Editor
Prof. Dr. dr. Andon Hestiantoro, Sp.O.G, Subsp.F.E.R, MPH
Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.O.G, Subsp.Obginsos, MPH
Prof. Dr. dr. Rajuddin, Sp.O.G, Subsp.F.E.R
Penerbit
i
Langkah Langkah Pencegahan Perundungan Pada Program Pendidikan Spesialis Obstetri
dan Ginekologi Indonesia
-Ed.1–Jakarta: Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2023
Penerbit::
Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Jalan Taman Kimia No. 10
Jakarta 10320, INDONESIA
Telepon: 62-21-3148577, Faksimili: 62-21-3924271,
Email: kolegiumobgin@yahoo.com
ii
KATA PENGANTAR
Salam Sejawat,
Puji dan syukur kami panjatkan ke-hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia dapat membuat dan
menerbitkan Buku Langkah-Langkah Pencegahan Perundungan Pada Program Pendidikan
Spesialis Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Seperti yang kita ketahui, angka perundungan pada peserta didik Program Pendidikan
Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Indonesia cukup tinggi serta kerap menjadi tajuk berita utama
beberapa waktu terakhir. Perundungan merupakan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya
akademik dan etik profesi di Indonesia.
Buku Langkah-Langkah Pencegahan Perundungan Pada Program Pendidikan Spesialis
Obstetri dan Ginekologi Indonesia diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dan digunakan pada
seluruh senter program studi Obstetri dan Ginekologi Indonesia dalam upaya memutus mata rantai
perundungan pada program pendidikan spesialis Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Hormat saya,
iii
EDITOR
Prof. Dr. dr. Andon Hestiantoro, Sp.O.G, Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.O.G,
Subsp.F.E.R, MPH Subsp.Obginsos, MPH
Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Wakil Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi
Indonesia 2022 -2025 Indonesia 2022 – 2025
iv
KONTRIBUTOR
Dr. dr. Em Yunir, Sp.PD-KEMD Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ(K)
Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan Ketua Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas
Program Pendidikan Dokter Spesialis dan Kedokteran Universitas Indonesia
Subspesialis
Dr. dr. Mirza Iskandar, Sp.O.G, Prof. Dr. dr. Wiryawan Permadi, Sp.O.G,
Subsp.Onk. Subsp.F.E.R
Komisi Ortala dan Sertifikasi Kompetensi Komisi Penerapan Kurikulum Kolegium Obstetri
Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia dan Ginekologi Indonesia
Prof. Dr. dr. Hendy Hendarto, Sp.O.G, Prof. Dr. dr. Budi Iman Santoso, Sp.O.G,
Subsp.F.E.R Subsp.Urogin Re.
Komisi Pengembangan Pendidikan Kolegium Komisi Pelatihan Kolegium Obstetri dan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia Ginekologi Indonesia
v
DAFTAR ISI
PREFACE iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
BAB II 5
PERUNDUNGAN PADA PESERTA DIDIK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
SPESIALIS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI INDONESIA 5
BAB III 15
KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 17
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa waktu lalu kita membaca pada tajuk berita utama tentang bullying atau
perundungan yang terjadi di dalam dunia pendidikan dokter spesialis, suatu dunia pendidikan yang
prestisius dan tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dokter
spesialis, secara pragmatis pendidikan kedokteran spesialis seharusnya diisi oleh orang-orang yang
telah mencapai tataran intelektualitas tertinggi, dengan kemampuan daya nalar yang baik, serta
kondisi mental yang sehat.
Namun pada kenyataannya sampai saat ini masih tercatat adanya kegiatan yang tidak patut
diteladani dan berkaitan dengan perundungan atau yang lebih dikenal dengan bullying pada
pendidikan kedokteran spesialis tersebut.
Perundungan adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan berulang, ditujukan pada
satu atau lebih korban, secara sepihak, disengaja atau tidak disengaja dalam bentuk verbal, non-
verbal, fisik maupun sosial, dan tidak diinginkan oleh korbannya. Perundungan dapat melibatkan
perorangan maupun kelompok. Perundungan dapat hadir dalam bentuk eksploitasi, utilisasi,
penggunaan kekerasan, ancaman, paksaan atau intimidasi. Perudungan akan menimbulkan rasa
tereksploitasi, ketersinggungan, kesusahan dan dapat menyebabkan lingkungan kerja yang tidak
menyenangkan.
B. Tujuan
3. Menentukan peran setiap elemen Pendidikan Spesialis Obstetri dan Ginekologi seluruh
Indonesia dalam upaya pencegahan perundungan.
1
C. Landasan Hukum
1. Pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia tahun 2012, mengatur landasan hukum perundungan sebagai berikut:
• Pasal 10 : Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya,
dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
• Pasal 15 : Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
• Pasal 18 : Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
• Sumpah Dokter Indonesia: “Saya akan perlakukan teman sejawat seperti saudara
kandung”.
1. Perundungan adalah proses, cara dan/atau perbuatan dari pelaku yang memaksa, menyakiti
atau mengintimidasi korban. Perundungan dapat pula terjadi bila pelaku perundungan tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan olehnya.
2. Setiap dokter di Indonesia wajib memahami bahwa perundungan pada lingkup profesi
kedokteran meliputi pendidikan, pelayanan, penelitian, dan aktivitas di organisasi profesi
kedokteran merupakan suatu bentuk perbuatan yang sangat tidak etis, tidak profesional,
dan merusak nilai luhur profesi kedokteran. Oleh karena itu, terjadinya perundungan di
lingkup profesi kedokteran tidak dapat ditoleransi sama sekali.
3. Setiap dokter di Indonesia tidak boleh melakukan tindak perundungan dalam bentuk
apapun terhadap sejawat dokter, tenaga kesehatan, peserta didik, rekan kerja, sesama
pengurus organisasi profesi kedokteran, pasien, keluarga/wali pasien, dan masyarakat pada
umumnya.
4. Tindakan yang dapat dikategorikan perundungan meliputi:
2
a) Ucapan, bahasa tubuh, dan tindakan yang bersifat derogatif (menghina dan/atau
merugikan orang lain), memaksa, menyakiti, atau mengintimidasi.
b) Unggahan di media massa, media sosial, dan media lainnya yang bersifat derogatif,
memaksa, menyakiti, atau mengintimidasi.
c) Pemaksaan untuk melakukan pekerjaan yang tidak termasuk dalam tugas sesuai
ketentuan dalam lingkungan profesi kedokteran meliputi institusi pendidikan,
pelayanan, dan penelitian kedokteran.
d) Pemaksaan kepada orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi
kepentingan pribadi selaku perudungan yang tidak sesuai dengan norma etik
kedokteran.
e) Penugasan paksa di luar waktu kerja atau belajar yang ditetapkan sesuai ketentuan
dalam institusi pendidikan, pelayanan, dan penelitian kedokteran.
5. Upaya mencegah dan/atau meluruskan dokter yang melakukan perundungan tersebut
merupakan upaya yang bernilai etika profesi yang tinggi. Sebagai langkah pertama dari
upaya ini, diharapkan siapapun yang merasa mengalami perundungan terhadap dirinya
dan/atau yang menyaksikan suatu tindak perundungan yang dilakukan khususnya oleh
dokter pada lingkungan profesi kedokteran untuk menegur dokter tersebut dengan cara
yang baik dan tidak dilakukan di hadapan pasien/keluarga pasien, media massa/media
sosial yang bersifat publik, dan masyarakat.
6. Apabila perilaku dokter tersebut tidak berubah dan minta maaf terkait perilaku
perundungan yang sedang/telah dilakukan setelah ditegur sebagaimana dijelaskan pada
butir 5, maka perbuatan perundungan tersebut harus dilaporkan kepada otoritas lingkungan
kedokteran terkait, antara lain kepada MKEK IDI.
7. Upaya mencegah, melaporkan, dan melawan tindak perundungan di lingkungan profesi
kedokteran meliputi pendidikan, penelitian, dan pelayanan kedokteran memiliki nilai etika
profesi yang tinggi dan harus sungguh-sungguh dikerjakan di seluruh lingkungan profesi
kedokteran dan institusi terkait profesi kedokteran meliputi pendidikan, pelayanan, dan
penelitian.
8. Upaya perlindungan korban dan saksi perundungan untuk mengungkapkan hal yang
terjadi, memiliki nilai etik profesi yang tinggi. Upaya ini harus dilakukan secara konsisten
meliputi sebelum, selama, dan setelah proses pengungkapan perundungan agar tidak
3
berakibat munculnya masalah bagi korban dan saksi tersebut dalam pendidikan, karir, dan
hal lainnya di kemudian hari.
9. Upaya mencegah, melaporkan, dan melawan tindak perundungan di lingkungan profesi
kedokteran sebagaimana dijelaskan butir 7 dan upaya perlindungan korban dan saksi
perundungan sebagaimana butir 8, disarankan untuk dijabarkan dalam suatu prosedur baku
di setiap lingkungan pendidikan, penelitian, dan pelayanan kedokteran.
10. Pengurus Ikatan Dokter Indonesia, MKEK IDI, seluruh Perhimpunan dan Keseminatan,
serta Dewan Etik Perhimpunan, harus melakukan langkah-langkah pencegahan
perundungan dan menyiapkan prosedur pengelolaan kasus perundungan dengan sebaik-
baiknya.
4
BAB II
PERUNDUNGAN PADA PESERTA DIDIK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
SPESIALIS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI INDONESIA
1. Definisi Perundungan
Perundungan adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan berulang, ditujukan pada
satu atau lebih korban, secara sepihak, disengaja atau tidak disengaja dalam bentuk verbal,
non-verbal, fisik maupun sosial, dan tidak diinginkan oleh korbannya. Perundungan dapat
melibatkan perorangan maupun kelompok. Perundungan dapat hadir dalam bentuk eksploitasi,
utilisasi, penggunaan kekerasan, ancaman, paksaan atau intimidasi. Perudungan akan
menimbulkan rasa tereksploitasi, ketersinggungan, kesusahan dan dapat menyebabkan
lingkungan kerja yang tidak menyenangkan.
2. Jenis-Jenis Perundungan
Beberapa jenis perundungan yang sering dilaporkan pada program pendidikan dokter
spesialis Obstetri dan Ginekologi Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Perundungan emosional
Perundungan emosional terjadi ketika seseorang memanfaatkan pengaruhnya terhadap
orang lain dengan tujuan untuk mengendalikan, memanfaatkan, menakut-nakuti,
meremehkan, mengkritik dan menyalahkan. Perundungan emosional dapat terjadi dalam
bentuk verbal dan/atau perilaku. Perundungan emosional dapat dilakukan secara
perorangan, namun dapat pula dilakukan secara sistematis kelompok. Perundungan
emosional dapat terjadi dalam bentuk tunggal, namun dapat pula terjadi bersamaan dengan
jenis perudungan yang lain.
Perundungan emosional pada awalnya hanya tampil dalam bentuk sederhana dan
ringan, namun dengan berjalannya waktu, jika dilakukan pembiaran, maka perundungan
emosional dapat terekskalasi kedalam bentuk perundungan yang lebih berat dan bahkan
dapat tercampur dengan perundungan fisik. Beberapa contoh perundungan emosional yang
pernah dilaporkan selama pendidikan dokter spesialis adalah
5
diminta untuk menyelesaikan tugas ilmiah senior, membayari makan malam senior,
diminta membantu kegiatan lain yang tidak termasuk ke dalam tugas pendidikan.
B. Perundungan fisik
Walaupun perundungan emosional merupakan tipe perundungan yang lebih sering
terjadi pada dunia pendidikan dokter spesialis, namun beberapa kali pernah pula dilaporkan
adanya perundungan fisik. Beberapa contoh perundungan fisik antara lain seperti:
memukul, menendang, mengunci seseorang di dalam ruang tertutup, dan merusak barang
milik orang lain.
C. Pelecehan seksual
Para peserta pendidikan dokter spesialis merupakan kelompok yang rentan mengalami
pelecehan seksual. Jenis pekerjaan yang penuh dengan tekanan emosional, jam kerja yang
panjang, waktu istirahat yang terbatas, merupakan beberapa faktor yang berpotensi
meningkatkan risiko terjadinya pelecehan seksual. Bentuk pelecehan seksual yang paling
sering terjadi adalah lelucon dan komentar yang berkonotasi seksual. Selain itu jenis
pelecehan seksual lain yang pernah dilaporkan adalah mengambil gambar organ seksual,
meraba, mencium dan memerkosa.
6
percaya diri dari korban perundungan serta pengulangan praktek perundungan yang berlanjut
terus menerus pada peserta pendidikan kedokteran spesialis yang berikutnya.
Kejadian perundungan pada pendidikan kedokteran spesialis dapat pula berdampak negatif
kepada keselamatan pasien. Peningkatan kejadian kesalahan medis dapat disebabkan oleh
adanya kesenjangan komunikasi dari tim dokter jaga. Kejadian perundungan dapat
mengganggu kemampuan komunikasi efektif dari para dokter sehingga perundungan atau
bullying dapat dikatakan sebagai the silent killer bagi pasien di rumah sakit.
A. Faktor hierarki
Hierarki, atau dikenal pula sebagai kekuasaan bertingkat sering dianggap sebagai salah satu
faktor yang memicu terjadinya perundungan dan intimidasi pada pendidikan spesialisasi
kedokteran. Terdapat 3 jenis hierarki, yaitu hierarki kewenangan, hierarki kendali dan hierarki
kebutuhan. Struktur organisasi rumah sakit serta budaya pendidikan kedokteran yang bersifat
sangat hierarkis, sangat memengaruhi sikap, tata nilai dan perilaku dokter atau perawat dalam
melakukan interaksi “senior” dan “junior”, dimana seringkali “junior” adalah korban yang
sangat potensial untuk kejadian perundungan dalam pendidikan kedokteran.
Adapun karakteristik populasi yang rentan terhadap perundungan menurut Penelitian Dr.
dr. Em Yunir, Sp.PD-KEMD, dengan penelitian observasional deskriptif dan desain penelitian
cross-sectional pada bulan Agustus tahun 2018, bulan Agustus tahun 2019 dan bulan Februari
tahun 2020. Sampel merupakan peserta lepas sambut Spesialis-1 (Sp-1) Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, yaitu korban memiliki riwayat perundungan sebelumnya dan memiliki
keterbatasan finansial.
B. Budaya “diam”
Meskipun struktur hierarki merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya
perundungan dalam pendidikan kedokteran, terdapat budaya lain yang sering dijumpai pada
lingkungan kerja para dokter dan perawat, yaitu budaya “diam” akibat tidak mampu
berkomunikasi secara efektif yang menjadi faktor lainnya dalam keberlangsungan
perundungan. Di dalam praktik kerja sehari- hari di rumah sakit, para dokter dan/atau perawat
7
seringkali menyaksikan hal yang tidak sesuai dengan standar praktik baik dan benar yang
dilakukan oleh sebagian kecil dokter atau perawat. Namun hal ini tidak pernah didiskusikan
secara efektif terkait upaya pencegahan perundungan agar kejadian ini tidak berulang di
kemudian hari. Hanya sedikit orang yang mampu menyampaikan hal ini dengan teman sejawat
ataupun seniornya, namun sebagian besar dokter atau perawat lebih memilih bersikap “diam”
dan tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perundungan secara terbuka dan
mendalam.
Pendek kata, jika terjadi peristiwa perundungan, maka akan sulit untuk melihat fenomena
perundungan yang terjadi oleh karena para korban perundungan akan lebih memilih untuk
diam alih-alih mengutarakan atau melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang dalam
upaya memotong mata rantai perundungan.
D. Rasa takut
Timbulnya rasa takut mengalami pembalasan atau serangan balik dan lemahnya daya
dukung institusi pendidikan dalam melindungi korban perundungan, membuat para korban
perundungan enggan untuk melaporkan kejadian perundungan kepada suprasistem pendidikan
yang ada. Dilansir dari beberapa kasus yang terjadi, peserta didik tidak melaporkan kejadian
perundungan yang dialaminya karena takut hal ini akan berdampak negatif kepada dirinya serta
pendidikannya. Sekitar 80% residen yang mengalami perundungan, merasa takut untuk
mengeluh dan seringkali mereka bersikap pesimis pada kebijakan dan proses pelaporan yang
adil serta bersifat melindungi pelapor kejadian perundungan.
8
E. Penerimaan atau penolakan
Secara turun temurun, nilai budaya di dalam dunia kedokteran erat terhadap nilai budaya
“dominasi profesional”. Banyak dokter atau peserta didik telah menerima bahwa budaya
“dominasi profesional” merupakan budaya yang melekat pada dunia pendidikan kedokteran.
Kejadian intimidasi atau perundungan akan dianggap menjadi suatu kesatuan dari proses
pendidikan mereka. Para korban perundungan menjadi tidak peka dan tanggap bahwa tindakan
yang mengusik dan tidak pantas sesungguhnya merupakan tindakan penyalahgunaan atau
abuse.
9
6. Melakukan pengawasan terhadap implementasi nilai-nilai budaya, etik dan perilaku dalam
lingkungan program pendidikan kedokteran.
7. Mendukung tenaga pendidik untuk senantiasa mengamalkan pola pikir dan perilaku
teladan/panutan sesuai dengan norma-norma agama, budaya, hukum, kesusilaan dan
kesopanan.
8. Membuat tata cara pelaporan kejadian perundungan di dalam pendidikan kedokteran.
9. Membuat sistem pelaporan (anonim), serta pembentukkan komite yang mampu meninjau
sebuah pengaduan perundungan yang bersifat melindungi korban dan/atau pelapor. Komite
harus menetapkan nilai-nilai baik yang dianut oleh organisasi pendidikan kedokteran dan
hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap nilai-nilai baik tersebut.
10. Menciptakan sistem umpan balik yang terstandar, akurat, anonim dan berkala, sebagai
bentuk evaluasi dari program pendidikan kedokteran yang sedang berjalan.
11. Menciptakan budaya pendidikan kedokteran yang berfokus kepada keselamatan pasien,
berbasis pada pendekatan tim (teamwork), dan mengedepankan kebijakan tanpa toleransi
terhadap tindak perundungan.
12. Menciptakan sistem pendukung dan pendamping bagi para peserta didik. Membina
hubungan interpersonal yang baik (komunikasi verbal, komunikasi non-verbal, empati,
mendengarkan, problem solving, kerja sama, negosiasi, sabar, saling menghargai)
13. Upaya rehabilitasi bagi peserta didik yang menjadi korban perundungan.
10
Tabel 1. Peran Elemen Pendidikan dalam Upaya Pencegahan Perundungan
11
perundungan di
dalam pendidikan
kedokteran.
Membuat sistem
pelaporan
(anonim), serta
pembentukkan
komite yang
mampu meninjau
sebuah
pengaduan
perundungan
yang bersifat
melindungi
korban dan/atau
pelapor
Menciptakan
sistem umpan
balik yang
terstandar,
akurat, anonim
dan berkala,
sebagai bentuk
evaluasi dari
program
pendidikan
kedokteran yang
sedang berjalan.
Menciptakan
budaya
pendidikan
kedokteran yang
berfokus kepada
keselamatan
12
pasien, berbasis
pada pendekatan
tim (teamwork),
dan
mengedepankan
kebijakan tanpa
toleransi terhadap
tindak
perundungan.
Menciptakan
sistem
pendukung dan
pendamping bagi
para peserta
didik.
Upaya
rehabilitasi bagi
peserta didik
yang menjadi
korban
perundungan.
13
H. Alur Pelaporan Dugaan Tindak Perundungan
Pelapor/Korban
1
2 2
5
KPS/SPS Kadep
3
Tim
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Surat Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia, Nomor:
044/PB/K.MKEK/03/2022. Fatwa Etik Kedokteran Tentang Perundungan Pada
Lingkungan Profesi Kedokteran.
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2012
3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
4. Nagata-Kobayashi S, Maeno T, Yoshizu M, Shimbo T. Universal problems during
residency: Abuse and harassment. Med Edu 2009;43(7):628-636.
5. Leisy BH, Ahmad M. Altering Workplace Attitudes for Resident Education (A.W.A.R.E):
Discovering Solutions for Medical Resident Bullying Through Literature Review. BMC
Med Edu 2016, 16:27. DOI 10.1186/s12909-016-0639-8.
6. Averbuch T, Eliya Y, Van Spall HGC. Systematic Review of Academic Bullying in
Medical Setting: Dynamics and Consequences. BMJ Open 2021;11:e043256.
DOI:10.1136/bmjopen-2020-043256.
7. Ayyala MS, Rios R, Wright SM. Perceived Bullying Among Internal Medicine Residents.
JAMA 2019;322(6):576-578.
8. Arnold LF, Zargham SR, Gordon CE, et al. Sexual harassment during recidency training:
a cross-sectional analysis. The American Surgeon 2020; 86:65-86.
16
LAMPIRAN 1.
Form Whistleblower
17
18
19
20
LAMPIRAN 2.
Form Evaluasi Perundungan
21
22
23
24
Lampiran 3.
Form 360 derajat
25