Anda di halaman 1dari 23

Resume Buku Apakah Alkitab Benar: Memahami Kebenaran Alkitab pada Masa Kini

Y. A. Theresia (214242014)

A. Konteks Buku

Buku ”Apakah Alkitab Benar: Memahami Kebenaran Alkitab pada Masa Kini” ditulis
khusus untuk orang yang baru memulai literasi tentang kekristenan atau yang belum memiliki
latarbelakang secara khusus tentang teologia. Buku ini memperkenalkan cara membaca dan
memahami Alkitab yang telah dilakukan oleh para sarjana Alkitab tetapi jarang
diperkenalkan kepada orang awam. Sebelum kita menjawab apakah Alkitab itu benar, sudah
barang pasti kita akan dihadapkan pada pertanyaan “Apakah kebenaran itu?” Pertanyaan
yang muncul lagi adalah apakah kebenaran itu sama dengan kenyataan. Masyarakat saat ini
berpikir bahwa sesuatu itu tidak benar jika tidak sesuai dengan fakta, tetapi apakah para
penulis Alkitab juga berpikir demikian? Penafsiran yang berbeda dari Alkitab menyebabkan
banyak konflik karena setiap orang mengklaim kebenarannya sendiri. Untuk dapat
menafsirkan Alkitab dengan benar, tentunya kita harus mengetahui maksud dan pemikiran
para penulisnya ketika menulis buku-buku tersebut, bukan memasukkan pemikiran modern
kita ke dalam Alkitab.

Umumnya buku ini terbagi menjadi 3 bagian. Bagian 1 mencoba menjawab


pertanyaan tentang bagaimana membaca Alkitab. Mempelajari Alkitab akan mengarah pada
pendekatan baru untuk memahami Alkitab sebagai lawan dari membacanya secara harfiah.
Bagian 2 akan menjawab tentang asal usul Alkitab yang berkaitan dengan penulisnya hingga
bagaimana tulisan-tulisan itu dikumpulkan ke dalam Alkitab yang kita kenal selama ini.
Bagian 3 berusaha menemukan cara pembacaan Alkitab yang bermakna bagi kehidupan kita
saat kita dihadapkan pada kehidupan gereja modern dan bagaimana Alkitab dapat membantu
kita mengatasi masalah pelik di zaman teknologi ini. Tujuan pertama buku ini adalah untuk
memberitahu kepada pembaca hal-hal yang dikembangkan oleh para ahli untuk memahami
maksud penulis Alkitab. Memahami bagaimana pemikiran para penulis Alkitab akan
membawa pembaca pada interpretasi Alkitab yang dipandang secara holistik serta
komprehensif dan memungkinkan Firman Tuhan untuk didengar lebih jelas lagi. Tujuan dari
kedua buku ini adalah untuk membantu orang Kristen dalam hal bersaksi bagi Kristus dalam
masyarakat modern. Bagaimana membaca Alkitab akan mempengaruhi kehidupan rohani
kita sehari-hari, misalnya tentang masalah gay, aborsi, seks pranikah, perceraian, teori evolusi
dan lain-lain. Beberapa orang berasumsi bahwa setiap peristiwa yang diceritakan dalam
Alkitab terjadi persis seperti yang tertulis, dan jika tidak, Alkitab tidak akan mengandung
kebenaran apa pun. Di sisi lain, Alkitab tetaplah Firman Tuhan meskipun peristiwa-peristiwa
di dalamnya tidak ditulis secara akurat secara historis.

B. Isi buku
a. Sinterklas yang Asli Harap Berdiri!
Di dunia ini khususnya di kebudayaan barat, ada banyak anak tumbuh dengan
keyakinan bahwa ketika Natal tiba, mereka bisa meminta apa saja kepada
Sinterklas. Keyakinan tersebut diyakini hingga akhirnya ia bisa mengira
bahwa hadiah yang diterimanya bukan dari Santa Claus melainkan dari orang-
orang terdekatnya, entah itu orang tua maupun saudara-saudaranya. Meski
sebagai orang dewasa ia menyadari bahwa keyakinannya sebagai seorang anak
salah, ia masih mengingat saat-saat sederhana itu. Demikian pula kepercayaan
yang diajarkan sejak kecil bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan yang
diturunkan kepada manusia sebagai pedoman cara hidup dan makna hidup.
Alkitab dianggap dapat memberikan jawaban secara langsung atau melalui
prinsip-prinsip dasar yang dapat diterapkan untuk mengatasi semua masalah
yang dihadapi manusia. Alkitab adalah pegangan manusia di kala sulit, karena
Alkitab menawarkan rasa aman. Alkitab dianggap penulis sebagai Firman
yang utuh yang datang langsung dari Tuhan, sehingga tidak ada kesalahan di
dalamnya. Tentunya yang perlu digarisbawahi dan disadari adalah bahwa
bukan berarti tidak ada kesalahan penyalinan yang muncul akibat peralihan
bahasa teksnya tetapi hendaknya penulis dan pembaca sekalian tetap meyakini
bahwa hal itu telah diatasi, Firman Allah ini murni dan sejati walaupun
memang teks asli saja yang sepenuhnya sempurna. 66 Kitab dalam Alkitab
membentuk jalinan cerita yang sempurna, saling melengkapi satu sama
lainnya. Dalam bab ini, penulis menyadari adanya perbedaan penyampaian
injil terkait kisah hidup Yesus. Perbedaan cara Injil menceritakan peristiwa
kehidupan Yesus dianggap perbedaan antara masing-masing penulis dalam
merinci laporan mereka seperti dua orang naik bus yang sama dan
menceritakan apa yang mereka lihat melalui jendela saling berhadapan.
Dalam studi Alkitab yang mendalam, ketika dihadapkan pada perbedaan
mencolok yang disampaikan oleh Kitab Markus dan Yohanes tentang
perjalanan Yesus seperti yang diajarkan-Nya, teori “dua orang yang menaiki
bus yang sama tetapi memandang ke luar jendela yang saling berhadapan
lain” tidak dapat menjelaskan perbedaan ini. Krisis iman yang dihasilkan dari
studi mendalam ini begitu parah sehingga pertanyaan tentang kebenaran
Alkitab muncul.

b. Perbedaan-perbedaannya Memang Sungguh Nyata


Orang yang membaca Alkitab ada banyak sekali, jutaan, dan mereka percaya
injil itu seperti pakaian tanpa jahitan, yang menggambarkan Injil saling
melengkapi sehingga mereka dapat memiliki kehidupan Yesus yang utuh
ketika semua Injil disatukan. Pandangan yang seperti ini tidak akan
ditemukan pada individu atau kelompok yang percaya bahwa Alkitab terdiri
dari bagian-bagian dan Alkitab menceritakan kisah yang berbeda sehingga
tidak mungkin untuk menyatukannya. Pembaca harus dengan cermat mengerti
pengarang-pengarang Injil pun memberi pertimbangan akan adanya perbedaan
dari cerita yang mereka sampaikan. Contoh pertama ditemukan di awal karya

2
Yesus seperti yang diceritakan dalam Injil Markus dan Injil Yohanes. Injil
Markus menyatakan bahwa ia memasuki padang gurun segera setelah Yesus
dibaptis oleh Yohanes dan tinggal di sana selama 40 hari dan berjuang
sendirian melawan godaan Setan. Pelayanan Yesus dan pemanggilan murid-
murid-Nya yang pertama terjadi setelah jangka waktu 40 hari. Injil Yohanes
menceritakan kisah yang sama sekali berbeda, dimana Yohanes dibaptis oleh
Yohanes, keesokan harinya ia memanggil Andreas dan Yohanes menjadi
murid Yohanes, dan Andreas kemudian memanggil Simon. Sehari setelah
peristiwa itu, Yesus dan murid-murid-Nya menghadiri pernikahan di Kana di
mana Dia melakukan mukjizat pertama mengubah air menjadi anggur.
Sementara Injil Yohanes menceritakan tentang Yesus memanggil murid-
muridnya dan kemudian menghadiri pernikahan di Kana, Injil Markus
memberitahu kita bahwa dia sendirian di padang gurun selama 40 hari.
Perbedaan lain juga timbul berkaitan dengan waktu dimulainya perjalanan
Yesus. Injil Markus 1:14 mengatakan bahwa Yesus datang ke Galilea untuk
mulai memberitakan Injil setelah Yohanes Pembaptis ditangkap. Di sana
Yesus memanggil murid-muridnya Andreas, Simon, Yakobus dan Yohanes.
Dari apa yang disebutkan dalam Injil Yohanes 3: 22-26, bahwa Yesus dan
murid-muridnya melayani dan dibaptis di Yudea pada saat yang sama ketika
Yohanes membaptis di Aenon, yang dengan jelas menyatakan bahwa Yesus
mulai melayani sebelum Yohanes ditangkap. Cerita lain tentang murka Yesus
di Bait Allah diceritakan dalam Injil Yohanes pada awal pelayanan Yesus,
tetapi Injil Markus menulis bahwa itu terjadi enam minggu sebelum Paskah,
beberapa hari sebelum penyaliban-Nya. . Injil Markus juga menceritakan
kepada kita bahwa Yesus pergi ke Yerusalem hanya sekali, yaitu Paskah orang
Yahudi di akhir kisah hidupnya. Injil Yohanes mengatakan bahwa Yesus
mengunjungi Yerusalem tiga kali untuk merayakan Paskah Yahudi. Selain itu
masih banyak cerita lain yang sama sekali berbeda dengan Injil Markus dan
Injil Yohanes. Banyak yang berpikir bahwa perbedaan ini disebabkan oleh
orang-orang yang menulis Injil mengingat hal-hal yang berbeda dari peristiwa
yang sama. Namun, alasan ini tidak dapat menjawab perbedaan karena tidak
hanya perbedaan antara aspek peristiwa yang berbeda tetapi peristiwa yang
terjadi juga sangat berbeda. Jika kisah-kisah yang tertulis dalam Alkitab
dipetakan secara rinci berdasarkan kronologi waktu dan tempat kejadiannya,
kita tidak akan menemukan dua kisah tentang perjalanan yang sama melainkan
dua perjalanan yang ditempuh dengan arah yang berbeda. Jadi dapat
dikatakan bahwa Alkitab bukanlah catatan faktual tentang cara hidup Yesus.
Lantas apakah hal ini disebabkan oleh ingatan buruk? Muncul berbagai respon
terhadap kesaksian-kesaksian yang saling bertentangan di antara Injil-injil ini
adalah bahwa mereka ditulis beberapa tahun setelah peristiwa-peristiwa itu
dengan mengumpulkan kisah-kisah tentang Yesus dalam ingatan mereka dan
dari kisah-kisah orang lain dan kemudian menyatukannya sebaik mungkin.
Ada juga orang yang mengutip ketidaktahuan Yohanes tentang 40 hari di
padang gurun dan melupakan saat Yesus menghancurkan Bait Suci. Tetapi

3
tanggapan seperti itu mematahkan prinsip bahwa Alkitab diilhami oleh Allah
dan tidak dapat dihapuskan. Perbedaan-perbedaan ini mulai menimbulkan
pertanyaan tentang makna bahwa Injil diilhami oleh Roh Allah.

c. Arak-arakan di Hari Natal


Sementara Injil berbeda satu sama lain, masing-masing buku disusun secara
keseluruhan dan memiliki pesan yang konsisten. Koherensi batin dari setiap
Injil ini menunjukkan bahwa itu bukan kumpulan ingatan acak, tetapi sebuah
cerita dengan tujuan tertentu. Tujuan dari setiap Injil tidak terletak pada
biografi atau sejarah hidup Yesus tetapi berusaha untuk menyajikan aspek
unik dari Kristus. Yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang bukanlah
fakta sejarah tentang kisah kelahiran, kehidupan, kematian, atau
kebangkitannya, melainkan fakta yang melampaui sejarah. Untuk memahami
maksud penulis setiap Injil, kita harus memasuki dunia yang diciptakan oleh
setiap penulis dan menemukan pesan yang disampaikannya. Hal pertama yang
harus ditanyakan tentang Natal adalah kisah kelahiran Yesus yang tidak
tercatat dalam Injil Markus dan Injil Yohanes tetapi diceritakan dalam Injil
Matius dan Injil Lukas dengan cerita lain. Injil Matius tidak mengatakan
sesuatu tentang sensus penduduk, kawanan domba, pedagang, malaikat atau
orang bijak tetapi menekankan bahwa keluarga Yusuf dan Maria tinggal di
Betlehem yang dikenal sebagai Kota Daud dan keturunan dari Daud. Cerita
berlanjut dengan kisah orang Majus dari Timur yang melihat bintang besar
kemudian mengikutinya dan mendapati Yesus serta memberinya emas,
kemenyan, dan mur. Herodes yang mendengar ini menjadi ketakutan dan
memerintahkan anak laki-laki untuk membunuh bayi di bawah 2 tahun.
Khawatir akan bahaya ini, Yusuf pergi bersama keluarganya ke Mesir dan
kembali ke Palestina hanya untuk tinggal di Nazaret setelah kematian
Herodes. Injil Lukas tidak menceritakan tentang rumah di Betlehem, bintang
besar, orang majus, Herodes, atau pembuangan ke Mesir. Injil Lukas, yang
mencantumkan silsilah Yesus dengan cara yang berbeda dari Matius,
mengatakan bahwa keluarga Yusuf tinggal di Nazaret dan harus pergi ke
Betlehem untuk mendaftar sesuai dengan perintah kaisar. Injil Lukas juga
menceritakan tentang Yusuf dan Maria yang tidak ditampung, tentang
nyanyian tentara malaikat, tentang gembala yang mengunjungi Yesus di
palungan, dan tentang keluarga Yusuf yang kembali ke Nazaret 40 hari setelah
kelahiran Yesus. Bisa dimengerti bahwa kedua Injil ini tidak ditulis sebagai
satu Perjanjian Baru yang saling melengkapi secara sempurna, tetapi ditulis
untuk dibaca sebagai buku yang terpisah dengan pembaca yang berbeda dan
cerita yang berbeda untuk menggambarkan makna Kristus. Injil bukanlah
catatan biografi atau sejarah Yesus, tetapi dokumen teologis, atau sejarah atau
catatan peristiwa, tetapi pengakuan agama yang bertujuan untuk
mengungkapkan bahwa Yesus adalah Kristus dan makna hidupnya bagi kita
semua. Alkitab harus dibaca sebagai cerita yang memiliki pesan khusus untuk
audiens tertentu. Contohnya adalah Injil Matius yang ditulis sekitar tahun 80-

4
85 M dan secara khusus ditujukan kepada orang Yudea di Antiokhia, Syria.
Setelah jatuhnya negara Yudea pada tahun 70 M karena invasi Kekaisaran
Romawi, para pemimpin Yehuda, termasuk para pengikut Yesus, berusaha
memulihkan identitas Yahudi. Injil Matius ditulis untuk menjawab persoalan-
persoalan yang muncul di kalangan orang Yahudi dan mendesak mereka untuk
memisahkan diri dari sesama orang Kristen yang berasal dari bangsa asing dan
menjadi bagian dari komunitas eksklusif Yahudi. Bagi penulis Injil Matius,
hal utama adalah bahwa orang Kristen Yahudi menemukan Tuhan di gereja
yang terdiri dari orang Yahudi dan orang asing dan tidak memisahkan diri ke
dalam komunitas Yahudi yang eksklusif. Jadi penulis Injil Matius hanya
menulis singkat tentang Betlehem dan kemudian menceritakan tentang orang-
orang bijak yang mengikuti bintang besar dan Herodes yang ingin membunuh
bayi Yesus. Apakah bintang besar yang mengikuti orang bijak itu benar-benar
ada, apakah keajaiban itu benar-benar ada, tidak masalah bagi Matthew. Apa
yang Matius katakan adalah nubuat tentang Mesias yang dibujuk Bilem ketika
Raja Moab memanggilnya untuk mengutuk Israel. Dikatakan bahwa dewa-
dewa yang dianggap kafir karena mereka bukan keturunan Yahudi tahu di
mana Mesias dilahirkan, tetapi ahli-ahli Taurat di istana Herodes tidak dapat
melakukannya. Ketika bayi Yesus dibebaskan dari pembantaian yang
dilakukan oleh Herodes, kemudian Raja Yehuda, peristiwa di mana Musa
menyelamatkan anak dari pembunuhan Raja Mesir diingat. Bertentangan
dengan petualangan keturunan Israel dari tanah Mesir, Mesias yang baru lahir
melarikan diri dari Yudea ke tanah Mesir. Apa yang ingin disampaikan
Matius melalui pembalikan cerita Perjanjian Lama ini adalah penebusan bagi
orang-orang yang tidak percaya karena Tuhan ditemukan di tempat yang
asing, di negeri orang-orang kafir. Dengan jenis pembelajaran Alkitab ini kita
memiliki gambaran baru tentang Alkitab sebagai sumber yang sangat kaya
bagi kehidupan gereja meskipun fungsinya tampaknya berbeda dari apa yang
telah lama kita yakini.

2.4. Membersihkan Debu Alkitab

Banyak orang percaya yang menuntut adanya iman yang sederhana tanpa
menanyakan perbedaan yang muncul dalam Kitab-kitab Injil. Hal ini tentu bertentangan
dengan isi Alkitab yang menyarankan kita menggalinya dengan kesungguhan tanpa
mengabaikan kebenaran yang terkandung di dalam setiap kitabnya. Tentu saja hal ini tidak
mudah dilakukan apabila kita menggunakan kacamata kebudayaan abad ke-20 padahal Injil
ditulis untuk pembaca pada abad pertama. Oleh karena itu kita perlu membersihkan debu
tebal yang mengaburkan makna sesungguhnya dari Alkitab, yaitu tradisi dan pemikiran
cemerlang yang kita peroleh dari orang-orang Kristen sebelum kita. Tradisi gerejawi yang
berbeda-beda antar umat Kristiani dianggap oleh masing-masing kelompok bersumber dari
gagasan-gagasan di dalam Alkitab. Bisa dilihat bagaimana Gereja Advent Hari ke Tujuh
menganggap dirinya berdosa apabila melakukan pekerjaan setelah matahari terbenam pada
hari Jumat, Gereja Baptis menganggap dirinya berdosa apabila meminum segelas anggur, dan

5
tradisi-tradisi lainnya. Semua orang memang amat dipengaruhi oleh warisan kepercayaan
yang juga seringkali mewarnai ayat-ayat Alkitab tanpa kita menyadarinya.

Halangan kedua dalam mengartikan Alkitab adalah keadaan pembacanya antara lain
jenis kelamin, ras, posisi sosial, tingkat ekonomi, umur dan lain sebagainya yang
mempengaruhi cara kita menafsirkan Alkitab. Sebagai contoh adalah bagaimana Injil Lukas
menyampaikan “Berbahagialah orang yang miskin”, diartikan secara berbeda oleh para
pembacanya. Orang-orang yang berkecukupan melihatnya sebagai kiasan sedangkan orang
yang benar-benar miskin memaknainya secara harfiah. Oleh karenanya Injil Matius
mengubahnya menjadi “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah”, karena sasaran
pembacanya adalah orang-orang yang cukup berada sehingga kata miskin tidak cocok lagi
digunakan. Agar kita dapat membaca Alkitab dengan benar dan jernih, kita perlu
membebaskan pikiran kita dari tradisi yang membelenggu kita dan kemudian membuka diri
terhadap pemikiran dan tradisi yang berbeda dari yang selama ini kita yakini.

Halangan ketiga terletak pada pemahaman bahwa peradaban dimana pembaca


sekarang berada, sangat berbeda dengan peradaban dan tradisi sewaktu Kitab-kitab Injil
ditulis. Dari perbedaan peradaban ini, sangat memungkinkan maksud dari penulis juga
berbeda dari yang selama ini kita pikirkan. Karena itu, kita harus terus menelaah kesimpulan
kita tentang pemahaman Alkitab dan terus mengujinya tanpa merasa bahwa itulah yang
paling jelas dan paling konkret.

2.5. Tetapi, Benarkah Itu?

Telah disampaikan bahwa para pengarang Alkitab tidak selalu mencatat dengan benar
peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Sebagian besar orang menganggap sesuatu tidak
benar apabila tidak sungguh-sungguh terjadi, menyamakan kebenaran dengan kenyataan.
Penulisan Alkitab yang tidak selalu menggambarkan apa yang sungguh terjadi dianggap
sebagian orang sebagai cerita yang tidak benar.

Banyak cerita fiksi yang tokohnya bisa dirasakan lebih nyata dari tokoh yang benar-
benar ada. Kita bisa melihat bagaimana novel detektif Agatha Christie, kisah Hamlet dan
Macbeth, serta Oedipus complex masih terus diperbincangkan sampai sekarang. Yesus juga
sering menggunakan perumpamaan dimana tokoh-tokohnya adalah fiksi namun mengajarkan
kebenaran yang begitu penting dalam hidup kita. Dari kisah-kisah tersebut kita bisa mengerti
bahwa sesuatu dapat benar tanpa sungguh terjadi, dan ini adalah suatu langkah tepat untuk
memahami isi Alkitab. John Dominic Crossan dari Universitas DePaul menyatakan bahwa
kisah nabi Yunus adalah kisah fiksi yang menceritakan bagaimana seorang nabi yang
melawan Tuhan dan bangsa kafir justru mendengarkan teguran Tuhan, berbeda dengan
pandangan umum bahwa nabi adalah orang yang mendengarkan Tuhan dan orang kafir
adalah orang yang melawan Tuhan. Crossan menyimpulkan bahwa cerita yang berbentuk
perumpamaan ini mengingatkan akan keterbatasan kita dan menyadarkan kita bahwa Tuhan
tidak tinggal diam di dalam kotak yang kita ciptakan untuk-Nya.

6
Kita perlu sepakat bahwa karya sastra tidak akan berkurang nilainya hanya karena
yang tercatat bukan semuanya kenyataan faktual, namun memiliki nilai kebenaran yang
maknanya bisa berbeda dengan makna yang ditaruh padanya. Dengan kata lain, kebenaran
dan kenyataan faktual adalah hal yang berbeda. Banyak cerita Alkitab yang memiliki nilai
kebenaran meskipun tidak ditulis tidak tepat secara historis dan bahkan tidak terjadi. Cerita
ini bertujuan memberikan suatu pesan yang tidak disampaikan melalui kronologi cerita
sejarah. Kita harus membaca Alkitab bukan sebagai buku sejarah, namun sebagai
pemberitaan.

2.6. Pelajaran dari Seekor Babi

Allah tidak hidup dalam ruang dan waktu yang diciptakan manusia karena Allah
bukanlah bagian dari dunia ini. Allah Yang Tak Terbatas mengatasi dan berkuasa atas
milyaran galaksi yang ada di dunia ini dan tidak dapat dijangkau oleh pikiran dan bahasa
manusia yang terbatas. Untuk dapat memahami Allah, manusia menggunakan metafora dan
ungkapan-ungkapan manusia sehingga ketika kita berada di batas bahasa manusia, kita dapat
berjumpa dengan Allah.

Dalam cerita anak-anak berjudul Charlotte’s Web karya E.B. White dikisahkan
tentang seekor babi bernama Wilbur yang kesepian mengajak anak domba untuk bermain
dengannya, namun dijawab oleh si anak domba, “Saya tidak mau bermain dengan kamu.
Sebab, babi bagiku bukan hanya tidak ada artinya, tetapi masih di bawah yang tidak berarti.”
Si babi Wilbur tidak dapat mengerti apa yang dikatakan oleh anak domba itu karena dia
memaknainya secara harfiah padahal sesungguhnya bahasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu
bahasa steno dan bahasa bersayap. Bahasa steno yang dipakai para ilmuwan menyatakan
kenyataan, objek pengetahuan dan batasan-batasan sehingga tidak perlu ditafsirkan karena
maknanya hanya satu. Sedangkan bahasa bersayap yang biasa digunakan para seniman
menghadirkan kata-kata yang sedemikian rupa untuk menghadirkan ketegangan seperti di
dalam puisi, metafora, dan simbol. Bahasa bersayap dapat menyingkapkan makna yang tidak
dapat diungkapkan oleh bahasa steno yang hanya memiliki makna tertentu dan terbatas.
Bahasa ini tentu saja asing bagi Wilbur, sang babi itu.

Contoh bahasa bersayap adalah bahasa puisi yang bisa saja ditulis untuk
mengungkapkan sebuah peristiwa namun bisa dimaknai secara beragam dalam berbagai
tingkatan, seperti mengupas bawang dimana kita akan mendapatkan makna yang baru saat
kita masuk lebih dalam lagi. Memperlakukan bahasa bersayap sebagai bahasa steno berarti
memandulkan bahasa itu dan akan menyebabkan kegagalan untuk memahami apa yang ingin
diungkapkan. Kita akan kehilangan kesegaran ilham dan pandangan dari penulisnya yang ia
terima dari Sang Pencipta sebab kita memaknai tulisannya secara harfiah.

Sebagian besar sastra Alkitab mengandung banyak lapisan makna yang tersaji ringkas
dalam narasi atau cerita bersayap karena sesungguhnya sebagian besar dari Alkitab adalah
puisi. Seperti gunung es, kata-kata dalam Alkitab hanyalah apa yang nampak di permukaan
padahal makna sesungguhnya adalah apa yang ada di bawahnya. Di situlah kita akan

7
menemukan makna terdalam dan tujuan kata-kata yang terlihat di permukaan itu. Kita akan
menjadi seperti Wilbur kalau kita gagal memahami bagaimana pengarang Alkitab
memanfaatkan dan memakai bahasanya.

2.7. Bagaimana Cara Membaca Sebuah Injil

Cerita-cerita dan puisi dalam Alkitab membwa kita untuk dapat berjumpa dengan
Allah yang transenden. Perjumpaan dengan Allah ini diberitakan melalui kehidupan Yesus
yang digambarkan dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Dalam dunia cerita para
penulis Injil, dunia lama yang penuh kekacauan dihancurkan melalui salib Kristus dan dunia
baru dimunculkan dengan kebangkita Yesus. Injil-injil ini adalah proklamasi dari para penulis
yang mengundang setiap pribadi untuk diubah oleh dunia baru yang diciptakan oleh Allah itu.
Begitu juga pengertian lama kita tentang Alkitab akan digomcangkan dan kemudian
dibangun kembali dengan pandangan baru mengenai Alkitab. Hal yang penting bukanlah
tentang ketepatan catatan sejarah yang ada di Alkitab, namun bagaimanana kita dapat
berjumpa dengan Allah yang transenden melalui cerita-cerita Alkitab.

Untuk menguak makna cerita Injil dengan bahasa bersayapnya, akan diambil sebuah
contoh kisah dari Injil Yohanes yaitu peristiwa pernikahan di Kana. Dalam kisah ini Yesus
melakukan mujizat mengubah air menjadi anggur, dan di akhir Injil Yohanes, Ia mengatakan
bahwa orang yang percaya kepada-Nya dapat melakukan hal yang sama seperti yang telah Ia
lakukan bahkan lebih hebat lagi. Seperti yang kita tahu, sampai sekarang tidak ada orang
yang dapat mengubah sat unsur menjadi unsur lain, apalagi yang lebih hebat dari itu.
Memaknai kisah ini secara harfiah akan sama seperti seseorang yang pergi dari New York ke
Chicago, melihat tanda penunjuk “Chicago, delapan puluh mil” dan menganggap tempat
dimana tanda itu berada sebagai kota Chicago. Jika kita menganggap kisah ini sebagai tanda,
kita akan dapat mencari makna tersembunyi yang berbeda dengan makna harfiah yang
dipahami oleh banyak orang. Pada awal kisah ini disebutkan “Pada hari ketiga ada
perkawinan di Kana yang di Galilea” (Yoh. 2:1). Dalam catatan Alkitab, hari ketiga selalu
dikaitkan dengan kebangkitan, sebagaimana bisa kita dapati dalam Yohanes 4:43-54, Hosea
6:2, maupun 1 Korintus 15:3-4. Jadi angka 3 ini menjadi simbol akan suatu awal yang baru
untuk menunjukkan penebusan, penyelamatan, pembebasan, pemulihan, kebangkitan.

Dalam pesta pernikahan itu ketika ibu Yesus mengatakan bahwa tamu-tamu telah
kehabisan anggur, Yesus menjawab “Saat-Ku belum tiba”. Dalam Injil Yohanes, ketika
Yesus mengatakan waktu-Nya, Ia selalu menunjuk suatu masa di masa depan dan hanya pada
Yohanes 12:20-23 saja Ia mulai mengatakan bahwa waktu-Nya telah tiba. Jadi bisa dikatakan
bahwa habisnya anggur di pesta tersebut berkaitan dengan peristiwa kematian Yesus. Pada
pesta di Kana, yang menyebabkan Yesus mengatakan “Saat-Ku belum tiba” adalah karena
ibu-Nya mengatakan bahwa anggur telah habis. Ketika anggur habis, yang tertinggal
hanyalah endapan anggur asam yang Ia minum ketika kematian-Nya di kayu salib. Pada saat
kematian-Nya, Ia secara simbolik meminum endapan dari anggur yang sudah habis di pesta
Kana itu. Endapan anggur tua ini dilambangkan oleh penulis sebagai Israel lama yang telah
rusak dengan sedemikian buruknya dan diakhiri pula dengan penyaliban seorang yang
menunujukkan kemanusiaan yang sejati. Ketika di pesta itu Yesus menciptakan anggur baru

8
dari enam tempayan yang biasanya dipakai orang Yudea untuk ritus pembersihan diri. Yesus
menjadi tanda yang mengikat kita akan suatu sukacita anggur yang baru yang membuat
orang-orang tidak terkungkung dalam peraturan keagamaan yang lama.

Pesta perkawinan di kana juga melambangkan gereja yang digambarkan sebagai


Pengantin dari Anak Domba. Pada Perjamuan Kawin Anak Domba, kemanusiaan dan
ketuhanan bersatu sehingga manusia tidak lagi menganggap Tuhan sebagai tuan yang kejam
yang siap menghukumnya, tetapi sebagai suami yang mencintai dan mengasihinya. Tuhan
ingin berkarya melalui kita untuk mendatangkan suatu masa penuh sukacita dan kemakmuran
bagi dunia. Saat Yesus berkata bahwa saat-Nya belum tiba namun tetap melakukan mujizat,
Ia bertindak seolah-olah saat-Nya telah tiba. Begitu juga dengan kehidupan kita dimana
kelihatannya tidak ada lagi harapan dan banyak tekanan, ketika kita merasakan kuasa ilahi
yang menyatu dengan kita, kita akan dapat menelan endapan anggur yang masam itu. Kita
memiliki kuasa untuk mengubah air menjadi anggur, menciptakan kemungkinan baru
meskipun kelihatannya tidak ada harapan lagi, menghadirkan alasan untuk bersukacita
meskipun berada di tengah kesulitan sekalipun.

Dengan memehami kisah ini sebagai metafora, kita akan terdorong untuk bertanya
apakah gereja telah menjadi persekutuan orang-orang yang dibangkitkan yang memberikan
sukacita dan memiliki kesatuan dengan Allah. Ataukah justru gereja menuntut kepatuhan dan
ketergantungan pada Allah bukannnya mengajak dekat pada Allah dan menjadi kawan
sekerja-Nya? Dengan memaknai bahasa bersayap ini, tentu pesan yang dibawa akan
menantang gereja di sepanjang abad dan lebih penting dari sekedar melaporkan biografi
kehidupan Yesus secara rinci.

9
BAB III

TERJADINYA ALKITAB

3.1. Apakah Alkitab Seperti Kain yang Tak Berkelim?

Banyak perbedaan yang terdapat dalam Kitab-kitab Injil disebabkan karena pengarang
memang tidak mengurutkan peristiwa kehiduan Yesus sebagai catatan sejarah atau data
ilmiah melainkan untuk menyampaikan pesan kepada para pembaca yang berada di
kelompoknya. Bahkan jika dilihat pada Kitab-kitab Perjanjian Lama, perbedaan bukan hanya
terjadi antar-kitab namun bisa terjadi dalam satu kitab yang sama. Jawaban akan misteri ini
akan membuat kita melihat suatu rekonstruksi terjadinya Alkitab.

Sebagai contoh adalah kisah Daud dan Goliat yang muncul dalam Kitab 1 Samuel.
Pada pasal 17, Daud diceritakan pergi ke medan perang antara bangsa Israel dan Filistin
untuk membawakan bekal bagi saudara-saudaranya. Daud mengatakan bahwa ia bisa
mengalahkan Goliat dan perkataanya ini sampai ke telinga Saul. Inilah pertemuan pertama
antara Daud dan Saul, karena di kisah itu Saul tidak mengenal Daud. Setelah Daud
mengalahkan raksasa itu, ia diangkat menjadi pembawa persenjataan raja dan pemusik
pribadinya. Sedangkan pada pasal 16, dikisahkan bahwa Saul mencari seorang pemain kecapi
untk menenangkan hatinya ketika ia diganggu roh jahat. Sejak saat itu Daud tinggal di istana
Saul dan menjadi rang kepercayaan Saul. Dua cerita ini tentu saja bertolak belakang dan
berlainan.

Banyak dari orang Kristen yang tumbuh dan percaya bahwa Alkitab adalah satu kitab
utuh seperti sebuah pakaian yang tak berkelim yang ditulis sesuai pengilhaman Allah. Namun
jika kita melihat kisah di atas, terjadi dua catatan yang bertolak belakang pada satu kitab yang
sama. Dari contoh ini kita bisa menyimpulkan bahwa cerita ini adalah dua kisah yang
berbeda, ditulis oleh orang yang berbeda, dan dipadukan satu dengan yang lainnya menjadi
sebuah kitab oleh penyuntingnya.

3.2. Menghubungkan Potongan-potongan Gambar menjadi Satu Lukisan

Proses penulisan, penulisan ulang, dan penyuntingan pada Alkitab telah terjadi
ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Melalui analisa yang hati-hati terhadap Alkitab, kita
bisa melihat bagaimana tulisan-tulisan itu berkembang melalui abad-abad perjalanannya.
Sebagai contoh lain tentang catatan yang berbeda tentang peristiwa yang sama, bisa kita lihat
pada Kejadian pasal 1 dan pasal 2. Kejadian pasal 1 dimulai dengan dunia yang diselubungi

10
air, sebagaimana kepercayaan yang berkembang di sekitar Timur Tengah bahwa dunia ini
dipenuhi air. Pada proses penciptaan ini Allah menciptakan terang, cakrawala, daratan serta
lautan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda penerang di langit, segala macam binatang,
kemudian menciptakan manusia, dan istirahat pada hari Sabat. Pada Kejadian pasal 2, diawali
dengan kalimat bahwa ketika Tuhan Allah menciptakan bumi dan langit, belum ada tumbuh-
tumbuhan dan semak apapun di bumi, Tuhan membentuk manusia dari debu tanah, baru
kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menciptakan segala jenis binatang dari
tanah. Suasana penciptaan pada kisah kedua ini diawali dengan tanah kering tanpa air, sama
sekali berbeda dengan Kejadian pasal 1 yang menyebutkan dunia yang penuh dengan air.
Perbedaan juga muncul ketika pada Kejadian 1 laki-laki dan perempuan diciptakan secara
bersamaan sedangkan pada pasal 2 perempuan diciptakan lama setelah laki-laki diciptakan.
Dari kedua pasal ini bisa disimpulkan bahwa kedua kisah ini adalah kisah yang berbeda yang
dipadukan untuk memulai Kitab Kejadian.

Dengan mengetahui adanya dua kisah penciptaan yang berbeda, kita harus sadar
bahwa penulis Kitab Kejadian tidak memaksudkan kitabnya sebagai catatan sejarah yang
sebenarnya mengenai bagaimana dunia dan alam semesta terbentuk. Dunia yang dimaksud
oleh penulis bukanlah dunia material tentang apa yang objektif, karena pengarang kisah
penciptaan sama sekali tidak memiliki peralatan ilmu pengetahuan modern untuk menyelidiki
peristiwa penciptaan kreatif itu. Bagaimana bumi tercipta juga bukan menjadi perhatian
utama dari penulis kitab ini, melainkan bagaimana dunia subyektif kita sebagai manusia
dibangun. Dengan pemahaman ini kita dapat menempatkan dua kisah penciptaan sebagai dua
cara orang di Timur Tengah memahami hidupnya dalam dua masa yang berbeda, berkenaan
dengan dunia subyektif mereka masing-masing.

Musa dikenal luas sebagai pengarang dari kelima Kitab Torah yang berisi kisah
penciptaan, air bah, kisah para bapa leluhur, keluarnya bangsa Israel dari Mesir, serta hukum-
hukum yang berlaku bagi orang Israel. Namun setelah kita mengetahui bahwa dua ksisah
penciptaan ditulis oleh dua pengarang yang berbeda dan berisi makna hidup manusia di
Timur Tengah dan bukan soal asal-usul terjadinya bumi, soal kepengarangan Alkitab menjadi
pertanyaan yang berkelanjutan. Bagaimana dan mengapa catatan Alkitab ditulis orang,
bagaimana Alkitab dirangkai menjadi satu, akan menjadi pokok pembahasan berikutnya.
Proses bagaimana kelima buku Perjanjian Lama dikarangsebagai sutu karya sastra kuno akan
menjadi satu titik penting untuk memahami kisah pertama Alkitab tersebut.

3.3. Bagaimana Proses Penulisan Alkitab?

Pada masa kuno di daerah Palestina, hanya sedikit saja orang yang dapat menulis dan
hanya dipakai untuk pencatatan jumlah pajak dan penentuan hak milik yang kemudian
berkembang untuk menuliskan tradisi-tradisi lisan ke dalam tulisan untuk kepentingan dan
ambisi politik penguasa. Tulisan paling awal Alkitab muncul pada masa ini dari kalangan
istana, bukan dari tengah-tengah rakyat kecil.

11
Tulisan-tulisan yang menjadi dokumen awal sejarah terbentuknya Israel dipercaya
ditulis pada jaman kekuasaan Daud sekitar tahun 960 SM untuk membentuk identitas
Palestina ke dalam suatu kekuasaan yang mandiri terlepas dari kekuasaan Firaun. Bagian
mendasar dari piagam berdirinya Israel kuno memuat tentang kedua kisah penciptaan, Kain
dan Habel, Nuh dan air bah, menara Babel, sebagian besar kisah Abram, Ishak, Yakub,
Yusuf, kisah keluaran, dan bermuara pada kisah keledai Bileam yang berbicara. Tidak semua
cerita kisah yang tertulis di sana dimasukkan ke dalam Alkitab kita dan ada sebagian yang
ditambahkan kemudian, seperti kisah Abram di tanah Mesir dan di tanah Negeb. Kemiripan
pada penambahan kisah-kisah ini menggiring pada usulan para ahli tentang Teori Sumber,
bahwa Torah berasal dari dokumen-dokumen yang berbeda yang melewati 4 tahap besar dan
berlangsung selama kurang lebih 400 tahun. Tahap-tahap ini dinamai tahap Y, E, D, dan P.

Kisah asli dari Kitab Torah diyakini sebagai sumber Y (Yahweh) ditulis oleh para
pegawai istana yang bekerja di kerajaan Daud. Kisah-kisah yang muncul berdasarkan tradisi
yang ada di masyarakat saat itu, menceritakan kisah para bapa leluhur yang berlatar belakang
sebagai penggembala, meskipun latar belakang masyarakat yang saat itu ada adalah petani.
Nama-nama tokoh diambil dari nama-nama tuan-tuan tanah yang ada saat itu, dengan
harapan para tuan itu bersikap seperti dalam cerita para bapa leluhur. Melalui kisah-kisah ini,
Daud ingin menggambarkan Israel sebagai tanah perjanjian yang dijajikan Allah untuk umat
pilihan-Nya. Kisah Keluaran yang menceritakan bagaimana orang-orang Israel lepas dari
cengkeraman bangsa Mesir, dipakai sebagai gambaran perjalanan hidup para leluhur Israel
kuno meskipun sebagian besar penduduk Palestina saat itu tidak pernah ke Mesir, karena
mereka adalah petani yang hidupnya menetap di daerah itu. Mereka memasukkan dirinya ke
dalam kisah tersebut karena di bawah kekuasaan Daud, cengkeraman Mesir tidak lagi
menguasai hidup mereka. Cerita kepahlawanan yang ditulis oleh para ahli di istana Daud
dibuat untuk kepentingan penyatuan orang Palestina sebab sebelumnya mereka ditindas oleh
musuh bersama, yaitu Mesir. Cerita ini ditulis untuk menciptakan perasaan sebangsa dan
setanah air, sebagai perekat para kepala suku ke dalam satu kesatuan, yang diperlukan untuk
menghadapi tekanan dari Mesir.

3.4. Apa yang Disingkapkan oleh Para Arkeolog

Penemuan para arkeolog, khususnya Enuma Elish dapat menolong kita memahami
makna kisah penciptaan Adam dan Hawa di Taman Eden yang ada di Kitab Kejadian. Pada
kisah tersebut diceritakan bahwa para dewa pekerja ingin memberontak karena merasa lelah
melakukan pekerjaannya sehingga mereka menjadi suka ribut dan bertengkar. Salah seorang
pemimpin dewa bernama Marduk mengusulkan kepada raja para dewa bernama Ea untuk
menciptakan manusia dari darah dan tulang untuk menggantikan pekerjaan para dewa pekerja
itu. Setelah rencana ini disetujui oleh Ea, para dewa membunuh seorang dewa pemberontak
yang kemudian darahnya digunakan untuk membuat manusia. Cerita ini diciptakan oleh para
penguasa saat itu (yang menganggap dirinya sebagai dewa dan memiliki kedudukan lebih
tinggi dari manusia yang lainnya) untuk mengingatkan parak pekerja agar mereka menerima

12
keadaan mereka. Sedangkan para penguasa melakukan hal-hal seremonial untuk melayani
para dewa dan juga menjadi simbol para pekerja, tanpa perlu bekerja dengan berpeluh.

Pada kisah Taman Eden, diceritakan bahwa Yahweh menciptakan Adam dan Hawa
untuk bekerja merawat taman itu. Pekerjaan yang mereka lakukan digambarkan sebagai
sesuatu yang menyenangkan sampai kemunculan ular yang memberitahu Adam dan Hawa
bahwa mereka dapat menjadi sama seperti allah dengan cara memakan buah pengetahuan
yang dilarang oleh Yahweh. Ketika Yahweh mengetahui bahwa manusia telah memakan
buah itu untuk meningkatkan kemampuan mereka menjadi sama seperti allah, Yahweh
mengutuk mereka. Pekerjaan yang sebelumnya menyenangkan akan berubah menjadi
pekerjaan yang harus dilakukan dengan berat dan penuh rasa sakit. Kisah Y ini dimaksudkan
sebagai jawaban atas tradisi Mesopotamia kuno yang membagi manusia menjadi kaum
berdarah biru dan kaum pekerja. Melalui kisah ini digambarkan bahwa semua pekerjaan
manusia harus dibagi bersama, tidak dibebankan kepada satu orang saja. Yahweh bermaksud
menegaskan bahwa semua manusia telah terkutuk dan harus berbagi kesulitan untuk
membangun bangsa yang baru itu.

Keseluruhan cerita hasil kreasi Y menceritakan tentang 21 generasi, dimana 14


generasi pertama dikutuk oleh Yahweh karena berupaya mengambil hak Yahweh, dan 7
generasi berikutnya yang dimulai dari Abram diberkati oleh Yahweh untuk membalikkan
semua kutuk sebelumnya, dan memberikannya untuk generasi ke-22 yang memasuki tanah
Palestina. Pesan dari seluruh kisah ini adalah barangsiapa yang menghisabkan dirinya kepada
Israel dimana Daud menjadi raja, akan diberkati juga seperti yang telah dijanjikan kepada
Abram. Pembalikan kisah kutuk menjadi berkat bisa dilihat dari kisah Adam dan Hawa yang
diusir dari Taman Eden, dan kemudian Abram dan Sarah (sebagai Adam dan Hawa baru)
akan diberikan tanah perjanjian oleh Yahweh sebagai Taman Eden yang baru pula. Kisah
perseteruan Kain dan Habel, pada generasi berkat diwakilkan oleh Abram dan Lot, namun
pada kisah ini mereka tidak bertengkar karena Abram mengalah dan pada akhirnya justru
Yahweh menyatakan bahwa ia akan mendapat bagian yang luas di Palestina. Dua garis
keturunan Adam dan Hawa berkembang menjadi generasi berkat yang pada akhirnya
memuncak pada Daud, dan generasi yang satunya berkembang menjadi generasi kehi yang
akhirnya memuncak pada Firaun.

Kisah Y memang banyak dipakai untuk mengukuhkan Daud sebagai raja Israel. Kisah
Sarah yang mandul namun akhirnya hamil karena campur tangan Yahweh, bukan karena
suaminya, membenarkan posisi Daud yang bukan merupakan anak pertama di keluarganya,
yang menurut norma tidak pantas untuk mewarisi takhta kekuasaan. Tindakan Daud yang
mengawini istri-istri dari lawan yang telah dibunuhnya, dibenarkan dengan cerita
pemusnahan manusia melalui air bah. Sebelum air bah, manusia mengambil istri sesui
kehendaknya sendiri tetapi pada generasi berkat, Abram memilihkan istri untuk anaknya
Ishak. Kisah ini untuk menunjukkan bahwa perkawinan ada yang terkutuk dan ada yang
diberkati karena dipilihkan oleh Yahweh. Kisah generasi Yakub, Yehuda, dan Yusuf di Mesir
bertujuan memberitahu bagaimana bangsa yang diberkati menjalani masa perbudakan di
Mesir. Selanjutnya Yahweh memakai Musa untuk melepaskan para gembala Palestina itu dari
cengkeraman Firaun dengan jalan membunuh anak sulung bangsa Mesir. Dalam

13
perjalanannya memang Israel sebagai anak yang diberkati Yahweh, berulang kali menang
melawan bangsa-bangsa lain yang telah lebih dulu ada. Tema ini juga dipakai untuk
melegitimasi posisi Daud sebagai raja meskipun bukan anak sulung, karena dia adalah anak
pilihan Yahweh. Kisah Y berakhir dengan cerita para gembala yang keluar dari genggaman
Mesir diberkati oleh Bileam yang sebenarnya disewa oleh Raja Mesir untuk mengutuki
mereka. Kisah ini untuk mengajak para tuan untuk bergabung ke kerajaan pimpinan Daud
dan merasakan berkat yang diberikan Yahweh kepada semua orang. Visi Daud untuk
Kerajaan Israel ini sangat hebat sehingga Israel dapat bebas selama 60 tahun. Namun hal ini
berakhir dengan naiknya Salomo menjadi raja dan menindas penduduk Israel seperti yang
dilakukan Firaun. Hal ini mengakibatkan keruntuhan monarki Daud dan munculnya revisi
besar terhadap cerita asli dari Y ini.

3.5. Cerita tentang Persekongkolan Politik

Seperti halnya cerita Y, ketiga cerita lain juga memiliki kekhasannya masing-masing
yang cukup lama diyakini oleh para ahli sebagai cerita yang digunakan secara terpisah dan
baru kemudian disatukan. Namun ada juga pendapat bahwa kedua cerita yang muncul
digunakan untuk merevisi cerita Y sedangkan cerita yang muncul terakhir untuk
menggenapkan seluruh ceritanya. Pandangan lain juga muncul bahwa keeampat cerita ini
muncul untuk menuturkan cerita yang sama namun dengan tujuan berbeda,seperti halnya
keempat Kitab Injil.

Kisah kedua yang muncul dalam Kitab Kejadian dan Keluaran oleh para ahli disebut
sebagai cerita E (Elohim) yang ditulis sekitar 40 tahun setelah cerita Y, sekitar tahun 920 M
di istana Yerobeam I untuk melegitimasi pemisahan dirinya dari Wangsa Daud. Ciri khas
cerita E adalah menunjukkan bagaimana pertolongan Allah pada saat yang tepat kepada
nenek moyang bangsa Israel berada dalam marabahaya melalui kebaikan seseorang yang
takut akan Allah. Contoh cerita E adalah ketika Abraham pada saat terakhir tidak perlu
mengorbankan Ishak dan secara khusus tentang kisah Yusuf. Dalam cerita Y, Yusuf muncul
sebagai bagian dari kisah Yehuda dimana Yehuda berperan sebagai pendamai bagi Yusuf dan
saudara-saudaranya. Maksudnya adalah keturunan Yehuda pada akhirnya akan menjadi
pemersatu seluruh keturunan Yusuf dan keturunan Yakub yang lain. Sedangkan cerita E
berpusat pada cerita Yusuf karena Yerobeam merupakan keturunan dari Yusuf. Cerita E
menambahkan mimpi-mimpi Yusuf, Firaun, juru roti, dan juru minuman yang pada akhirnya
menempatkan Yusuf sebagai pusat utama cerita dan menyelubungi peran Yehuda. Dalam
cerita E tentang Yakub dan anak-anaknya yang menyembah kepada Yusuf mengisyaratkan
bahwa keturunan Israel juga seharusnya tunduk kepada keturunan Yusuf. Kejayaan Yusuf di
Mesir muncul sebagai pembelaan kerja sama yang dilakukan oleh kerajaan Israel Utara
dengan Mesir. Meskipun E mengambil sejarah Y yang kemudian ditambahkan untuk
kepentingan Israel Utara, kedua cerita ini sebenarnya tidak dapat dibaca bersama karena
penulisnya mengarang dengan maksud yang bertentangan.

Cerita ketiga yang muncul adalah karya para imam dan oleh para ahli disebut sebagai
P (Priest) yang muncul empat abad setelah cerita Y dan E. Ciri khas cerita P adalah
14
menceritakan keteraturan karena saatitu diyakini bahwa kuil dan tempat ibadah adalah
kediaman Tuhan, sehingga hukum dan peraturan muncul dari sana untuk menciptakan
keteraturan dalam masyarakat. Cerita P dapat ditemukan dalam Kejadian 1, Keluaran 25-40,
Imamat, sebagian besar Bilangan, dan beberapa bagian lain dalam Kitab Kejadian dan
Keluaran. Kejadian 1 diawali dengan keadaan yang kacau, namun kemudian Allah
memberikan 10 perintah yang apabila ditaati akan memberikan keteraturan. Kisah penciptaan
bermula dari keadaan yang kacau kemudian pada hari pertama Allah menciptakan terang
sebelum menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang sebagai penerang pada hari
keempat. Memang hal yang tidak masuk akal apabila dinilai secara ilmiah, namun kembali
ditegaskan bahwa penulisan kisah ini bukanlah laporan sejarah namun menceritakan
bagaimana tatanan yang teratur ini tercipta dan ditempatkan ke dalam suatu lingkup yang
tepat. Pada hari yang kedua Allah menciptakan cakrawala untuk memisahkan air yang ada di
atas dan di bawah bumi sehingga kehidupan berada di antaranya. Makhluk yang hidup di
udara dan di lautan diciptakan kemudian pada hari yang kelima. Pada hari yang ketiga Allah
menciptakan daratan dan tumbuh-tumbuhan dan kemudian pada hari yang keenam
menciptakan hewan dan manusia untuk tinggal di daratan dan memakan tumbuh-tumbuhan
tersebut. Disini dapat terlihat pola yang terdiri dari dua bagian, yaitu hari pertama sampai hari
ketiga Allah menciptakan tempat untuk ditinggali dan hari keempat sampai keenam Allah
menciptakan makhluk yang meninggali tempat-tempat tersebut. Tulisan P juga memberikan
fokus pada hukum mengenai apa yang halal dan haram, seperti pada Kitab Imamat dan
Ulangan. Selain itu, cerita P juga menekankan pada tiga perjanjian abadi Allah kepada Nuh,
Abraham, dan Musa melalui pelangi (Kej. 9), sunat (Kej. 17), dan hari Sabat (Kel. 3).
Menurut para ahli, P ditulis sekitar tahun 598 M semasa Kerajaan Babel menyerang Yehuda
sampai setelah pembangunan kembali bait Suci yang didukung oleh Persia.

Kita dapat melihat bahwa Alkitab dibangun melalui proses penambahan-penambahan


terhadap bagian-bagian yang terdahulu. Melemahnya Kerajaan Asyur dimanfaatkan oleh Raja
Kerajaan Yehuda yang yang memerintah saati itu, yaitu Yosia untuk memperluas
kekuasaannya dengan membangkitkan kembali kekuatan negara agama Wangsa Daud. Pada
masa ini Yosia menyusun sejarah D (Deuteronomistis) yang tercantum dalam sejarah Kitab
Ulangan sampai Kitab 2 Raja-raja untuk memfokuskan ibadah di bait Allah yang ada di
wilayah Wangsa Daud. Sama seperti Daud yang menciptakan kisah Musa untuk
mengukuhkan kerajaannya, Yosia juga menciptakan tokoh Yosua untuk mengukuhkan
kedudukannya sebagai raja. Wilayah yang ditaklukkan oleh Yosua menjadi gambaran sebagai
wilayah yang seharusnya dikuasai oleh Yosia. Cerita D ini bermaksud menulis daftar hukum
dan sejarah yang ditulus seolah sebagai ringkasan sejarah untuk merevisi tulisan Y, E, dan P
sebagai suatu untaian yang utuh. Hasil akhir komposisi dan revisi ini pada akhirnya disebut
sebagai Kitab Pentateukh dan kitab nabi-nabi terdahulu, atau Kejadian sampai 2 Raja-raja.

Selanjutnya Kitab Tawarikh menjadi revisi baru dari Kitab Kejadian sampai 2 Raja-
raja yang mencerminkan keadaan Yerusalem pada masa penjajahan Persia. Kitab Ezra dan
Nehemia muncul pada masa yang sama. Kitab Mazmur, Amsal, dan Pengkhotbah
berkembang secara bertahap selama ratusan tahun sampai menjadi bentuk lengkap seperti
sekarang ini. Ayub terdiri dari dua bagian, namun yang terpenting adalah bagian puitisnya

15
yang mencerminkan tulisa zaman kuno. Kitab-kitab para nabi juga dikembangkan secara
bertahap sebagai bagian yang terpisah dan kemudian disatukan, dengan Kitab Yehezkiel saja
yang mungkin ditulis secara utuh. Keduabelas kitab nabi kecil dikumpulkan pada masa yang
sama dan terdiri dari tiga tahapan penulisan, kecuali Kitab Daniel yang ditulis pada abad 2
SM sebagai kitab yang ditulis terakhir dari Kitab Perjanjian Lama. Kitab Yoel, Amos, Obaja,
dan Yunus ditulis saling berkaitan dalam beberapa tahap penulisan. Kitab Maleakhi sebagai
bagian terakhir dari Perjanjian Lama menjadi jembatan kepada penulisan Kitab-kitab Injil.

Injil Markus ditulis dengan dasar kedatangan Elia dan Tuhan yang terdapat dalam
Maleakhi, kisah Keluaran, dan Kitab Yesaya khususnya tentang metafora hamba Tuhan.
Kitab Markus dituliskan untuk menerangkan ketuhanan Kristus dalam suatu masa di akhir
abad pertama masehi. Injil Matius memasukkan hampir seluruh Injil Markus dan
menambahkannya dengan sumber lain sehingga kitab ini dua kali lebih panjang dari Markus
yang menjadi sumber aslinya. Matius muncul karena dalam Markus, Yesus tidak memakai
Torah yang menjadi hukum orang Yahudi. Matius menuliskan Yesus menetapkan hukum
baru yang berdasarkan pada Torah, sehingga meskipun Matius kritis terhadap kaum Farisi, ia
tetap meminta pembacanya melakukan ajaran yang diperintahkan oleh kaum Farisi. Lukas
dan Kisah Para Rasul muncul sebagai satu bagian utuh untuk memasukkan ajaran kekristenan
Paulus yang saat itu tersebar dan diterima luas di Asia Kecil dan Roma. Injil Yohanes muncul
untuk mengaitkan Yesus dan Torah sampai pada awal segala sesuatu dan lebih menekankan
pelayanan Yesus dalam percakapan pribadi dibandingkan kisah-kisah ajaib yang terjadi di
muka umum. Secara garis besar, Perjanjian Baru merupakan sekumpulan karya yang bertolak
dari dua sumber, yaitu Injil Markus dan surat-surat Paulus, yang kemudian direvisi, ditambah,
diperjelas dan diperluas menggunakan gaya bahasa bersayap seperti yang ada dalam kitab-
kitab orang Ibrani. Menurut para ahli, ada tujuh kitab yang ditulis Paulus sedangkan yang lain
adalah revisi dari karyanya atau karangan orang lain yang memiliki pemikiran yang sama
dengan Paulus sehingga mereka mencantumkan Paulus sebagai penulisnya. Kitab-kitab
Perjanjian Baru berisi sejumlah acuan dan ingatan kepada kitab-kitab sebelumnya dan
berfungsi mengartikan ulang makna Alkitab seturut perubahan tradisi. Dengan mengerti
semua ini, bisa dipahami bahwa Alkitab secara keseluruhan merupakan karya sastra yang
bertalian dengan makna untuk menyampaikan pesan dan bukan sebagai catatan faktual atas
peristiwa-peristiwa sejarah.

3.6. Ketika Kitab-kitab menjadi Alkitab

Keyakinan bahwa Alkitab merupakan Firman Allah menyatakan mempercayai bahwa


Alkitab merupakan sebuah kesatuan utuh yang ditetapkan oleh Allah sebagai pedoman hidup
yang tuntas dan sempurna. Keyakinan ini percaya bahwa kesalahan yang ada dalam Alkitab
dikarenakan kekeliruan dalam penyalinan dan penerjemahan, namun teks aslinya pasti
sempurna. Setelah kita mempelajari bab-bab sebelumnya, kita mengetahui bahwa kitab-kitab
dalam Alkitab melewati perjalanan panjang yang tidak hanya memiliki kesalahan penyalinan
namun juga perubahan yang dilakukan secara sengaja untuk memperjelas makna atau
menekankan sebuah sudut pandang. Contoh paling nyata adalah di 1 Yohanes 5:7-8 yang

16
diubah untuk mengenalkan trinitas yang pada tulisan-tulisan awal Alkitab, tertulis berbeda
dengan yang sekarang. Hal demikian dapat terjadi karena perjalanan Alkitab yang panjang
yang dalam pembentukannya disusun oleh komite dan para ahli melalui perdebatan dan
permudakatan yang panjang hingga menjadi Alkitab yang kita kenal saat ini. Dalam masa
Alkitab, juru tulis yang menyalin Alkitab biasanya adalah pegawai istana kerajaan, sehingga
seringkali ada perintah dari penguasa untuk merevisi Alkitab guna menonjolkan sebuah
gagasan tertentu demi kepentingannya. Dikarenakan adanya banyak variasi salinan kitab
(khususnya Perjanjian Lama), juru tulis Yahudi di bawah pengarahan para rabi yang berkuasa
di Palestina dan di Babel memutuskan untuk membuat suatu teks standar sebagai pegangan
yang berdasar pada tradisi yang dianggap baku, yang disebut sebagai Teks Masoret. Sebagai
terjemahan standar dalam bahasa Yunani, para ahli sejarah menyebutnya sebagai Septuaginta.

Kanon Alkitab tidak pernah berisi daftar resmi yang disepakati oleh semua
penggunanya, sehingga daftar isi Alkitab bisa saja berubah-ubah. Dua organisasi besar pada
akhirnya memutuskan apa yang harus menjadi normatif dan menjadi kanon di antara kitab-
kitab yang beredar pada saat itu. Organisasi yang beranggotakan para rabi untuk menetapkan
Perjanjian Lama dan organisasi yang beranggotakan para uskup di masa Kerajaan Romawi
untuk menetapkan Perjanjian Baru. Dasar penetapan apakah sebuah tulisan atau kitab dapat
dimasukkan dalam Alkitab biasanya karena sejumlah dokumen yang telah dipakai sebagai
standar, popularitasnya, kesepakatan dan dukungan dari penguasa resmi dan para teolog, dan
bagaimana kitab-kitab itu menangani isu pokok dalam kekristenan. Alkitab Protestan saat ini
juga berbeda dengan Alkitab Katolik Roma yang dipakai luas sebelum munculnya reformasi
gereja. Alkitab Vulgata dalam bahasa Latin yang sebelumnya diakui sebagai Alkitab resmi,
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lokal saat itu. Demikian pula kitab-kitab Perjanjian
Lama yang sumbernya tidak berbahasa Yahudi dikeluarkan dari daftar kitab resmi dan
disebut sebagai kitab-kitab apokrif. Sebenarnya perselisihan tentang kitab-kitab “resmi” yang
seharusnya dimasukkan ke dalam Alkitab ini telah lama ada bahkan sejak Alkitab mulai
ditulis.

Tulisan-tulisan yang kini terdapat dalam Alkitab menjadi penting bukan hanya saat ini
namun juga pada masa penulisannya. Para penguasa saat itu menggunakan berbagai cara
untuk mempertahankan kedudukannya dari para pemberontak dan juga lawan-lawan
politiknya. Pengaruh ini bisa didapatkan melalui pembangunan arsitektur besar seperti Bait
Allah pada jaman Salomo, serangkaian ritus keaagamaan, dan juga tulisan. Pihak yang
menang dalam perebutan kekuasaan bisa saja memerintahkan pembuatan karya sastra yang
selanjutnya membentuk Perjanjian Lama atau merevisi bahan yang ada agar sesuai dengan
pandangan mereka. Contoh yang bisa kita lihat adalah bagaimana Daud menjelaskan
pemberontakannya kepada Saul melalui 1 Samuel dan sebagian 2 Samuel. Hal ini juga
dilakukan oleh Salomo ketika dia naik takhta melalui pemberontakan kepada ayahnya,
keduanya menulis sebuah sumber yang diyakini sebagai sumber Y. Gaya pemerintahan
Salomo yang menindas tidak disukai oleh penduduk Israel Utara sehingga mereka
memisahkan diri dan mendirikan kerajaan yang dipimpin oleh Yerobeam I yang menulis
sumber E. Keinginan Hizkia dan Yosia untuk menyatukan Israel dinyatakan dalam 2 Raja-
raja dan kitab para nabi yang berisi pentingnya bait Alah sebagai sumber hukum, keamanan,

17
dan kemakmuran yang selanjutnya dikenal sebagai sumber D. Setelah Yudea dijadikan
bangsa boneka oleh Persia, para imam diangkat untuk menjadi kepala dan menuliskan kitab
Tawarikh, sebagian Mazmur, kitab para nabi, dan beberapa bagian Pentateukh yang kita
kenal sebagai sumber P.

Pemerintahan Romawi mengutus Herodes sebagai raja boneka di wilayah Palestina


yang selanjutnya berkeinginan untuk membangun kembali Bait Allah untuk menarik hati
rakyat. Namun demikian, pemberontakan masih banyak terjadi di wilayah Yudea sehingga
Kerajaan Romawi mengirimkan legiunnya dan pada akhirnya menghancurkan Yerusalem dan
Bait Suci pada tahun 70 M yang pada akhirnya menjadi titik kritis untuk mengawali
penulisan Perjanjian Baru. Kehadiran Injil Markus dan Injil yang lain muncul sebagai
interpretasi atas kehidupan dan kematian Yesus dalam terang kehancuran Yerusalem dimana
gereja selama ini berpusat dan bertumbuh. Dalam Injil Markus, Yesus menyampaikan Firman
tentang kehancuran Bait Allah, dan ini menjadi tema penting dalam pemberitaan gereja mula-
mula. Pandangan Paulus bahwa Torah dan Bait Allah dapat digantikan dengan kehadiran
Yesus Kristus. Kedua hal ini menjadi penting bagi kekristenan mula-mula yang
membutuhkan pegangan dan pengertian baru mengenai Alkitab dan Yesus Kristus. Tulisan-
tulisan awal yang digunakan pada abad selanjutnya menekankan pada kepatuhan, ketaatan,
dan kesabaran karena gereja dipimpin oleh para uskup yang hidup di pusat kota di bagian
timur Kerajaan Romawi. Ada pula tulisan yang menentang kuasa para pemimpin gereja
tersebut, menekankan pekerjaan Roh, menganggap kehidupan duniawi sebagai sesuatu yang
sia-sia, dan pemisahan kekristenan dari tradisi Yahudi. Pihak yang menang dalam
perselisihan ini adalah pihak yang mendapat dukungan kaisar Romawi saat itu, yaitu
Konstantinus Agung. Selanjutnya, kepastian absolut dan rasa aman dalam Alkitab yang
dikanonkan tidak dapat sepenuhnya ditemukan sehingga harus dilakukan interpretasi untuk
menafsirkan kehidupan dan panggilan gereja di tengah pergumulan untuk menemukan
kebenaran.

18
BAB IV

ALKITAB DAN PERSOALAN MASA KINI

4.1. Orang-orang yang Meremehkan Kebenaran Alkitab

Bagi orang-orang yang menganggap bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang
dinyatakan kepada para penulisnya, biasanya memahami pernyataan Allah ke dalam dua
bagian: pernyataan umum dan pernyataan khusus. Pernyataan umum menunjuk kepada apa
yang Allah myatakan melalui alam semesta yang menjadi tempat kehidupan manusia sebagai
alat untuk mengenal Allah, sehingga mereka percaya ada kebenaran pada semua agama
dalam batas tertentu. Sedangkan pernyataan khusus adalah kepercayaan bahwa penulis
menuliskan pernyataan Allah yang disampaikan secara pribadi sehingga kebenarannya akan
selalu tetap ada tanpa melihat latar belakang sosialnya. Ada juga yang telah mengetahui
perbedaan dalam Alkitab namun tetap percaya bahwa Alkitab merupakan pernyataan Allah
yang diungkapkan secara khas oleh tiap penulisnya, bukan didiktekan Allah. Yang menjadi
ketetapan dalam buku ini adalah bahwa makna pernyataan ditentukan oleh bagaimana proses
Alkitab itu sendiri dibentuk, karena Alkitab merupakan produk dari suatu kebudayaan. Studi
untuk mengamati proses perkembangan Alkitab tentu akan menimbulkan tafsir yang
bermacam-macam sesuai dengan kebudayaan yang ada. Oleh karena itu, kita harus memiliki
keberanian iman untuk secara jujur menghadapi masalahnya dan tidak menghindar dari
semua itu.

Jutaan pembaca Alkitab mempercayai isi Alkitab sebagai Firman Allah tanpa pernah
bertanya mengapa dia bisa percaya. Banyak yang percaya pada suatu mitos atau pernyataan
karena semua orang mengatakannya sehingga tidak perlu dikaji lagi kebenarannya. Ketika
mereka mendengar ungkapan para ahli biblika bahwa Adam dan Hawa tidak pernah ada,
bahtera Nuh tidak pernah ada, peristiwa Keluaran tidak pernah terjadi, tembok Yerikho
tidakruntuh, mereka menganggap para ahli tersebut sebagai orang yang meremehkan
kebenaran dan kewibawaan Alkitab. Akan tetapi para ahli biblika sebenarnya berusaha
mencari kekayaan pengetahuan Alkitab berdasar pada peristiwa dan bahasa serta kebudayaan
yang ada pada saat penulisan Alkitab. Pendekatan Alkitab yang bersifat mencari kebenaran
dan bukan semata-mata untuk membela orang-orang beriman, dapat menolong kita keluar
dari rancang mitos dan menyingkapkan makna yang akan menuntun kita pada iman yang
mendasar namun lebih kaya, lebih dalam, dan lebih realistis. Contoh pencarian kebenaran ini
dapat kita lihat dari pernyataan bahwa Christopher Columbus adalah seorang petualang yang
ingin membuktikan kebenaran geografis dan selanjutnya menemukan benua Amerika. Orang-
orang terpelajar masa kini melalui penelitian yang mendalam, akan mengetahui bahwa

19
Columbus adalah seorang pedagang tamak dan oportunis yang telah menindas dan
membunuh ribuan orang asli Amerika.

Sebelum abad ke-17 dimana Kopernikus, Galileo, dan Kepler membuktikan bahwa
matahari adalah pusat peredaran bumi, gereja dan hampir seluruh penduduk dunia percaya
bahwa dunia dibagi menjadi tiga tingkata, yaitu dunia bawah yang ada di bawah bumi, kubah
tempat manusia dan benda-benda angkasa berada, dan tempat Allah yang berada di atas
kubah itu. Apabila ada kejadian yang tidak sesuai tatanan, orang tidak akan bertanya
bagaimana semua itu terjadi, namun kesalahan apa yang telah mereka lakukan yang
mendatangkan murka Allah. Namun sejak saat itulah terjadi pemisahan antara hal duniawi
atau sekular dengan hal yang rohani, sehingga orang-orang menganggap hal sekular sebagai
musuh agama. Para ilmuwan abad ke-17 mulai mengembangkan teori bahwa manusialah
yang bertanggung jawab mengatur dan menata kehidupannya dan bukan Allah seperti yang
dipercayai selama ini. Dalam perkembangannya, kehidupan modern saat ini kewenangan
dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat umum ditempuh oleh negara dan tidak terletak
lagi pada embaga agama.

Metode historis-kritis atas Alkitab mulai dikembangkan dalam suasana masyarakat di


atas yang saat itu dianggap sebagai hal yang tidak religius namun saat ini dipercayai oleh
banyak orang sebagai hasil kodisi sosial dan kebudayaan yang berkembang. Pada abad ke-19
muncul pula tantangan besar terhadap Alkitab dengan munculnya teori evolusi Darwin
tentang asal-usul manusia yang sama sekali berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam
Alkitab. Sesungguhnya dasar kegiatan kritis yang muncul di atas sudah terjadi dan dilakukan
oleh para nabi Perjanjian Lama, Yesus, dan Paulus. Mereka mengamati kejadian yang saat itu
dianggap sebagai kebenaran dan mempertanyakannya walaupun menghadapi tantangan dari
orang-orang yang tidak suka kalau tradisi dan keyakinannya dipertanyakan. Hanya dengan
mempertanyakan ulang isi Alkitab inilah gereja Kristen dapat hidup dalam masyarakat yang
kritis dan berkembang.

4.2. Kalau Begitu, Apa Artinya “Pengilhaman Alkitab”?

Para pemimpin agama pada masa Yesus melakukan kesalahan dengan begitu
mempercayai Alkitab tanpa melihat bahwa Allah tetap menyatakan diri-Nya kepada manusia.
Alkitab memang memiliki nilai yang tak terhingga bagi iman kita, namun tidak bisa
dipungkiri bahwa Alkitab hanyalah sebuah kesaksian iman yang hidup yang dinyalakan
Kristus dalam suatu persekutuan orang percaya. Alkitab haruslah dipahami secara mendalam
namun tidak boleh menggantikan Kristus sebagai kepala gereja. Kalau Kristus dengan kuasa
Roh Kudus memimpin hidup kita dan kitab menjadi alat penunjuk kepada Sang Pencipta, kita
tidak akan disibukkan dengan membela pandangan tafsiran yang sempit, tetapi akan
menempatkan diri pada kebenaran tanpa takut memaknai sumber apapun untuk mencapainya.
Jika iman ini sungguh hidup, kita tidak akan lagi memaksakan pikiran dan anggapan kita
terhadap orang lain, namun membiarkan mereka untuk memetakan sendiri perjalanan rohani
mereka di tengah orang-orang percaya dalam suasana saling mengasihi dan saling menerima.

20
Iman yang hidup akan membawa kita pada keselamatan dan keadilan yang berdasar
pada kasih, sukacita, dan kedamaian dari Roh Kudus seperti yang telah dibawa oleh Yesus ke
tengah umat-Nya. Kehidupan Yesus telah menjadi bagian dari sejarah dan tidak dapat
terulang lagi sehingga ketika menghadapi suatu persoalan, kita tidak bisa lagi bertanya apa
semestinya respon Yesus dalam situasi tersebut namun bagaimana respon kita yang telah
dihidupi oleh Roh Kristus sesuai kebutuhan masa kini. Menghadirkan Kristus dalam
kehidupan gereja bukan berarti melakukan apa yang Ia lakukan selama hidup tetapi
mengalami hidup Kristus ke dalam kehidupan sehari-hari yang penuh kasih ke dalam
persekutuan yang jujur, terbuka, dan saling menerima sebagai satu tubuh Kristus.
Keselamatan dari Allah bukanlah kado dari Allah seperti hadiah Natal ataupun sesuatu yang
kita simpan dan kita buka saat kita mati nanti melainkan kehidupan itu sendiri yang penuh
dengan kualitas. Dalam tradisi Kristen tersebut, Alkitab akan ditempatkan sebagai seumber
yang bermanfaat namun bukan menjadi buku hukum dan peraturan. Dalam hal ini, Alkitab
akan mengajarkan suatu gagasan kerangkan berpikir untuk menghadapi situasi tertentu dan
bukan untuk diikuti sepenuhnya sebagai yang paling benar sesuai perkataan Allah.

Anggapan bahwa Alkitab adalah buku dari langit yang berisi dokumen dari Allah
adalah isapan jempol belaka. Alkitab adalah produk dari komunitas yang percaya akan Allah
yang didalamnya tradisi-tradisi dikembangkan, diturunkan, dikritik, disunting, diubah,
bahkan ditambah untuk suatu kepentingan dan pengertian yang baru pula. Seperti halnya
konstitusi Amerika yang diilhamkan oleh rakyat Amerika yang mencerminkan perhatian dan
cara rakyat Amerika menjawab persoalan bangsanya, demikian pula Alkitab yang muncul
sebagai cerminan tradisi dimana penulisnya berada. Jadi, inspirasi atau pengilhaman Alkitab
berarti penulis Alkitab berusaha memahami hidup dengan cara bercermin pada yang ilahi
sebagi perjuangan untuk memahami dan mencari jalan yang benar. Alkitab tidak dikarang
untuk mendengungkan hal ihwal supernatural tetapi memperkenalkan pada Allah yang penuh
mujizat di tengah kehidupan dan peristiwa sehari-hari yang biasa.

Banyak dari kitab-kitab dalam Alkitab ditulis seperti novel sejarah yang menceritakan
kebenaran yang otentik namun disisipi dengan legenda untuk menggambarkan bagaimana
peristiwa tersebut terjadi. Bagi kita, yang utama bukanlah mengetahui apakah sesuatu itu
sungguh pernah terjadi namun yang lebih penting adalah maksud dari penulisnya dan
kebenaran yang ingin ditunjukkan oleh cerita-cerita tersebut untuk mengubah hidup kita.
Yesus sendiri tidak meninggalkan buku atau petunjuk untuk menjawab setiap persoalan
melainkan mengarahkan umat percaya agar melihat kitab-kitab sampai ke dalam dan
mengajukan penilaian yang tepat atas isu yang berlangsung. Sehingga Perjanjian Baru
muncul dari komunitas Kristen mula-mula untuk menjawab persoalan dan masalah yang
terjadi saat itu sama seperti Perjanjian Lama yang muncul untuk menjawab pergumulan
bangsa Israel. Persekutuan tubuh Kristus tentu harus mendefinisikan dirinya melalui cara
berdialog dengan tulisan yang diwariskan oleh para pendahulunya dalam ikatannya dengan
Roh Kudus dan terus berkomunikasi dengan hal pokok yang terkandung di dalam tulisan-
tulisan tersebut.

21
4.3. Bagaimana Menggunakan Alkitab pada Masa Kini

Setelah menemukan bahwa catatan Alkitab tidak boleh dibaca dengan harfiah atau
dengan menganggapnya sebagai catatan faktual, akan muncul pertanyaan apakah Alkitab ini
bisa dipercaya. Gambaran Kerajaan Allah yang diceritakan Yesus diibaratkan seperti ragi
yang tanpa disadari mengubah adonan dan seperti biji yang ditanam yang perlahan tumbuh
menjadi pohon yang rindang. Demikianlah pada masa penantian akan Kerajaan Allah kita
diperhadapkan dengan dunia lama yang sedang berlalu sekalipun masih ada di sekitar kita
dan dunia baru yang mulai tumbuh namun belum mekar. Seperti yang dijanjikan Yesus
bbahwa melalui Roh Kudus, dunia Perjanjian Baru dibawa menjauh dari dunia Perjanjian
Lama yang lekat pada tradisi dan kebudayaan lama. Pada akhirya gereja pada saat itu sadar
bahwa ada nilai baru yang diberikan oleh Roh Kudus dan bertindak dengan cara berbeda dari
Alkitab yang saat itu ada dan dimiliki oleh gereja, yaitu Alkitab Perjanjian Lama.

Perubahan radikal juga dipelopori oleh Paulus yang mengajarkan bahwa untuk masuk
kekristenan tidak perlu menjalani hukum agama Yahudi seperti bersunat, memelihara hari
Sabat, dan melanggar peraturan makanan hala dan haramyang akhirnya mengakibatkan
terjadinya konflik antara Paulus dan para rasul yang lain. Paulus menyadari bahwa apa yang
kelihatannya cocok, jelas, dan cukup menolong untuk satu masa menjadi tidak memadai lagi
ketika dunia baru tiba dengan hal yang lebih besar. Karenanya saat Paulus menjawab
persoalan jemaat yang dituliskan melalui surat kepadanya, seringkali ia mengatakan bahwa ia
bisa saja salah karena pengertiannya yang samar-samar bahkan sempat beberapa kali
pikirannya berubah akan suatu hal yang sama. Gereja memang melihat bagaimana dunia yang
baru ini telah berubah dan karena itu petunjuk untuk kehidupan itu harus berubah pula.
Pengilhaman atau inspirasi yang diterima oleh para rasul dan penulis kitab tidak sama dengan
pernyataan bahwa Alkitab tidak mungkin salah. Pengilhaman yang dimaksudkan adalah
Allah memberi mereka kemampuan untuk melihat kenyataan yang ada dalam terang makna
yang sesungguhnya dan mengajak mereka untuk mengungkapkannya dalam bahasa mereka
sehari-hari. Demikian pula gereja saat ini harus selalu percaya bahwa Allah masih turut
bekerja dalam kehidupannya dan tidak berhenti pada pengertian para rasul karena kepala
gereja yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus yang akan menyertai sampai akhir jaman.

Persoalan-persoalan yang terjadi di dunia modern tidak bisa dijawab dengan hanya
membeberkan ayat-ayat Alkitab maupun dengan melepaskan diri dari Alkitab sama sekali.
Memang Alkitab tidak memberikan jawaban persoalan secara langsung namun memberi
pandangan tentang apa artinya menjadi manusia dan menjelaskan kemanusiaan kita yang
sepenuhnya untuk menjawab persoalan yang berkaitan dengan etika saat ini. Dunia sehari-
hari yang biasa inilah yang akan menjadi cara pengungkapan diri Sang Pencipta namun
secara samar-samar sesuai pengertian dan kebudayaan kita. Bentuk pengungkapan terhadap
Sang Tak Terbatas mungkin saja memadai untuk suatu masa namun tidak cocok lagi dalam
masa berikutnya meskipun masih memiliki nilai kebenaran yang harus dipertahankan.
Dengan menemukan cara lain untuk meneguhkan apa yang pernah dikatakan di masa lalu itu
justru karena kita tetap yakin pada pesan dari masa lalu tersebut sesuai dengan kebijaksanaan
pada jaman kita sendiri dengan melirik pada pandangan para pendahulu sambil memohon
bimbingan Roh Kudus. Jadi jika kita ingin mengetahui kebenaran Alkitab, kita harus

22
memiliki pikiran yang terbuka dan siap untuk mempertanyakan sikap awal kita, mau
memperbaharuinya dan membangun kembali pandangan yang pernah ada di masa lalu.

BAB V

KESIMPULAN

Buku “Apakah Alkitab Benar” karangan David Ord mengajak kita memahami latar
belakang penulisan Alkitab dan apa yang terjadi dalam perkembangan Alkitab hingga
menjadi bentuk yang ada sekarang. Pemahaman makna dari pesan yang terkandung dalam
tulisan Alkitab tidak boleh meninggalkan tradisi dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat
pada saat kitab tersebut ditulis. Alkitab memang bukan buku sejarah yang setiap peristiwa di
dalamnya dicatat secara faktual, namun pesan kebenaran yang ada di dalamnya dapat menjadi
acuan umat Kristen untuk menjalani kehidupannya. Pemahaman terhadap isi Alkitab tidak
bisa berhenti pada pemahaman para penulis dan pembaca awalnya saja karena kita
diperhadapkan dengan dunia modern yang memiliki kebudayaan dan tradisinya sendiri.
Dalam menggunakan Alkitab pada masa kini, kita harus mengerti bahwa Roh Kudus masih
tetap bekerja memberikan pengetahuan dan pengilhaman untuk menjawab segala persoalan
yang terjadi sesuai dengan jaman yang kita hadapi. Alkitab dapat menjadi acuan karena berisi
pandangan para pendahulu tentang bagaimana menghadapi persoalan yang muncul pada
jamannya, namun tidak boleh menggantikan peran Kristus sebagai kepala gereja dan peran
Roh Kudus yang selalu bekerja dalam kehidupan orang percaya.

Kritik terhadap buku ini adalah penggunaan hipotesa perkembangan dan hipotesa
dokumen (teori YEDP) yang diajukan Julius Wellhausen sebagai satu-satunya contoh teori
perkembangan Alkitab tanpa membahas hipotesa lain yang dikembangkan oleh para ahli
biblika dan teolog. Dalam perkembangannya, kita bisa melihat banyak ahli biblika seperti
W.L. Baxter, William Henry Green, Geerhardus Vos, William Moller, Oswald T. Allis, Rolf
Rendtorff, Erhard Blum, John van Seters, Umberto Cassuto, Temper Longman III dan yang
lainnya yang menganggap teori ini sudah usang dan mengajukan teori-teori lain yang
menurut mereka lebih benar. Kepercayaan penulis pada teori YEDP bisa dipahami jika ia
menganggap teori tersebut benar, namun seharusnya ia juga harus mengangkat teori lain
sebagai perbandingan agar pembaca tidak memahami buku hanya dengan perspektif dari
penulis tanpa mempertanyakan kebenaran tulisannya.

23

Anda mungkin juga menyukai