BAB I
A. Hakikat Pendidikan
Pada dasarnya pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita
semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan,
benar atau salah, keindahan atau kejelekan. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi
bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan
menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh
filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan
berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai
tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
BAB II
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi adalah
yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada
secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas dalam semua bentuknya.
Landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh
kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran
ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat
diandalkan tidak cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara
empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu
pengetahuan.
Landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan?
Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang
diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?
BAB III
A. Progresivisme
B. Konstruktivisme
Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang dipelajari. Hal
ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang
telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis,
memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk
konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekedar
menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan
bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberian tidak akan
bermakna.
C. Humanistik
BAB IV
Lenzen meninjau ilmu dari segi morfologis atau bentuk substansinya, sebagai
pengetahuan sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan. Ditinjau
dari substansi atau isinya, ilmu pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan tentang
pendidikan yang diperoleh melalui riset. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa organisasi isi
ilmu pendidikan, sebagai sebuah sistem konsep terbentuk dari unsur-unsur yang berupa konsep
tentang variabel-variabel pendidikan dan bagian-bagian yang berupa skema konseptual tentang
komponen pendidikan. Model-model teoretis adalah seperangkat konsep-konsep yang saling
berkaitan erat yang membentuk sebuah pandangan tentang kehidupan. Dengan demikian,
berkembanglah berbagai teori substansif tentang metode mengajar.
3. metode scholastisism,
Filsafat sebagai teori umum pendidikan dapat diterapkan dalam penentuan kurikulum,
metode, tujuan, serta kedudukan dan peran guru atau pendidik juga anak didiknya. Adanya
berbagai aliran dalam filsafat pendidikan juga menyebabkan berbeda-bedanya kurikulum,
metode, tujuan, serta kedudukan guru dan siswa tersebut dalam struktur pendidikan. Semuanya
tergantung pada mazhab apa yang diterapkan atau dianut oleh para pelakunya. Hanya saja, dalam
hal ini mereka dituntut untuk memiliki kurikulum yang relevan dengan pendidikan ideal, juga
disesuaikan dengan perkembangan jaman dan menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan
pertumbuhan yang normal. Metode pendidikan juga harus mengandung nilai-nilai instrinsik dan
ekstrinsik yang sejalan dengan mata pelajaran dan secara fungsional dapat direalisasikan dalam
kehidupan. Selain itu, tujuan pendidikan tidak hanya terpaku pada salah satu pihak semata,
melainkan untuk seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan. Kedudukan guru dan siswa harus
benar-benar dimengerti oleh keduanya sehingga dapat menjalankan peranannya masing-masing
dengan baik.
BAB V
Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarkhi mengenai nilai yang dipandang lebih
penting dan yang dipandang kurang penting. Pendidikan sebagai usaha yang sadar dan sistematis
dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian, dan kemampuan
fisiknya, memunyai tugas untuk mengkaji terus nilai-nilai kebudayaan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pendidikan adalah pengembangan nilai budaya yang telah tertanam dalam
diri anak didik agar tetap relevan dengan perkembangan jaman.
BAB VI
Kita sekarang sedang dilanda krisis nilai. Orang sibuk berpikir bagaimana mendapatkan
kebutuhan sebanyak-banyaknya dan menjadi orang ternama untuk melindungi diri. Namun
ketika kematian datang menghampirinya bau menyadari bahwa apa yang telah diperjuangkan
selama ini dengan susah payah tidak satu pun yang dapat dibawanya, kecuali sedikit nilai
kebaikan yang pernah dilakukannya terhadap orang lain. Semua yang kita cari akan musnah dan
punah. Harta akan habis, nama akan dilupakan. Hanya kasih sayang dan kearifan yang tidak akan
luntur oleh zaman. Tidak ada warisan yang lebih baik yang dapat diwariskan dalam kehidupan
ini kecuali nilai-nilai kebaikan, kasih sayang, dan ilmu yang membimbing ke jalan Allah yang
membuat generasi sesudah kita dapat berpegang dengannya demi kebaikan hidup mereka. Untuk
itulah pada hakikatnya manusia diberikan pikiran yang perlu terus dikembangkan melalui
pendidikan. Pada akhirnya pendidikanpun menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya nilai
ketika pendidik memberikan layanan pendidikan yang ramah anak, tidak diskriminasi, dan
merangkul setiap perbedaan potensi dan kebutuhan belajar peserta didik yang beragam.
Aliran inilah yang menjadi dasar atau landasan terbentuknya pendidikan karakter.
Pandangan yang mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk
mengatasi masalah-masalah. Progresivisme yang juga menaruh kepercayaan terhadap kebebasan
manusia dalam menentukan hidupnya, serta lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi
kepribadianya. Beberapa hal yang terkandung dalam aliran progresivisme ini kemudian secara
mendalam dipikirkan untuk kemudian memunculkan sebuah paradigma pendidikan yang sedang
menjadi primadona paradigma pendidikan dewasa ini, yang tidak lain adalah pendidikan
karakter.
Manusia yang memiliki norma dan aturan yang berkembang dalam kehidupannya adalah
salah satu contoh pembangunan manusia yang berkarakter. Lebih jelas lagi, ketika manusia
tersebut sadar bahwa ilmu yang dipelajari adalah untuk mengangkat marwah dirinya dan negeri
ini. Belajar ilmu pengetahuan adalah belajar dari buah, dimana buah tersebut sebenarnya
memiliki pohon besar yang mampu berbuah tanpa mesti menungggu musim panen. Pohon
tersebut adalah pohon filsafat. Mengkaji filsafat dalam membangun manusia yang berkarakter
secara sempurna sangat diharapkan. Apalagi negeri ini sudah begitu bobrok sehingga kita butuh
sebuah karakter yang kuat. Karakter anti korupsi yang sebenarnya bisa disandingkan dengan
beberapa karakter lainnya. Filsafat ada dalam setiap gerak langkah kita, ilmu adalah jalannya.
Maka manusia yang menguasai filsafat adalah manusia yang berkarakter.
Jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekolah maka guru akan menjadi pioner dan
sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena guru yang memang secara khusus
memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah
kesehatan mental, dengan demikian guru harus sangat akrab dengan program pendidikan
karakter. Guru harus mampu melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru bidang
studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai dari
program pelayanan dasar yang berupa rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi
tentang pendidikan karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan,
membantu orang lain, persahabatan, cara belajar, menejemen konflik, pencegahan penggunaan
narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan individual berupa kemampuan untuk membuat
pilihan, pembuatan keputusan, dan seterusnya. Program pelayanan responsif yang antara lain
berupa kegiatan konseling individu, konseling kelompok. (Dr. H. Amka, 2019)
TUGAS HANDOUT 5 (MEMBUAT LAPORAN BACAAN DARI BUKU GEORGE
KNIGHT)
BAB I
Pertama mengenai Bab I ini kita awali dengan pengertian Filsafat. Secara bahasa kata
Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Namun perlu di catat, bahwa mencintai kebijaksanaan
tidaklah menjadikan seseorang menjadi Filsuf. Kita ketahui Filsafat dalam arti teknis kiranya
paling tepat di pahami sebagai hal meliputi tiga aspek, yaitu sebuah aktivitas, sikap, dan sebuah
keterpaduan isi. Tujuan filsafat pendidkan sendiri adalah mengantarkan semua variable yang
berkecimpung terlibat dalam pendidikan (guru, siswa, kurikulum dll) menuju kontak langsung
dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendasari makna dan tujuan hidup dan pendidikan.
Dalam cabang ilmu filsafat terdapat beberapa cabang yang membahas tentang pendidikan
antara lain, ontologi, epistemology, dan aksiologi. Tiga komponen itu tadi merupakan komponen
dasar dari system lingkup dalam pendidikan. Penulis di sini mencoba untuk menjelaskan satu
persatu tentang cabang ilmu filsafat, yakni:
a. Ontologi
Ontology memiliki pengertian ilmu pengetahuan atau ajaran tentang kebenaran. Ontology
juga sering di sebut dengan metafisika umum yang membahas tentang prinsip paling dasar.
Dalam kaitanyan dengan pendidikan ontology atau metafisika umum membahas tentang kajian
realitas puncak yang di maksudkna di sini adalah pusat konsep apa pun dari pendidikan karena
sangatlah penting bahwa program pendidikan sekolah itu di dasarkan atas fakta dan realitas
daripada atas khayalan atau fantasi, ilusi atau angan-angan kosong. Dalam perkembanganya
dalam pendidikan ontology ini merabah pada pembahasan tentang kurikulum, system
pendidikan, peran guru terhadap murid.
b. Epistemologi
c. Aksiologi
Kemudian dalam pembahasan Bab I ini penulis membahas tentang makna antara
pendidikan dan belajar. Belajar dapat di rumuskan sebagai proses yang menghasilkan
kemampuan menampilkan tingkah laku manusia yang baru maupun yang berubah. Dari rumusan
ini dapat di artikan bahwa belajar merupakan suatu proses yang berbeda dengan sekolah yang di
batasi oleh ruang lingkup lembaga, belajar dapat di lakukan di manapun dan kapan pun secara
otodidak. Sedangkan pendidikan kiranya merupakan sebagai rangkain dari belajar, yang di
nauggi lingkup lembaga guna mengontrol atau mengola situasi belajar yang di inginkan oleh
pelajar.
Di lihat dari uraian di atas kita bisa melihat Pendidikan sebagai mana belajar, adalah
suatu proses sepanjang hanyat yang bisa di berbagai lingkungan dan konteks yang tak terbatas.
Dan perlu di perjelas lagi bahwa pendidikan berbeda konsep dengan belajar yang lebih luas,
karena pendidikan mencakup gagasan tentang control yang di lakukan oleh pelajar menuju hasil
yang di inginkan.
BAB II
Kita ketahui bahwa epistemologi dan metafisika berada pada pusat utama proses edukasi.
System-sistem pendidikan bersinggungan dengan pengetahuan oleh karena itu epistemology
merupakan determinasi utama paham-paham dan praktik-praktik kependidikan. Contoh dari
pengaruh langsung epistemology terhadap pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang pentingnya
ragam sumber pengetahuan yang tercermin pada kurikulum. Di gambarkan dalam suatu system
sekolah di dasarkan pada sains adalah sumber utama pengetahuan maka akan mempunyai
kurikulum dan muatan kurikulum yang secara subtansi berbeda dengan kurikulum sekolah
keagamaan yang berpendapat bahwa wahyu merupakan sumber pengetahuan yang pasti.
Dalam pembahasan kali ini terdapat dilema antara epsitemologi dan metafisis. Persoalan
kita adalah bahwa tidak mungkin membuat penyataan tentang realitas tanpa terlebih dulu
mempunyai teori untuk sampai pada kebenaran, dan sebaliknya, sebuah teori tentang kebenaran
tidak bisa di kembangan tanpa terlebih dulu mempunyai suatu konse realitas. Kesimpulan dilema
metafisi-epistemologi adalah bahwa semua orang hidup dengan iman terhadap kepercayaan-
kepercayaan dasar yang mereka pilih.
Aksiologi, seperti metafisika dan epistemologi, berada pada dasar yang sama terhadap
pendidikan. Aspek utama pendidikan adalah pengembangan prefensi-prefensi atau
kecenderungan diri. Ruang kelas merupakan tempat aksiologi di man sang guru tidak bisa
menyembunyikan moral dirinya. Maksudnya, seorang guru mengajar dengan mengunakan moral
kepada peserta didik yang mana kala kelakuan atau pun moral seorang guru akan di tiru oleh
peserta didik.
Aksiologi mempunyai dua cabang ilmu utama yaitu tentang etika dan estetika. Pengertian
dari etika adalah kajian tentang nilai-nilai dan perilaku moral. gambaran etika terhadap
pendidikan meliputi perilaku yang terjadi kepada peserta didik (siswa) maupun pendidik (guru).
Sedangkan pengertian estetika adalah nilai yang berusaha mencari prinsip-prinsip yang
memandu kreasi dan apresiasiterhadap keindahan dan seni. Estetika dalam lingkup pendidikan
cenderung menekankan keindahan dalam suatu hal, semisal ruang kelas, sekolah, dll. Bukan
hanya tentang keindahan dalam hal seni meliputi tentang music, lukisan dan lain sebagainya.
BAB III
Idealisme pada intinya adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran,
akal-pikir yang penekananya pada objek-objek dan daya-daya material. Idealisme juga
berpendapat bahwa akal lebih dulu ada dari pada materi. Serta menganggap akal-pikiran adalah
hal yang nyata. Pada alam semesta ini aspek paling penting dari pelajaran adalah inteleknya
(akal-pikir). Kaitan aliran filsafat idealisme dengan pendidikan adalah menyangkut tentang peran
guru yang menepati posisi yang lebih dekat dengan yang Absolut daripada dengan murid, karena
ia mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai dunia puncak dari akal-pikiran. Guru
mempunyai pengetahuan realitas yang lebih luas daripada murid sehingga guru merupakan
panutan dari murid untuk di ikuti baik dalam kehidupan intelektual maupun social.
Realisme merupakan reaksi terhadap keabstrakan dari idealism. Titik tolak dari penganut
realisme adalah bahwa objek-objek dari indra kita muncul dalam bentuk apa adanya terlepas dari
cerapan pengetahuan yang di bangun dari akal pikir. Kebenaran menurut penganut realisme
dinilai sebagai fakta yang dapat diamati. Cerapan indra adalah sarana untuk pemerolehan
pengetahuan. Dapat di pahami bahwa aliran realisme mengunakan metode-metode pengamatan
atau pun pengujian terhadap suatu objek guna menguak kebenaran suatu hal. Realism juga
cenderung condong kepada teori korespondensi untuk mengabsahkan konsepsinya tentang
kebenaran, yaitu kebenran adalah hal yang sesuai dengan situasi actual sebagaimana ditangkap
oleh si prngamat.
Sangat jelas bahwa posisi sekolah dalam realism kurang lebih mendekati posisi social
sekolah dalm idealisem. Tujuan sekolah adalah untuk mengalihkan pengetahuan yang di tetapkan
oleh mereka yang mempunyai sebuah konsep jelas tentang sains empiris, hokum alam dan fungsi
dalam alam semesta.
Perlu di ketahui bahwa neoskolastisme adalah sebuah pendapat filosofis yang mempunyai
dua cabang. Cabang yang pertama membahas tentang penegakak pendidikan cabang agama yang
sering di sebut sebagai realism skolastik, realism relegius, dan neo-Thomisme gerejawi.
Kemudian bagian kedua cabang sekuler yang membahas tentang humanism rasional, realism
klasik, dan neo-Thomisme sekuler. Neoskolastisisme merupakan sebuah pengungkapan modern
dari suatu filsafat tradisonal. Esensi skolastisime adalah rasionalisme. Neoskolastisisme juga bisa
di sebut merupakan bentuk baru dari skolsdtidime dengan penekanan pada, dan seruan terhadap
rasio manusia.
BAB IV
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala
seuatu yang membuktikan dirinya sebagaimana yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat
atau hasil yang bermanfaat secara praktis. Pragmatism pada dasarnya adalah sebuah usaha
epistemologis. Dalam faham prakmatisme ini menghendaki bahwa tidak ada hal yang absolut
dan tidak ada hal yang mutlak, semuanya bisa berubah seiring berjalannya waktu. Apa yang
benar hari ini kemungkinan menjadi tidak benar hari esok karena realitas tidak dapat di pisahkan
dari pengalaman. Manusia hidup dalam pengalaman yang berubah dan terus menerus meluas,
sehinga pengalaman yang di peroleh hari ini bisa saja tidak memungkinkan menjelaskan masalah
di hari yang akan datang. Oleh karena itu, pragmatisme berpendapat bahwa kebenaran hanya
bersifat relatie dan apa yang benar hari ini belum tentu benar di waktu mendatang. Kemudian
mengenani aksiologi pragmatisme secara langsung terkait dengan epistemologinya. Sebagaimana
seorang manusia bertanggung jawab atas sebuah pengetahuan , demikian pula bertanggung
jawab atas nilai-nilai. Nilai-nilai juga bersifat realtif dan tidak bersifat absolute.
Eksistensialisme adalah salah satu pandangan baru dalam dunia kefilsafatan. Merupakan
produk abad XX. Lebih mengedepankan terkait dengan susastra dan seni. Sehingga tak di
ragukan lagi ini akan berkaitan dengan emosi-emosi manusia daripada intelek. Eksistensi
individu adalah titik bidik pandangan eksistensialisme tentang realitas. Filsafat-filsafat
tradisional menyerahkan keauntetikan manusia kepada sebuah system logis, umat berdasarkan
pada Tuhan, kalangan realis memperhatikan alam karena makna, dan kalangan pragmatisme
bertumpuh pada masyarakat.aliran-aliran itu mengangkat individu dari upaya mengatasi realitas
utama dan krusial dari eksistensi (keberadaan) dirinya sendiri dan maknanya dalam sebuah dunia
tanpa makna terlepas dari eksistensi tadi. Focus filsafat eksistensialisme adalah pada dunia
aksiologi, kalangan eksistensialisme di hadapkan pada peliknya menghasilkan nilai-nilai dari
ketiadaan. Nilai-nilai dalam eksistensialisme cenderung mengarah kepada kebebasan, karena itu
mengapa di katakan menghadapi suatu kepelikan karna di sebabkan beban berat dari kebebasan
untuk membuat keputusan etis individual terjadi karena manusia harus membuat pilihan-
pilihannya sendiri yang berdampak pada tanggung jawab atas pilihan-pilihannya itu. Ia tidak
dapat berdasarkan pada sumber otoritas apapun selain dirinya sendiri.
Menegenai pendidikan, sudah di jelas di awal tadi bahwa ekstitensisme tidak begitu lugas
dan jelas mengenai pendidikan. eksistensialisme menganggap pendidikan adalah hal yang
membahayakan, karena menganggap menghapus system individualitas dan kreatifitas sehingga
akan di takutkan dapat mengahancurkan, membahayakan peserta didik menjadi tenaga
penggerak dalam mesin teknologi industri dan birokrasi modern. Berbicara mengenai sosok guru
dalam pandangan eksistensialismei, sangat berbeda dengan berbicara sosok guru menurut
pandangan filsafat tradisional. Dari pandangan eksistialisme guru hanya sebagai orang yang
memperhatikan keunikan individualitas masing-masing peserta didik. Dalam perannya, guru mau
menghargai aspek-aspek emosional dan irasional individu-individu dan mau berupaya
mengarahkan dengan serius peserta didik ke pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Berbicara mengenai kurikulum, kaum eksisitensialis terbuka atas perubahan. Serta masih
mengunakan dasar-dasar pendidikan filsafat tradisional yang mengenai 3R (membaca, menulis
dan berhitung), sains dan juga kajian social harus di pelajari. Namun perlu di ketahui bahwa
dasar-dasar itu tadi perlu di tampilkan dalam hubungannya dengan perkembangan individu
peserta didik daripada di isolasikan dari makna dan tujuan individu sebagaimana seringkali
terjadi dalam pendidikan tradisional. Inti dari kurikulim ajaran eksistialisme adalah kajian
apapun yang berkaitan dengan individu. Kemudian tentang motodologi bagi kalangan
eksisitensialisme, berkonsep tidak ada pemaksaan sehingga subjek didik menemukan metode-
metode yang mengara pada kepercayaan dri sendiri (individu). Perlu di ingat kembali bahwa
eksistensialisme tidak sama sekali menekankan tentang pendidikan atau sekolah. Akan tetapi
lebih mengutamakan penekanan terhadap individu daripada aspek-aspek social eksistensi
manusia.
BAB V
a. Progresivisme
Di awal Bab kita sudah di jelaskan tentang filsafat pragmatisme, dalam hal ini
pragmatisme memunculkan teori progresivisme yang merupakan bagian dari gerakan reformasi
umum social-politik yang menandai kehidupan Amerika di akhir abab XIX dan awal abab XX.
Prinsip-prinsip dalam progresivisme mengenai pendidikan sangat bertentangan dengan aliran
tradisional. Bahwa kita ketahui aliran tradisional mempunyai pemikiran bahwa titik sumbu dari
pendidikan adalah Guru. Tapi sebaliknya, semua itu di balik oleh teori progresivisme
bahwasanya pendidikan menepatkan subjek didik ke dalam titik sumbu sekolah. Dalam buku ini
juga di jelaskan bahwa dalam aliran progresivisme ini menempatkan guru hanya sebagai
pendamping, menasihati dalam keadaan para subjek didik menemui jalan buntu, dan sebagai
pengawal di lingkungan yang baru. sedangkan mengenai subjek didik, aliran progresivisme
berangapan bahwa manusia (subjek didik) bukanlah mahluk yang pasif sehingga di beri ruang
lebih untuk aktif. Karna pada dasarnya manusia adalah mahluk dinamis yang secara alamiah
berkeinginan untuk belajar, jika tidak di buat frustasi oleh orang dewasa. Kemudian dalam buku
ini juga di jelaskan bahwa kepercayaan kalangan progresivisme bahwa sekolha dalah miniatur
dari masyarakat yang lebih luas.
c. Esensialisme
d. Rekonstruksionalisme
Hal yang melatar belakangi munculnya teori rekonstruksional bermula pada saat tahun ke
1930 terjadi sebuah decade krisis. Menyebabkan depresi dunia yang meluas melumpuhkan
bangsa-bangsa kapitalis secara ekonomi. Depresi tersebut dapat di gambarkan seperti kelaparan
di tengah kemakmuran. Mengatasih krisis itu salah satu tokoh terkemuka pada zaman itu
menawarkan pendekatan lewat pendidikan. Mengajak pendidik untuk membuang mental
budaknya, kemudia ia menyuruh kalangan professional pendidikan mengorganisir system
sekolah dari tingkat kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi agar kemudian dapat
bermanfaat dalam kepentingan masyarakat luas. Kecenderungan pemikiran tersebut
memunculkan kebalikan dari peran tradisional sekolah dari sebagai pengalih budaya yang
bersifat pasif menuju agen informasi kemasyarakatan yang bersifat aktif. Itu tadi merupakan latar
belakang munculnya teori rekonstruksionalisme.
e. Behaviorisme
BAB VI
Di dalam buku ini akan di jelaskan bahwa peran filsafat analitis dalam hubungannya
dengan pendidikan secara radikal berbeda dari keterangan antara aliran-aliran filosofis dengan
kegiatan pendidikan. Karena dalam filsafat analitis menganggap bahwa pernyataan metafisis
adalah tiada bermakna (nonsense) dan membuat binggung. Lah tuduhan kalangan analis adalah
bahwa banyak pernyataan-pernyataan pendidikan itu nonsense. Oleh sebab itu, filsafat analitis
beranggapan bahwa banyak persoalan-persoalan pendidikan adalah pada persoalan-persoalan
bahasa inti. Jadi, bila kita mampu memecahkan persoalan-persoalan bahasa, maka kita dapat
mengurai secara lebih baik persoalan-persoalan pendidikan. Contoh : seorang guru menyuruh
peserta didik untuk membaca salah satu buku pelajar yang bertujuan agar lebih faham dalam
konteks pelajaran itu tadi. Lah tugas kalangan analitis dalam hal ini bukan berupaya mengatakan
apakah seorang anak (subjek didik) harus membaca atau lainnya. Akan tetapi kalangan analitis
akan menguji apa yang di maksud dengan membaca, berpikir, dan belajar. Tugasnya hanya
mengklarifikasi melalui analisis. Jadi dapat di simpulkan bidang kalangan analitis dalam lingkup
pendidikan adalah pengembangan medel-model yang membantu kita mengklarifikasi dan menata
konsep strategi untuk membantu dalam bahasa spesifik.
Filsafat analitis telah mengembangka filsafat ke pendidikan dalam beragam cara dengan
menjadikan lebih peka terhadap implikasi-implikasi peristilahan pendidikan. Namun, perlu di
ketahui bahwa filsafat analitis tak luput dari kritik, salah satunya filsafat analitis cenderung
menjauhi praduga-praduga epistemologis dan metafisikanya. Sedangkan di satu sisi yang lain,
ketika mereka berpendapat bahwa setiap peristilahan factual atau deskriptif harus ada dalam
bahasa sains dan bahwa proposisi-proposisi harus bisa di verifikasi dengan pengamatan indra,
mereka mengasumsikan sebuah doktrin metafisis sejalan dengan materialisme, realisme, dan
postivisme. Demikianlah, metafisika dan epistemology mereka.
BAB VII
Setiap person memiliki sebuah filsafat hidup yang kita bawa ke dalam ruang kelas.
Dalam buku ini penulis memberikan contoh bahwa seorang guru menyelenggarakan dan menilai
ujian untuk mendorong siswa menguasai materi pelajaran tidaklah semata-mata hanya untuk
mengukur pengetahuan. Akan tetapi lebih di tujukan kepada subjek didik (siswa) agar terdorong
lebih serius, bersungguh-sungguh dalam mengatasi suatu materi pelajaran dari guru. Penulis juga
menjabarkan fungsi filsafat personal bagi seorang pendidik, agar dapat di renungkan dengan baik
yang kemudian akan membantu untuk 1. Membantu memahami persoalan-persoalan pendidikan
yang paling mendasar 2. Memberdayakan untuk bisa menilai secara lebih baik. 3. Membantu
untuk mengklarifikasi pemikiran tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan 4. Membimbing
untuk mengembangkan sudut pandang yang konsisiten secara internal dan program yang realistis
yang berkaitan tentang lingkungan dunia yang lebih luas.
Setelah di perkenalkan dengan enam filsafat dan delapan teori pendidikan yang di muat
dalam buku ini, dan tela akrab dengan isme-isme yang ada. Setelah mengetahui isme-isme yang
sistematis bukan berarti merupakan akhir dari pemahaman filosofis. Melainkan awal untuk
generasi yang akan datang berupaya untuk selalu memecahkan permasalahan hidup dalam pola
yang terpadu dan koheren. Sebagai seseorang yang mempelajari filsafat pendidikan kita di tuntut
utuk selalu berfikir dan merenung dalam semua hal (pemikiran dan tindakan) yang bertujuan
untuk memiliki pemikiran serta pandangan-pandangan yang teruji. Perlu di sadari, menghasilkan
pandangan-pandangna yang teruji juga harus melakukan praktek-praktek yang di mulai pada diri
sendiri. Seperti contoh di dalam buku ini : kita menguji dengan pandangan kita tentang
pembahasan dalam bab II,mengenai realitas, kebenaran, dan nilai. Setelah merenungkan dan
mendapatkan sebuah pandangan, maka kita berada pada suatu posisi untuk membuat pernyataan
berkaitan dengan apa yang anda percayai sebagai tujuan umum pendidikan. Sebagai seorang
pendidik kita di tuntut untuk selalu berfilsafat melalui praktek-prektek yang sudah di contohkan
di atas serta menginduksi filsafat diri sendiri atau mengembangkan filsafat dalam beberapa cara.
Untuk di terapkan kepada peserta didik, komunitas (masyarakat) dan tentunya diri sendiri.
Tersirat dalam alasan dasar pengajaran filsafat pendidikan yaitu bahwa pekerjaan terbaik yang
berhubungan erat dengan tindak kecerdasan daripada dengan kedunguan.
(Knight, 2007)
Pendidikan IPS merupakan praktik pendidikan, yakni praktik tentang pendidikan ilmu-
ilmu sosial agar para peserta didik mampu memahami masalah-masalah sosial dan dapat
mengatasinya serta mengambil keputusan tepat terhadap masalah yang dihadapi dalam
kehidupannya.
Unsur-unsur dalam filsafat pendidikan IPS yang harus diteliti :
1. Perkembangan Sosial
Manusia adalah individu yang nyata, yang dapat dilihat dari kerja mereka atau dari
kondisi riil kehidupan mereka. Itulah hakekat keberadaan manusia dan hakekat hasil kerja
mereka. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara empiris. Sebagai makhluk individu, manusia
dapat dilihat dari kondisi riil kehidupannya. Manusia dan masyarakat hidup, berubah dan
berkembang dari cara mereka membuat barang-barang material untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Kesadaran Sosial
Kesadaran Sosial dilahirkan dari keadaan sosial, yaitu ide, gagasan dan pikiran yang ada
pada manusia. Itu adalah realisasi dari interaksi antara manusia dalam kegiatannya memproduksi
barang-barang material atau dalam keadaan sosial atau dalam kehidupan riilnya. Manusia adalah
produsen gagasan-gagasan rohaniah yang dinyatakan dalam kata-kata, misalnya dalam filsafat,
hukum, ajaran moral, ideologi, dsb.
3. Ideologi Sosial
Ideologi Sosial adalah bangunan atas suatu masyarakat, yaitu seistem keyakinan yang
dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Ideologi itu berdasarkan pada basis.
4. Perjuangan sosial
Perjuangan Sosial ialah tindakan masyarakat untuk mengubah sistem sosial yang berlaku
sesuai dengan perkembangan tenaga produktif masyarakat.
5. Perubahan Sosial
Perubahan Sosial ialah bergantinya sistem politik dan sosial suatu masyakarat, pada
umumnya melalui revolusi. Negara dan revolusi merupakan dua sisi pada satu keping mata uang.
Negara lahir karena adanya revolusi, dan revolusi lahir karena adanya negara yang menindas
rakyatnya.
6. Pimpinan Sosial.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat, setiap kelompok (golongan) manusia ada yang
menjadi pemimpin dan ada yang menjadi pengikut (massa), Pemimpin dan massa merupakan
dua sisi dari keping mata uang, artinya pemimpin dan massa itu merupakan satu kesatuan yang
utuh yang tidak dapat dipisahkan. IPS sebagai kajian akademik merupakan perkembangan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan bidak praktik pendidikan. Komitmen kelompok
masyarakat yang ingin mengembangkan pengetahuan sosial dan humaniora yang dikemas secara
psikologis untuk tujuan pendidikan dan kajian sosial serta humaniora untuk program pendidikan
tingkat sekolah. Pendidikan IPS merupakan kemasan pengetahuan yang telah dipertimbangkan
secara psikologis untuk kepentingan pendidikan.
Jati diri IPS dan pembelajarannya adalah pembelajaran IPS bukan sekedar learning for
schooling, tetapi learning for llving pula. IPS menekankan pada konsep tidak sekedar digali dari
disiplin ilmu pendukungnya tetapi dikenali dan ditemukan di masyarakatnya sehingga IPS dapat
menghadirkan pengetahuan yang mewujdukan kesadaran kritis, kesadaran reflektif peserta didik
dan tidak mengalinasi peserta didik dari masyarakat di sekitarnya.
REFERENSI
Dr. H. Amka, M. (2019). Filsafat Pendidikan. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.
Muhammad Imam Farisi, A. M. (n.d.). Pendidikan IPS Sebagai "Synthetic Disipline": Kajian Epistimologis
Atas Pemikiran Nu'man Somantri. 12.