Anda di halaman 1dari 4

Resume Konsep Sehat Sakit

Y. A. Theresia

NIM P1337420921183

Kesehatan adalah sesuatu yang normal, seringkali diabaikan dan hanya dipikirkan ketika sakit atau ketika
masalah kesehatan mengganggu aktivitas sehari-hari seseorang. Kesehatan berarti kekuatan dan
ketangguhan, memiliki daya tahan terhadap penyakit, mengatasi stres dan kelesuan. menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, “kesehatan adalah keadaan sehat, baik jasmani,
rohani, rohani, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.”

Konsep sehat dan sakit dalam pandangan orang dipersepsikan berbeda. Persepsi adalah sesuatu yang
subjektif. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar dan pengetahuan.
Persepsi sehat dan sakit bersifat relatif antara satu individu dengan individu lainnya, antara kelompok
masyarakat dan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Oleh karena itu, konsep sehat dan
sakit bervariasi menurut usia, jenis kelamin, tingkat penyakit, tingkat mobilitas.

Beberapa karakteristik yang dapat mempengaruhi persepsi sehat dan sakit, penyakit (dissease) adalah
gangguan fungsi fisiologis suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan.
Artinya penyakit merupakan fenomena objektif yang ditandai dengan perubahan fungsi tubuh sebagai
organisme, yang dapat diukur melalui pemeriksaan laboratorium dan pengamatan langsung. Sedangkan
penyakit (illness) merupakan penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit. Nyeri
menunjukkan dimensi fisiologis subjektif atau perasaan terbatas yang lebih berkaitan dengan orang yang
merasakannya, yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman (unfeeling well), kelemahan (weakness),
pusing (dizziness), rasa kaku dan mati rasa (numbness).

Bisa jadi dengan pemeriksaan kesehatan seseorang terserang suatu penyakit dan salah satu organ
tubuhnya mengalami gangguan, namun ia tidak merasa sakit dan tetap menjalankan aktivitasnya sehari-
hari. Senada dengan penjelasan tersebut, Sarwono (dikutip oleh Yunindyawati, 2004:15) mendefinisikan
bahwa sakit adalah suatu keadaan tidak menyenangkan yang mengganggu aktivitas jasmani dan rohani
sehingga seseorang tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dalam masyarakat. Sakit
mengacu pada dimensi sosial, yaitu kemampuan untuk memenuhi kewajiban terhadap kehidupan
kelompok. Selama seseorang masih dapat melaksanakan kewajiban sosialnya, bekerja dengan baik,
masyarakat tidak akan menganggapnya sakit.
Persepsi penyakit juga merupakan model kognitif yang dimiliki orang tentang gejala, penyakit, kondisi
medis, dan ancaman kesehatan (Benyamini, 2011). Pasien membangun mereka untuk memahami gejala
dan kondisi medis mereka dan untuk mengatasi ketidakpastian.

Selain faktor sosial budaya, persepsi sehat dan sakit juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
seseorang.

Persepsi penyakit adalah penilaian kognitif pasien dan pemahaman pribadi tentang kondisi medis dan
konsekuensi potensialnya (Broadbent et al., 2015). Persepsi penyakit berfokus pada bagaimana
pengalaman individu dan kerangka mental hidup dengan penyakit (Weinman dan Petrie, 1997).

Komponen utama dari persepsi penyakit meliputi bagaimana penyakit itu disebabkan, berapa lama itu
akan berlangsung, apa konsekuensi dari penyakit itu bagi kehidupan pasien, gejala penyakit dan
bagaimana kondisi dikendalikan atau disembuhkan. Diyakini bahwa cara pasien memandang penyakit
mereka adalah faktor kunci dalam jenis reaksi psikologis yang mereka miliki terhadap penyakit, dan
perilaku serta sikap selanjutnya terhadap penyakit (Weinman dan Petrie, 1997 (Benyamini, 2011).

Dari jurnal penelitian mengenai sehat sakit oleh Martin, 2018 di berbagai penyakit, persepsi konsekuensi
penyakit dan representasi emosional secara konsisten merupakan persepsi penyakit dengan hubungan
terkuat dengan hasil. Variabel koping cenderung menjadi prediktor hasil yang lebih kuat daripada
variabel persepsi penyakit. Bukti untuk efek mediasi dari koping tidak konsisten.

Common Sense Model (CSM) mengemukakan bahwa ketika seorang individu dihadapkan dengan
penyakit atau kondisi kesehatan, mereka akan mencoba untuk memberikan makna penyakit ini dengan
mengakses representasi kognitif dan emosional penyakit mereka (persepsi penyakit). CSM mengusulkan
bahwa individu akan mengembangkan prosedur koping (berdasarkan persepsi penyakit mereka), yang
kemudian akan dievaluasi dalam hal keberhasilan mereka. Hasil evaluasi ini dapat berupa perubahan
strategi koping dan/atau perubahan persepsi tentang penyakitnya. CSM, oleh karena itu,
menggambarkan hubungan antara representasi kognitif dan emosional dari penyakit dan strategi
koping.

Awalnya, CSM memandang strategi koping sebagai hasil perilaku dan penelitian berdasarkan model
telah memeriksa apakah persepsi penyakit merupakan prediktor penting dari prosedur koping dalam hal
hasil perilaku seperti kepatuhan pengobatan, kehadiran di rehabilitasi jantung dan perawatan diri pada
diabetes. Selanjutnya, CSM telah digunakan sebagai model untuk menjelaskan hasil fisik atau psikologis
misal kontrol glikemik; kualitas hidup. Penelitian ini biasanya menganggap koping sebagai konsep yang
lebih luas daripada hasil perilaku dan juga memasukkan strategi kognitif dan emosional yang mungkin
digunakan seseorang untuk mengelola situasi yang berpotensi negatif. Misalnya, dalam konteks ini,
koping diartikan sebagai strategi koping penghindaran, seperti pelepasan perilaku (menyerahkan upaya
untuk mengelola situasi); pendekatan strategi koping, seperti penerimaan (belajar untuk hidup dengan
situasi); strategi koping yang berfokus pada emosi, seperti melampiaskan (mengekspresikan perasaan
negatif); dan strategi koping yang berfokus pada masalah, seperti koping aktif (melakukan sesuatu
untuk membuat situasi menjadi lebih baik). Kategori-kategori ini tidak saling eksklusif.

Ada banyak penelitian yang menghubungkan elemen CSM dengan hasil psikologis di antara orang-orang
dengan penyakit fisik. Namun, menggunakan CSM untuk menjelaskan hasil psikologis adalah
ekstrapolasi dari model asli dan ekstrapolasi ini jelas membuat para peneliti tidak yakin tentang peran
koping (sekarang dikonseptualisasikan dalam arti yang lebih luas). Meskipun CSM mencakup
representasi emosional dari penyakit dan strategi koping emosional sebagai pertimbangan, CSM tidak
secara eksplisit membahas hasil psikologis. Tidak mengherankan, oleh karena itu, penerapan CSM untuk
menjelaskan hasil psikologis telah terbuka untuk interpretasi peneliti individu, yang telah
mengakibatkan inkonsistensi di sekitar elemen CSM mana yang dianggap penting dalam menjelaskan
hasil psikologis (yaitu relevansi representasi emosional). ) dan kebingungan tentang bagaimana elemen
CSM dianggap berhubungan satu sama lain (yaitu apakah prosedur koping dihipotesiskan untuk
menengahi hubungan antara persepsi penyakit dan hasil).

Misalnya, Price dkk. dan Dempster dkk. keduanya berhipotesis bahwa persepsi penyakit dan variabel
koping penting ketika menjelaskan variasi dalam hasil penderitaan di antara orang-orang dengan kanker.
Namun, Dempster et al. menguji model yang mengasumsikan hubungan antara persepsi penyakit dan
kesusahan akan dimediasi oleh koping, sedangkan Price et al. tidak membuat asumsi apapun tentang
mediasi. Selanjutnya, Benyamini et al. tidak memasukkan ukuran koping dalam pemeriksaan mereka
tentang hubungan antara persepsi penyakit dan kualitas hidup di antara orang-orang dengan dermatitis,
meskipun CSM disajikan sebagai model teoretis yang membenarkan penelitian mereka. Memang,
Wenninger et al. Menggabungkan konsep persepsi penyakit dan koping. Mereka menilai persepsi
penyakit di antara orang dewasa yang selamat dari kanker masa kanak-kanak, dan mengacu pada
langkah-langkah persepsi penyakit sebagai strategi penanggulangan.
Di Indonesia sendiri kita bisa melihat persepsi sehat dan sakit yang dipengaruhi oleh kebudayaan yang
berbeda di tiap daerah. Sebagai contoh, masyarakat di Jawa Tengah punya masalah kesehatan yang
lazim disebut sebagai masuk angin oleh penduduk lokal, penyelesaiannya dapat dengan metode
perawatan komplementer seperti dikerok (dengan koin, bukan dengan linggis). Namun di daerah lain
belum tentu dapat mengatasi penyakit dengan metode ini. Oleh sebab itu sebagai perawat hendaknya
kita mendukung konsep sehat dan sakit yang dimiliki klien sesuai dengan apa yang dipercayainya namun
masih dengan evidence base atau bukti terkait intervensi serta konsep sehat sakit yang dimiliki klien.

Anda mungkin juga menyukai