Anda di halaman 1dari 48

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/322569208

2014.Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi Dan Venereologi


dr. Retno

Chapter · January 2018

CITATIONS
READS
0
11,379

1 author:

Retno Danarti
Universitas Gadjah Mada
101 PUBLICATIONS 766 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Infantile Hemangioma View project

Epidermolysis Bullosa Prevalence in Surakarta View project

All content following this page was uploaded by Retno Danarti on 18 January 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PANDUAN LAYANAN
KLINIS DOKTER
SPESIALIS
DERMATOLOGI
DAN
VENEREOLOGI

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA


(PERDOSKI)
Tahun 2014
PANDUAN LAYANAN KLINIS
DOKTER SPESIALIS
DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia


(PERDOSKI)
Tahun 2014

i
PANDUAN LAYANAN KLINIS
DOKTER SPESIALIS DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI
PERDOSKI
Tahun 2014

Tim Penyusun dan Editor


DR.Dr. Aida Suriadiredja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Prof. Dr. Theresia L. Toruan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
DR. Dr. M. Yulianto Listyawan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
DR. Med. Dr. Retno Danarti, Sp.KK(K), FINSDV
DR. Dr. Cita Rosita SP Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Dr. Nopriyati, Sp.KK

Sekretaris
Dr. Benny Nelson

Kontributor
Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual
Kelompok Studi Herpes
Kelompok Studi Dermatosis Akibat Kerja
Kelompok Studi Morbus Hansen
Kelompok Studi Imuno Dermatologi
Kelompok Studi Psoriasis
Kelompok Studi Dematomikologi
Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia
Kelompok Studi Tumor dan Bedah Kulit Indonesia
Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia
Para Pakar Dermatologi dan Venereologi

Sekretariat:
PP PERDOSKI

Ruko Grand Salemba


Jalan Salemba I No. 22, Jakarta 10430, Indonesia

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA (PERDOSKI)


JAKARTA 2014

ii
Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta

DISCLAIMER

- PLK PERDOSKI disusun berdasarkan asupan dari para pakar Dermatologi dan
Venereologi serta Kelompok Studi terkait
- Buku PLK dimaksudkan untuk penatalaksanaan pasien sehingga tidak berisi
informasi lengkap tentang penyakit atau kondisi kesehatan tertentu
- Buku PLK ini digunakan untuk pedoman penatalaksanaan pasien
- Hasil apapun dalam penatalaksanaan pasien di luar tanggung jawab tim
penyusun PLK
- Pemilihan tatalaksana agar disesuaikan dengan kompetensi & legalitas obat terkait

ISBN : 978-602-98468-4-3

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb,
Undang-Undang Republik Indonesia no. 29 tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat 1 menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Sehubungan dengan hal tersebut,
PERDOSKI menerbitkan Panduan Layanan Klinis (PLK) tahun 2014 ini yang merupakan revisi
dari Panduan Pelayanan Medik PERDOSKI tahun 2011.

Tim penyusun buku ini terdiri atas anggota PERDOSKI yang berasal dari beberapa cabang dan juga
bekerja di institusi pendidikan. Setelah selesai merevisi, bahan diberikan kepada Kelompok Studi
(KS) dan atau peer group (bila tidak ada KS-nya) untuk lebih disempurnakan. Terakhir bahan
dikembalikan kepada tim penyusun untuk editing.

Penyakit dan tindakan pada PLK ini mengacu pada dermatologi non infeksi, dermatologi infeksi,
genodermatosis, dermato-alergo-imunologi, dermatologi kosmetik termasuk laser, tumor dan bedah
kulit, venereologi (infeksi menular seksual) dan kedaruratan kulit. Umumnya penyakit maupun
tindakan tersebut telah diperoleh pada waktu pendidikan dokter spesialis sebagaimana telah tertera
dalam Standar Kompetensi Kolegium Dermatologi dan Venereologi Indonesia. Adapun ketrampilan
tindakan yang memerlukan sertifikat kualifikasi tambahan dari Kolegium adalah tindakan yang
belum pernah diperoleh sewaktu menjadi peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau
didapat dalam pelatihan lintas disiplin ilmu lain.

Dengan selesainya buku ini, ucapan terima kasih pertama-tama dihaturkan kepada Ketua Umum
dan Ketua Bidang II PP PERDOSKI tahun 2011-2014 atas kepercayaannya menunjuk Tim
Penyusun. Selanjutnya penghargaan yang tinggi diberikan kepada seluruh anggota Tim Penyusun
atas kerja kerasnya sehingga buku ini dapat terwujud. Tidak lupa terima kasih sebesar-besarnya
ditujukan kepada Kelompok Studi dan para pakar (peer group) yang telah ikut menyempurnakan
isi buku ini. Last but not least terima kasih sedalam-dalamnya disampaikan kepada Dr. Benny
Nelson sebagai sekretaris yang telah berupaya semaksimal mungkin hingga akhirnya buku ini
selesai.

Walaupun telah berusaha keras namun tidak ada gading yang tidak retak. Karena itu pada
kesempatan ini disampaikan juga permohonan apabila ada kesalahan. Mohon agar koreksi dan
asupan dapat diberikan langsung kepada PP PERDOSKI.
Akhirnya diharapkan agar PLK ini dapat menjadi panduan dan membantu para dokter spesialis
dermatologi dan venereologi dalam melakukan pelayanan kedokteran. Dengan demikian tercapai
pelayanan yang optimal kepada seluruh rakyat Indonesia terutama pelayanan kesehatan dermatologi
dan venereologi.

Jakarta, Agustus 2014 Atas


nama Tim Penyusun

DR.Dr. Aida SD Suriadiredja, Sp.KK(K)


FINSDV, FAADV

i
SAMBUTAN
KETUA UMUM PP PERDOSKI
2011-2014

Sejawat terhormat,
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya, buku panduan ini
dapat terselesaikan tepat waktu. Panduan Layanan Klinis ini (PLK) adalah revisi dari buku Panduan
Pelayanan Medis (PPM) yang telah dimiliki dan digunakan oleh PERDOSKI sebelumnya.

Sesuai dengan kebutuhan dan arahan Kementerian Kesehatan bahwa diperlukan Panduan dalam
melaksanakan layanan yang dapat diakses dan diaplikasikan secara nasional mulai dari layanan
tingkat pratama sampai tingkat utama agar layanan berjalan sesuai dengan keilmuan yang
berkembang dan sesuai dengan prasana yang ada untuk pencapaian ”service excellent”.

Panduan ini direncanakan akan dapat diakses secara online oleh seluruh anggota PERDOSKI. Buku
ini adalah rangkaian buku yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT
DAN KELAMIN INDONESIA, mulai dari standar kewenangan medik dan clinical pathway, serta
standar profesi. Didahului oleh pembentukan Pokja, yang terdiri dari utusan anggota dari berbagai
daerah, dilanjutkan dengan pertemuan yang intensif dari seluruh bidang terkait dipandu oleh
bidang Pendidikan dan Profesi PERDOSKI, serta asupan dari seluruh kelompok studi terkait, maka
makin sempurnalah panduan ini.

Rasa hormat dan penghargaan setingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyempurnaan buku ini, dan semoga panduan ini dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggota
dalam melaksanakan layanan dengan target peningkatan kesehatan nasional di bidang kesehatan
kulit dan kelamin.

Tak ada pekerjaan yang sempurna, masih diperlukan asupan dari teman sejawat sekalian terhadap
panduan ini, terutama para anggota yang berada di daerah dengan masalah yang spesifik, dan
kami sangat terbuka untuk hal tersebut.

Manfaatkan panduan ini dengan baik dalam membantu teman sejawat melaksanakan layanan.

Jakarta, Agustus 2014


Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK


FINSDV, FAADV

v
Sambutan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin
Kolegium Dermatologi dan Venereologi

Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pelayanan kesehatan dalam derajat yang optimal
dan peningkatan derajat kesehatannya harus segera diupayakan, pernyataan ini tertera dalam UUD
1945 pasal 28. Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah perundangan dan peraturan untuk
memfasilitasi terciptanya amanah UUD 1945 tersebut, antara lain diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan perlunya Standar Pelayanan
Medis. Standar ini menjadi pedoman yang dirancang oleh profesi agar para dokter yang
berkepentingan dapat menjalankan pelayanan kesehatan secara baku, aman dan bermanfaat optimal
bagi masyarakat luas. Dengan semangat kesehatan adalah hak seluruh rakyat indonesia dan merujuk
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka
diperlukan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan sebagai standar yang digunakan di seluruh pusat
pelayanan kesehatan tingkat satu, dua dan tiga.
Kolegium Dermatologi dan Venereologi merupakan badan pengampu ilmu yang selalu mencari
pembaharuan dalam bidang penatalaksanaan penyakit dan gangguan estetis untuk meraih kesehatan
serta kesempurnaan penampilan kulit dan kelamin. Semua jenis pelayanan kesehatan kulit dan
kelamin ini dituangkan dalam standar kompetensi yang selalu dinilai kembali dan direvisi secara
berkala. Penentuan kompetensi spesialis ini mendapat asupan dari profesi melalui kelompok studi
dan dalam pendidikan dokter spesialis dermatologi dan venereologi dituang dalam bentuk modul
penatalaksanaan gangguan kesehatan kulit dan kelamin. Penetapan jenis dan modul layanan medis
tersebut harus merujuk pada pelayanan berbasis bukti (evidence based medicine) yang berasal
dari pakar-pakar dalam dan luar negeri yang berkecimpung di dunia dermatologi dan venereologi
khususnya, dan ilmu kedokteran umumnya. Saat ini Standar Kompetensi Dermatologi dan
Venereologi tahun 2014 telah tersusun, dan pedoman ini menjadi titik tolak penentuan jenis layanan
yang harus dikuasai dokter spesialis dermatologi dan venereologi.
Standar kompetensi dan modul pelayanan medis ini disetujui oleh Konsil Kedokteran Indonesia serta
menjadi dasar penyusunan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan untuk bidang dermatologi dan
venereologi. Dengan bantuan panduan ini diharapkan para dokter spesialis dermatologi dan
venereologi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat serta pihak terkait dapat memakainya
sebagai penilaian baku mutu juga perkiraan biaya kesehatan bidang penyakit kulit dan kelamin.

Jakarta, Agustus 2014


Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi 2011-2014

DR.Dr.Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K) FINSDV,


FAADV

v
SALINAN

SURAT KEPUTUSAN
No. 003/SK/PERDOSKI/PP/II/13

TENTANG

TIM REVISI
PANDUAN LAYANAN KLINIK (PLK)
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA

Menimbang:
a. Dalam rangka menjamin mutu pelayanan medik Spesialis Kulit dan Kelamin perlu adanya penyempurnaan
PLK Spesialis Kulit dan Kelamin.
b. Bahwa untuk menyempurnakan PLK tersebut perlu dibentuk Panitia /Tim.
c. Bahwa nama-nama tercantum di bawah ini dianggap cakap dan mampu sebagai Tim Revisi PLK.

Mengingat:
1. AD dan ART PERDOSKI
2. Buku Kompendium
3. KONAS PERDOSKI XIII Manado 2011
4. Renstra PERDOSKI 2011-2014

Memperhatikan :
a. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK).
b. Usulan dari PP PERDOSKI, PERDOSKI Cabang, Kelompok Studi dan Institusi Pendidikan Dokter Spesialis
(IPDS) untuk revisi PLK.
c. Hasil Rapat Pertemuan PP PERDOSKI dan Kolegium IKKK untuk membentuk Tim Revisi PLK.

MEMUTUSKAN

1. Menetapkan Tim Revisi PLK PERDOSKI:

Ketua : DR.Dr. Aida Suriadiredja, Sp.KK(K), FINS-DV


Anggota : Prof. Dr. Theresia L. Toruan, Sp.KK(K), FAADV
Dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV
DR. Dr. M. Yulianto Listyawan, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV Dr.
Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINS-DV
DR. Med. Dr. Retno Danarti, Sp.KK
DR. Dr. Cita Rosita SP Sp.KK(K) Dr.
Nopriyati, Sp.KK

2. Tim Revisi menyerahkan PLK yang telah direvisi kepada PP PERDOSKI selambatnya 1 (satu) bulan sebelum
Kongres Nasional (KONAS) XIV PERDOSKI Bandung bulan Agustus 2014.

Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan catatan apabila terdapat kekeliruan akan diperbaiki
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal : 13 Februari 2013

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK, FINS-DV, FAADV


Ketua Umum

v
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar Tim Penyusun.................................................................................................... iv
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI..................................................................v
Sambutan Ketua Kolegium Dermatologi dan venereologi..........................................................vi
Surat Keputusan Tentang Tim Revisi
Panduan Layanan Klinis PERDOSKI........................................................................................ vii
Daftar Isi................................................................................................................................... viii
Daftar Singkatan........................................................................................................................ xii

Pendahuluan.............................................................................................................................. 1

A. Dermatologi Non Infeksi


A. 1. Dermatitis numularis.................................................................................................... 5
A. 2. Dermatitis popok.......................................................................................................... 8
A. 3. Dermatitis seboroik.................................................................................................... 10
A. 4. Liken simpleks kronikus............................................................................................ 14
A. 5. Miliaria....................................................................................................................... 16
A. 6. Pitiriasis alba.............................................................................................................. 19
A. 7. Pitiriasis rosea............................................................................................................ 21
A. 8. Prurigo aktinik............................................................................................................ 23
A. 9. Prurigo nodularis........................................................................................................ 25
A. 10. Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy (PUPPP)................................27

B. Dermatologi Infeksi
B. 1. Creeping eruption (Hookworm-related cutaneous larva migrans) ............ 30
B. 2. Dermatofitosis ............................................................................................ 32
B. 3. Herpes zoster............................................................................................. 38
B. 4. Hand-Foot-Mouth Disease ......................................................................... 41
B. 5. Histoplasmosis ........................................................................................... 43
B. 6. Kandidiasis / kandidosis............................................................................. 45
B. 7. Kriptokokosis.............................................................................................. 50
B. 8. Kusta.......................................................................................................... 52
B. 9. Malassezia folikulitis .................................................................................. 62
B. 10. Mikosis profunda ....................................................................................... 64
B. 11. Moluskum kontagiosum............................................................................. 70
B. 12. Pioderma ................................................................................................... 73
B. 13. Pitiriasis versikolor..................................................................................... 78
B. 14. Skabies...................................................................................................... 80
B. 15. Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS)........................................ 84
B. 16. Toxic shock syndrome (TSS) .................................................................... 86
B. 17. Tuberkulosis kutis...................................................................................... 88
B. 18. Varisela ..................................................................................................... 93
B. 19. Veruka vulgaris / common warts ............................................................... 96

C. Genodermatosis
C. 1. Akrodermatitis enteropatika...................................................................................... 99
C. 2. Inkontinensia pigmenti (sindrom Bloch-Sulzberger).................................................102
C. 3. Epidermolisis bulosa yang diturunkan....................................................................... 106

v
C. 4. Tuberous sclerosis complex................................................................................ 113
C. 5. Displasia ektodermal................................................................................................ 117
C. 6. Iktiosis..................................................................................................................... 123
C. 7. Neurofibromatosis tipe 1.......................................................................................... 130

D. Dermato-Alergo-Imunologi
D. 1. Cutaneus lupus eritematosus spesifik...................................................................... 132
D. 2. Dermatosis IgA linear.............................................................................................. 137
D. 3. Dermatitis herpetiformis Duhring............................................................................ 141
D. 4. Dermatitis kontak alergi.......................................................................................... 145
D. 5. Dermatitis kontak iritan........................................................................................... 148
D. 6. Erupsi kulit akibat alergi obat.................................................................................. 151
D. 7. Pemfigus.................................................................................................................. 155
D. 8. Urtikaria.................................................................................................................. 159
D. 9. Psoriasis................................................................................................................... 166

E. Dermatologi Kosmetik
E. 1. Akne vulgaris.......................................................................................................... 180
E. 2. Melasma................................................................................................................. 184
E. 3. Freckles................................................................................................................. 188
E. 4. Vitiligo.................................................................................................................... 190
E. 5. Alopesia androgenik............................................................................................... 194
E. 6. Penuaan kulit........................................................................................................... 198
E. 7. Deposit lemak dan selulit........................................................................................ 199
E. 8. Hiperhidrosis........................................................................................................... 200
E. 9. Bromhidrosis dan Osmidrosis................................................................................. 202

Laser
E. 10. Laser CO2 untuk kelainan kulit............................................................................... 204
E. 11. Laser untuk kelainan vaskular................................................................................. 205
E. 12. Laser untuk skar...................................................................................................... 206
E. 13. Laser dan IPL untuk kelainan pigmen..................................................................... 208
E. 14. Laser penghilang tato.............................................................................................. 209
E. 15. Laser dan IPL penghilang rambut........................................................................... 210
E. 16. Laser untuk resurfacing........................................................................................... 211
E. 17. Laser dan sinar untuk akne vulgaris........................................................................ 213

F. Tumor dan Bedah Kulit:


Tumor Jinak
Adneksa
F. 1. Siringoma................................................................................................................ 216
F. 2. Trikoepitelioma....................................................................................................... 217
Epidermis dan kista epidermis
F. 3. Keratosis seboroik................................................................................................... 218
F. 4. Kista epidermal....................................................................................................... 220
F. 5. Nevus verukosus..................................................................................................... 221
Jaringan ikat
F. 6. Dermatofibroma...................................................................................................... 222
F. 7. Fibroma mole.......................................................................................................... 223
F. 8. Keloid..................................................................................................................... 224

i
Karena virus, neoplasma, hiperplasia, dan malformasi vaskular
F. 9. Angiokeratoma........................................................................................................... 225
F. 10. Granuloma piogenikum............................................................................................. 226
F. 11. Limfangioma............................................................................................................. 227
F. 12. Nevus flameus........................................................................................................... 228
Sel melanosit dan sel nevus
F. 13. Nevus melanositik..................................................................................................... 229

Pra Kanker
F. 14. Keratosis aktinik....................................................................................................... 232
F. 15. Leukoplakia.............................................................................................................. 233
F. 16. Penyakit Bowen........................................................................................................ 234

Tumor Ganas
Epidermis dan adneksa
F. 17. Karsinoma sel basal................................................................................................... 236
F. 18. Karsinoma sel skuamosa............................................................................................ 240
Sel melanosit
F. 19. Melanoma maligna.................................................................................................... 244

Tindakan Bedah Dalam Dermatologi


F. 20. Biopsi kulit................................................................................................................ 251
F. 21. Eksisi/flap/graft......................................................................................................... 253
F. 22. Bedah listrik.............................................................................................................. 254
F. 23. Bedah beku................................................................................................................ 256
F. 24. Bedah kimia (chemical peeling).............................................................................. 257
F. 25. Subsisi....................................................................................................................... 258
F. 26. Skin Needling.......................................................................................................... 259
F. 27. Dermabrasi dan Mikrodermabrasi............................................................................. 260
F. 28. Bedah sedot lemak..................................................................................................... 261
F. 29. Injeksi bahan pengisi (filler)...................................................................................... 263
F. 30. Injeksi toksin botulinum............................................................................................ 264
F. 31. Blefaroplasti.............................................................................................................. 265
F. 32. Transplantasi rambut................................................................................................. 266
F. 33. Bedah kuku................................................................................................................ 267
F. 34. Skleroterapi............................................................................................................... 269
F. 35. Bedah Mohs............................................................................................................... 270
F. 36. Face Lift menggunakan benang................................................................................ 271
F. 37. Minimum incision face lift....................................................................................... 272
%0%.38....................................................................................................................................... Non-
surgical face lift....................................................................................................... 273
%0%.39....................................................................................................................................... Vitiligo
275

G. Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


G. 1. Infeksi gonore............................................................................................................. 278
G. 2. Herpes simpleks genitalis (HG).................................................................................. 282
G. 3. Infeksi genital non spesifik (IGNS)............................................................................286
G. 4. Kandidosis vulvovaginalis (KVV).............................................................................. 291
G. 5. Kondiloma akuminata (KA)........................................................................................ 294
G. 6. Sifilis........................................................................................................................... 296
G. 7. Trikomoniasis............................................................................................................. 299

x
G. 8. Ulkus mole..................................................................................................................... 302
G. 9. Vaginosis bakterial......................................................................................................... 304

H. Kedaruratan Kulit
H. 1. Angioedema................................................................................................................... 307
H. 2. Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET).............................................................................. 313
H. 3. Sindrom DRESS............................................................................................................. 317

Lampiran
1. Uji Tempel.......................................................................................................................... 321
2. Uji Intradermal................................................................................................................... 327
3. Uji Provokasi Obat............................................................................................................. 329
4. Uji Tusuk............................................................................................................................ 335
5. Himbauan Tim Perumus..................................................................................................... 342

x
C
GENODERMATOSIS

98 Genodermato
C.1. AKRODERMATITIS ENTEROPATIKA (E83.2)

I. Definisi : Akrodermatitis enteropatika (AE, MIM 201100): ialah


kelainan akibat defisiensi zink yang diturunkan secara resesif
autosomal. Penyebab pasti belum diketahui, diduga
karena mutasi gen SLC39A4 pada kromosom 8q24.3,
yang mengkode transporter zink Zip4 menyebabkan
defek absorpsi zink di usus halus.

II. Kriteria diagnostik :


 Klinis :  Terjadi beberapa hari hingga pekan setelah lahir pada
bayi yang diberi susu formula, atau segera setelah
disapih.
 Ditandai trias: lesi kulit akral dan periorifisial, diare,
dan alopesia
 Tempat predileksi: akral jari tangan dan kaki, perioral,
periokular, anogenital
 Kelainan kulit: dermatitis eksematosa, simetris, bula
dan erosi dibatasi krusta pada bagian perifer lesi.
 Keadaan umum buruk, lemah, anoreksia.
 Dapat disertai gejala sistemik lainnya akibat defisiensi
zinc

 Diagnosis banding : 1. Malabsorpsi akibat defisiensi zink didapat, biotin,


vitamin B12, asam lemak esensial
2. Kwashiorkor
3. Fibrosis kistik

 Pemeriksaan :  Pengukuran kadar zink plasma: <50 µg/dl (normal: 70


penunjang – 250 µg/dl, defisiensi ringan: 40 – 60 µg/dl)
 Histopatologi: parakeratosis konfluen, spogiosis fokal,
akantosis epidermal, serta gambaran dermatitis
psoriasiformis

III. Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:


Mengkonsumsi makanan berkadar zink tinggi, (daging,
ikan, unggas, telur) dan suplemen makanan mengandung
zink.

Medikamentosa:
Prinsip: suplementasi zink seumur hidup
1. Topikal:
Krim pelembab atau krim antibiotik (bila ada infeksi
sekunder)
2. Sistemik:
Anak: zink elemental 0,5-1 mg/kg 1-2 kali/hari
Dewasa: zink elemental 15-30 mg/hari

Genodermato 99
Tindak lanjut:
Untuk kelainan bawaan dipantau kadar zink plasma setiap 6
bulan sekali secara teratur

IV. Kepustakaan : 1. Jen M, Yan AC. Cutaneous changes in nutriotional


disease. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 8th. New York: Mc Graw Hill
Companies Inc; 2012. p. 1521-3.
2. Paller AS, Mancini AJ. Inborn errors of metabolism. Hurwitz
Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier;
2011. p. 548-50.
3. Ruiz-Maldonado R, Orozco-Covarrubias L. Skin
manifestastions of nutritional disorders. Dalam: Harper J,
Oranje A, Prose N, editor. Textbook of Pediatric
dermatology.Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Science; 2006.h. 603
(Mohon gunakan referensi terbaru)
4. Corbo MD, Lam J. Zinc deficiency and its management in
the pediatric population: a literature review and proposed
etiologic classification. J Am Acad Dermatol 2013; 69: 616-
25.

10 Genodermato
V. Bagan Alur

Riwayat:

eksematisasi akut, dermatitis erosif, diare

Gambaran klinis:

Erosi-ekskoriasi disertai bula dan krusta pada tepi lesi di daerah akral, perioral, periokular, anogenital, tangan

Kadar zink serum

Normal

< 50 µg/dl

Akrodermatitis enteropatika
Penyakit lain

Konsumsi makanan kaya zink


Bila perlu:
Konsul spesialis gizi?
Sistemik
Seng pikolinat atau seng glukonat
(dosis sesuai kadar zink serum)
Topikal:

Krim antibiotik (infeksi sekunder)

Sembuh Evaluasi kadar zink setiap 6 bulan

Genodermato 10
C.2. INKONTINENSIA PIGMENTI (SINDROM BLOCH-SULZBERGER) (L80)

I. Definisi : Inkontinensia pigmenti (IP, MIM 308300) merupakan


sindrom neurokutan yang diturunkan secara dominan
terkait X dan dan bersifat letal in utero pada sebagian
besar laki-laki yang terkena dan ekspresinya bervariasi pada
wanita.
Berbagai kelainan rambut, kuku, skeletal, anomali gigi,
mata dan saraf berkaitan dengan kelainan ini. Mutasi pada
gen NEMO (nuclear factor-kappa B (NF-B) essential
modulator) yang terletak pada kromosom Xq28 ditemukan
sebagai penyebab IP. NEMO dibutuhkan untuk aktivasi
faktor transkripsi NF-B dan oleh karenanya sangat
penting pada berbagai jalur imunologi, inflamasi dan
apoptosis.

II. Kriteria diagnostik :


 Klinis : Manifestasi pada kulit secara klasik dibagi menjadi 4
stadium, namun demikian tidak seluruh stadium
muncul dan beberapa stadium dapat tumpang tindih.
Kelainan yang terjadi pada kulit terdistribusi mengikuti
garis Blaschko. Lesi kulit pada stadium yang berbeda
ditandai oleh:
Stadium 1: eritema, vesikel dan pustul
Stadium 2: papul, lesi verukosa, dan
hiperkeratosis
Stadium 3: hiperpigmentasi
Stadium 4: hipopigmentasi, atrofi dan
skar/sikatriks

 Stadium 1 biasanya terjadi dalam beberapa minggu


pertama kehidupan dan ditandai oleh vesikel atau
pustul yang timbul di atas kulit yang eritematosa.
Vesikel dapat ditemukan di manapun pada tubuh tetapi
biasanya tidak pada wajah. Secara khas erupsi
vesikobulosa tampak pada saat atau segera setelah
lahir, dan mengikuti garis Blaschko. Vesikel/ bula
menyembuh dalam beberapa minggu dan kadang-
kadang diikuti oleh erupsi baru. Stadium 1 berakhir
dalam 4 bulan, meskipun episode erupsi vesikobulosa
pernah dilaporkan kambuh pada sebagian kasus pada
usia dewasa yang dipicu oleh demam atau infeksi.
 Lesi hiperkeratotik pada stadium 2 dapat timbul lebih
awal (usia 4 minggu). Biasanya lesi tersebut timbul
pada ekstremitas bawah, saat lesi

10 Genodermato
vesikobulosa mulai menyembuh. Pada lebih dari 80%
kasus lesi hiperkeratotik menyembuh dalam 6 bulan.
 Stadium 3 adalah lesi IP yang paling khas, berupa
garis hiperpigmentasi, terutama pada badan mengikuti
garis Blaschko. Hiperpigmentasi memudar dan
menghilang pada akhir usia dekade ke-2.
 Stadium 4 terjadi pada sebagian kecil pasien IP,
ditandai oleh patch atau alur hipopigmentasi tak
berambut (hairless) terutama pada tungkai bawah.
 Selain hal tersebut di atas, gambaran khas IP adalah
focal absence of sweating. Pada kuku dapat
dijumpai rigi, pitting dan perubahan menyerupai
onikogrifosis. Dapat pula timbul tumor hiperkeratotik
subungual. Alopesia sikatrikal pada vertex sering
didapatkan, dan dapat ditemukan sebagai tanda sisa
(residual sign) IP pada pasien yang lebih tua.
 Manifestasi okular pada pasien IP sering asimetrik
dan didapatkan pada 25%-77% pasien, a.l.: iskemia
retina, neovaskularisasi retina dengan perdarahan dan
eksudasi, gliosis preretina, atrofi optik dan hipoplasi
foveal; mikroftalmos, katarak, pigmentasi
konjungtiva, perubahan kornea, hipoplasia iris,
uveitis, ftisis; nistagmus, strabismus, miopia.
 Kelainan neurologis meliputi kejang (sering dimulai
pada minggu-minggu awal kehidupan), paralisis
spastik, retardasi mental dan motorik, serta
mikrosefalus.
 Kelainan gigi terjadi pada lebih dari 80% kasus,
berupa tidak tumbuh gigi, gigi bentuk konus dengan
tambahan Cup di gigi posterior, dan gigi terlambat
tumbuh. Kelainan pada gigi tersebut dapat membantu
menegakkan diagnosis IP.
 Anomali kardiovaskular kadang-kadang dilaporkan
terjadi pada pasien IP, meliputi: fibrosis
endomiokardial, tetralogi Fallot asianosis dan
insufisiensi trikuspidalis, hipertensi pulmonal.
 Diagnosis banding : Bergantung pada stadium klinis IP.
Lesi vesikular: herpes simpleks, varisela, impetigo,
kandidiasis, eritema toksikum, melanosis pustular,
akropustulosis infantil, dan miliaria rubra.
Lesi verukosa: nevus linear epidermal
Lesi hiperpigmentasi: sindrom Naegeli-Francheschetti-
Jadassohn.

Genodermato 10
 Pemeriksaan : Pemeriksaan histopatologik (HE) pada setiap fase:
penunjang
 Fase-1: spongiosis intraepidermal dan vesikel/bula
dengan eosinofil dan sel-sel diskeratotik
 Fase-2: lesi hiperkeratosis dengan diskeratosis dan
eosinofil
 Fase-3: pigmen inkontinensia–kadang-kadang dengan
clumps besar
 Fase-4: tanpa pigmen di epidermis, tidak ada
inkontinensia, tidak ada eosinofil, tidak
didapatkan glandula ekrin.
Diagnosis pasti dengan ditemukannya mutasi gen NEMO
pada kromosom Xq28.

Penatalaksanaan : Nonmedikamentosa:
 Edukasi tentang penyakit dan himbauan untuk skrining
oftalmologi secara rutin sebulan sekali pada tahun
pertama kehidupan, kemudian evaluasi tiap tahun karena
adanya insidensi tinggi terjadinya squint dan ambliopia.
 Monitor neurologik yang teliti karena keterlibatan saraf
pusat sering manifes dalam mingu-minggu awal
kehidupan.
 Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada
setiap kelahiran anak perempuan, umumnya bila laki-
laki terkena, berat dan fatal
- Penjelasan penyakit dan progresivitas: kelainan tidak
hanya di kulit tetapi dapat mengenai organ lain.
Kelainan kulit menjadi hipopigmentasi pada
stadium 4, kemudian dapat menghilang.
- Konseling marital

Medikamentosa:
Prinsip:
- Terapi lokal terhadap lesi vesikel/bula untuk melindungi
terhadap infeksi dan skar. Pada stadium yang 2,3,4, kulit
mungkin kering dan perawatan kulit dengan pelembab
sangat penting.
- Konsultasi ke dokter spesialis anak, mata, gigi, dan saraf

10 Genodermato
IV. Kepustakaan : 1. Berlin AL, Paller AS, Chan LS. Incontinentia pigmenti: A
review and update on the molecular basis of
pathophysiology. J Am Acad Dermatol 2002; 47: 169-
87.
2. Aradhya S, Nelson DL. NF-kappaB signaling and human
disease. Curr Opin Genet Dev 2001; 11: 300-6.
3. The International Incontinentia Pigmenti Consortium.
Genomic rearrangement in NEMO impairs NF-kappaB
activation and is cause of incontinentia pigmenti. Nature
2000; 405: 466-72.
4. Aradhya S, Woffendin H, Jakins T, et al. A recurrent
deletion in the ubiquitously expressed NEMO (IKK-
gamma) gene accounts for the vast majority of
incontinentia pigmenti mutations. Hum Mol Genet 2001;
10: 2171-9.
5. Minić S, Trpinac D, Obradović M. Systematic review of
central nervous system anomalies in incontinentia pigmenti.
Orphanet J Rare Dis 2013. doi: 10.1186/1750-1172-8-25.

Genodermato 10
C.3. EPIDERMOLISIS BULOSA YANG DITURUNKAN (Q81.9)

I. Definisi : Istilah epidermolisis bulosa (EB) mengacu kepada


kelompok heterogen kelainan mekanobulosa yang
diturunkan secara genetik, khas ditandai oleh bula pada
kulit, dan kadang-kadang pada mukosa, karena respons
terhadap trauma gesekan ringan.

Klasifikasi:
Telah dilakukan revisi klasifikasi EB yang diturunkan,
berdasarkan fenotip klinis dan genotip, yaitu:
1. EB-Simpleks (EBS, “epidermolytic EB”) yang
meliputi:
 EBS-WC (Weber-Cockayne; protein/gen yang
terlibat: K5, K14); OMIM 131800
 EBS-K (Köbner; protein/gen yang terlibat: K5,
K14); OMIM 131900
 DM (Dowling-Meara; protein/gen yang terlibat: K5,
K14); OMIM 131760
 EBS-MD (with muscular dystrophy; protein/gen
yang terlibat: Plectin)
2. Junctional EB (JEB)
 JEB-H (Herlitz; protein/gen yang terlibat:
laminin-5)
 JEB-nH (non-Herlitz; protein/gen yang terlibat:
Laminin-5; kolagen tipe XVII)
 JEB-PA (with pyloric atresia; protein/gen yang
terlibat: integrin 64)
3. Dystrophic EB, DEB”)
 DDEB (Dominant dystrophic EB; protein/gen yang
terlibat: kolagen tipe VII); OMIM 131750
 RDEB-HS (recessive dysrophic EB; Hallopeau-
Siemens; protein/gen yang terlibat: kolagen tipe
VII); OMIM 226600
 RDEB-nHS (recessive dystrophic EB; non-
Hallopeau-Siemens; protein/gen yang terlibat:
kolagen tipe VII)

Cara penurunan EB yang diturunkan


Tipe Cara transmisi Cara transmisi
utama yang sering yang jarang
EB
EBS Dominan autosomal Resesif autosomal
JEB Resesif autosomal -
DEB Dominan autosomal Dominan autosomal-/
Resesif autosomal Resesif autosomal
Heterozigot

10 Genodermato
Kriteria diagnostik

Tabel 1. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB simpleks

EBS, Weber- EBS, Köbner EBS, Dowling-


Cockayne Meara
Cara penurunan ADA ADA ADA
Awitan (biasanya) Bayi atau kanak- Sejak lahir Sejak lahir
kanak awal
Distribusi kulit (predominan) Telapak tangan Generalisata Generalisata
dan telapak kaki (jarang pada telapak
tangan dan telapak
kaki)
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
Milia 1%-5% 10,1%-25% 10,1%-25%
Skar atrofik 10,1%-25% 50,1%-75% 25,1%-50%
Distrofi kuku atau tak ada 10,1%-25% 50,1%-75% 75,1%-100%
kuku
Jaringan granulasi <1% 1%-5% Tidak ada
Abnormalitas kepala <1% 5,1%-10% 1%-5%
Keratoderma (telapak Kalus fokal Kalus fokal Sering konfluen
tangan dan telapak kaki)
Lain-lain Tidak ada Tidak ada Bula tersusun
herpetiformis
Relative inducibility bulla Bervariasi Sering Sering
(pencetus)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia 1%-5% 10,1%-25% 5,1%-10%
Retardasi pertumbuhan <1% 1%-5% 10,1%-25%
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan
lunak
Hipoplasi enamel 10,1%-25% 10,1%-25% 10,1%-25%
Karies Frekuensi normal Frekuensi normal Frekuensi normal
Saluran gastrointestinal 1%-5% 10,1%-25% 10,1%-25%
Saluran genitourin <1% 1%-5% 1%-5%
Okular <1% 1%-5% 5,1%-10%
Pseudosindaktili Tidak ada Tidak ada 1%-5%
Saluran pernafasan <1% 1%-5% 5,1%-10%
Risiko kumulatif pada usia 30
untk menderita:
Karsinoma sel skuamosa Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Melanoma maligna Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Karsinoma sel basal Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Mati (semua penyebab) 0,6% 0,6% 1,4%

Ket: ADA: dominan autosomal

Genodermato 10
Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB junctional

JEB, Herlitz JEB, non-Herlitz


Cara penurunan RA RA
Awutan (biasanya) Sejak lahir Sejak lahir
Distribusi kulit (predominan) Generalisata Generalisata
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula 75,1%-100% 75,1%-100%
Milia 5,1%-10% 5,1%-10%
Skar atrofik 50,1%-75% 50,1%-75%
Distrofi kuku atau tak ada kuku 75,1%-100% 75,1%-100%
Jaringan granulasi 50,1%-75% 10,1%-25%
Abnormalitas kepala 10,1%-25% 25,1%-50%
Keratoderma (telapak tangan dan Absen Absen
telapak kaki)
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Relative inducibility bulla Tinggi Tinggi
(munculnya bula setelah trauma)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia 50,1%-75% 5,1%-10%
Retardasi pertumbuhan 25,1%-50% 10,1%-25%
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan lunak 50,1%-75% 75,1%-100%
Hipoplasia enamel 75,1%-100% 75,1%-100%
Karies Eksesif Eksesif
Saluran gastrointestinal 25,1%-50% 10,1%-25%
Saluran genitourin 5,1%-10% 5,1%-10%
Okular 25,1%-50% 25,1%-50%
Pseudosindaktili 5,1%-10% Absen
Saluran pernafasan 25,1%-50% 10,1%-25%
Risiko kumulatif pada usia 30 untuk
menderita:
Karsinoma sel skuamosa Tidak ada Jarang
Melanoma maligna Tidak ada Tidak ada
Karsinoma sel basal Tidak ada Tidak ada
Mati (semua penyebab) 42,2% 38,2%

Ket: RA: resesif autosomal

10 Genodermato
Tabel 3. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB distrofik

DDEB RDEB, Hallopeau-Siemens RDEB, non-


Hallopeau-
Siemens
Cara penurunan ADA RA RA
Awitan (biasanya) Sejak lahir Sejak lahir Sejak lahir
Distribusi kulit (predominan) Generalisata Generalisata Generalisata
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
Milia 75,1%-100% 75,1%-100%
Skar atrofik 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
Distrofi kuku atau tak ada 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%
kuku
Jaringan granulasi Absen 10,1%-25% 10,1%-25%
Abnormalitas kepala 10,1%-25% 25,1%-50% 10,1%-25%
Keratoderma (telapak Tidak ada Tidak ada Tidak ada
tangan dan telapak kaki)
Lain-lain Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Relative inducibility bulla Bervariasi Tinggi Tinggi
(pencetus)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia 10,1%-25% 75,1%-100% 25,1%-50%
Retardasi pertumbuhan Kavitas 1%-5% 75,1%-100% 10,1%-25%
oral
Abnormalitas jaringan 50,1%-75% 75,1%-100% 75,1%-100%
lunak
Hipoplasia enamel 10,1%-25% 10,1%-25% 25,1%-50%
Karies Frekuensi normal Frekuensi normal Frekuensi
normal
Saluran gastrointestinal 10,1%-25% 75,1%-100% 25,1%-50%
Saluran genitourin 1%-5% 1%-5% 1%-5%
Okular Absen 50,1%-75% 10,1%-25%
Pseudosindaktili Absen 75,1%-100% 25,1%-50%
Saluran pernafasan Absen 1%-5% 1%-5%
Risiko kumulatif pada usia 30
untuk menderita:
Karsinoma sel skuamosa Tidak ada 39,6% 14,3%
Melanoma maligna 0,8% 2,5% (sampai usia 12) 0,7% (sampai
usia 12)
Karsinoma sel basal 0,9% Tidak ada Tidak ada
Mati (semua penyebab) Tidak ada 38,7% 10%

III. Penatalaksanaan : Di tingkat pelayanan dasar:


EB ringan EB simpleks
Di tingkat pelayanan lanjut:
EB berat

Nonmedikamentosa :
 Cara perawatan kulit berlepuh: hindari tindakan yang
menimbulkan trauma ringan; pakaian kasar, plester
gosokan saat mandi. Sepatu

Genodermato 10
sebaiknya lembut dan longgar. Perlu kerjasama
dengan fisioterapis untuk mencegah kontraktur.
 Menjaga nutrisi: makanan tinggi kalori dan tinggi
protein. Pada bentuk distrofik makanan harus lembut
atau cair. Pada bayi hindari penggunaan bottle
feeding, makanan/ susu dapat diberikan dengan
sendok lembut, serta hindari makanan panas/ terlalu
dingin.
 Perawatan intensif di ruang perinatal intensive care
unit, bekerjasama dengan dokter spesialis anak, mata,
THT, gizi, dll. Perawatan di inkubator, infus cairan
dan nutrisi.
 Konseling genetik:
- Penjelasan pola penurunan genetik dan
risiko pada setiap kelahiran
- Penjelasan penyakit dan
progresivitas
- Konseling marital

Medikamentosa:
Prinsip:
 Melindungi kulit terbuka dan mencegah infeksi/
sepsis, terapi paliatif.
 Pada kondisi berat harus dirawat intensif di ruang
perinatal dan ditangani oleh dokter spesialis anak,
kulit, dan fisioterapis.

1.Topikal:
- Antibiotik untuk bagian yang mengalami
erosi atau ekskoriasi, dirawat terbuka sesuai
perawatan luka bakar.
- Kortikosteroid pada kasus yang berat
(misalnya tipe Herlitz)
2.Sistemik:
- Kortikosteroid pada kasus yang berat dan fatal
- Vitamin E dosis tinggi untuk tipe distrofik (anti
kolagenase): 600-2000 iµ/ hari
- Difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari harus hati-
hati karena jarak dosis terapeutik-dosis letal
sangat pendek.

Tindak lanjut:
1. Pantau setiap 1 bulan terhadap kelainan kulit yang
timbul
2. Konsultasikan keadaan umum, pada dokter spesialis
anak/ perinatologi untuk komplikasi dan nutrisi.

11 Genodermato
IV. Kepustakaan : 1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general
medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012
2. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology.
A Textbook of Skin Disorders of Childhood and Adolescence.
4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 303−13.
3. Atherton DJ. Mellerio JE, Denver JE. Epidermolysis bullosa.
Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, editor. Textbook of Pediatric
dermatology. Edisi ke-3. Oxford: Blackwell Science, 2006.

5. Bruckner AL. Epidermolysis bullosa. In: Eichenfield LF,


Frieden IJ, Esterly NB, eds. Neonatal Dermatology. 2 nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 159−72.

Genodermato 11
Bagan Alur: Pendekatan diagnosis pasien epidermolisis bulosa yang diturunkan (genetik)

11 Genodermato
C.4. TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX (Q85.1)

i. Definisi : Tuberous sclerosis complex (TS; OMIM 191100) merupakan kelainan yang
diturunkan secara dominan autosomal dengan ekspresivitas yang bervariasi,
ditandai oleh hamartoma di berbagai organ terutama kulit, otak, mata, jantung
dan ginjal. TS diperkirakan terjadi pada 1 : 10000 populasi dan terjadi pada
semua kelompok etnis. TS disebabkan oleh mutasi pada 2 gen yang berbeda,
yaitu TSC1 pada kromosom 9q34 dan TSC2 pada kromosom 16p13.
II. Kriteria diagnostik :
 Klinis :  Pada bayi dan anak sering didahului oleh kejang mioklonik
generalisata atau fokal. Namun demikian, tidak ada gambaran EEG yang
patognomonik pada penyakit ini.
 Kelambatan tumbuh kembang, retardasi mental, autisme, dan gangguan
perilaku merupakan tanda yang paling sering ditemukan. Terdapat korelasi
antara spasme infantil atau kejang generalisata dengan retardasi mental,
maupun antara usia awitan kejang dengan beratnya retardasi mental.
 Makula hipopigmentasi berbentuk bulat atau oval, tetapi lesi yang paling
karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot). Ukurannya bervariasi
mulai dari 1 cm sampai beberapa cm, dan jumlah lesi bervariasi dari
beberapa sampai lebih dari 75.
 Diagnosis spesifik pada usia anak dimungkinkan apabila:
o Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi pembuluh
darah (kapiler) penuh atau angiografi fluoresen ditemukan
hamartoma retina, atau
o CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan
gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radio-
opak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang menyebabkan
pelebaran atau elevasi girus serebral. Bila terjadi kalsifikasi, lesi ini
tampak pada radiografi kepala sebagai gambaran batu pada otak
(brain stones).
 Angiofibroma kutan (dulu disebut adenoma sebaseum) biasanya timbul
antara usia 2 dan 6 tahun, tetapi dapat ditemukan sejak lahir bahkan sampai
usia 20an tahun. Lesi ini patognomonik untuk TS, terjadi pada 65%-90%
pasien, dan terdiri atas papul 1-10 mm dengan permukaan dome-shape,
warna merah muda sampai merah, terdistribusi simetris pada lipatan
nasolabial, pipi dan dagu, dan jarang pada dahi, kelopak mata, telinga dan
kepala.
 Plak fibrosis atau nodus dapat ditemukan pada dahi, pipi, dan kepala dan
dapat timbul sejak lahir. Pemeriksaan histopatologi me- nunjukkan nevi
jaringan ikat tipe kolagen tanpa pelebaran vaskular.
 Shagreen patch atau peau chagrine adalah plak yang ditemukan pada
badan, permukaan tidak rata mirip kulit jeruk, kadang berbenjol-benjol,
sewarna dengan kulit.
 Fibroma subungual dan periungual (tumor Könen) merupakan lesi
patognomonik dan dilaporkan pada 10%-50% pasien; biasanya

Genodermato 1
muncul setelah pubertas. Secara klinis terdiri atas papul 5-10 mm,
firm, smooth, budlike, tumbuh dari nail bed.
 Lesi kulit yang jarang ditemukan dan tidak spesifik: bercak café-au- lait,
polip fibroepitelial, plak merah keunguan, diffuse skin bronzing, dan
neuroma mukosal; juga fibroma gingiva dan pit pada enamel gigi.
 Hamartoma retina patognomonik untuk TS dan dilaporkan pada 50- 76%
pasien. Dapat dijumpai 2 tipe: (1) lesi datar abu-abu atau kekuningan,
smooth semi-transparan dengan tepi tidak tegas atau
(2) lesi multinodular yang digambarkan seperti mulberry, telur katak,
atau telur salmon.
 Hamartoma renal, misalnya angiomiolipoma dan ginjal polikistik, terjadi
pada sekitar 15% pasien dan tidak pernah ditemukan pada periode
prenatal atau neonatal.

 Diagnosis
banding : 1. Kejang: epilepsi
2. Hipopigmentasi: vitiligo
3. Angiofibroma: akne vulgaris, akne rosasea, trikoepitelioma,
trikilemoma, milia, xantoma, moluskum kontagiosum.
4. Kalsifikasi intrakranial: sindrom Sturge-Weber, toksoplasmosis kongenital

:  Röntgen tulang kepala/CT scan (ditemukan tuber) ( Röntgen adalah nama


 Pemeriksaan orang, jadi tidak bisa diubah mjd bahasa Indonesia)
penunjang  USG/MRI: mencari tumor organ internal
 Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi
 Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma
 Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan
sistemik lainnya

IIi. Penatalaksanaan : Kerjasama antar multidisiplin:


Ilmu kesehatan kulit, kesehatan anak, psikiatri, psikolog, neurologi,
mata, penyakit dalam, radiologi, bedah, bedah saraf

Nonmedikamentosa:
 Kepada orangtua atau pengasuhnya: penjelasan perkembangan penyakit
(kelainan apa yang harus diperhatikan untuk segera dilaporkan pada
dokter) dan tentang penatalaksanaan penyakit yang diderita.
 Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap kelahiran
- Penjelasan penyakit dan progresivitas
- Konseling marital

11 Genodermato
Medikamentosa:
Prinsip:
 Umumnya tanpa terapi, kecuali bila ada tumor yang mengganggu fungsi
atau estetika.
 Pencegahan kejang, terutama pada usia awal, dapat meningkatkan
perkembangan mental. Intervensi neurologis mungkin diperlukan bila
terjadi tanda peningkatan tekanan intrakranial (misalnya nyeri kepala,
muntah, gangguan penglihatan, edema papil)
 Angifibroma dapat diterapi dengan dermabrasi, elektrokauter, atau laser.

IV. Prognosis : Prognosis bervariasi, bergantung pada berat penyakit. Beberapa


pasien mempunyai inteligensi normal, tanpa kejang, hidup normal.
Penyebab tersering kematian adalah komplikasi neurologis,
rabdomioma kardial, penyakit ginjal, dan tumor otak.

BAGAN ALUR:

Makula hipopigmentasi bulat/oval, tetapi lesi yang paling


karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot). Ukurannya
bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa cm, dan jumlah
lesi bervariasi dari beberapa sampai lebih dari 75.

Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi pembuluh darah


(kapiler) penuh atau angiografi fluoresen ditemukan hamartoma retina,
atau
CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan gambaran
karakteristik berupa tuber, yaitu massa radio- opak/kalsifikasi di korteks
atau subependimal yang menyebabkan pelebaran atau elevasi girus
serebral.

 Röntgen tulang kepala/CT-scan (ditemukan tuber)


 USG/MRI: mencari tumor organ internal
 Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi
 Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma
 Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan
sistemik lainnya

Tuberous sclerosis complex

Genodermato 11
V. Kepustakaan : 1. Krueger DA, Northrup H; International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous
Sclerosis Complex surveillance and management:
Recommendation of the 2012 International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr Neurol
2013; 49: 255-65.
2. Northrup H, Krueger DA; International Tuberous Sclerosis
Complex Consensus Group. Tuberous Sclerosis Complex
diagnostic criteria update: Recommendation of the 2012
International Tuberous Sclerosis Complex Consensus
Conference. Pediatr Neurol 2013; 49: 243-54.
3. Rovira A, Ruiz-Falcó ML, García-Esparza E, et al.
Recommendation for the radiological diagnosis and follow-up
of neuropathological abnormalities associated with tuberous
sclerosis complex. J Neurooncol 2014 Apr 27. (Epub ahead
of print)

11 Genodermato
C.5. DISPLASIA EKTODERMAL (Q82.4)

I. Definisi : Displasia ektodermal (DE) adalah kelompok kelainan yang


diturunkan, secara karakteristik ditandai oleh defek
perkembangan yang melibatkan setidaknya dua struktur
utama embrionik ektodermal: kulit, rambut, gigi, kuku,
glandula sebasea.

II. Kriteria diagnostik : (Bagan terlampir)

 Klinis : DISPLASIA EKTODERMAL HIPOHIDROTIK


(displasia ektodermal anhidrotik, sindrom Christ-
Siemens-Touraine; OMIM 305100)
X-LHED
 Insidens:1 dalam 100.000 kelahiran
 Secara khas kelainan diturunkan secara resesif terkait-X
(X-linked recessive). Pada laki-laki yang terkena
ekspresinya lengkap (full blown). sedangkan pada
wanita pembawa gen (carrier) dapat tanpa kelainan,
atau apabila terdapat kelainan biasanya terdistribusi
patchy.
 Kelainan ini dapat diturunkan dari ibu pembawa gen
atau timbul pada seseorang karena mutasi de novo.
Sekitar 70% laki-laki yang terkena mendapatkan mutasi
ini dari ibu pembawa gen. Antara 60-80% wanita
pembawa gen menunjukkan beberapa tanda klinis
kelainan ini, yang paling sering adalah hipotrikosis
patchy dan hipodonsia.

Gambaran klinis
Dermatologis
 Pada laki-laki yang terkena, saat lahir dapat ditandai
oleh membran kolodion atau dengan skuama,
menyerupai iktiosis kongenital.
 Rambut kepala jarang, tipis, dan tumbuh lambat.
Rambut tubuh yang lain biasanya jarang atau tidak ada.
 Kemampuan untuk berkeringat terganggu secara
signifikan. Sebagian besar laki-laki yang terkena
menderita intoleransi panas yang nyata.
 Pori-pori kelenjar keringat biasanya tidak dapat dilihat
pada pemeriksaan fisik dan rigi sidik jari tidak tampak
jelas.
 Gangguan berkeringat (ketidakmampuan berkeringat
secara adekuat terhadap panas lingkungan)
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Terjadinya panas
tinggi yang tak dapat dijelaskan, biasanya menyebabkan
kecurigaan penyakit infeksi, keganasan, atau penyakit
autoimun sebelum

Genodermato 11
diagnosis yang benar dapat ditegakkan. Anak-anak yang
menderita kelainan ini secara khas menunjukkan
intoleransi panas dengan episode hiperpireksia, yang
dapat menyebabkan kejang dan kerusakan neurologis.
 Kuku biasanya normal.
 Keriput dan hiperpigmentasi periorbital khas dan sering
dijumpai, walaupun sering tidak diperhatikan pada saat
lahir.
 Hiperplasia glandula sebaseus, terutama pada wajah
dapat muncul setiap saat dan tampak sebagai papul-
papul miliar seperti pearl (mutiara), berwarna
kecoklatan sampai putih menyerupai milia.
 Tidak adanya puncta lacrimal merupakan temuan
khas.
 Wanita karier dengan displasia ektodermal hipohidrotik
terkait-X, menunjukkan gambaran kulit normal dan
abnormal mengikuti garis Blaschko.

Sistemik
 Hipodonsia, oligodonsia, atau anodonsia merupakan
gambaran yang dapat dijumpai pada X-LHED pada
laki-laki yang terkena.
 Adanya hypoplastic gum ridges pada bayi yang
terkena dapat merupakan petunjuk awal diagnosis
penyakit.
 Gigi primer dan sekunder berbentuk peg shaped
merupakan gambaran khas
 Pasien menunjukkan wajah yang khas dengan frontal
bossing, depressed nasal bridge, saddle nose, dan
bibir bawah yang besar.
 Manifestasi otolaringologis meliputi sekresi nasal
kental dan impaksi, sinusitis, infeksi saluran nafas atas
yang berulang dan pneumonia, produksi saliva
berkurang, suara menyerupai suara kuda, dan frekuensi
asma meningkat.
 Refluks gastroesofageal dan kesulitan makan mungkin
merupakan masalah pada masa anak.
 Wanita pembawa gen X-LHED dapat terkena sama
beratnya dengan pasien laki-laki atau hanya
menunjukkan sedikit tanda penyakit ini. Intoleransi
terhadap panas, bila ada, biasanya ringan. Kelainan
pada gigi dapat berupa anodonsia atau peg–shaped,
dan rambut kepala tipis atau patchy. Pemeriksaan
dermatologis yang teliti terhadap kulit wanita pembawa
gen sering ditemukan keringat dari pori-pori berkurang
atau distribusi yang patchy.

11 Genodermato
Diagnosis dan diagnosis banding
 Kulit berskuama saat lahir sering salah diagnosis dengan
iktiosis kongenital.
 Demam berulang sering diduga infeksi
 Diagnosis HED dapat cepat diketahui jika sudah ada
dugaan sebelumnya, misalnya anak laki-laki berisiko
dilahirkan dari keluarga dimana penyakit ini sudah
diketahui/ didiagnosis.
 Pemeriksaan pori-pori keringat dan foto panorama
rahang dapat menuntun ke arah diagnosis dengan cepat.

DISPLASIA EKTODERMAL HIDROTIK (Sindrom


Clouston; OMIM 129500)
 Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada gen connexin,
GJB6 atau connexin 30 pada kromosom 13q11-q12.1.

Gambaran klinis
 Rambut kepala wry, brittle, berwarna terang, dan sering
didapatkan alopesia setempat.
 Sering didapatkan makula hiperpigmentasi retikular
atau difus. Kulit di atas lutut, siku, jari, dan sendi sering
menebal dan hiperpigmentasi. Kuku tampak menebal
dan terjadi perubahan warna; sering disertai infeksi
paronikia persisten.
 Abnormalitas pada mata meliputi strabismus, pterigium,
konjungtivitis dan katarak prematur.
 Gigi biasanya tak ada kelainan tetapi sering terdapat
karies.
 Kelainan ektodermal lain adalah leukoplakia oral, tuli
sensorineural, polidaktili, sindaktili, dan poromatosis
ekrin difus.
 Berlawanan dengan bentuk hipohidrotik, sebagian besar
pasien mempunyai kemampuan berkeringat normal dan
kelenjar sebaseus berfungsi normal.

Diagnosis banding
Kelainan pada kuku sering didiagnosis banding dengan
pakionikia kongenita
SINDROM AEC, ANKYLOBLEPHARON FILIFORME
ADNATUM-ECTODERMAL DYSPLASIA-CLEFT
PALATE SYNDROME (HAY-WELLS SYNDROME;
OMIM 106260)
 Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada tumor
suppressor gene p63, gen yang juga berperan pada
patogenesis sindrom EEC, limb-mammary syndrome,
acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth (ADULT)
syndrome.

Genodermato 11
 Mutasi yang menyebabkan EEC dan AEC terletak pada
kelompok (cluster) yang berbeda pada gen tsb.
 Sindrom AEC merupakan kelainan dominan autosomal
dengan penetransi lengkap dan ekspresi bervariasi.
Gambaran klinis
Dermatologi
 Pada 90% bayi yang terkena, saat lahir didapatkan
kulit mengelupas dan erosi superfisial, menyerupai
membran kolodion. Skuama akan mengelupas dalam
beberapa minggu dan kulit di bawahnya kering dan
tipis.

 Sering didapatkan dermatitis erosif kronik dengan


granulasi abnormal pada kulit kepala. Pada kulit
kepala juga sering terjadi infeksi bakterial rekuren.
 Pada kulit kepala selalu terdapat alopesia patchy,
dan rambut kepala yang ada sering wiry, kasar dan
berwarna terang. Rambut tubuh jarang bahkan tidak
ada.
 Biasa dijumpai atresia atau obstruksi duktus
lakrimalis.
 Kuku dapat normal, atau hiperkonfeks dan menebal,
distrofi parsial atau bahkan tidak ada kuku. Seluruh
perubahan dapat ditemukan pada pasien yang sama.
 Kemampuan berkeringat biasanya normal, meskipun
beberapa pasien merasakan intoleransi panas secara
subyektif.

Sistemik
 Celah palatum dengan atau tanpa celah bibir terjadi
pada 80% pasien yang dilaporkan.
 Mungkin didapati hipodonsia dengan gigi yang
tidak tumbuh atau salah tumbuh.
 Sering terjadi otitis media berulang dan kehilangan
pendengaran konduktf sekunder, yang mungkin
merupakan konsekuensi celah palatum.

SINDROM EEC, ECTRODACTYLY-ECTODERMAL


DYSPLASIA– CLEFT LIP/PALATE SYNDROME
(EEC, OMIM 129900)
 Sindrom ini diturunkan secara dominan autosomal yang
melibatkan jaringan ektodermal dan mesodermal.

12 Genodermato
Gambaran klinis
 Sindrom EEC ditandai oleh ektrodaktili (split hand or
foot deformity, lobster-claw deformity) yang
merupakan gambaran utama. Selain itu didapatkan juga
celah bibir/palatum, hipotrikosis, hipodonsia, distrofi
kuku, anomali duktus lakrimalis, dan kadang
hipohidrosis.
 Pada kasus tanpa celah bibir/palatum, morfologi wajah
khas dengan hipoplasia maksilaris, filtrum pendek, dan
broad nasal tip.
 Kelainan gigi meliputi mikrodonsia dan oligodonsia
dengan hilangnya gigi sekunder yang awal/prematur.
Sering terjadi karies berat.
 Dapat terjadi hipohidrosis, tetapi relatif ringan.
 Kuku dapat hipoplastik dan distrofik
 Retardasi mental terjadi pada 5-10% kasus.
 Kelainan genitourin sering ditemukan, meliputi
hipospadia glandular, uretheric reflux, dan
hidronefrosis.

Diagnosis banding
Odontotrichomelic syndrome (OMIM 273400)
Aplasia kutis kongenital dengan defek ekstremitas (sindrom
Adams-Oliver; OMIM 100300)
Ektrodaktili dengan celah palatum tanpa displasia ektodermal
(OMIM 129830)

III. Penatalaksanaan umum : Nonmedikamentosa:


 Menjaga keseimbangan suhu tubuh (termoregulasi)
dengan senantiasa berada di ruang sejuk (ber-AC) atau
lembab, mandi air dingin, pakaian tipis, banyak minum,
menghindari udara panas, dan mengurangi aktivitas
yang menyebabkan berkeringat.
 Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko
pada setiap kelahiran anak perempuan
umumnya, dan bila laki-laki terkena dapat
berakibat berat dan fatal
- Penjelasan penyakit dan progresivitas: kelainan
tidak hanya di kulit tetapi dapat mengenai organ
lainnya
 Konseling pra-marital

Medikamentosa:
Penatalaksanaan penyakit dikerjakan secara
multidisiplin:
1. Topikal:
 Pelembab (misalnya urea 10%) untuk kulit kering

Genodermato 12
 Asam salisilat 3-5% dalam salap/emolien untuk
hiperkeratosis palmoplantar
 Perbaikan/restorasi gigi, konsultasi dokter gigi
 Mata: air mata artifisial
 Tenggorokan kering: saliva artifisial
 Paru: hindari rokok, lingkungan berdebu.
2. Sistemik:
Antibiotik bila terjadi infeksi pada kuku atau infeksi
lainnya. Konsultasi dengan dokter spesialis lain sesuai
dengan organ yang terkena.

Tindak lanjut:
Pantau setiap satu bulan sekali
Konsultasikan ke dokter spesialis sesuai kebutuhan

IV. Kepustakaan : 1. Bree AF, Agim N, Sybert VP. Ectodermal Dysplasias.


Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor. Mc Grew Hill:
New York, 2012 p. 1691-702.
2. Bergendal B. Orodental manifestations in ectodermal
dysplasia: A review. Am J Med Genet A. 2014 doi:
10.1002/ajmg.a.36571. [Epub ahead of print]
3. Itin PH. Etiology and pathogenesia of ectodermal dysplasias:
Am J Med Genet A. 2014. doi: 10.1002/ajmg.a.36550. [Epub
ahead of print]

12 Genodermato
C.6. IKTIOSIS (Q80.9)

I. Definisi : Istilah iktiosis digunakan untuk kelompok kelainan kulit


yang mempunyai gambaran utama berupa skuama
generalisata. Kelompok iktiosis secara klinis maupun
etiologi sangat heterogen sehingga terdapat kesulitan
dalam klasifikasinya.
Pada PPM ini klasifikasi didasarkan pada iktiosis yang
tidak disertai sindrom, iktiosis yang disertai sindrom,
kelainan yang berkaitan dengan iktiosis, dan iktiosis
didapat (Tabel.1)
Secara prinsip, iktiosis dapat diturunkan atau didapat,
timbul sejak lahir atau setelahnya, dapat terbatas hanya
pada kulit atau merupakan bagian dari kelainan
multisistem. Keparahan penyakit dapat bervariasi, mulai
dari kekeringan kulit misalnya pada iktiosis vulgaris
sampai yang bersifat fatal misalnya iktiosis harlequin.

Iktiosis vulgaris (OMIM 146700)


Iktiosis vulgaris dominan autosomal adalah penyakit yang
cukup sering dijumpai dan relatif ringan. Kelainan ini tidak
dijumpai saat lahir tetapi biasanya timbul dalam tahun
pertama kehidupan.
Gambaran klinis
Khas skuama putih keabuan yang menutupi terutama
permukaan ekstensor ektremitas dan badan. Skuama lebih
prominen pada permukaan ekstensor ekstremitas, tidak
dijumpai pada sisi fleksor dan daerah diaper. Skuama
halus, putih sering dijumpai pada daerah yang luas.
Ekstremitas bawah sering merupakan daerah yang paling
berat terkena, skuama melekat di tengah, dengan
“cracking” (fisura superfisial pada stratum korneum) pada
tepinya.
Beberapa kelainan yang sering ditemukan pada iktiosis
vulgaris adalah:
 Keratosis folikularis, ditemukan terutama pada anak-
anak dan remaja.
 Aksentuasi palmoplantar marking yang merupakan
gambaran khas dan terdapat pada 80-90% pasien.

Penatalaksanaan
 Iktiosis vulgaris berespons baik terhadap salap topikal
yang mengandung urea atau asam laktat.
 Hati-hati penggunaan urea pada daerah tubuh yang
luas sebelum usia 1 tahun (boleh diberikan, tetapi
harus dalam pengawasan dokter bila daerah luas)

Genodermato 12
 Iktiosis vulgaris tidak boleh diterapi dengan salap
yang mengandung salisilat karena dapat menyebabkan
keracunan yang membahayakan jiwa disebabkan oleh
absorpsi perkutan.
 Diagnosis pasti: riwayat keluarga dan pemeriksaan
tambahan, misalnya pemeriksaan histopatologi atau
biokimia untuk menyingkirkan iktiosis resesif terkait- X
(X-linked recessive ichthyosis), misalnya tes steroid
sulfatase atau elektroforesis lipoprotein.

Iktiosis resesif terkait X (X-linked XRI)


 XRI merupakan iktiosis tipe ke 2 terbanyak
 Diagnosis prenatal defisiensi sulfatase plasenta
memungkinkan diketahuinya diagnosis sejak awal,
tetapi pemeriksaan ini belum pernah dilakukan di
Indonesia.
 Saat lahir skuama halus tidak terlihat nyata; mulai usia
2-6 bulan hiperkeratosis tebal berwarna coklat gelap
sampai kuning kecoklatan menutupi badan,
ekstremitas, dan leher. Skuama tidak didapatkan pada
wajah namun didapatkan pada preaurikular.
 Palmar dan plantar normal yang dapat membedakan
dengan iktiosis vulgaris.
 Abnormalitas pada mata jarang didapatkan, tetapi 10-
50% laki-laki yang terkena dan pada beberapa wanita
karier ditemukan opasitas kornea asimtomatik.
Dari beberapa laporan kasus tidak didapatkan
ektropion, eklabium, kelainan kuku maupun rambut.

Epidermolitik hiperkeratosis
(sin: Bullous congenital ichthyosiform erythro-
derma of Brocq, Bullous ichthyosis; OMIM 113800)
 Merupakan kelainan dominan autosomal dengan
penetrans lengkap tetapi mempunyai variabilitas klinis
yang luas.
 Sangat jarang, insidens sekitar 1:200000 sampai
1:300000;
 Disebabkan oleh mutasi heterozgot pada gen yang
mengkode keratin 1 dan keratin 10 (KRT1, KRT10)
yang diekspresikan pada lapisan epidermis yang
berdiferensiasi.
 Hampir separuh kasus terjadi secara sporadik dan
menunjukkan mutasi baru.

12 Genodermato
Gambaran klinis
 Biasanya diketahui sejak lahir dengan adanya erosi
dan daerah luas kulit yang denuded serta
eritroderma, yang disebabkan oleh peningkatan
fragilitas epidermis dan dipicu oleh trauma friksional
selama proses persalinan.
 Pada masa selanjutnya komponen bulosa menjadi
kurang prominen dan mulai tampak hiperkeratosis
berat
 Kulit kepala sering terkena dan parah sehingga
menyebabkan gangguan batang rambut dan kerontokan
rambut.
 Bibir, mata, membran mukosa, dan gigi normal.
 Pada masa bayi morbiditas perinatal tinggi serta
potensial mortalitas karena sepsis dan ketidak-
seimbangan cairan dan elektrolit.
Diagnosis banding
 Staphylococcal scalded skin syndrome dan
nekrolisis epidermal toksik
Penatalaksanaan
 Bayi dengan eritema, bula, erosi luas, dan kulit yang
denuded memerlukan perawatan di neonatal
intensive care unit. Harus dihindari trauma terhadap
kulit dan timbulnya bula, monitor terhadap terjadinya
sepsis
 Pada beberapa pasien diperlukan terapi dengan
antibiotik spektrum luas
Terapi topikal:
 Seperti iktiosis kongenital lain, terapi hiperkeratosis
epidermolitik adalah simtomatik
 Hiperkeratosis yang luas, tebal, keras memerlukan
hidrasi, lubrikasi, dan terapi keratolitik (krim dan
lotion yang mengandung urea, asam salisilat, asam
alfa hidroksi, atau propilen glikol). Namun demikian
sering tidak dapat ditoleransi dengan baik terutama
pada anak-anak, karena adanya rasa terbakar dan
stinging jika terdapat fisura atau kulit denuded.
Aplikasi topikal asam salisilat dan asam laktat harus
hati-hati karena risiko absorbsi sistemik
 Tretinoin topikal dan preparat Vit D efektif tetapi
dapat menyebabkan iritasi kulit.
 Berendam untuk melembabkan kulit dan abrasi
mekanis pada stratum korneum yang menebal (gosok
hati-hati dengan sikat lembut, spons, dsb)
 Pemakaian antiseptik, misalnya sabun anti- bakterial,
klorheksidin, atau iodin dapat membantu mengontrol
kolonisasi bakterial.

Genodermato 12
 Dianjurkan penggunakan lubrikans dan emolien
setidaknya 2 kali sehari, dilakukan segera setelah
mandi
 Infeksi kulit bakterial biasa dijumpai pada hiper-
keratosis epidermolitik dan sering memicu bula
sehingga memerlukan terapi topikal dengan salap
antibiotik atau bahkan antibiotik oral.

Terapi sistemik
 Retinoid oral sangat efektif untuk mengurangi
hiperkeratosis dan frekuensi infeksi pada pasien
dengan EH generalisata, namun demikian obat ini dapat
meningkatkan fragilitas epidermis dan dapat
menyebabkan eksaserbasi bula. Dianjurkan memulai
terapi dengan dosis yang sangat rendah dengan tujuan
mencapai dosis pemeliharaan serendah mungkin.

 Meskipun antibiotik oral sangat membantu selama


episode bula dan superinfeksi bakterial, terapi preventif
yang terus-menerus (antibiotik oral atau topikal) harus
dihindari karena risiko ber- kembangnya resistensi
bakterial.

Iktiosis lamelar (IL)


(sin: Nonbullous congenital ichthyosiform erythro-
derma, Non-erythrodermic autosomal recessive
lamellar ichthyosis)
 Kelainan genetik heterogen dan pada sebagian besar
keluarga diturunkan secara resesif autosomal
 Sangat jarang, prevalensi sekitar 1:200000 sampai
1:300000 kelahiran hidup
Gambaran klinis
 IL merupakan kelainan kornifikasi berat yang tampak
sejak lahir.
 Sebagian besar bayi yang terkena saat lahir ter-
bungkus oleh membran kolodion disertai eritroderma.
 Dalam beberapa minggu pertama kehidupan, membran
kolodion secara bertahap menjadi skuama lebar
generalisata
 Secara khas IL ditandai oleh skuama lebar, coklat
gelap, pipih yang membentuk pola mosaik dengan
eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama melekat
di tengah dan meninggi pada tepinya, sering
menimbulkan fisura superfisial. Skuama lebar ini selain
terdapat pada hampir seluruh tubuh juga terdapat pada
wajah, fleksura, telapak tangan dan telapak kaki.

12 Genodermato
 Ketegangan kulit wajah sering menyebabkan
ektropion, eklabium, serta hipoplasia kartilago nasal
dan aurikular.
 Ektropion yang parah dapat menimbulkan madarosis,
konjungtivitis, dan penutupan kelopak mata yang tidak
sempurna yang dapat menyebabkan keratitis.
 Pada kepala terdapat alopesia skar (scarring alopecia)
terutama pada bagian perifer skalp, yang merupakan
gambaran umum pada IL.
 Peradangan pada lipatan kuku (nail folds) dapat
menyebabkan distrofi kuku dengan penebalan lempeng
kuku dan rigi kuku.

Diagnosis banding
 Eritroderma iktiosiformis kongenital (congenital
ichthyosiform erythroderma), sindrom Netherton,
sindrom Sjögren-Larsson, dan trikotiodistrofi.

Penatalaksanaan
 Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Terapi topikal:
 Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Terapi sistemik
 Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

II. Kriteria diagnostik :


 Klinis :  Awitan dan riwayat perjalanan penyakit
 Penurunan genetik
 Tempat predileksi: lokal, generalisata atau
universalis
 Skuama yang spesifik mirip sisik ikan, variasi ukuran,
warna dan tebal bergantung jenis.
- Gambaran klinis: kelainan pada kulit, kuku,
rambut, SSP, dan mata
- Gejala sistemik yang menyertai
 Diagnosis banding :
- Pemeriksaan : Pemeriksaan PA
penunjang  Iktiosis vulgaris: hiperkeratosis dan stratum
granulosum menipis
 Resesif terkait-X (X-linked): hiperkeratosis, stratum
granulosum menebal
 Iktiosis lamelar klasik: hiperkeratosis, stratum
granulosum menebal

Genodermato 12
 Iktiosiform eritroderma nonbulosa: akantosis, para-
keratosis, hipergranulosis.
 Epidermolitik hiperkeratosis: hiperkeratosis,
vakuolisasi (mikro-vesikel)

III. Kepustakaan : 1. Richard G, Moss C, Traupe H, et al. Ichthyosis and


disorders of cornification. Dalam: Pediatric
Dermatology. Schachner LA, Hansen RC, editor.
London:Mosby 2003. p. 385-445.
2. Oji V, Traupe H., Ichthyoses: Differential diagnosis and
molecular genetics. Eur J Dermatol 2006; 16: 349-59.
3. Fleckman P, DiGiovanna JJ. The Ichthyosis. Dalam:
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.
Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Editor.
2012, Mc Graw Hill: New York. p. 507-37
4. Richard G, Ringpfeil F. Ichthyoses, erythrokeratodermas
and related disorders. Dalam Dermatology. Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rapini RP, editor. Mosby, London 2013. P837-
862.
5. 5. Judge MR, Mclean WHI, Munro Cs. Disorders of
Keratinization. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. United
Kingdom: Willey Blackwell;2010. 19.4-19.64

12 Genodermato
Tabel 1. Klasifikasi iktiosis
Tipe Diagnosis OMIM
Iktiosis non- Iktiosis vulgaris 146700
sindromik
Iktiosis terkait-X 308100
Epidermolitik hiperkeratosis Brocq (EHK) 113800
146600
Iktiosis bullosa Siemens 146800
Iktiosis histriks Curth-Macklin 146590
Nonbullous congenital ichtyosiform erythroderma (NBCIE) 242100
604780
Iktiosis lamellar 242300
601277
604777
CIE/ iktiosis lamellar tipe intermediate 604781
Iktiosis lamellar autosomal dominan kongenital iktiosiformis eritroderma 146750
Iktiosis in confetti
Harlequin fetus 242500
Sindrom peeling skin tipe A

Iktiosis disertai Sindrom Netherton/ iktiosis linearis sirkumfleksa 256500


sindrom
Sindrom Sjögren-Larsson 270200
Neutral lipid storage disease 275630
Penyakit Refsum 266500
Trikotiodistrofi 601675
Infantile Gaucher disease
Sindrom Neu-Laxova
Sindrom Zunich-Kaye (Sindrom CHIME: ocular colobomas, congenital hearth
disease, early onset ichthyosiform dermatosis, mental retardation and
ear anomalies (conductive hearing loss), epilepsy),
X-linked dominant chondrodysplasia punctata (sindromConradi-Hünermann-
Happle)
Rhyzomelic chondrodysplasia punctata
Cardiofasciocutaneous syndrome
Restrictive dermopathy
Multiple sulfatase deficiency

Kelainan yang Sindrom KID (keratitis-ichthyosis-like-deafness)


berkaitan
Sindrom CHILD (Congenital hemydysplasia ichthyosiform nevus and limb
defect)
Mutilating keratoderma dengan iktiosis
Sindrom KLICK (keratosis linearis with ichthyosis congenita and sclerosing
keratoderma)
Keratosis spinulosa decalvans.
Sindrom IFAP (Ichthyosis follicularis, atrichia, and photophobia)
Ichthyosis, follicular atrophoderma, hypotrichosis, and hypohidrosis
Migratory ichthyosis with diabetes mellitus
Ichthyosis, hepatosplenomegaly, and cerebellar degeneration
Ichthyosis-mental retardation syndrome with large keratohyalin granules in the
skin
Sindrom eritroderma iktiosiformis, keterlibatan kornea, ketulian; autosomal
resesif

Iktiosis didapat

Genodermato 12
C.7. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 (Q85.01)

I. Definisi : Kondisi autosomal dominan dengan insiden 1:3000


kelahiran hidup
II. Kriteria diagnostik :
 Klinis : 1. Enam atau lebih makula cafe-au-lait lebih besar
dari 5 mm pada individu prepubertal,
dan lebih dari 15 mm pada individu
postpubertal
2. Dua atau lebih neurofibroma tipe apapun atau satu
neurofibroma pleksiform
3. Freckling pada regio aksila atau inguinal
4. Glioma optikum
5. Dua atau lebih nodul Lisch iris
6. Lesi tulang yang dapat dibedakan seperti
sphenoid displasia atau penipisan korteks
tulang panjang dengan atau tanpa
pseudarthrosis
7. Saudara tingkat pertama (orang tua, saudara)
dengan NF-1 dengan kriteria di atas

 Diagnosis banding :  Neurofibromatosis tipe 1


 Neurofibromatosis tipe 2
 Familial cafe-au-lait spots
 Sindrom LEOPARD

III. : 1. Pemeriksaan histopatologi


Pemeriksaan penunjang 2. Evaluasi radiologik

IV. Penatalaksanaan : 1. Konseling genetik


2. Pemeriksaan ophtalmologik
3. Pemeriksaan tekanan darah
4. Bedah LASER untuk café-au-lait spots
5. Bedah eksisi untuk Neurofibroma kutaneus

V. Kepustakaan : 1. Robert Listernick dan Joel Charrow. The


Neurofibromatoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc
Graw-Hill; 2012.p.1680-8
2. Disorders of Pigmentation. In: Paller A dan Mancini A,
eds. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
London: Elsevier; 2011.p. 234-67

13 Genodermato
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai