofrequency and longpulsed 1064 nm Nd:Yag
laser compared. Lasers Surg Med. 2007;39:169-175.
5. Chan HHL. Lasers for skin tightening. Dalam: Nouri K, editor. Dermatologic surgery step by
step. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2013.h.391-395
6. Mayoral FA. Radiofrequency for skin tightening. Dalam: Nouri K, editor. Dermatologic surgery
step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2013.h.396-399.
7. Steven H. Dayan, MD; A. John Vartanian, MD; Gregg Menaker, MD. Nonablative Laser
Resurfacing Using the Long-pulse (1064-nm) Nd:YAG Laser. Arch Facial Plast Surg.
2003;5(4):310-315.
8. Richard E. Fitzpatrick, MD, Mitchel P. Goldman,MD; Nancy M. Satur, MD; Whitney D. Tope,
MPhil, MD. Pulsed Carbon Dioxide Laser Resurfacing of Photoaged Facial Skin. Arch Dermatol.
1996;132:395-402.

Keterampilan Terapeutik 66
B.17 Fototerapi

I. Definisi1,2,3
Fototerapi adalah penggunaan radiasi ultraviolet atau sinar tampak untuk terapi
kelainan kulit.

II. Jenis – jenis sinar Fototerapi1,2,3


1. Broadband Ultraviolet B (BB-UVB) dengan panjang gelombang 290-320 nm
2. Narrowband Ultraviolet B (NB-UVB) dengan panjang gelombang 311-313 nm
3. Ultraviolet A (UVA)
 UVA 1 (Panjang gelombang 340 nm - 400 nm)
 UVA for psoralen photochemotherapy (PUVA)
4. Laser excimer (308 nm)

Penyakit NB-UVB/ PUVA UVA1 Laser


BB-UVB excimer
Psoriasis + + - +
Dermatitis atopik + + + (akut) +
Limfoma kutan sel T + + + +
(Mycosis Fungoides)
Vitiligo NB-UVB + - +
Skleroderma sistemik - + + -
Skleroderma lokal NB-UVB + + +
Graft versus host disease + + + -
Pruritus gagal ginjal + - - -
kronis
Pruritus kolestasis + - - -
Urtikaria kronis + +/- +/- -
Urtikaria pigmentosa - +/- + -
Liken planus + + - -
Lymphomatoid papulosis - + + -
Eczema tangan kronis + + + -
Morphea - - + -
Dishidrotik eczema NB-UVB + + -
Chronic palmoplantar NB-UVB + - -
eczema
Leukoderma (kelainan - - - +
hipopigmentasi)
Alopecia areata - - - +
Lymphoproliferative + + - +
Disorders
Hypopigmented striae - - - +
distensae
Hypopigmented scars - - - +

Keterampilan Terapeutik 67
III. Indikasi
1. Psoriasis1,2,3 (1A)
2. Dermatitis atopik1,2,3,11 (1B)
3. Limfoma kutan sel T (Mycosis fungoides) 1,2,3 (1B)
4. Vitiligo1,2,3 (1A)
5. Skleroderma sistemik1,2,3 (1B)
6. Skleroderma lokal (Morfea)1,2,3 (1B)
7. Graft versus host disease1,2 (1B)
8. Pruritus1,2,3 (1B)
9. Urtikaria1 (2B)
10. Urtikaria pigmentosa1,2 (2B)
11. Liken planus1,2,13,14 (2A)
12. Eczema tangan kronis1 (2A)
13. Polymorphic light eruption1,2,,3 (1B)
14. Pytiriasis lichenoides chronica1,3 (2A)
15. Lymphomatoid papulosis1,3 (2A)
16. Dermatitis seboroik2,3 (1B)
17. Prurigo nodularis2 (2A)
18. Granuloma anulare1,2,12 (2A)
19. Necrobiosis lipoidica2 (2A)
20. Palmoplantar pustulosis2 (2B)
21. Pityriasis rosea2 (2A)
22. Pityriasis rubra pilaris2 (2A)
23. Subcorneal pustular dermatosis2 (2B)
24. Keloid5,6 (1C)
25. Skar hipertrofi7 (1C)
26. Lymphoproliferative Disorders8,9 (2C)
27. Hypopigmented striae distensae10,11,12 (1B)
28. Hypopigmented scars12 (1B)

IV. Kontraindikasi1,2,3,4
Kontraindikasi absolut
1. Dysplastic naevus syndrome
2. Systemic lupus erythematosus
3. Dermatomiositis
4. Xeroderma pigmentosum
5. Gorlin syndrome
6. Bloom syndrome
7. Cockayne syndrome
8. Pasien yang tidak dapat mengikuti prosedur keamanan
9. Pasien yang secara medis tidak dapat berdiri (penyakit kardiovaskular atau
pernapasan)

Kontraindikasi relatif
1. Kehamilan (UVA)
2. Anak – anak (UVA)
3. Kanker kulit non melanoma
4. Melanoma
5. Eksposur arsen atau radiasi ionisasi
6. Lesi kulit pre malignan

Keterampilan Terapeutik 68
7. Terapi imunosupresif
8. Photo‐induced epilepsy
9. Bullous pemphigoid/pemphigus
10. Katarak (UVA)
11. Disfungsi liver

V. Efek Samping1,2,3,4,13

UVB
1. Kerusakan aktinik
2. Malignansi kulit (karsinoma sel skuamosa dan kaarsinoma sel basal)

PUVA
1. Intoleransi obat
2. Mual dan muntah
3. Pruritus
4. Eritema
5. Polymorphous light eruption-like rashes
6. Erupsi akneiformis
7. Perdarahan subungual
8. Onikolisis
9. Hipertrikosis wajah
10. Kerusakan aktinika kronis (photoaging)
11. Malignansi kulit
12. Kelainan mata (katarak, konjungtiva hiperemis, penurunan lakrimasi)

UVA1
1. Tanning
2. Eritema
3. Pruritus
4. Urtikaria
5. Sensasi terbakar
6. Polymorphous light eruption
7. Eczema herpeticum
8. Superinfeksi bakteri

Laser excimer
1. Pruritus
2. Eritema
3. Nyeri
4. Lepuh
5. Erosi
6. Xerosis
7. Ekimosis dan petechiae
8. Kelainan pigmentasi (hiperpigmentasi dan atau hipopigmentasi)

Keterampilan Terapeutik 69
VI. Persiapan1,2,3,4
Persiapan Dokter
1. Pemberian keterangan tentang tindakan fototerapi yang diberikan,
resiko/komplikasi dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi
informasi dan penerima informasi.
2. Tindakan fototerapi dengan menggunakan parameter yang ada pada alat
disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien.

Persiapan pasien
1. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
2. Apabila diperlukan, pasien diiminta untuk melepas baju agar area lesi terekspos
3. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser

VII. Prosedur Tindakan


1. Dokter mempersiapkan alat fototerapi
2. Setelah pasien mendapatkan penjelasan dasar mengenai fototerapi, pasien diminta
memberikan persetujuan dengan menandatangani informed consent dan diberikan
kesempatan untuk bertanya.
3. Pasien diminta melepaskan seluruh baju agar seluruh bagian lesi dapat terpapar
sinar UV. Pasien laki-laki sebaiknya mengenakan celana dalam pelindung, keculai
bila dokter menganjurkan untuk tidak perlu menggunakannya.
4. Semua pasien selama berada dalam ruangan fototerapi harus menggunakan kaca
mata UV.
5. Kekuatan (irradiance) sinar UV di dalam alat fototerapi harus dicatat seminggu
sekali menggunakan metode terstandarisasi yang sesuai dengan pabrik pembuat
alat fototerapi tersebut. Dosis awal UV untuk semua pasien disesuaikan dengan
diagnosis.
6. Waktu penyinaran dihitung dengan rumus: Waktu (detik) = dosis (mJ/cm 2) :
kekuatan sinar (irradiance) (mW/cm2)
7. Durasi terapi atau dosis total UV dapat sering dihitung oleh unit sinar UV dengan
mengikuti petunjuk dari pabrik sesuai buku petunjuk pelaksanaan dan memasukkan
informasi yang benar pada panel pengendali sebelum pelaksanaan terapi.
8. Nyalakan kipas angin dan minta pasien untuk berdiri di tengah-tengah unit sinar UV
dengan lengan dalam posisi istirahat. Pastikan lagi bahwa pasien telah
mengenakan kaca mata UV.
9. Beritahukan pada pasien untuk keluar dari unit fototerapi bila lampu mati atau bila
kulitnya terasa terbakar atau tersengat. Beritahukan pasien bahwa pintu unit
fototerapi tidak dikunci.
10. Mulailah penyinaran.

Penyinaran Lanjutan
1. Frekuensi: 2-3 kali/minggu, kecuali atas permintaan khusus dari dokter yang
menangani pasien tersebut. Bila dokter yang menangani pasien meminta lebih dari
3 kali/minggu, maka dokter tersebut harus memberikan petunjuk mengenai dosis
yang diinginkan.
2. Pada kunjungan berikutnya, tanyakan pada pasien apakah timbul warna kulit yang
kemerahan (merah muda) dan nyeri pada malam setelah fototerapi sebelumnya,
bila ada keluhan demikian maka harus dicatat pada catatan fototerapi.
3. Bila pada saat pasien datang dijumpai adanya kulit berwarna merah muda (pink),
maka diberikan dosis yang sama dengan penyinaran sebelumnya.
Keterampilan Terapeutik 70
4. Bila pada saat datang dijumpai kulit kemerahan maka pasien dimintai menemui
dokter yang bertugas saat itu untuk menentukan penyesuaian dosis.
5. Tingkatkan dosis setelah 3 kali terapi, peningkatan dosis sesuai dengan diagnosis
pasien
6. Bila pasien terlambat fototerapi lebih dari 3 hari, maka:
 4-7 hari : berikan dosis terakhir
 1-2 minggu: turunkan dosis 25% untuk NBUVB atau PUVA dan 50% untuk
BB-UVB
 2-3 minggu: turunkan dosis 50% untuk NB-UVB or PUVA dan 75% untuk BB-
UVB
 3-4 minggu: mulai dari awal

VIII. Kepustakaan
1. Jaleel T, Pollack BP, Elmets CA. Phototherapy. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk
AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. eds. Fitzpatrick's Dermatology. Edisi ke-9. New
York: McGraw Hill; 2019.h.3635-3663. Tersedia di:
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=2570&sectionid=210445207
2. Mckena K, & Ibbotson S. Principle of phototherapy. Dalam: Griffiths, C., Barker, J., Bleiker, T.,
Chalmers, R. and Creamer, D. Rook's textbook of dermatology. Edisi ke-9. Chichester, West
Sussex: John Wiley & Sons, Ltd; 2016.h.495-511.
3. Hönigsmann H, & Schwarz T. Dalam : Bolognia, J., Schaffer, J., Cerroni, L., Callen, J., Cowen,
E., Hruza, G., Jorizzo, J., Lui, H., Requena, L., Schwarz, T. and Torrelo Fernández, A., 2018.
Dermatology. Edisi ke-4. [Miejsce nieznane]: Elsevier, pp.2325-2340.
4. E. Molinelli, G. Ganzetti, A. Campanati, V. Brisigotti and A. Offidani. Ultraviolet Light and
Phototherapy. Dalam : Giulia Ganzetti Anna Campanati and Annamaria Offidani penyunting.
Phototherapy in Dermatology. New York : Nova Science Publisher; 2017.h.9-20
5. Polat M, Kaya H, Sahin A. A new approach in treatment of keloids: UVA-1 laser. Photomed
Laser Surg. 2016;34(3):130-3
6. Maghrabi IA, Kabel AM. Management of keloids and hypertrophic scars: role of nutrition, drugs,
cryotherapy and phototherapy. World Journal of Nutrition and Health. 2014;2(2):28-32
7. Oiso N, Kawara S, Kawada A. The effectiveness of narrowband ultraviolet B on hypertrophic
scar in a patient having an isomorphic phenomenon and vitiligo. J Eur Acad Dermatol Venereol.
2008;22(8):1003-4
8. Kontos AP, Kerr HA, Malick F, Fivenson D, et al. 308-nm excimer laser for the treatment of
lymphomatoid papulosis and stage IA mycosis fungoides. Photodermatol Photoimmunol
Photomed 2006;22:168–71.
9. Meisenheimer JL. Novel use of 308-nm excimer laser to treat a primary cutaneous CD30+
lymphoproliferative nodule. J Drugs Dermatol 2007; 6:440–1.
10. Baltas E, Nagy P, Bonis P, et al. Sarradet D, Hussein M, Solana LG, Goldberg DJ.
Repigmentation of striae with a 308nm excimer laser. Lasers Med Surg 2002;14(Suppl):44-45
11. Savas JA, Ledon JA, Franca K, Nouri K. Lasers and lights for the treatment of striae distensae.
Lasers Med Sci 2014;29(5):1735-43
12. Alexiades-Armenakas MR, Bernstein LJ, Friedman PM et al. The safety and efficacy of the 308-
nm excimer laser for pigment correction of hypopigmented scars and striae alba. Arch Dermatol
2004;140(8):955-60
13. Abrouk M, Levin E, Brodsky M, et al. Excimer laser for the treatment of psoriasis: safety,
efficacy, and patient acceptability. Psoriasis (Auckl). 2016;6:165-173. Published 2016 Dec 12.
doi:10.2147/PTT.S105047
14. Baltas E, Csoma Z, Bodai L, Ignacz F, et al. Treatment of atopic dermatitis with the xenon
chloride excimer laser. J Eur Acad Dermatol Venereol 2006;20:657–60.
15. Bronfenbrener R, Ragi J, Milgraum S. Granuloma annulare treated with excimer laser. J Clin
Aesthet Dermatol 2012;5:43–5
16. Köllner K, Wimmershoff M, Landthaler M, Hohenleutner U. Treatment of oral lichen planus with
the 308-nm UVB excimer laser-early preliminary results in eight patients. Lasers Surg Med
2003;33:158–60.
17. Trehan M, Taylor C. Low-dose excimer 308-nm laser for the treatment of oral lichen planus. Arch
Dermatol 2004;140:415–20.

Keterampilan Terapeutik 71
B.18 Injeksi Bahan Pengisi (Filler)

I. Definisi
Injeksi bahan pengisi adalah penggunaan bahan pengisi untuk perbaikan
kontur/defek kulit serta menyamarkan garis-garis kerutan dan cekungan.1,2

II. Indikasi1,2
1. Defek kulit akibat penuaan: kerutan, defek pada kulit. (1A)
2. Parut hipotrofik pasca akne, pasca varisela, pasca trauma operasi atau
kecelakaan. (2C)
3. Memperbaiki kontur kulit yang kurang estetis seperti pada bibir, dagu, pipi. (2C)

Jenis bahan pengisi (filler) antara lain3:


1. Asam hyaluronat
2. Calcium hydroxylapatte
3. Poly-lactic acid
4. Autulogous fat

III. Kontraindikasi1,2
1. Infeksi aktif
2. Alergi terhadap bahan filler dan lidokain
3. Penyakit autoimun
4. Imunosupresi

IV. Efek Samping6


1. Skin discoloration
2. Edema
3. Nodul
4. Infeksi
5. Vascular compromise

V. Persiapan3,5
Alat dan bahan
1. Bahan pengisi
2. Disposable syringe
3. Antibiotik topikal
4. Alcohol swab

Pasien
1. Informed consent
2. Membersihkan wajah pasien
3. Dokumentasi pasien sebelum tindakan

Keterampilan Terapeutik 72
VI. Prosedur Tindakan3,6
1. Dilakukan tindakan aseptik pada area injeksi
2. Anestesi jika diperlukan
3. Injeksi bahan pengisi sesuai teknik masing-masing bahan (linear threading,
fanning, cross-hatching, serial puncture, dan volumizing)

VII. Pasca Prosedur Tindakan3


1. Hindari pijatan dan tekanan pada daerah injeksi minimal 6 jam pasca tindakan
2. Oleskan antibiotik topikal pada lokasi injeksi
3. Dokumentasi pasien setelah tindakan

VIII. Kepustakaan
1. Donofrio LM, Ellis DL. Soft tissue augmentation. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk
AH, Margolis DJ, McMichael AJ. penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York:
McGraw Hill; 2019. h.3911-20.
2. Vedamurthy M.Standard guidelines for the use of derma fillers. Indian J Dermatol Venerol
Lepro.2008:1:S23-37
3. Lafaille P, Benedetto A. Filler: contraindications, side effect and precautions. J Cutan Aesthet
Surg. 2010:3(1):16-9.
4. Snozzi P, van Loghem JAJ. Complication management following rejuvenation procedures with
hyaluronic acid fillers-an algoritm based approach. Plast Reconstr Surg Glob Open.
2018:6(12):e2061:1-11.
5. Klein AW. Patient safety: An injectable education. J Cosmet Dermatol Sci App. 2013;3:36-9.
6. Sundaram H, Liew S, Signorini M, Braz AC, Fagien S, Swift A, et al. Global Aesthetics Consensus:
hyaluronic acid fillers and botulinum toxin type A-recommendations for combined treatment and
optimizing outcome in diverse patient populations. Plast Reconstr Surg. 2016;137(5):1410-23.

Keterampilan Terapeutik 73
B.19 Injeksi Toksin Botulinum

I. Definisi
Injeksi toksin botulinum (TB) adalah prosedur injeksi TB yang mengakibatkan
kemodenervasi otot dengan menghambat pelepasan asetilkolin untuk tujuan estetik
dan terapeutik.1

II. Indikasi2-7
1. Kerutan glabella (1A), periorbital (1A), hiperaktivitas otot lainnya termasuk m.
platysma (2A)8, frontal7 (2A), mental1. (2C)
2. Hiperhidrosis, osmidrosis. (1A)

III. Kontraindikasi2
1. Penyakit neuromuskular, seperti miastenia gravis, sindrom Lambert-Eaton-
Rooke
2. Alergi terhadap bahan aktif atau bahan penambah
3. Infeksi kulit pada area yang akan disuntik
4. Koagulopati
5. Pengobatan dengan antikoagulan
6. Obat seperti antibiotik aminoglikosida (gentamisin, spektinomisin, amikasin,
tobramisin, netilmisin)
7. Penggunaan eritromisin dan suplemen zinc oral (karena meningkatkan
respon terapi injeksi toksin botulinum)
8. Kehamilan dan menyusui
9. Pasien dengan harapan yang tidak realistis
10. Individu yang non kooperatif.

IV. Efek Samping9


1. Frekuensi dan luasnya komplikasi tergantung pada lokasi, dosis, volume injeksi
dan tipe produk yang digunakan
2. Kelemahan dari otot lain di sekitar tempat injeksi
3. Nyeri lokal pada tempat injeksi intramuskular atau subkutan

V. Persiapan
Alat dan Bahan
1. Disposable syringe 3 cc untuk pengenceran TB
2. Disposable syringe 1 cc
3. Sarung tangan
4. Jarum 30G – 32G
5. Pensil penanda
6. Toksin botulinum-A dalam vial
7. Larutan NaCl 0,9%
8. Alcohol swab
9. Anestesi topikal (jika diperlukan)

Keterampilan Terapeutik 74
Pasien
1. Informed consent
2. Membersihkan area tindakan
3. Dokumentasi pasien sebelum tindakan

VI. Prosedur Tindakan10,11 (1A)


1. Pengenceran TB menggunakan larutan NaCl 0.9%
2. Bersihkan area injeksi dengan alcohol swab
3. Penentuan titik penyuntikan injeksi toksin botulinum dengan marker sesuai indikasi
4. Dilakukan injeksi TB dengan dosis maksimal 100 unit per kunjungan

VII. Pasca Prosedur Tindakan10


1. Penjelasan kepada pasien bahwa hasil tindakan mulai terlihat pada 2-3 hari pasca
injeksi, hasil optimal tercapai dalam 2 minggu dan bertahan 4 sampai 6 bulan
2. Tidak berbaring selama 2 jam pasca injeksi
3. Tidak melakukan manipulasi pada area injeksi
4. Apabila terjadi efek samping, segera menghubungi dokter

VIII. Kepustakaan
1. Carruthers A, Carruthers J, de Almeida AT. Botulinum toxin. Dalam: Bolognia JL, Schaffer JV,
Cerroni L, penyunting. Dermatology. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier; 2018. h.2661-72.
2. Kane M, Sattler G. Illustrated Guide to Aesthetic Botulinum Toxin Injections. UK: Quintessence
Publishing. 2013:5-8.
3. Hexsel DM, Soreifmann M, Hexsel CM. Botulinum toxin. Dalam: Nouri K, penyunting.
Dermatologic Surgery Step by Step. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2013. h.253-8.
4. Camargo CP, Xia J, Costa CS, Gemperli R, Tatini MD, Bulsara MK, Riera R. Botulinum toxin type
A for facial wrinkles. Cochrane Database Syst Rev. 2021;7(7):CD011301.
5. Jia Z, Lu H, Yang X, Jin X, Wu R, Zhao J, dkk. Adverse events of botulinum toxin type A in facial
rejuvenation: A systematic review and meta-analysis. Aesthetic Plast Surg. 2016;40(5):769-77.
6. Sundaram H, Signorini M, Liew S, Trindade de Almeida AR, Wu Y, Vieira Braz A, dkk. Global
Aesthetics Consensus: botulinum toxin type A – evidence based review, emerging concepts, and
consensus recommendations for aesthetic use, including updates on complications. Plast
Reconstr Surg. 2016;137(3):518e-29e.
7. Chang BL, Wilson AJ, Taglienti AJ, Chang CS, Folsom N, Percec I. Patient perceived benefit in
facial aesthetic procedures: FACE-Q as a tool to study botulinum toxin injection outcomes.
Aesth Surg J. 2016;36(7):810-20.
8. Awan KH. The therapeutic usage of botulinum toxin (Botox) in non-cosmetic head and neck
conditions – An evidence based review. Saudi Pharm J. 2017;25(1):18-24.
9. Susmita A, Kolli NND, Meka S, Chakravarthi SP, Kattimani VS, Lingamaneni KP, Shaik LS. An
evalution of use of botulinum toxin type A in the management of dynamic forehead wrinkles – a
clinical study. J Clin Diagn Res. 2016;10(10):ZC127-31.
10. Glogau RG. Botulinum toxin. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, dkk.
Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill; 2018. h.3921-30.
11. Almeida ART, Silva YK. Botulinum toxins. Dalam: Issa M, Tamura B, penyunting. Daily Routine in
Cosmetic Dermatology. Clinical Approaches and Procedures in Cosmetic Dermatology. Cham:
Springer;2016. h.1-10.

Keterampilan Terapeutik 75
B.20 Injeksi Kortikosteroid Intralesi

I. Definisi
Injeksi kortikosteroid intralesi adalah tindakan injeksi kortikosteroid secara langsung
ke dalam lesi.1 Injeksi kortikosteroid intralesi merupakan suatu metode invasif
minimal.2

II. Indikasi3-6 (1A)


1. Keloid
2. Skar hipertrofik
3. Alopesia areata
4. Akne nodular
5. Akne nekrotikans
6. Hemangioma infantil (kecil, terlokalisasi)
7. Prurigo nodularis
8. Nodul hidradenitis supuratif

Indikasi lain7,8 (2B)


1. Liken simpleks kronikus
2. Granuloma anulare
3. Psoriasis kuku
4. Liken planus kuku
5. Liken amiloidosis

III. Kontraindikasi6
1. Terdapat infeksi lokal
2. Infeksi jamur sistemik
3. Hipersensitifitas terhadap steroid
4. Pasien tidak dapat menerima potensi atrofi kulit dan hipopigmentasi sebagai
efek samping.

IV. Efek Samping3,9,10


1. Lokal
 Nyeri
 Atrofi
 Infeksi
 Ulserasi
 Teleangiektasis
 Hipopigmentasi atau hiperpigmentasi

2. Sistemik
 Supresi adrenal
 Hipersensitifitas

Keterampilan Terapeutik 76
V. Persiapan3,4,6,11-14 (1A)
Alat dan Bahan
1. Disposable syringe 1cc
2. Sarung tangan
3. Sediaan kortikosteroid injeksi (triamsinolon asetonid)
4. Alcohol swab
5. Kasa steril

Pasien
1. Informed consent
2. Dokumentasi pasien sebelum tindakan

VI. Prosedur Tindakan3,4,6,11-14


1. Tentukan dosis dan lokasi tempat injeksi sesuai indikasi
2. Tindakan aseptik dengan antiseptik
3. Dilakukan injeksi kortikosteroid intralesi sesuai indikasi
4. Apabila diperlukan, tindakan dapat diulang sesuai indikasi

VII. Kepustakaan
1. Deshmukh NS, Belgaumkar VA, Mhaske CB, Doshi BR. Intralesional drug therapy in dermatology.
Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2017;83(1):127.
2. Ingram J, Collier F, Brown D, Burton T, Burton J, Chin M, et al. British Association of Dermatologists
guidelines for the management of hidradenitis suppurativa (acne inversa) 2018. Br J Dermatol.
2019;180(5):1009-17.
3. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk, penyunting.
Fitzpatrick's Dermatology. Edisi ke-9. New-York: McGraw-Hill; 2019. h. 1409, 1539, 1520, 2574,
2058
4. Otberg N, Shapiro J. Cicatricial Alopecias. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis
DJ, McMichael AJ, dkk, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill;
2019. h. 1531.
5. Riis PT, Boer J, Prens EP, Saunte DM, Deckers IE, Emtestam L, et al. Intralesional triamcinolone
for flares of hidradenitis suppurativa (HS): a case series. J Am Acad Dermatol. 2016;75(6):1151-5.
7. Jung HM, Eun SH, Lee JH, Kim GM, Bae JM. Less painful and effective intralesional in jection
method for lichen simplex chronicus. J Am Acad Dermatol. 2018; 79(6):e105-106
8. McClanahan DR, English Therapeutics for adult nail psoriasis and nail lichen planus: A guide for
clinicians. J Am J Clin Dermatol. 2018;19(4):559-54.
9. Bjorklund KA, Fernandez Faith E. Branching hypopigmentation following intralesional corticosteroid
injection: Case report and review of the literature. Pediatr Dermatol. 2020;37(1):235-6.
10. Singh SVJ, Bachaspatimayum R, Akham SD, Sanjenbam RD. Intralesional steroid induced
hypopigmentation-a case report. Int J Sci Reports. 2017;3(4):108-9.
11. Panayi AC, Reitblat C, Orgill DP. Wound Healing and Scarring. Total Scar Management: Springer;
2020. p.3-16.
12. Ahsan MQ, Sikder MAU, Khondker L. Efficacy of combination of intralesional corticosteroid injection
and cryotherapy versus intralesional corticosteroid injection alone in patients of keloid. J Pakistan
Assoc Dermatol. 2019;28(4):474-81.
13. Block L, Gosain A, King TW. Emerging therapies for scar prevention. Advances in wound care.
2015;4(10):607-14.
14. Otberg N, Shapiro J. Alopecia Areata. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, et al., eds. Fitzpatrick's Dermatology. 9th ed. New-York: McGraw-Hill; 2019. p. 1520.

Keterampilan Terapeutik 77
B.21 Laser dan IPL Untuk Kelainan Pigmen

I. Definisi
Tindakan untuk menghilangkan kelainan hiperpigmentasi dengan deposit melanin di
kulit menggunakan laser dan alat berbasis energi cahaya. Laser yang digunakan
bersifat fototermolisis selektif atau non selektif terhadap pigmen. Intense pulsed light
(IPL) adalah alat nonlaser yang menggunakan flash lamp berfilter.1-5

II. Indikasi3-5
1. Kelainan pigmentasi epidermal: lentigenes, lentigo simpleks, café au lait macules
(CALMs), ephelides, nevus spilus, keratosis seboroik yang tipis, labial melanotic
macules. (1B)
2. Kelainan pigmentasi epidermal-dermal: melasma, Becker nevus,
hiperpigmentasi pasca inflamasi, drug-induced hyperpigmentation, dan nevus
kongenital, junctional melanocytic nevi. (2B)
3. Kelainan pigmentasi dermal: nevi of Ota/Ito, nevi of Hori/acquired bilateral nevus
of Ota-like macules (ABNOMs), acquired nevus, blue nevus, congenital dermal
melanocytosis, dan argiria. (1B)

III. Kontraindikasi3-7 (1B)


1. Infeksi aktif pada area lesi, misalnya herpes simpleks, selulitis, akne pustular
2. Dermatosis pada lesi pigmen, misalnya psoriasis, dermatitis atopik, vitiligo
3. Melanoma atau lesi yang dicurigai melanoma pada lesi pigmen
4. Riwayat konsumsi isotretinoin, deep peeling, dermabrasi atau terapi radiasi pada
lesi pigmen dalam 6 bulan, obat imunosupresif
5. Skar hipertrofik/keloid
6. Gangguan perdarahan, misalnya trombositopenia, penggunaan obat
antikoagulan
7. Penyakit pembuluh darah perifer, kejang, dan penyakit sistemik tidak terkontrol,
misalnya diabetes mellitus
8. Gangguan fotosensitif, misalnya lupus eritematosus sistemik
9. Gangguan dismorfik tubuh
10. Pasien dengan ekspektasi tidak realistis
11. Kehamilan dan menyusui
12. Pasien dalam waktu dekat akan intens terpajan sinar matahari (kegiatan di
pantai dan sebagainya).

IV. Persiapan1,5-14
Alat Laser dan IPL
Pemilihan panjang gelombang laser atau cut off / filter pada IPL harus disesuaikan
dengan kedalaman pigmen (epidermis, epidermis dan dermis, atau dermis), serta tipe
kulit Fitzpatrick. Laser dengan panjang gelombang berspektrum pendek yang
menargetkan melanin (misalnya, 532 nm) paling efektif untuk lesi epidermis karena
absorpsi melanin tinggi dan penetrasi superfisial. Laser dengan panjang gelombang
berspektrum panjang (misalnya, 1064 nm) paling efektif untuk pigmentasi dermis dan
lebih aman digunakan pada pasien kulit gelap (IV-VI). Sebagian besar IPL dapat

Keterampilan Terapeutik 78
digunakan untuk jenis kulit Fitzpatrick I–IV dan beberapa untuk jenis kulit V.
1. Laser yang bekerja non selektif terhadap pigmen, dengan mekanisme
photovaporization.
a. Laser fractional photothermolysis (FP), yaitu: laser carbondioxide (CO2)
10.600 nm, Erbium:Yttrium Aluminium Garnet (Er:YAG) 2940 nm, Erbium-
doped phosphate glass 1540 nm, Erbium:Yttrium Scan Gallium Garnet
(Er:YSGG) 2790 nm.
b. Continuous-wave dan quasi-continous, yaitu: laser CO2 10.600 nm dan
Er:YAG 2940 nm, khususnya untuk kelainan pigmen di epidermis untuk
menghancurkan pigmen sebagai secondary event (misalnya: keratosis
seboroik).

2. Laser yang bekerja selektif terhadap pigmen


a. QS (quality-switched) Nd:YAG 532 nm, QS-Nd:YAG 1064 nm, QS-alexandrite,
atau QS ruby 694 nm.
b. PS (picosecond) Nd:YAG 532 nm, PS Nd:YAG 1064 nm, PS alexandrite 755
nm.
c. Long-pulsed (LP) ruby 694 nm, LP alexandrite 755 nm, LP Nd:YAG 1064 nm,
atau diode 810 nm. Laser LP lebih ditujukan untuk kelainan dengan target
pigmen besar, misalnya: nevocellular nevi atau folikel rambut. Long pulsed
532 nm dan LP 595 nm dapat juga digunakan untuk kelainan pigmen
epidermal, dengan menggunakan compression oleh flat glass.

3. Intense pulsed light (IPL)


Tabel 1. Tipe laser pigmen berdasarkan mekanisme
Mekanisme Tipe laser pigmen
Laser QS selektif pigmen Laser QS ruby (694 nm, 25 ns)
Laser QS alexandrite (755 nm, 50-100 ns)
Laser QS Nd:YAG (1064 nm, 532 nm, 5-15
ns)
Laser long-pulsed kurang selektif Laser long-pulsed (532 nm, 755 nm)
IPL
Laser ablatif non selektif pigmen Laser CO2
Laser Er:YAG
Laser fraksional non selektif pigmen Laser Er:Glass 1550 nm
Metode CO2 pinhole

Persiapan Dokter1-7 (1A)


1. Pemberian informasi tentang tindakan laser, risiko/komplikasi dalam formulir
khusus dan ditandatangani pemberi informasi dan penerima informasi.
2. Mencuci tangan, menggunakan sarung tangan, dan masker.
3. Perlindungan mata dokter dan petugas medis pendamping dengan kacamata
khusus pelindung sinar laser.
4. Menentukan parameter yang digunakan sesuai dengan alat yang dipakai dan
kondisi kelainan pasien.
5. Mencuci tangan dan perawatan pasca tindakan.

Persiapan Pasien1,5-14 (1A)


1. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning minimal 4 pekan
terutama pada tipe kulit Fitzpatrick IV-VI.
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
3. Dokumentasi foto, lakukan pengambilan foto pasien, yaitu sebelum dan sesudah
dilakukan tindakan laser/IPL (posisi tampak depan, 45⁰ kanan dan kiri), lokasi
Keterampilan Terapeutik 79
anatomi lain menyesuaikan.
4. Hindari pajanan sinar matahari dan menggunakan tabir surya minimal SPF 30.
5. Pemberian profilaksis antivirus pada pasien dengan riwayat herpes
simpleks/varisela pada lesi pigmen/dekat lesi pigmen, 2 hari sebelum prosedur
hingga 3 hari setelah prosedur
6. Rambut pada lesi pigmen dicukur
7. Daerah yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan non alkohol
8. Pada area tidak luas dapat diberikan anestesi topikal selama 45-60 menit
9. Setelah anestesi, daerah yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dari krim
anestesi topikal menggunakan kasa.
10. Obat sedatif dan analgesik dapat digunakan bila perlu.
11. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser/IPL

V. Prosedur Tindakan3-5
a. Prosedur Tindakan IPL5-15 (1A)
1. Dokter mempersiapkan alat IPL dengan menentukan parameter.
2. Sebelum mengarahkan flashlamp IPL pastikan area kulit tidak basah.
3. Saat mempersiapkan pulse, ujung IPL diletakkan pada kulit yang dikelilingi
lapisan tipis gel.
4. Ujung IPL dipegang tegak lurus dengan kulit dan digerakkan ke arah provider
agar visualisasi baik.
5. Flashlamp IPL diarahkan pada lesi kulit sampai terjadi perubahan klinis (end
point). Endpoint berupa lesion darkening dan demarcation, eritema perilesi,
perubahan warna lesi menjadi abu/gelap.
6. Untuk menghindari terjadi skar akibat collateral damage berlebihan pada
penggunaan IPL dapat menggunakan cooling sebelum dan sesaat setelah
tembakan/shot dan hindari pulse stacking.
7. Lakukan perawatan pasca IPL.

b. Prosedur Tindakan Laser6-15 (1A)


1. Dokter mempersiapkan alat laser dengan menentukan parameter dan
sebaiknya dilakukan spot test, terutama untuk lesi yang sulit dinillai dan
kemungkinan terjedi komplikasi, spot test dinilai 4-6 minggu.
2. Letakkan ujung laser (handpiece) dengan diameter yang sesuai dengan
besarnya lesi dan energi, diarahkan tegak lurus permukaan kulit dan seluruh
ujung laser bersentuhan dengan kulit.
3. Sinar laser diarahkan pada lesi kulit sampai terjadi perubahan klinis (end
point). Endpoint berupa perubahan klinis lesion darkening dan demarcation,
eritema perilesi, perubahan warna lesi menjadi abu/gelap. Biarkan beberapa
menit untuk kulit tipe Fitzpatrick I–III dan hingga 10 menit untuk kulit tipe
Fitzpatrick lebih gelap (IV). Jika tidak tampak perubahan klinis, secara
bertahap tingkatkan fluence perlahan sesuai toleransi pasien.
4. Epidermal cooling dilakukan sebelum, selama tindakan dan setelah tindakan
laser, setelah end point tercapai, (catat besarnya epidermal cooling yang
diberikan).
Setelah end point tercapai lesi pasca tindakan dikompres dingin.
5. Lakukan perawatan pasca laser

Keterampilan Terapeutik 80
6-14
VI. Prosedur Pasca Tindakan (1A)
1. Perawatan pasca laser tergantung ada tidaknya luka serta luas perlukaan
epidermis.
2. Bila terjadi eritema dan edema ringan, atau sensasi terbakar ringan, pasien dapat
menggunakan ice pack atau kompres dingin yang ditempelkan pada area pasca
tindakan 15 menit dan krim kortikosteroid topikal bila perlu 2-3 kali sehari beberapa
hari atau hingga keluhan eitema dan edema membaik. Bila eritema lebih dari 5 hari,
segera hubungi dokter.
3. Bila terjadi sensasi terbakar ringan, pasien dapat menggunakan ice pack atau
kompres dingin.
4. Lesi pigmen menjadi lebih gelap selama 1-2 hari pasca prosedur. Mikrokrusta
dapat terbentuk dan akan mengelupas 1-2 pekan pasca prosedur.
5. Pasien sebaiknya mengurangi pajanan sinar matahari selama 4 pekan dan
menggunakan tabir surya SPF 30 atau pelindung lain.
6. Hindari garukan atau goresan pada area setelah laser.
7. Hindari penggunaan bahan dan kegiatan yang dapat mengiritasi kulit (misalnya
scrubing dan kosmetik).
8. Bila nyeri berkelanjutan atau terdapat lepuh segera hubungi dokter.

VII. Level of Evidence12,15


No Diagnosis Alat SoR/LoE
1 Lentigo Laser QS alexandrite 755 nm 2B
Laser QS Nd:YAG 1064 nm 1B
Laser Er:YAG 2940 nm 1B
2 Café au Lait Laser QS alexandrite 755 nm 2B
Laser QS Nd:YAG 1064 nm 2B
3 Nevus spilus Laser QS Nd:YAG 1064 nm 2B
4 Hiperpigmentasi Laser QS Nd:YAG 1064 nm 2C
pasca inflamasi
5 Nevus Becker IPL 2B
Laser Er:YAG 2940 nm 2B
Laser QS Nd:YAG 1064 nm 2B
Laser QS ruby 694 nm 2B
Laser QS alexandrite 755 nm 2B
6 Nevus PDL + Laser QS ruby 694 nm 2B
melanositik Laser CO2 + laser QS Nd:YAG 1064 nm 2B
Laser Er:YAG 2940 nm 2B
Laser long pulse alexandrite 755 nm 2B
7 Nevus Ota Laser QS Nd:YAG 1064 nm 1B
Laser QS alexandrite 755 nm 1B
Laser QS ruby 694 nm 1B
8 Nevus Hori Laser QS Nd:YAG 1064 nm 1B
Laser QS alexandrite 755 nm 1B
Laser QS ruby 694 nm 1B
9 Melasma Laser QS ruby 694 nm 2C
Laser CO2 + laser QS alexandrite 755 2C
nm 2C
QS alexandrite 755 nm 2C
Laser Er:YAG 2940 nm
10 Freckles laser QS Nd:YAG 532 nm 2B

Keterampilan Terapeutik 81
VIII. Kepustakaan
1. Orringer JS. Non ablative laser and light-based therapy: cosmetic and medical indications.
Dalam: Sewon K, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk.,
penyunting. Fitzpatrick Dermatology. Edisi ke-9. NewYork: Mc.Graw Hill; 2019. h.3846-56.
2. Mahoney AM, Weiss RA, Mariwalla K, Hruza GJ. Laser treatment of pigmented lesions and
tattoos. Dalam: Hruza GJ, Tanzi EL J, Dover JS, Alam M. penyunting. Laser and Lights.
Procedures in Cosmetic Dermatology. Edisi ke-4. Edinburg: Elsevier; 2018.h.71-100.
3. Blalock TW. Ross EV. Nonablative laser and light skin rejuvenation. Dalam: Hruza GJ, Tanzi EL
J, Dover JS, Alam M. penyunting. Laser and Lights: Procedures in Cosmetic Dermatology. Edisi
ke-4. Edinburg: Elsevier; 2018. h.128-58.
4. Bray FN, Shah V, Nouri K. Laser treatment of congenital melanocytic naevi: a review of the
literature. Laser Med Sci. 2016;31(1):197-204.
5. Small R. Laser treatment of pigmented lesions. Dalam: Small R, Hoang D., penyunting. A
Practical Guide to Laser Procedures. Edisi ke-1. Philadelphia: Wolters Kluwer 2016. h. 103-54.
6. Kim HR, Ha JM, Park MS, Lee Y, Seo YJ, Kim CD, et al. A low-fluence 1064 nm Q-switched
neodymium-doped ytrrium aluminium garnet laser for the treatment of café-au lait macules. J Am
Acad Dermatol. 2015; 73(3);477-83.
7. Aurangabadkar. Lasers and light for pigmented lesion. Dalam: Koushik L, Abhishek D, Aarti S,
penyunting, Textbook of Laser in Dermatology, Edisi ke-1. New Delhi/London/ Panama;2016.
h.77-92
8. Momen S, Mallipeddi R, Al-Niami F. The use of lasers in Becker’s naevus: an evidence based
review. J Cosmet Laser Ther. 2016;18(4):188-92.
9. Trivedi MK, Yang FC, Cho BK. A review of laser and light therapy in melasma. Int J Women
Dermatol. 2017;3(1):11–20.
10. Husain Z, Alster TS. The role of lasers and intense pulsed light technology in dermatology. Clin
Cosmet Investig Dermatol. 2016;9:29–40.
11. Graber EM, Dover JS. Lasers and lights for treating pigmented lesions. Dalam: Nouri K,
penyunting. Lasers in Dermatology and Medicine. Edisi ke-2. Switzerland: Springer.2018.h.83-
104.
12. Aurangabadkar S. Pigment specific laser and light devices. Dalam: Madan V, penyunting.
Practical Introduction to Laser Dermatology. Cham:Springer.2020. h.91-114.
13. Lee JD, Lee JK, Oh MJM. Lasers and PIH in Asian. Dalam: Lee JD, Lee JK, Oh MJM, penyunting.
Principles and Choice of Laser Treatment in Dermatology. Edisi ke-2. Singapore: Springer; 2020
h. 83-93
14. Lee JD, Lee JK, Oh MJM. Pigment lasers. Dalam: Lee JD, Lee JK, Oh MJM, penyunting.
Principles and Choice of Laser Treatment in Dermatology. Edisi ke-2. Singapore: Springer; 2020
h. 141-58
15. Belkin DA, Geronemus RG. Pigment lasers and light treatments. Dalam: Alam M, penyunting.
Evidence-Based procedural Dermatology. Edisi ke-2. Cham: Springer;2019. h. 259-73.

Keterampilan Terapeutik 82
B.22 Laser dan IPL Penghilang Rambut

I. Definisi
Hair removal menggunakan laser adalah salah satu pilihan tindakan untuk
menghilangkan/mengurangi rambut akibat suatu penyakit atau rambut yang tidak
dikehendaki (unwanted hair). Pemilihan panjang gelombang laser harus disesuaikan
dengan tipe kulit Fitzpatrick.1-3

II. Indikasi1-6
1. Hirsutisme (1B)
2. Hipertrichosis, atau estetika (unwanted hair) (1B)
3. Indikasi medis : pseudofolliculitis barbae, pilonidal sinus, acne keloid nuchae
(1C)

III. Kontraindikasi4-7 (1B)


1. Infeksi aktif pada area pengobatan (herpes simpleks, selulitis)
2. Peradangan kulit pada area (psoriasis, dermatitis atopik)
3. Melanoma atau lesi diduga melanoma
4. Riwayat konsumsi isotretinoin (wash out period 6 bulan), keloid/skar hipertrofik,
skleroderma/kelainan kolagen vaskular, obat imunosupresif
5. Kelainan fotosensitif
6. Keloid
7. Riwayat terapi elektrolisis, radiasi, agresif deep peeling, dermabrasi, skin graft
8. Gangguan perdarahan dan proses penyembuhan luka (trombositopenia,
penggunaan obat antikoagulan)
9. Penyakit sistemik tidak terkontrol
10. Kehamilan dan menyusui
11. Body dysmorphic disorder
12. Pasien dengan ekspektasi tidak realistis
13. Hair removal dengan menggunakan waxing, tweezing, elektrolisis 1 bulan
sebelumnya
14. Penggunaan krim pemutih/depilatory cream 2 minggu sebelumnya
15. Pertumbuhan rambut yang meningkat tanpa diketahui sebabnya.

IV. Persiapan
Alat8-12
1. Long pulsed ruby 694 nm (1B)
2. Long pulsed Alexandritte755 nm (1B)
3. Pulsed diode 800 nm (1B)
4. Long pulsed Nd:YAG1064 nm (1B)
5. Qs-Nd: YAG1064 nm (temporary hair removal) (1B)
6. Intense pulsed light (IPL) (1B)
7. IPL dikombinasikan. dengan radiofrequency (1B)

Alat pelindung diri


1. Sarung tangan

Keterampilan Terapeutik 83
2. Masker
3. Kacamata pelindung dokter dan perawat
4. Kacamata pelindung pasien
5. Smoke evacuator

Bahan habis pakai


1. Kapas alkohol dan non alkohol
2. Kasa steril
3. Bandana/surgical cap
4. Kasa yang dibasahi cairan NaCl fisiologis
5. Vaseline album
6. Anestesi topikal
7. Kortikosteroid topikal
8. Ice packs
9. Alat pencukur rambut

Bahan
Persiapan Dokter1-6 (1A)
1. Informed consent tentang tindakan laser dan light, risiko/komplikasi tindakan,
dalam formulir khusus dan ditandatangani pemberi informasi dan penerima
informasi.
2. Persiapan berupa cuci tangan, dilanjutkan menggunakan sarung tangan, dan
masker.
3. Perlindungan mata pada dokter dan petugas medis pendamping, dengan
kacamata khusus pelindung sinar laser.
4. Tindakan laser dan light menggunakan parameter disesuaikan kondisi kelainan
pasien.
5. Cuci tangan dan perawatan pasca tindakan.

Persiapan Pasien1-6 (1A)


1. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning minimal 4 pekan
sebelum tindakan terutama pada tipe Fitzpatrick tipe kulit IV-VI.
2. Lakukan penilaian karakteristik rambut misalnya jenis rambut, ketebalan rambut,
warna rambut untuk menentukan parameter laser/IPL.
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
4. Dokumentasi foto sebelum tindakan.
Untuk wajah, lakukan pengambilan foto berwarna pasien, yaitu sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan laser (posisi tampak depan, 45⁰ kanan dan kiri),
lokasi anatomi lain menyesuaikan.
5. Pastikan pasien tidak mencabut rambut, waxing, threading, serta menjalani
elektrolisis sebelum tindakan. Mencukur pendek serta menggunakan krim
perontok rambut masih diperbolehkan.
6. Mencukur dilakukan perawat sesaat sebelum prosedur.
7. Area yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan alkohol swab.
8. Pada area tidak luas pasien diberikan anestesi topikal selama 45-60 menit.
9. Setelah anestesi, area yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dari krim
anestesi topikal menggunakan kasa.
10. Mata pasien ditutup kacamata khusus pelindung sinar laser

Keterampilan Terapeutik 84
V. Prosedur Tindakan2,9-13 (1A)
1. Dokter mempersiapkan alat laser atau light dengan menentukan parameter.
2. Hand piece dipasang dan dipilih sesuai panjang gelombang dan spot size yang
akan digunakan. Hand piece digerakkan di area tindakan, bersamaan dengan
kaki menekan (footswitch) atau jari tangan menekan (hand switch).
3. Sinar laser atau light ditembakkan ke area yang akan dilakukan hair removal
sampai terjadi perubahan klinis (end point). End point berupa singed hair smell,
eritema, hair extrusion, rambut terbakar.
4. Lakukan kompres menggunakan ice pack kisaran 15 menit.
5. Area pasca tindakan dibersihkan dengan cairan NaCl 0,9% dan dioleskan salep
kortikosteroid/antibiotik topikal.

VI. Prosedur Pasca Tindakan2,9-13 (1A)


1. Edukasi setelah tindakan laser dan light, pasien dapat menggunakan ice pack
atau kompres dingin, yang ditempelkan di area pasca tindakan selama 10-15
menit.
2. Kortikosteroid/antibiotik topikal dapat diberikan sesaat setelah tindakan dan
diberikan dalam jangka pendek.
3. Pasien sebaiknya mengurangi pajanan sinar matahari selama 2 minggu.
4. Hindari menggaruk atau menggores area pasca tindakan.
5. Hindari penggunaan bahan dan kegiatan yang dapat mengiritasi kulit (misalnya
scrubing, pemakaian deodoran dan kosmetik).
6. Pasien dianjurkan kontrol.

VII. Kepustakaan
1. Ibrahimi OA, Kilmer SL. Laser hair removal. Dalam: Hruza GJ, Tanzi EL, penyunting. Lasers and
Lights. Edisi ke-4. New York: Elsevier;2018. h.39-53.
2. Oringer JS. Nonablative laser and light-based therapy: cosmetic and medical indications. Dalam:
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting.
Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York:McGraw-Hill Education.2019.h.3851-2.
3. Goldberg DJ. Current trends in intense pulsed light. J Clin Aesthet Dermatol. 2012; 5(6):45–53.
4. Bhat YJ, Bashir S, Nabi N, Hassan I. Laser Treatment in Hirsutism: An Update. Dermatol Pract
Concept. 2020;10(2):1-8.
5. Vaidya T, Hohman MH, Kumar D D. Laser hair removal. [Updated 2021 Aug 26]. Dalam:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507861/
6. Small R. Hair removal. Dalam: Small R, Hoang D, penyunting. A Practical Guide to Laser
Procedures. Philadelphia:Wolters Kluwer. 2016. h.55-82.
7. Garden JM, Zelickson B, Gold MH, Friedman D, Kutscher TD, Afsahi V. Home hair removal in all
skin types with a combined radiofrequency and optical energy source device. Dermatol Surg.
2014; 40(2):142-51.
8. Nicola Z, Marina P, Daniela DG, Luigi C, Paolo M, Paolo S, dkk. Combined laser assisted
treatment for permanent hair removal for skin types I-V with Alexandrite 755nm and Nd:YAG
1064nm lasers. Dermatol Ther. 2021;34:e14599.
9. Al-Hamamy HR, Saleh AZ, Rashed ZA. Evaluation of effectiveness of diode laser system (808
nm) versus intense pulse light (IPL) in the management of unwanted hair: a split face comparative
study. Int J Med Phys Clin Eng Radiat Oncol. 2015(4):41-8.
10. Dorgham NA, Dorgham DA. Lasers for reduction of unwanted hair skin of color: A systematic
review and meta-analysis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2019;34(5):1-27.
11. Ormiga P, Aguinaga F. Laser for hair removal. Dalam: Issa MCA, Tamura B, penyunting. Lasers,
Lights and Other Technologies. Cham: Springer.2018; h.223-231.
12. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A, Huo R, Charoensawad R, Camacho I, dkk. Laser for hair
removal. Dalam: Nouri K, penyunting. Lasers in Dermatology and Medicine. Edisi ke-2. Cham:
Springer. 2018. h, 121-36.
13. Lee JD, Lee JK, Oh Min JM. Laser Hair Removal. Dalam: Lee JD, Lee JK, Oh Min JM, penyunting.
Principles and Choice of Laser Treatment in Dermatology. Singapore: Springer;2018.h.161-84.

Keterampilan Terapeutik 85
B.23 Laser Untuk Kelainan Tumor Jinak Kulit

I. Definisi1,3-5
Penatalaksanaan tumor jinak kulit dengan menggunakan laser CO2 dan laser
ablatif lainnya (laser Er:YAG)

II. Indikasi1-13
1. Keratosis seboroik
2. Veruka vulgaris
3. Skin tags
4. Hiperplasia glandula sebaseus
5. Kutil (warts)
6. Xanthelasma
7. Syringoma
8. Keratosis aktinik difus

III. Efek Samping3-5


1. Efek samping ringan:
a. Eritema, edema, krustasi
2. Efek samping sedang:
a. Infeksi bakteri, virus, jamur termasuk reaktivasi virus herpes simpleks
b. Hiperpigmentasi pascainflamasi
3. Efek samping berat:
a. Hipopigmentasi pascainflamasi
b. Skar/sikatrik
c. ektropion

IV. Kontraindikasi1,3-5,12,13
1. Pasien dengan keinginan yang tidak realistis
2. Pasien yang memiliki aktivitas terpajan sinar matahari terus menerus
3. Pasien dengan konsumsi isotretinoin jangka panjang memiliki risiko
terbentuknya skar pasca tindakan
4. Pasien dengan riwayat keloid/skar hipertrofik, skleroderma/kelainan kolagen
Vaskular memiliki risiko penyembuhan luka yang tidak normal
5. Pasien dengan penyakit infeksi aktif (bakteri, virus, jamur), riwayat infeksi yang
rekuren/anergi
6. Pasien dengan kondisi penyakit inflamasi yang aktif pada area yang akan
dilakukan tindakan. Pasien dengan koebnerizing disease termasuk labile
psoriasis, vitiligo, dermatitis yang berat
7. Kondisi medis termasuk diabetes, masalah hipertensi, penyakit paru dan
kardiovaskular yang signifikan.

Keterampilan Terapeutik 86
V. Persiapan
Persiapan Dokter1,3-5,12,13
1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser, risiko/komplikasi yang diberikan
dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan
penerima informasi.
2. Persiapan berupa cuci tangan dilanjutkan menggunakan sarung tangan, dan
masker.
3. Perlindungan mata pada dokter dan petugas medis pendamping, dengan
kacamata khusus pelindung sinar laser.
4. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat
disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien.
5. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan.

Persiapan Pasien1,3-5,12,13
1. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning dengan rejimen
tretinoin topikal/hidrokuinon/asam hidroksi dan tabir surya minimal 1 bulan
terutama pada tipe kulit Fitzpatrick tipe 4-6.
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
3. Dokumentasi foto, lakukan pengambilan foto berwarna pasien, yaitu sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan laser (posisi tampak depan, 450 kanan, 450 kiri),
lokasi anatomi lainnya menyesuaikan.
4. Daerah yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan alkohol swab.
5. Bila diperlukan dapat diberikan anestesi topikal selama 45-60 menit sebelum
tindakan, atau infiltrasi lidokain.
6. Penggunaan sedatif dan analgesik bila diperlukan.
7. Setelah anestesi, daerah yang akan dilaser dibersihkan dari krim anestesi
topikal menggunakan kasa.
8. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser.

Alat1-13
1. Carbodioxide (CO2) 10.600 nm
2. Er: YAG 2940 nm

VI. Prosedur Tindakan1-3,5,12,13


1. Dokter mempersiapkan alat laser dan ukuran beam (sinar) dan menentukan
parameter, sebaiknya dilakukan spot test.
2. Menembakkan sinar laser pada lesi kulit sampai terjadi perubahan klinis (end
point) berupa karbonisasi.
3. Lesi dikompres dengan kasa dan NaCl 0,9%, dapat dalam kondisi dingin (ice
pack) selama 10-20 menit.
4. Lesi diberi antibiotik topikal.
5. Lakukan perawatan luka tertutup sampai 1x24 jam, lalu selanjutnya dapat
dilakukan rawat luka terbuka sampai luka sembuh dengan antibiotik topikal.

Keterampilan Terapeutik 87
VII. Level of Evidence

No Diagnosis Alat GOR/LOE


1 Seboroik keratosis CO2 10.600 nm 1A4,6
Er: YAG 2940 nm 1A6,7
2 Cutaneus Warts CO2 2A8
Er: YAG 2940 nm 2A8
3 Actinic keratosis CO2 10.600 nm 1A9
4 Syringoma CO2 10.600 nm 1A10
5 Xanthelasma Er:YAG 2940 nm 1A11
Keterangan: Level of evidence (LOE) dan grade of recommendation (GOR) berdasarkan
kepustakaan dengan alat LASER yang digunakan dalam penelitian tersebut, mohon untuk melihat
masing-masing kepustakaan, tidak semua jenis LASER yang sama mempunyai efek yang sama.
Hasil sangat tergantung pada keterampilan operator, diperlukan latihan yang terus menerus.

VIII. Pasca Prosedur Tindakan1,3-5,12,13


1. Perawatan paska laser tergantung pada ada tidaknya luka serta luas perlukaan
pada lapisan epidermis.
2. Edukasi setelah tindakan laser, pasien dapat menggunakan ice pack atau
kompres dingin, yang ditempelkan pada area yang dilakukan laser tersebut
selama 10-15 menit.
3. Antibiotik topikal digunakan 2 kali sehari sampai luka sembuh.
4. Antiinflamasi topikal dapat diberikan jika diperlukan. Steroid topikal dapat
diberikan sesaat segera tindakan dan diberikan dalam waktu singkat.
5. Pasien sebaiknya mengurangi paparan sinar matahari, dengan menggunakan sun
block SPF 30 atau pelindung yang lain. Pasien sebaiknya mengurangi paparan
sinar matahari selama 2 minggu.
6. Pasien sebaiknya mengurangi kegiatan yang menyebabkan peningkatan panas
tubuh (24 jam pertama).
7. Jangan menggaruk atau menggores area setelah laser.
8. Hindari penggunaan bahan dan kegiatan yang dapat mengiritasi kulit (misalnya
scrubbing dan kosmetik).
9. Sabun yang bersifat tidak mengiritasi dapat digunakan sehari dua kali.
10. Jika terdapat nyeri berkelanjutan maupun bula (blister) dapat menghubungi
dokter.
11. Perawatan ini dapat dipertahankan hingga 7-10 hari (sampai luka sembuh).

Keterampilan Terapeutik 88
IX. Kepustakaan
1. Mcllwee BE, Alster TS. Laser skin resurfacing: cosmetic and medical applications. Dalam: Kang
S, Katz SI, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al. penyunting.
Fitzpatrick Dermatology. Edisi ke-9. New York: Mc. Graw Hill; 2019.h.3834-45.
2. Glaser DA, Semchyshyn NL, Carnio PJ. Carbon dioxide laser resurfacing, Fractional
resurfacing and YSGG resurfacing. Dalam: Carniol PJ, Saddick NS. Clinical procedures in Laser
Skin Rejuvenation. Edisi ke-1. Chennai: Replika Press; 2007.h.30-56.
3. Anolik R, Geronemus RG. Complications of fractional lasers (ablative and nonablative). Dalam:
Tosti, Beer K, Padova MP. Management of complications of cosmetic procedures. Berlin:
Springer Verlag; 2012.h.23-36.
4. AlNomair N, Nazarian M, Marmur E. Complications in Lasers, Lights, and Radiofrequency
Devices. Facial Plast Surg 2012;28:340-6.
5. Wanitphakdeedecha R, Alster TS. Lasers for resurfacing. Dalam: Nouri K. Lasers in dermatology
and medicine. London:Springer Verlag;2011.h.103-22.
6. Ali BMM, El-Tatawy RA, Ismael MA. Electrocautery versus ablative Co2 laser in the treatment of
seborrheic keratoses: a clinical and histopathological study. J Egypt W Derm. 2014;136-141.
7. Aral BB, Gurel MS. Effectiveness of erbium:YAG laser and cryosurgery in seborrheic keratoses:
Randomized, prospective intraindividual comparison study. J Derm T. 2015:26;45-54.
8. Sterling JC, Gibbs S, Husain SSH, Mustapa MFM, Hanfield-jones SE. British association of
dermatologist’ guidelines for the management of cutaneous warts 2014. BJD. 2014; 696-712.
9. Zane C, Facchinetti E, Rossi MT, Specchia C, Ortel B, Pinton CP. Cryotherapy is preferable to
ablative CO2 laser for the treatment of isolated actinic keratoses of the face and scalp: a
randomized clinical trial. British Journal of Dermatology. 2014;170:1114–21.
10. Cho BS, Kim JH, Noh S, Lee SJ, Kim, Lee JH. Treatment of Syringoma Using an Ablative
10,600-nm Carbon Dioxide Fractional Laser: A Prospective Analysis of 35 Patients. Dermatol
Surg. 2011;37:433–38.
11. Abdelkaber M, Alashry SE. Argon laser versus erbium:YAG laser in the treatment of
xanthelasma palpebrarum. Saudi Journal of Ophtalmology 2015;29:116-20.
12. David, Jeremy M. Complication and legal consideration of laser and light treatments. Dalam:
Hruza G, Avram M, Dover J, Alam M. Laser and lights. Edisi ke-3. China: Elseiver; 2013.h.10-20.
13. Willard RJ. Moody BR, Hruza GJ. Carbondioxide and erbium:YAG laser ablation. Dalam: Kuhn
B, Bonnet C. Cutaneous and cosmetic laser surgery. Edisi ke-1. China: Elsevier;2006.h.155-82.

Keterampilan Terapeutik 89
B.24 Laser Untuk Kelainan Vaskular

I. Definisi1-5
Laser dan light vaskular adalah laser dan light yang digunakan untuk penanganan
lesi vaskular dengan target kromofor utama oksihemoglobin.

II. Indikasi
1. Malformasi vaskular 6 (1C)
2. Port-wine stain 5-8 (1A)
3. Hemangioma 6-11 (1B)
4. Cherry angioma 6-11 (1B)
5. Telangiektasia 6-8,13,14 (1A)
6. Granuloma piogenikum 6,14-17 (1C)
7. Striae rubra 6 (1C)
8. Poikiloderma of civatte 13-15,17 (1C)
9. Rosasea 6,18 (1A)
10. Angiokeratoma 6 (1B)

III. Kontraindikasi1-5
1. Infeksi aktif pada area laser (misalnya: herpes simpleks aktif, akne pustular,
selulitis)
2. Peradangan kulit pada area laser (misalnya: dermatitis atopik, vitiligo)
3. Melanoma atau lesi suspek melanoma pada area laser
4. Deep peeling, dermabrasi, terapi radiasi pada area laser selama 6 bulan terakhir
5. Perdarahan abnormal (misalnya: trombositopenia, penggunaan antikoagulan)
6. Gangguan penyembuhan luka (misalnya: pengobatan imunosupresif, diabetes
mellitus tidak terkontrol)
7. Kondisi penyakit sistemik tidak terkontrol (misalnya: hipertensi, penyakit paru
dan kardiovaskular berat)
8. Penggunaan isotretinoin selama 6 bulan terakhir
9. Gangguan fotosensitivitas (misalnya: Lupus eritemetosus sistemik)
10. Kehamilan dan menyusui
11. Ekspektasi pasien yang berlebih.

IV. Persiapan
Alat1-6
1. Nd:YAG (potassium-tytanyl-phosphate (KTP) 532 nm dan 1064 nm7,19 (1B)
2. Pulsed dye laser (PDL) 585-595 nm7,20 (1A)
3. Long pulsed neodymium: yttrium-aluminium-garnet (Nd:YAG) 1064 nm12,20 (1B)
4. Intense pulsed light (IPL)6 (1A)
5. Carbon dioxide (CO2)10.600 nm7 (1C)
6. Er:YAG 29.400 nm6 (1C)
7. Long pulsed diode 980 nm6 (1B)
8. Long pulsed alexandrite 755 nm6(1C).

Keterampilan Terapeutik 90
Tabel 1. Pilihan laser berdasarkan kelaianan vaskular6-8, 11-16
No. Kelainan Vaskular Alat LOE
1. Malformasi Kapiler (PWS) PDL 585-595 nm Long pulsed 1A
Nd: YAG 1064 nm
IPL 1B
Long pulsed KTP 532 nm 1B
2. Hemangioma PDL 585-595 nm Fraksional 1A
CO2 1C
3. Cherry Angioma PDL 585-595 nm 1A
4. Telangiektasia PDL 585-595 nm Long 1A

5. Venous Lake Long pulsed Diode 980 nm 1B


6. Anomali vaskular lain Long pulsed Nd: YAG 1064 nm 1B
(malformasi vena)
7. Granuloma Piogenikum CO2 10.600 nm 1C
Er: YAG 29.400 nm 1C

Alat pelindung diri


1. Sarung tangan
2. Masker
3. Kacamata pelindung dokter dan perawat
4. Kacamata pelindung pasien
5. Eyeshield corneal (jika diperlukan)
6. Face shield (jika diperlukan)
7. Smoke evacuator

Bahan habis pakai


1. Kapas non alkohol
2. Kasa steril
3. Surgical cap
4. Kasa yang telah dibasahi dengan cairan NaCl fisiologis
5. Vaseline album
6. Ice packs
7. Kortikosteroid topikal
8. Antibiotik topikal/wound care topikal

Persiapan Dokter3-5 (1A)


1. Pemberian informasi mengenai tindakan laser dan light termasuk risiko/komplikasi
dalam formulir khusus, ditanda tangani pemberi informasi dan penerima informasi.
2. Cuci tangan, dilanjutkan menggunakan sarung tangan, dan masker.
3. Perlindungan mata dokter dan petugas medis pendamping, dengan kacamata
khusus pelindung sinar laser.
4. Tindakan laser dan light dengan menggunakan parameter yang ada pada alat
disesuaikan dengan kondisi kelainan dan tipe kulit pasien.
5. Cuci tangan dan perawatan pasca tindakan.

Persiapan Pasien3-5,16 (1A)


1. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning minimal 4 pekan.
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
3. Dokumentasi foto, lakukan pengambilan foto berwarna pasien, yaitu sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan laser (posisi tampak depan, 45⁰ kanan dan kiri), lokasi
anatomi lain menyesuaikan.

Keterampilan Terapeutik 91
4. Daerah yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan alkohol swab.
5. Bila diperlukan, pada area tidak luas pasien diberikan anestesi topikal selama 45-
60 menit.
6. Anestesi berupa cooling device bila diperlukan.
7. Penggunaan sedatif dan analgesik bila diperlukan.
8. Setelah anestesi, krim anestesi topikal dibersihkan menggunakan kasa pada area
yang akan dilakukan tindakan laser .
9. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser.

V. Prosedur Tindakan3,4,16 (1A)


1. Dokter mempersiapkan alat laser dan light dengan menentukan parameter dan
sebaiknya dilakukan spot test.
2. Sinar laser ditembakkan pada lesi kulit sampai terjadi perubahan klinis (end
point) berupa eritema, purpura atau blanching (lesi memucat), darkening with a
greyish discoloration.
3. Lesi dikompres dengan kasa yang dibasahi cairan NaCl 0,9% atau ice pack
selama 10-20 menit.
4. Area eritema dapat diberikan kortikosteroid/antibiotik/wound care topikal bila
perlu.

VI. Prosedur Pasca Tindakan3-5,16 (1A)


1. Perawatan pasca laser tergantung luka pasca tindakan serta luas perlukaan
lapisan epidermis.
2. Edukasi setelah tindakan laser, pasien dapat menggunakan ice pack atau
kompres dingin, ditempelkan di area pasca laser dan light selama 10-15 menit.
3. Antibiotik, anti inflamasi, dan kortikosteroid topikal dapat diberikan bila perlu
setelah tindakan dan dalam waktu singkat.
4. Pasien mengurangi pajanan sinar matahari selama 2 pekan, dengan
menggunakan tabir surya SPF 30 atau pelindung lain.
5. Hindari menggaruk atau menggores area pasca laser.
6. Hindari penggunaan bahan dan kegiatan yang dapat mengiritasi kulit (misal:
scrubing dan kosmetik).
7. Bila nyeri, dapat mengkonsumsi analgesik.

Keterampilan Terapeutik 92
VII. Kepustakaan
1. Rinaldi G, Syed SB, Madan V. Laser for vascular indications. Dalam: Madan V. penyunting.
Practical Introduction to Laser Dermatology. Cham: Springer; 2020. h. 53-90.
2. Landthaler M, Baumler W, Honenlaeutrer V. Laser sand flash lamps in dermatology. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. penyunting. Fitzpatrick
Dermatology. Edisi ke-9. New York: Mc.Graw Hill; 2019. h.5371-406.
3. Cheng N, Rubin IK, Kelly KM. Laser treatment of vascular lesions. Dalam: Hruza G, Avram M,
Dover J, Alam M. Laser and Lights. Edisi ke-4. New York: Elseiver; 2018. h.11-21.
4. Martin DA, Geronemus RG. Vascular laser and light treatment. Dalam: Alam M, penyunting.
Evidance Based Procedural Dermatology. 2019. Cham: Springer. h.243-258
5. Adamic M, Pavlovic MD, Rubin AT, Ekback MP, Boixeda P. Guideline of care for vascular laser
and intense pulse light sources from the European society for laser dermatology. J Eur Acad
Dermatol Venereol. 2015. h. 1661-78
6. Joo J, Michael D, Kilmer S. Laser for treatment of vascular lessions. Dalam: Nauri K, penyunting.
Laser in Dermatology and Medicine. Edisi ke -5. Cham: Springer; 2018.h.49-52.
7. Craig LM, Alster TS. Vascular skin lesions in children: a review of laser surgical and medical
treatments. Dermatol Surg. 2013;39(8):1137-46.
8. Obi AT, Sutzko DC, Almeida JI, Kabnick L, Cronenwett JL, dkk. First 10-month results of the
vascular quality initiative varicose vein registry. J Vasc Surg Venous Lymphat Disord. 2017;
5(3):312-20.e2.
9. Brightman LA, Braurer JA, Terushkin V, Hunzeker C, Reddy KK, Weiss ET, dkk . Ablatif fractional
resurfacing for involuted hemangioma residuum. Arch Dermatol. 2012:148(11): 1294-98.
10. Tanghetti EA. Split-face randomized treatment of facial telangiectasia comparing pulsed dye laser
and an intense pulsed light handpiece. Laser Surg Med. 2012; 44(2):97-102.
11. Kovacevska G, Tomov G, Voynov P. Non-surgical treatment of lip venous lake using a 980 nm
diode laser: report of series of 10 cases. Int J Sci Res. 2015(4): 2:140-5.
12. Moser CM, Hamsah C. Succesful treatment of cutaneous venous malformations in a patient with
blue rubber bleb nevus syndrome by Nd: YAG laser. Br J Dermatol. 2012; 166(5):1143-5.
13. Zonungsangan. Pyogenic granuloma treated with continuous wave CO2 laser followed by
ultrapulsed CO2 laser ablation. Our Dermatol Online.2014; 6(2):160-2.
14. Feurazad R, Nokhbatolfoghahaei H, Khoei F, Kalhori KA. Pyogenic granuloma: surgical treatment
with Er: YAG laser. J Laser Med Sci. 2014:5(4): 199-205.
15. Fogaca AS. Laser treatment of vascular lesions. Dalam: Issa MCA, Tamura B, penyunting. Laser,
light, and other thecnology. Cham: Springer. 2018.h.263-266.
16. Husain Z, Alster TS. The role of laser and intense pulse light technology in dermatology. Clin
Cosmet Investig Dermatol.2016;9:29-40.

Keterampilan Terapeutik 93
B.25 Laser Untuk Menghilangkan Tato

I. Definisi
Tindakan untuk menghilangkan tato dengan menggunakan laser. Tato merupakan
suatu kondisi masuknya pigmen eksogen ke dalam lapisan dermis disebabkan oleh
tindakan yang disengaja, tidak disengaja atau karena jejas/trauma. 1–3

II. Indikasi1,2,4-6
1. Tato amatir (1B)
2. Tato kosmetik (1B)
3. Tato traumatik (2C)
4. Tato medis di kulit (2C)

III. Kontraindikasi2 (1B)


1. Infeksi aktif pada area tindakan (herpes simpleks, akne pustular, selulitis)
2. Dematosis pada area tindakan (vitiligo, psoriasis, dermatitis atopik)
3. Melanoma atau lesi yang diduga melanoma pada area tindakan
4. Deep chemical peel, dermabrasi atau terapi radiasi pada area tindakan selama 6
bulan sebelum tindakan.
5. Jaringan parut/keloid
6. Kondisi penyakit sistemik tidak terkontrol
7. Kehamilan atau menyusui
8. Harapan pasien yang tidak realistis
9. Gangguan dismorfik tubuh
10. Alergi tinta tato.

IV. Persiapan
Alat1-4,6-14
1. QS Ruby 694 nm (1B)
2. QS Nd: YAG1064 nm (1B)
3. Frequency double QS Nd: YAG 532 nm (1C)
4. Picosecond Alexandrite 755 nm) (1A)
5. Picosecond Nd: YAG1064 nm, 785 nm, 532 nm (1B)
6. Frequency double Nd: YAG1064 nm (1C)
Tabel 1. Pilihan laser berdasarkan warna tinta tato2
A
Laser QS Hitam Biru Hijau Merah
Alexandrite 755 nm X X X
Ruby 694 nm X X X
N d:YAG 1064 nm X X X
Nd:YAG 532 nm X
Nd:YAG 650 nm X
B
Laser Picosecond Hitam Biru Hijau Merah
Alexandrite 755 nm X X X
Nd:YAG 1064 nm X X X
Nd:YAG 532 nm X

Keterampilan Terapeutik 94
Alat pelindung diri
1. Sarung tangan
2. Masker
3. Kacamata pelindung dokter dan perawat
4. Kacamata pelindung pasien
5. Face shield (jika diperlukan)
6. Smoke evacuator

Bahan habis pakai


1. Kapas alkohol
2. Kasa steril
3. Surgical cap
4. Kasa yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis
5. Vaseline album
6. Ice packs

Persiapan Pasien1,2,6,15 (1A)


1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menilai jenis tato, tipe kulit, dan hal yang
termasuk dalam kategori kontraindikasi, serta kebiasaan berjemur matahari.
2. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning minimal 4 pekan
sebelum tindakan terutama pada tipe Fitzpatrick tipe kulit IV-VI dan sebaiknya
dilakukan spot test.
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
4. Dokumentasi foto, lakukan pengambilan foto tato pasien sebelum dan sesudah
tindakan laser.
5. Lengkapi data mengenai lokasi tato, tipe tato, warna tato, intensitas warna tinta,
riwayat alergi, lama tato.
6. Daerah yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan alcohol swab.
7. Rambut pada area laser dicukur/digunting untuk mengurangi risiko epidermal
thermal injury.
8. Area yang akan dilakukan tindakan dioleskan anestesi topikal selama 45-60 menit.
9. Penggunaan sedatif dan analgesik bila diperlukan.
10. Setelah anestesi, area yang akan dilakukan tindakan laser dibersihkan dari krim
anestesi topikal menggunakan kasa.
11. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser.

V. Prosedur Tindakan1,2,5,15-16
1. Dokter mempersiapkan alat laser dengan menentukan parameter dan sebaiknya
dilakukan spot test.
2. Spot test sebaiknya dilakukan untuk pasien dengan warna kulit gelap (tipe kulit
Fitzpatrick IV-VI), pasien dengan tato multicolor, pasien dengan risiko lepuh lebih
besar, dan tato kosmetik untuk menghindari paradoxical darkening. Spot test
dinilai selama 4-6 pekan.
3. Sinar laser ditembakkan pada tato sampai terjadi perubahan klinis (endpoint). End
point berupa perubahan klinis seperti whitish, snapping sound, bintik perdarahan
(pin point bleeding).
4. Setelah end point tercapai area pasca laser dikompres dingin.
5. Area pasca laser dikompres dengan larutan NaCl 0,9%.
6. Dilakukan perawatan luka pasca tindakan laser sesuai prosedur.

Keterampilan Terapeutik 95
Prosedur Pasca Tindakan1,2,5,15
1. Perawatan pasca laser tergantung ada tidaknya luka serta luas perlukaan lapisan
epidermis.
2. Edukasi mengenai reaksi tindakan yang mungkin terjadi: whitish, edema, pruritus,
punctuate bleeding, terbentuk krusta di kulit.
3. Setelah tindakan laser, pasien dapat menggunakan ice pack atau kompres
dingin, yang ditempelkan di area pasca laser selama10-15 menit.
4. Antibiotik dan anti inflamasi serta kortikosteroid topikal dapat diberikan sesaat
segera tindakan bila perlu dan diberikan dalam waktu singkat.
5. Pasien sebaiknya mengurangi pajanan sinar matahari selama 2 minggu, dengan
menggunakan tabir surya SPF 30 atau pelindung lain.
6. Hindari menggaruk atau menggores area pasca laser.
7. Tindakan dapat diulang interval 6-8 minggu. Jumlah sesi tindakan dapat
diperkirakan dari perhitungan menggunakan Kirby-Desai Tattoo Removal Scale.

VI. Kepustakaan
1. Truswell IV WH. Lasers and Light, Peels and Abrasions Applications and Treatments. Edisi ke-
1. New York: Thieme Medical; 2016. h. 109–19.
2. Mahoney AM, Weiss RA, Mariwalla K, Hruza GJ. Laser treatment of pigmented lesions and
tattoos. Dalam: Hruza GJ, Tanzi EL, penyunting. Lasers and Lights. Edisi ke-4. New York:
Elsevier; 2018. h. 71–100.
3. Cannarozzo G, Nisticò SP, Zappia E, del Duca E, Provenzano E, Patruno C, dkk. Q-switched
1064/532 nm laser with nanosecond pulse in tattoo treatment: A double-center retrospective
study. Life. 2021;11(7):708–14.
4. Seitz AT, Grunewald S, Wagner JA, Simon JC, Paasch U. Fractional CO2 laser is as effective as
Q-switched ruby laser for the initial treatment of a traumatic tattoo. J Cosmet Laser Ther.
2014;16(6):303–5.
5. Goh CL, Ho SG. Laser tattoo removal: A clinical update. J Cutan Aesthet Surg. 2015;8(1):9–15.
6. Small R. Tattoo removal. Dalam: Small R, Hoang D, penyunting. A Practical Guide to Laser
Procedures. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016. h. 133–62.
7. Orringer JS. Nonablative laser and light-based therapy: cosmetic and medical indications. Dalam:
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting.
Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill; 2019. h. 3852–4.
8. Qu Y, Feng X, Liang J, Liu J, Gao D. The picosecond laser effects on tattoo removal and
metabolic pathways. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology. 2021;14:1343–50.
9. Gurnani P, Williams N, AL-Hetheli G, Chukwuma O, Roth R, Fajardo F, dkk. Comparing the
efficacy and safety of laser treatments in tattoo removal: A systematic review. J Am Acad
Dermatol. 2020;32349-5.
10. Belkin DA, Geronemus RG. Pigment lasers and light treatments. Dalam: Alam M, penyunting.
Evidence-Based Procedural Dermatology. Edisi ke-2. Cham: Springer ; 2019. h. 259–68.
11. Reiter O, Atzmony L, Akerman L, Levi A, Kershenovich R, Lapidoth M, dkk. Picosecond lasers
for tattoo removal: A systematic review. Lasers Med Sci. 2016;31(7):1397–405.
12. Bernstein EF, Schomacker KT, Basilavecchio LD, Plugis JM, Bhawalkar JD. A novel dual-
wavelength, Nd:YAG, picosecond-domain laser safely and effectively removes multicolor tattoos.
Lasers Surg Medicine. 2015;47(7):542–8.
13. Lee JD, Lee JK, Jin M, Oh M. Pigment lasers. Dalam: Lee JD, Lee JK, Oh MJM, penyunting.
Principles and Choice Laser Treatment in Dermatology. Singapore: Springer; 2020. h. 153–5.
14. Wu DC, Goldman MP, Wat H, Chan HHL. A systematic review of picosecond laser in
dermatology: Evidence and recommendations. Lasers Surg Med. 2021;53(1):9–49.
15. Park KC, Park ES, Nam SM, Shin JS. The utility of picosecond Nd:YAG laser for tattoo removal.
Med Lasers. 2021;10(1):31–6.
16. Goh CL, Ho SG. Lasers for tatto removal. Dalam: Koushik L, Abhishek D, Aarti S, penyunting,
Textbook of Laser in Dermatology, Edisi ke-1. New Delhi: JP Medical;2016. h.124-32.

Keterampilan Terapeutik 96
B.26 Laser Untuk Resurfacing

I. Definisi
Penggunaan laser sebagai usaha untuk memperbaiki fungsi kulit yang terganggu,
merupakan bagian dari proses penghambat penuaan kulit dengan cara merangsang
perbaikan fungsi jaringan ikat kolagen. Resurfacing dapat menggunakan laser ablatif,
non ablatif, dan fraksional.1-4

II. Indikasi1-6
1. Superficial dyschromia (1B)
2. Kerutan statik (1B)
3. Anomali tekstur seperti laxity (1B)
4. Skar (1A)
5. Hyperplasia kelenjar pilosebaseus (1B)
6. Perubahan pigmen termasuk hiperpigmentasi, lentigines (1B)
7. Photodamage seperti dispigmentasi dan keratosis (1B)
8. Enlarged pore (1B)
9. Lesi kulit epidermal seperti keratosis, siringoma (1B)
10. Peremajaan kulit (1B)

III. Kontraindikasi1-5
Kontraindikasi laser ablatif, non ablatif, dan fraksional resurfacing
1. Infeksi aktif pada area pengobatan (herpes simpleks, selulitis)
2. Peradangan kulit pada area (psoriasis, dermatitis atopik)
3. Melanoma dan lesi kulit suspek melanoma
4. Riwayat konsumsi isotretinoin (wash out period 6 bulan), keloid/skar hipertrofik,
skleroderma/kelainan kolagen vaskular, obat imunosupresif
5. Kelainan fotosensitif
6. Keloid
7. Riwayat terapi elektrolisis, radiasi, agresif deep peeling, dermabrasi, skin graft
8. Gangguan perdarahan dan proses penyembuhan luka (trombositopenia,
penggunaan obat antikoagulan)
9. Penyakit sistemik tidak terkontrol
10. Kehamilan dan menyusui
11. Body dysmorphic disorder
12. Pasien dengan ekspektasi tidak realistis
13. Tipe kulit Fitzpatrick V-VI (untuk laser ablatif).

IV. Persiapan
Alat5,7-9
1. Laser ablatif
a. CO2 (pulsed)1064 nm (1A)
b. Er:YAG(pulsed)2940 nm (1A)
2. Laser non ablatif
a. KTP 532 nm (1B)
b. Pulsed dye laser 585-595 nm (2B)

Keterampilan Terapeutik 97
c. Nd:YAG QS 1064 nm (1B)
d. Nd:YAG LP 1064 nm (1B)
e. Nd:YAG 1320 nm (1B)
3. Fraksional
a. Ablatif
CO2 (1064 nm) (1B)
Fraksional 2940 nm ER:YAG laser
b. Non ablatif
Fractional 1540 Er:glass (1C)
4. IPL 515-1200 nm (1B)
5. Smoke evacuator.

Alat pelindung diri


1. Sarung tangan
2. Masker
3. Kacamata pelindung dokter dan perawat
4. Kacamata pelindung pasien

Bahan habis pakai


1. Kapas alkohol
2. Kasa yang telah dibasahi dengan cairan NaCl fisiologis
3. Kasa steril
4. Bandana/ surgical cap
5. Vaseline album
6. Ice packs
7. Topikal anestesia
8. Sunscreen
9. Krim antibiotik/hidrokortison

Persiapan Pasien1,2,9-11 (1A)


1. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning minimal 4 pekan
sebelum tindakan terutama pada skin type Fitzpatrick IV-VI dan sebaiknya
dilakukan spot test.
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
3. Dokumentasi foto, dilakukan pengambilan foto pasien, yaitu sebelum dan sesudah
dilakukan tindakan laser (posisi tampak depan, 45⁰ kanan dan kiri), lokasi anatomi
lain menyesuaikan.
4. Area yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan alcohol swab.
5. Rambut pada area laser digunting /dicukur untuk mengurangi risiko epidermal
thermal injury.
6. Area yang akan dilakukan tindakan dioleskan anestesi topikal selama 45-60 menit.
7. Setelah anestesi, daerah yang akan dilakukan tindakan laser dibersihkan dari
krim anestesi topikal menggunakan kasa.
8. Penggunaan sedatif dan analgesik bila diperlukan.
9. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser.

V. Prosedur Tindakan2,9-12 (1A)


1. Operator mempersiapkan alat laser dengan menentukan parameter.
2. Sinar laser ditembakkan pada lesi kulit sampai terjadi perubahan klinis (end
point).
Keterampilan Terapeutik 98
3. End point berupa whitish, eritema.
4. Setelah end point tercapai, area lesi pasca laser dikompres dingin.
5. Area pasca laser dikompres dengan cairan NaCl 0,9%.
6. Bila terjadi perlukaan di epidermis, lakukan perawatan luka tertutup sesuai
dengan prosedur.

VI. Pasca Prosedur Tindakan4,9-12 (1A)


1. Perawatan pasca laser tergantung ada tidaknya luka serta luas perlukaan di
epidermis.
2. Edukasi setelah tindakan laser, pasien dapat menggunakan kompres dingin,
yang ditempelkan di area pasca laser dan light tersebut selama 10-15 menit.
3. Antibiotik, antiinflamasi, dan kortikosteroid topikal dapat diberikan jika perlu.
4. Pasien sebaiknya mengurangi pajanan sinar matahari selama 2 pekan, dengan
menggunakan tabir surya SPF 30 atau pelindung lain.
5. Hindari menggaruk atau menggores area pasca laser.
6. Hindari penggunaan bahan yang dapat mengiritasi kulit misalnya scrubbing dan
penggunaan kosmetik.
7. Pasien dianjurkan untuk kontrol kisaran 7-14 hari, dan bila ada efek samping
dapat segera kontrol.

VII. Kepustakaan
1. Mcllwee BE, Alster TS. Laser skin resurfacing: cosmetic and medical application. Dalam: Sewon
K, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting. Fitzpatricks’s
Dermatology. Edisi ke-9. Philadelphia: Mc Graw-Hill; 2019. h. 3834-44.
2. Carniol PJ, DeJoseph LM. Fractional Laser Skin Resurfacing. Dalam: Laser and Light, Peels and
Abrasions Applications and Treatments. Truswell IV WH, penyunting. New York: Thieme; 2016.
h.28-34.
3. Wanitphakdeedecha R, Alster TS. Laser for resurfacing. Dalam: Nouri K, Miller LM, penyunting.
Lasers in Dermatology and Medicine. Edisi ke-2. Miami: Springer; 2018. h. 137-63.
4. Small R. Wrinkles-Nonablative Resurfacing. Dalam: Small R, Hoang D penyunting. A Practical
Guide to Laser Procedures. Philadelphia:Wolters Kluwer.2016. h.163-215.
5. Gan SD, Orringer JS. Nonablative fractional energy treatments. Dalam: Alam M, penyunting.
Evidence-Based Procedural Dermatology. Edisi ke-2. Cham: Springer; 2019. h. 275-90.
6. Chen KH, Tam KW, Chen IF, Huang SK, Tzeng PC, Wang HJ, et al. A systematic review of
comparative studies of CO2 and erbium:YAG lasers in resurfacing facial rhytides (wrinkles). J
Cosmet Laser Ther. 2017;19(4):199-204.
7. Mirza HN, Mirza FN, Khatri KA. Outcomes and adverse effects of ablative vs nonablative lasers
for skin resurfacing: A systematic review of 1093 patients. Dermatol Ther. 2021;34:1-12.
8. Lee JD, Lee JK, Oh Min JM. Ablative lasers and fractional lasers. Dalam: Lee JD, Lee JK, Oh
Min JM, penyunting. Principles and Choice of Laser Treatment in Dermatology. 2018.h.225-28.
9. Pozner JN, Dibernardo BE, Bass LS. Laser resurfacing. Dalam: Hruza GJ, Tanzi EL. Laser and
Lights. Edisi ke-4. New York: Saunders Elsevier;2018:83-94.
10. Khattar MA. Non-ablative lasers for photorejuvenation. Dalam: Issa MCA, Tamura B, penyunting.
Lasers, Lights and Other Technologies. Cham: Springer; 2018. h.89-103.
11. Madan V. Ablative Lasers. Dalam: Madan V, penyunting. Practical Introduction to Laser
Dermatology.Switzerland: Springer; 2020. h. 143-62.
12. Ormiga P, Aguinaga F. CO2 Laser for Photorejuvenation. Dalam: Issa MCA, Tamura B,
penyunting. Lasers, Lights and Other Technologies. Cham: Springer.2018.h.165-70.

Keterampilan Terapeutik 99
B.27 Laser Untuk Skar Akne

I. Definisi
Penatalaksanaan skar akne dengan menggunakan laser.1-3

II. Indikasi1-4
1. Skar atrofik (1B)
2. Skar hipertrofik (1B)
3. Skar keloid (1B)

III. Kontraindikasi1-5 (1B)


1. Infeksi aktif pada area skar, misalnya herpes simpleks, selulitis, dll
2. Peradangan kulit pada area skar, misalnya psoriasis, dermatitis atopik
3. Riwayat konsumsi isotretinoin (wash out period 6 bulan)
4. Penyakit sistemik seperti skleroderma/kelainan kolagen vaskular, obat
imunosupresif
5. Riwayat terapi elektrolisis, radiasi, agresif deep peeling, dermabrasi, skin graft
6. Gangguan perdarahan, misalnya trombositopenia, penggunaan obat antikoagulan
7. Pasien dengan ekspektasi tidak realistis
8. Kehamilan dan menyusui.

IV. Persiapan1-8 (1A)


Alat
Skar atrofik, hipertropik dan keloid
1. Laser fraksional CO2 10.600 nm (1A)
2. Laser fraksional Er: YAG 2940 nm (1A)
3. Laser diode 1450 nm (1B)
4. Laser Nd: YAG1064 nm (2B)
5. Laser fraksional Er: Glass 1540 nm (2B)
6. Laser fraksional picosecond 532 nm/1064 nm (2B)

Skar hipertrofik, skar keloid, eritema pasca akne:


1. PDL 1065 nm (1A)
2. Nd:YaG 1064 nm (1A)

Alat pelindung diri


1. Sarung tangan
2. Masker
3. Kacamata pelindung dokter dan perawat
4. Kacamata pelindung pasien
5. Face shield (jika diperlukan)
6. Smoke evacuator

Bahan habis pakai


1. Kapas alkohol
2. Kasa steril

Keterampilan Terapeutik 100


3. Surgical cap
4. Kasa yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis
5. Vaseline album
6. Ice packs

Persiapan Pasien 4-6,8 (1A)


1. Pemeriksaan klinis, memberikan informasi mengenai jenis kulit pasien (skin type),
jenis skar dan kemungkinan komplikasi jika dilakukan skin resurfacing.
2. Sebelum dilaksanakan prosedur dilakukan skin conditioning minimal 4 pekan
terutama pada tipe kulit Fitzpatrick IV-VI.
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
4. Dokumentasi foto, lakukan pengambilan foto pasien, yaitu sebelum dan sesudah
dilakukan tindakan laser (posisi tampak depan, 45⁰ kanan dan kiri), lokasi anatomi
lain menyesuaikan.
5. Daerah yang akan dilakukan tindakan dibersihkan dengan non alkohol.
6. Pada area tidak luas dapat diberikan anestesi topikal selama 45-60 menit.
7. Penggunaan sedatif dan analgesik bila diperlukan.
8. Setelah anestesi, daerah yang akan dilakukan tindakan laser dibersihkan
menggunakan kasa.
9. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus pelindung sinar laser.

V. Prosedur Tindakan4-6,8,15 (1A)


1. Dokter mempersiapkan alat laser dan menentukan parameter yang sesuai
dengan jenis dan kedalaman skar akne dan sebaiknya dilakukan spot test jika
terprediksi besarnya komplikasi.
2. Sinar laser diarahkan pada lesi kulit sampai terjadi perubahan klinis (end point).
3. Lesi dikompres dengan kasa dan cairan NaCl 0,9% selama 10-20 menit.
4. Lakukan perawatan pasca tindakan laser.

VI. Prosedur Pasca Tindakan4-5,7,9-15 (1A)


1. Perawatan pasca laser tergantung ada tidaknya luka dan luas perlukaan
epidermis.
2. Edukasi setelah tindakan laser, pasien dapat menggunakan ice pack atau
kompres dingin, yang ditempelkan di area yang dilakukan tindakan laser selama
10-15 menit.
3. Gunakan antibiotik, anti inflamasi topikal, dan analgesik jika diperlukan. Steroid
topikal dapat diberikan sesaat segera tindakan dan diberikan dalam waktu
singkat.
4. Pasien sebaiknya mengurangi pajanan sinar matahari selama 2 pekan dan
menggunakan tabir surya SPF 30 atau pelindung lain.
5. Hindari garukan atau goresan pada area setelah laser.
6. Hindari penggunaan bahan dan kegiatan yang dapat mengiritasi kulit (misalnya
scrubing dan kosmetik).
7. Bila nyeri berkelanjutan atau terdapat lepuh segera hubungi dokter.

Keterampilan Terapeutik 101


VII. Kepustakaan
1. Goh C, Cheng C, Agak G, Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, dkk. Acne vulagris. Dalam:
Sewon K, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting.
Fitzpatrick Dermatology. Edisi ke-9. NewYork: Mc.Graw Hill; 2019. h. 1391-418.
2. Sadick NS, Cardona A. Laser treatment for facial acne scars: a review. J Cosmet Laser Ther. 2018;
20(7-8): 424-35.
3. Goodman GJ. Post acne scarring. Dalam: Alam M, penyunting. Evidence-Based procedural
Dermatology. Edisi ke-2. Chicago: Springer;2019. h 831-54
4. Xu YQ, Deng YH. Ablative fractional CO2 laser for facial atrophic acne scars. Facial Plast Surg.
2018;34:205-19.
5. Gupta A, Kaur M, Patra S, Khunger N, dkk. Evidence based surgical management of post acne
scarring in skin of color. J cutan Aesthet Surg 2020:13(2); 124-41
6. Boen M, dkk. A Review and update of treatment options using the acne scar classification system.
Dermatol Surg. 2019;45:411–22
7. Hay RA, Shalaby K, Zaher H, Hafez V, Chi CC, Dimitri S, dkk. Interventions for acne scars.
Cochrane Database Syst Rev. 2016; 4(4): 1- 183.
8. Dhepe Niteen Vishwanath. Scar reduction the principles and the options. Dalam: Koushik L,
Abhishe De, Aarti S, penyunting. Textbook of Laser in Dermatology. Edisi ke-1, New Delhi:JP
Medical; 2016.h.187-97
9. Liu G, Wang F, Yan L, Wang S, Xie J, Pan N. Efficacy evaluation of 585 nm pulsed dye laser in
pathological scars. Int J Clin Exp Med. 2016;9(2):3663–8.
10. Kravvas G, Al-Niaimi F. A systematic review of treatments for acne scarring. Part 2: Energy -based
techniques. Scars, Burns & Healing. 2018;4:1-14.
11. Bonan P, Bruscino N, Bassi A, Troiano M, Schincaglia E, Pillouer-Prost AL. Laser management of
acne scars. Dalam: Shokrollahi, penyunting. Laser Management of Scars. Edisi ke-1. Liverpool:
Springer; 2020 h. 65-76.
12. Ogawa R. Long-pulsed 1064 nm Nd:YAG laser treatment for keloids and hypertrophic scars.
Dalam: Shokrollahi, penyunting. Laser Management of Scars. Edisi ke-1. Liverpool: Springer; 2020
h. 47-52.
13. Gauglitz GG, Poetschke J. Strategies for keloid and hypertrophic scars with lasers. Dalam:
Shokrollahi, penyunting. Laser Management of Scars. Edisi ke-1. Liverpool: Springer; 2020 h. 77-
82.
14. Lee JD, Lee JK, Oh MJM. Various treatments of scar. Dalam: Lee JD, Lee JK, Oh MJM, penyunting.
Principles and Choice of Laser Treatment in Dermatology. Edisi ke-2. Singapore: Springer; 2020 h.
237-60.
15. Mattos R, Jordao JM, Signor KC, Souza LG. Non-ablative fractional lasers for scar. Dalam: Issa
MCA, Tamura B, penyunting. Lasers, Lights, and Other Technologies. Edisi ke-1. Cham: Springer:
2018 h. 113-26

Keterampilan Terapeutik 102


B.28 Mikrodermabrasi

I. Definisi
Mikrodermabrasi adalah prosedur eksfoliasi kulit mekanik closed-system untuk
mengikis kulit secara superfisial menggunakan elemen abrasif halus, seperti
diamond-tipped pad atau kristal aerosol, dengan tujuan regenerasi kulit. 1–3

II. Indikasi 1,3 (2C)


1. Melasma4 (2A)
2. Skar akne superfisial4,5 (2A) dan skar pasca operasi6 (1B)
3. Striae distensae7,8 (2A)
4. Photoaging1,9 (2A)
5. Hiperpigmentasi1 (2B)
6. Kerut halus1,9 (2A)
7. Kulit kusam1,9 (2A)
8. Akne vulgaris (tanpa lesi inflamasi)1,10 (2B)
9. Keratosis pilaris1,10 (2B)
10. Xerosis1 (2B)
11. Meningkatkan penetrasi produk topikal dan chemical peeling1,9 (2A)

III. Kontraindikasi1,2
1. Infeksi aktif atau luka terbuka pada area pengobatan
2. Jaringan parut hipertrofik atau keloid
3. Melanoma (atau lesi diduga melanoma), karsinoma sel basal, atau karsinoma sel
skuamosa pada area pengobatan
4. Dermatosis (misalnya vitiligo, psoriasis aktif, atau dermatitis atopik) di area
pengobatan
5. Atrofi kulit
6. Chemical peel dalam, dermabrasi, atau terapi radiasi pada area pengobatan
dalam 6 bulan terakhir
7. Penggunaan isotretinoin dalam 6 bulan terakhir
8. Ekspektasi tidak realistis
9. Proteksi terhadap pajanan matahari tidak memadai
10. Kelainan dismorfik tubuh.

IV. Efek Samping1,2


1. Eritema
2. Abrasi
3. Hiperpigmentasi
4. Hipopigmentasi

Keterampilan Terapeutik 103


V. Persiapan1,8,9 (2B)
1. Alat dan Bahan
 Alat mikrodermabrasi dengan elemen abrasif
 Headband
 Pembersih wajah dan/atau toner
 Handuk
 Sarung tangan non-steril
 Pelindung mata
 Tabir surya
 Krim anestesi topikal

2. Pasien
 Informed consent
 Dokumentasi sebelum tindakan
 Evaluasi skin prototype
 Evaluasi kondisi lokal kulit

VI. Prosedur Tindakan1,8,9 (2B)


1. Posisi pasien supinasi.
2. Bersihkan wajah pasien.
3. Dengan atau tanpa anestesi topikal.
4. Gunakan headband untuk menarik rambut dari wajah.
5. Tutup mata dengan kapas penutup.
6. Tindakan mikrodermabrasi sesuai alat.
7. End point: eritema ringan.

VII. Pasca Prosedur Tindakan1 (2B)


1. Dokumentasi setelah tindakan.
2. Kompres dingin.
3. Pengolesan moisturizer non oklusif pada daerah tindakan.
4. Tabir surya spektrum luas.

Keterampilan Terapeutik 104


VIII. Kepustakaan
1. Small R, Hoang D, Linder J, penyunting. Microdermabrasion. In: A practical guide to chemical
peels, microdermabrasion, and topical products. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2016.
h. 111–28.
2. Monheit G, Chastain M. Chemical and mechanical skin resurfacing. Dalam: Bolognia JL, Schaffer
JR, Cerroni L,, penyunting. Dermatology. Edisi ke-4. New Haven: Elsevier; 2018. h. 2593–609.
3. Monheit G, Tayebi B. Chemical peels and dermabrasion. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner A,
Enk A, Margolis D, McMichael A, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York:
Mc Graw-Hill; 2019. h. 3896–905.
4. El-domyati M, Hosam W, Abdel-azim E, Abdel-Wahab H, Mohamed E. Microdermabrasion: a
clinical, histometric, and histopathologic study. J Cosmet Dermatol. 2016;15(4):503–13.
5. Arora S. A study of efficacy of microdermabrasion in treatment of facial acne scars-original
research. Int J Dent Med Spec. 2014;1(2):11–9.
6. Kleinerman R, Armstrong AW, Ibrahimi OA, King TH, Eisen DB. Electrobrasion vs manual
dermabrasion: a randomized, double-blind, comparative effectiveness trial. Br J Dermatol.
2014;171:124–9.
7. Lokhande A, Mysore V. Striae distensae treatment review and update. Indian Dermatol Online J.
2019;10:380–95.
8. Ibrahim ZAE, El-tatawy RA, El-Samongy M, Ali D. Comparison between the efficacy and safety of
platelet-rich plasma vs microdermabrasion in the treatment of striae distensae: clinical and
histopathological study. J Cosmet Dermatol. 2015;14:336–46.
9. Fernandez M, Pinheiro N, Crema V, Mendonca A. Effects of microdermabrasion on skin
rejuvenation. J Cosmet Laser Ther. 2014;16:26–31.
10.Trivedi MK, Bosanac SS, Sivamani RK. Emerging therapies for acne vulgaris. Am J Clin Dermatol.
2018;19:505–16.

Keterampilan Terapeutik 105


B.29 Skin Needling

I. Definisi
Skin needling adalah tindakan dengan tusukan multipel pada kulit dengan jarum
kecil untuk menginduksi pertumbuhan kolagen1 dan meningkatkan penetrasi obat.2

II. Indikasi
1. Skar atrofi/hipertrofi3 (1A)
2. Skin rejuvenation4 (1C)
3. Skar akibat luka bakar5 (1C)
4. Striae distensae6 (1B)
5. Alopesia androgenetik 7 (1C)
6. Melasma8 (1C)

III. Kontraindikasi
1. Gangguan perdarahan dan koagulasi9
2. Kulit yang berpotensi keloid9
3. Kanker kulit, kutil, solar keratosis9
4. Sedang menjalani kemoterapi, radioterapi, kortikosteroid dosis tinggi9
5. Akne aktif10
6. Herpes labialis10

IV. Efek Samping


1. Eritema11
2. Edema11
3. Nyeri11
4. Skar (tram track scarring)11
5. Reaksi alergi11
6. Folikulitis12
7. Hiperpigmentasi pasca inflamasi13
8. Perdarahan/crusting pasca inflamasi13

V. Persiapan1,14 (1A)
Alat dan bahan
1. Alat skin needling
2. Kasa steril
3. Bahan aktif sesuai indikasi bila diperlukan
4. Anestesi topikal
5. Alkohol 70%
6. Larutan NaCl 0,9%

Pasien
1. Informed consent
2. Membersihkan wajah pasien
3. Dokumentasi pasien sebelum tindakan

Keterampilan Terapeutik 106


VI. Prosedur Tindakan1,14,15 (1A)
1. Desinfeksi
2. Anestesi topikal
3. Anestesi topikal dibersihkan dengan normal saline
4. Dilakukan skin needling sampai tercapai end point berupa pinpoint bleeding
5. Apabila diperlukan, bahan aktif dapat diaplikasikan
6. Area terapi dikompres dengan kasa yang dibasahi larutan salin
7. Antibiotik topikal diaplikasikan di area pasca tindakan
8. Terapi dapat diulang setelah 2-8 minggu

VII. Pasca Prosedur Tindakan1 (1A)


1. Pemberian antibiotik topikal selama beberapa hari setelah tindakan untuk
meminimalisir kemungkinan infeksi.
2. Hindari pajanan sinar matahari, penggunaan bahan kimia dan tindakan
kosmetik lain selama 1 minggu pasca tindakan.

VIII. Kepustakaan
1. Litchman, G., Nair, P. A., & Badri, T. Microneedling. Dalam: StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing. 2019
2. Waghule T, Singhvi G, Dubey SK, Pandey MM, Gupta G, Singh M, Dua K. Microneedles: a smart
approach and increasing potential for transdermal drug delivery system. Biomed Pharmacother.
2019;109:1249-58.
3. Alster TS, Li MK. Microneedling of scars: a large prospective study with long-term follow-up. Plast
Recons Surg. 2020;145(2):358-64.
4. El‐Domyati M, Barakat M, Awad S, Medhat W, El‐Fakahany H, Farag H. Multiple microneedling
sessions for minimally invasive facial rejuvenation: an objective assessment. Int J Dermatol.
2015;54(12):1361-9.
5. Busch KH, Bender R, Walezko N, Aziz H, Altintas MA, Aust MC. Combination of medical needling
and non-cultured autologous skin cell transplantation (ReNovaCell) for repigmentation of
hypopigmented burn scars. Burns. 2016;42(7):1556-66.
6. Alster TS, Li MK. Microneedling treatment of striae distensae in light and dark skin with long-term
follow-up. Dermatol Surg. 2019;10.1097/DSS.0000000000002081.
7. Jha AK, Vinay K. Androgenetic alopecia and microneedling: every needling is not microneedling.
J Am Acad Dermatol. 2019;81(2):e43-4.
8. Lima EVA, Lima,MMD, Paixão MP, Miot HA. Assessment of the effects of skin microneedling as
adjuvant therapy for facial melasma: a pilot study. BMC Dermatol. 2017;17(1):14.
9. Deepali B. Collagen Induction Therapy with Dermaroller. CBMJ. 2012;1(1):35-37.
10. Singh A., Yadaf S. Microneelding: advanced and widening horizons. Indian Dermatol Online J.
2016;7(4):244-54.
11. Ramaut L, Hoeksema H, Pirayesh A, Stillaert F, Monstrey S. Microneedling: Where do we stand
now? A systematic review of the literature. J Plast Reconst Aesth Surg. 2018;71(1):1-14.
12. Hou A, Cohen B, Haimovic A, Elbuluk N. Microneedling: a comprehensive review. Dermatol Surg.
2017;43(3):321-39.
13. Cohen BF, Eluluk N. Microneedling in skin color: a review of uses and efficacy. J Am Dermatol.
2016;74(2):348-55.
14. Lee, H. J., Lee, E. G., Kang, S., Sung, J. H., Chung, H. M., & Kim, D. H. Efficacy of microneedling
plus human stem cell conditioned medium for skin rejuvenation: a randomized, controlled, blinded
split-face study. Ann Dermatol. 2014;26(5):584-91.
15. Singh A, Yadav S. Microneedling: advances and widening horizons. Indian Dermatol Online J.
2016;7(4):244-54.

Keterampilan Terapeutik 107


B.30 Skleroterapi

I. Definisi
Skleroterapi adalah penyuntikan sklerosan ke dalam lumen pembuluh darah yang
menyebabkan kerusakan endotel (endosklerosis), vasospasme dengan oklusi
fibrotik dan akhirnya obliterasi1, dengan tujuan untuk estetik dan fungsional.

II. Indikasi1-3 (1C)


1. Telangiektasis
2. Vena retikular
3. Varises tungkai bawah

III. Kontraindikasi2,3
1. Deep vein thrombosis (DVT)
2. Infeksi lokal
3. Immobilitas
4. Kehamila
5. Alergi terhadap sklerosan

IV. Efek Samping2


1. Reaksi alergi
2. Pigmentasi
3. Nekrosis kulit
4. Tromboflebitis
5. Matting

V. Persiapan2-5 (1A)
1. Alat dan Bahan
 Bahan sklerosan: detergents, chemical irritants, osmotic agents
 Dispossible syringe
 Larutan salin
 Alcohol swab
 Kapas
 Sarung tangan
 Bebat kompresi

2. Pasien
 Informed consent
 Dokumentasi pasien sebelum tindakan
 Tes Linton jika terdapat varises

Pasien berbaring, dipasang tourniquet di paha, kemudian tungkai bawah pasien


diangkat, bila varises masih besar berarti terdapat obstruksi.

Keterampilan Terapeutik 108


VI. Prosedur Tindakan2,3,5 (1A)
1. Tindakan aseptik dengan antiseptik.
2. Cairan sklerosan diencerkan dengan larutan salin sesuai kebutuhan.
3. Sklerosan diinjeksi ke pembuluh darah, pastikan jarum berada di lumen
pembuluh darah dengan melakukan aspirasi. Volume sklerosan yang
diinjeksikan bervariasi 0,1-0,5 ml.
4. Endpoint: pembuluh darah memucat.

VII. Pasca Prosedur Tindakan1,3,6


1. Setelah injeksi dilakukan kompresi dengan bola kapas dan ditempel di lokasi
injeksi. (1B)
2. Bebat kompresi selama 2 minggu. (1B)
3. Setelah prosedur pasien diinstruksikan untuk berjalan, selama 30 menit. (1C)

VIII. Kepustakaan
1. Friedmann DP, Mishra V, Hsu JTS. Treatment of varicose veins and telangiectatic lower extremity
vessels. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ. penyunting.
Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill; 2019.h. 3871-94.
2. Khunger N, Sacchidanand S. Standard guidelines for care: sclerotherapy in dermatology. Indian J
Dermatol Venereol Leprol. 2011:77:2:222-31.
3. Avlia Oliveira R, Mazzucca AC, Pachito DV, Riera R, Baptista Silca JCC. Evidence for varicose
vein treatment; an overview of systematic reviews. San Paulo Med J. 2018;136(4):1-9.
4. Stuker Mdebus ES, Hoffman J, Junger M, Kroger K, Mumme A, Ramelet AA, Rabe E. Consensus
statement on the sympton based treatment of chronic venous diseases. J German Soc Dermatol.
2016;14;6:575-83
5. Neumann M, Thenard AC, Junger M, Mosti G, Munte K, Patsch H, dkk. Evidence Based (S3)
Guidelines for Diagnostic and Treatment of Venous Leg Ulcer. EDF guidelines leg ulcers. J Eur
Acad Dermatol Venereol 2016;30:1843-75.
6. Babe E, Partchs H, Hafner J, Lattimer C, Mosti G, Neumann M, dkk. Indications for medical
compression stockings in venous and lymphatic disorders: An evidance based concencus
statement. Phlebology. 2018:33(3):163-84.

Keterampilan Terapeutik 109


B.31 Transplantasi Rambut

I. Definisi1-6
Tindakan tandur alih rambut.

II. Indikasi1-6
Kebotakan pada kepala eyelash, eyebrow, beard, pubes, pada kelainan semua jenis
alopesia baik sikatrisial maupun non-sikatrisial dengan tujuan estetik dan rekonstruksi.

III. Persiapan5,6
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien:
a. Menghentikan semua obat/suplemen yang mengganggu proses pembekuan
darah
b. Hemodinamik stabil
c. Telah menggunakan minoxidil dan finasterid
3. Persiapan alat
Metode FUT:
a. Set bedah
b. Alat insisi
c. Alat insersi
d. Pinset insersi
e. Mikroskop
Metode FUE:
a. Alat ekstraksi rambut
b. Pinset ekstraksi
c. Alat insisi
d. Alat insersi
e. Pinset insersi
f. Set bedah
g. Mikroskop
4. Petugas
a. Dokter
b. Perawat terlatih

IV. Prosedur Tindakan5,6


A. Metode FUT (Follicular Unit Transplantation)
1. Asepsis dan antisepsis
2. Anastesi lokal tumesen, infiltrasi dan/atau anestesi blok supraorbital.
3. Diseksi strip dari kepala bagian belakang (occipital)
4. Membagi dan membelah-belah strip menjadi unit folikular individual atau
graft
5. Graft disimpan dalam larutan NaCl 0,9% / Ringer laktat dingin
6. Membuat insisi area resipien
7. Menempatkan graft

Keterampilan Terapeutik 110


B. Metode FUE (Follicular Unit Extraction)
1. Asepsis dan antisepsis
2. Anastesi lokal tumesen, infiltrasi dan/atau anestesi blok supraorbital.
3. Pengambilan folikel unit di area donor dengan micropunch / extractor
4. Melepaskan graft secara hati-hati
5. Bila perlu membagi dan membelah-belah menjadi unit folikel individual
6. Graft disimpan dalam larutan NaCl 0,9% / Ringer laktat dingin.
7. Membuat insisi area resipien
8. Menempatkan graft

V. Perawatan Pasca – prosedur5,6


1. Area resipien dan donor dibiarkan terbuka, kecuali metode strip (ditutup dengan
tulle dan kasa)
2. Gunakan headband atau elastik verban untuk mencegah edema
3. Pemberian antibiotika dan analgetika oral sesuai kebutuhan
4. Pasien kontrol hari berikutnya untuk dicuci rambutnya berturut-turut setiap hari,
hingga pasien merasa nyaman keramas sendiri
5. Kontrol angkat jahitan 7-10 hari

VI. Kepustakaan
1. Withworth JM, Seager DJ. Hair restoration Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in
Dermatology Surgery. Edinburgh, Mosby; 2003.h.217-32.
2. Unaeze J, Ciocon DH. Hair transplantation. Dalam: Alam M (eds). Evidence based procedural
dermatology. New York: Springer; 2012:377-389.
3. Unger WP, Unger RH, Unger MA. Hair transplantation and alopecia reduction. Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, et al. Dalam: Fitzpattrick’s dermatology in general medicine.
8th ed. New York:McGrawhill; 2013:3061-3076.
4. Unger WP and Shapiro R. Textbook of Hair Transplantation. Edisi ke-4. Marcel Decker Inc; 2004.
5. Pathomvanich D., Imagawa K.. Practical Aspects of Hair Transplantation in Asians. Springer Japan,
2018. https://doi.org/10.1007/978-4-431-56547-5.
6. Azar RP. FUE Hair Transplantation A Minimally Invasive Approach. Springer International
Publishing, 2019. https://doi.org/10.1007/978-3-319-75901-2.

Keterampilan Terapeutik 111


KONTRIBUTOR PKK Edisi 2021
KELOMPOK STUDI (KS)

A. Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia (KSDLI)


1. dr. Amaranila Lalita D, Sp.KK, FINSDV, FAADV
2. Dr. dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
3. dr. Teddy Sutrisna, Sp.KK, FINSDV, FAADV
4. dr. Natalia Wahyudi, Sp.KK, FINSDV, FAADV
5. dr. Inneke Jane H, M.Kes, Sp.KK
6. dr. David Sudarto Oeiria, Sp.KK, FINSDV, FAADV
7. dr. Ni Putu Susari, Sp.KK, FINSDV, FAADV
8. dr. M. Akbar Wedyadhana, Sp.KK, FINSDV, FAADV
9. dr. Sarah Diba, Sp.KK(K), FINSDV
10. dr. Puspita Ningrum, Sp.KK, FINSDV
11. dr. Irmadita Citrashanty, Sp.KK

B. Kelompok Studi Imunodermatologi dan Dermatosis Akibat Kerja (KSIDAK)


1. Dr. dr. Windy Keumala Budianti, Sp.KK(K), FINSDV
2. dr. Miranti Pangastuti, Sp.DV
3. dr. Nopriyati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
4. dr. Eyleny Meisyah Fitri, Sp.KK
5. dr. Sri Awalia Febriana, M.Kes., Sp.KK(K)., Ph.D, FINSDV, FAADV
6. dr. Nyoman Suryawati, Sp.KK, FINSDV

C. Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia (KSDKI)


1. Dr. dr. Sinta Murlistyarini, Sp.KK(K), FINSDV
2. Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
3. Prof. Dr. dr. Nelva K. Jusuf, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
4. Dr. dr. Reti Hindritiani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
5. Dr. dr. Prasetyadi Mawardi, SpKK(K), FINSDV, FAADV
6. dr. Diah Mira Indramaya, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
7. Dr. dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
8. Prof. dr. Prasetyowati Subchan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
9. Dr. dr. Irma Bernadette, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
10. dr. Flandiana Yogianti, Ph.D., Sp.DV
11. dr. Asnawi Madjid, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
12. dr. Marlyn Grace Kapantow, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
13. Dr. dr. Moerbono Mochtar, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
14. Dr. dr. I.G.A.A. Praharsini, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
15. dr. Kristiana Etnawati, MPH, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
16. dr. Dwi Retno Adi Winarni, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
17. dr. Sjarif M. Wasitaatmadja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
18. dr. Abraham Arimuko, Sp.KK, MARS, FINSDV, FAADV
19. dr. Lilik Norawati, Sp.KK, FINSDV, FAADV
20. Dr. dr. Lili Legiawati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
21. dr. Sarah Diba, SpKK(K), FINSDV

112
D. Kelompok Tumor dan Bedah Kulit Indonesia (KSTBKI)
1. Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK(K), MHA, FINSDV, FAADV
2. dr. Remenda Siregar, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
3. dr. Riana Miranda Sinaga, M.Ked.(DV), Sp.KK(K), FINSDV
4. Dr. dr. Aida S.D. Hoemardani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
5. dr. Danang Tri Wahyudi, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
6. dr. R. Inge Ade Krisanti, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
7. dr. Adhimukti T. Sampurna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
8. dr. Larisa Paramitha, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
9. dr. Agassi Suseno Sutarjo, Sp.DV
10. dr. Sondang M.H. Aemilia P. Sirait, Sp.KK(K), MPd.Ked, FINSDV, FAADV
11. dr. Anesia Tania, Sp.KK
12. dr. Shafa Inayatullah, Sp.KK
13. dr. Ika Anggraini, Sp.DV
14. dr. Mohammad Yoga Adi Waskito, Sp.DV
15. dr. Susanti Budiamal, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
16. Dr. dr. Yulia Farida Yahya, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
17. dr. Ennesta Asri, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
18. Prof. Dr. dr. Yohanes Widodo Wirohadidjojo, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
19. dr. Arief Budiyanto, Ph.D, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
20. dr. Dyah Ayu Mira Oktarina, PhD, Sp.KK, FINSDV
21. dr. Kartika Ruchiatan, Sp.KK(K), M.Kes., FINSDV
22. dr. Eva Krishna Sutedja, Sp.KK(K), M.Kes., FINSDV
23. Prof. Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
24. Dr. dr. I Gusti Nyoman Darmaputra, SpKK(K), FINSDV, FAADV
25. Dr. dr. Ketut Kwartantaya Winaya, Sp.KK, FINSDV, FAADV
26. dr. Arif Widiatmoko, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
27. dr. Muslimin, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
28. dr. Shienty Gasperz, Sp.KK
29. dr. Gunawan Budisantoso, Sp.KK, FINSDV, FAADV
30. dr. Edwin Djuanda, Sp.KK, FINSDV, FAADV
31. Dr. dr. Dhelya Widasmara, Sp.KK(K), FINSDV
32. dr. Airin Riskianty Nurdin, Sp.KK(K), M.Kes., FINSDV
33. Prof. Dr. dr. Anis Irawan Anwar, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
34. Dr. dr. Khairuddin Djawad, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
35. Dr. dr. Siswanto Wahab, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

E. Dr. dr. Sunardi Radiono, Sp.KK(K) (Fototerapi)

113
HIMBAUAN

Kepada Yth.
Sejawat anggota PERDOSKI
Di
Tempat

Buku Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi ini masih
belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan Sejawat untuk
perbaikan/penyempurnaan buku ini.

Kritik dan saran dikirim melalui:

PP PERDOSKI
Grand Ruko Salemba
Jl. Salemba Raya 1 no. 22, Unit no. 11
Telp/Fax. 021.3904517
Email: ppperdoski@cbn.net.id

Hormat kami,

Penyusun

DILARANG MENGKOPI ATAU MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH


BUKU INI TANPA SEIJIN PEMEGANG HAK CIPTA YANG BERADA DI TANGAN
PERDOSKI MENURUT UU HAK CIPTA NO. 44 TAHUN 1987.

114

Anda mungkin juga menyukai