Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Teologi Di Tengah Dunia

Yang Sedang Gamang

Dunia ini terus mengalami perubahan. Umat manusia dituntut agar mampu beradapsi dengan
perubahan tersebut. Dalam perubahan itu merupakan bagian dari rancangan Allah untuk umat
manusia. Kehidupan itu tidak boleh stagnan tetapi dinamis, Alkitab menegaskan hal itu dalam
Kejadian 1:27-28. Kemajuan teknologi turut memengaruhi pendidikan teologi dari waktu ke
waktu hingga era digital saat ini. Pada saat yang sama umat Tuhan hidup di tengah dunia
mengalami disruption akibat tekanan dan tatanan yang berubah, kedamaian menjadi barang
mewah, syalom yang diharapkan tercabik-cabik akibat kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian
3).
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia.
Kemajuan telah membawa umat manusia di bumi menjadi raja atas segala ciptaan Tuhan.
Alkitab katakan “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi” (Kejadian 1:28). Ayat ini telah dipahami secara bebas tanpa batas; manusia
merasa memiliki kekuasaan yang besar di bumi, akibatnya bumi menjadi menderita, alam
menangis karena bumi menjadi objek eksploitasi kemajuan ilmu pengetahuan. Hasrat menguasai
menjadi tidak terbendung. Keserakahan menjadi gaya hidup dan ketidakpedulian terhadap
sesama dan lingkungan seakan suatu hal lumrah dan ditolerir. Sekalipun tidak bisa dipungkiri
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa pengharapan baru bagi manusia, namun
dibalik itu juga manusia telah menjadi binatang buas bagi alam lingkungannya dan bagi
sesamanya. Tindakan manusia telah membawa banyak persoalan dalam kehidupannya, termasuk
masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi dan ekologi di mana di dalamnya tercakup
tindakan manusia terhadap lingkungan alam, manusia menjadi pemeran utama dari keseluruhan
aktifitas kehidupan tersebut. Akibat dari semua itu juga memberi dampak bagi refleksi teologis
dan proses pendidikan teologi sepanjang zaman.
Di masa pandemic ini hampir semua orang mengalami kegalauan dan kegamangan dalam
hidup. sementara di tengah kegamangan itu, perkembangan digital tidak terbendung. Kehidupan
umat manusia saat lebih banyak dikendalikan oleh teknologi digital. Ibadah dilakukan secara
online, di tengah pandemic solusi dihadirkan ketika semua berbatas, digital memberikan solusi
mengatasi keadaan terbatas tersebut. Seiring dengan solusi yang ada, maka muncul berbagai
pertanyaan dan kajian teologis dalam upaya bagaimana memaknai komitmen hidup bergereja,
kehidupan persekutuan, formasi spiritualitas, sakramen perjamuan kudus dan beragam hal yang
merujuk kepada konteks budaya digital.
Darell Bock, pakar Perjanjian Baru, dalam buku Virtual Reality Church menulis tentang
peran pendidikan teologi di STT dan pembinaan jemaat merupakan hal lain yang tidak kalah
pentingnya untuk memandu perubahan yang terjadi. Apa yang bisa menjadi jangkar bagi
kehidupan iman dan pendidikan teologi di tengah perubahan yang sedemikian masif saat
ini? Jangkar yang kokoh di tengah perubahan terletak di dalam diri Allah yang tidak berubah.
Benhard Ott pakar pendidikan teologi, menulis dalam bukunya Understanding and Developing
Theological Education, mengatakan bahwa esensi pendidikan teologi adalah pendidikan yang
berpusat pada Allah, Firman Allah, dan misi Allah.

1. Pendidikan yang berpusat pada pengenalan akan Allah Pendidikan teologi memiliki jangkar
yang kokoh di tengah perubahan bila setia berfokus pada pendidikan untuk pengenalan akan
Allah yang benar, yang sudah menyatakan diri-Nya dalam sejarah, seperti yang
terdokumentasikan dalam catatan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Allah yang juga terus
menyatakan diri di dalam sejarah umat-Nya hingga saat ini. Pengenalan yg dimaksud adalah
pengenalan yang relasional dengan Allah sebagai subyek (I-Thou), bukan sekadar pengetahuan
dengan Allah sebagai obyek kajian semata (I-It). Pengenalan relasional melalui pendidikan
teologi seharusnya membawa hidup kita menyatu dengan kehendak-Nya, sukacita-Nya,
keprihatinan-Nya, dan menghasilkan hidup yang berbuah lebat. “Akulah pokok anggur dan
kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah
banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:5) Di tengah perubahan
drastis yang sedang terjadi, tantangan saat ini adalah bagaimana pendidikan teologi berinkarnasi
ke dalam budaya digital untuk menolong mahasiswa STT maupun jemat di gereja
dan parachurch untuk mengalami perjumpaan dengan Allah, tumbuh dalam pengenalan akan
Allah, dan mengalami hidup yang ditransformasi oleh pengenalan tersebut untuk dapat
mentransformasi kehidupan di sekitarnya.

2. Pendidikan yang berpusat pada Firman Allah Tantangan di tengah dunia yang makin
terkoneksi secara global saat ini adalah kehidupan bermasyarakat yang majemuk dalam hal etika,
budaya maupun keyakinan iman. Ketika berusaha menjadi relevan dan toleran, tanpa fondasi dan
pemahaman yang baik sangat mudah kita tergelincir ke dalam sikap kompromi dan kehilangan
jati diri. Oleh karena itu pendidikan teologi yang berpusat pada Firman Allah sangat penting
untuk meletakkan fondasi iman yang kokoh dalam diri para pemimpin Kristen di tengah gereja
dan masyarakat. Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk mempelajari Kitab Suci secara
utuh dan mendalam, untuk dapat ditarik relevansinya ke dalam kehidupan masa kini, perlu
mendapat prioritas dalam pendidikan teologi.
Bagi mereka yang belajar teologi tentu memiliki persoalan tersendiri, karena menuntut
ketaatan dalam merefleksikan kebenaran Firman Tuhan. Setiap orang yang belajar teologi
menjadi hal penting agar Kitab Suci tidak hanya dijadikan sebagai objek kajian penelitian ilmiah,
bahan khotbah, namun Firman Tuhan harus mentransformasi wawasan bersifat openminded yang
diwujudkan dalam sikap hidup keseharian. Paradigma yang rusak karena dosa (total depravity)
menuntut perubahan, ada komitmen untuk mempersembahkan hidup bagi kemuliaan Tuhan
(Roma 12:1-2). Untuk mencapai hal dimaksud, dibutuhkan satu disiplin ketat, keseriusan
mengikuti proses pembentukan melalui pembelajaran dalam pendidikan teologi sekaligus
menjadikan diri sebagai objek transformasi oleh kebenaran Firman Tuhan. Firman Tuhan dalam
2 Timotius katakana, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang
dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada
Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran.” (2 Tim 3:15-16).

3. Pendidikan yang berpusat pada misi Allah Pendidikan teologi tidak dimaksudkan untuk
melatih kelompok elit yang akan tinggal di menara gading untuk memperdebatkan hal-hal yang
tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Juga bukan dimaksudkan untuk membentuk
kelompok elite keagamaan. Pendidikan teologi terutama bertujuan mempersiapkan para calon
hamba Tuhan yang siap bermisi, memimpin gereja, mendidik jemaat untuk mengenal Tuhan
secara benar, memilki hati seorang hamba melayani tanpa batas tempat dan memberi hidup
sebagai perpanjangan tangan Tuhan membawa keselamatan Allah bagi dunia yang rusak ini.
John Stott dan Billy Graham menegaskan tugas seorang hamba Tuhan: the whole gospel, to the
whole world, by the whole church (seluruh Injil, untuk seluruh dunia oleh semua gereja). Dengan
demikian, pendidikan teologi mempersiapkan setiap orang untuk memperlengkapi umat Allah
untuk membawa berita Injil ke seluruh penjuru bumi. Gereja sebagai basis dalam
memperlengkapi umat Allah untuk tugas dimaksud. Adalah sebuah tantangan bagi sekolah tinggi
teologi adalah agar tidak terjebak dalam pandangan sempit yang memandang para sarjana teologi
Kristen hanya untuk kebutuhan internal gereja. Sekolah teologi perlu memperlengkapi para
pemimpin dan calon pemimpin kristen di tengah gereja dan masyarakat, agar umat Allah dapat
memenuhi panggilannya sebagai garam dan terang di tengah dunia (Mat 5:13-16). Bukan garam
yang terkumpul di toples dan bukan terang yang tersembunyi di bawah gantang, melainkan
kehadiran yang transformatif, menghadirkan rasa Kerajaan Allah yang menghadirkan kehidupan
berkelimpahan, keadilan, kebenaran, kasih, dan sukacita di tengah segala bentuk kegamangan yg
terjadi di dunia yang jatuh dalam dosa. Di tengah perubahan situasi sedemikian drastis yang
sedang terjadi, pendidikan teologi perlu menghasilkan para pemimpin Kristen seperti Daniel dan
kawan-kawannya di Babel yang bisa melihat kedaulatan Allah di tengah konteks yang sangat
berbeda dan bahkan terus berubah, dan memiliki komitmen tanpa kompromi hanya kepada Allah
dan pengabdian tanpa pamrih kepada sesama di mana pun mereka ditempatkan untuk menjadi
berkat.

Selatieli Sihura, D.Th


Ketua Sekolah Tinggi Teologi Harapan Indah
Dosen Bidang Biblika & Etika Kristen

Anda mungkin juga menyukai