Anda di halaman 1dari 24

HANDOUT 4 (LAPORAN BACAAN BUKU FILSAFAT PENDIDIKAN)

BAB I

SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Hakikat Pendidikan

Pada dasarnya pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.

C. Tujuan Filsafat Pendidikan

Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita
semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan,
benar atau salah, keindahan atau kejelekan. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi
bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan
menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh
filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan
berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai
tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.

D. Urgensi Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi ide-ide filosofis ke dalam masalah-masalah


pendidikan. Begitupun sebaliknya, praktik-praktik pendidikan juga bisa menyumbang gagasan
terhadap perbaikan ide-ide filosofis tersebut. Sebab pendidikan itu berkaitan dengan dunia ide
juga aktivitas praktis. Ide-ide yang baik memiliki implikasi yang baik pula terhadap praktik-
praktik pendidikan.

BAB II

SISTEMATIKA FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Ontologi Filsafat Pendidikan

Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi adalah
yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada
secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas dalam semua bentuknya.

B. Epistemologi Filsafat Pendidikan

Landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh
kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran
ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat
diandalkan tidak cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara
empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu
pengetahuan.

C. Aksiologi Filsafat Pendidikan

Landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan?
Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang
diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?

BAB III

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Progresivisme

Dalam pandangan Progresivisme, manusia harus selalu maju (progress) bertindak


konstruktif, inovatif, reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia mempunyai naluri selalu
menginginkan perubahan-perubahan. Menurut Imam Barnadib, Progresivisme menghendaki
pendidikan yang progresif (maju), semua itu dilakukan oleh pendidikan agar manusia dapat
mengalami kemajuan (Progress), sehingga orang akan bertindak dengan intelegensinya sesuai
dengan tuntutan dan lingkungan.

B. Konstruktivisme

Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang dipelajari. Hal
ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang
telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis,
memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk
konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekedar
menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan
bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan
bermakna.

C. Humanistik

Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia. Pendidikan idealnya harus membantu


peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna
dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, bertanggung jawab, bersifat proaktif dan kooperatif
serta mengembangkan potensi yang ada. Dalam konteks humanisme, pendidik harus mendorong
peserta didiknya untuk mencapai keberhasilan dan prestasi yang tinggi, serta memberikan
penghargaan atas prestasi yang tinggi, memberikan penghargaan atas prestasi yang mereka capai,
betapapun kecilnya, baik berupa ungkapan verbal maupun melalui ungkapan non-verbal.

BAB IV

PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Konsep Ilmu Pendidikan

Lenzen meninjau ilmu dari segi morfologis atau bentuk substansinya, sebagai
pengetahuan sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan. Ditinjau
dari substansi atau isinya, ilmu pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan tentang
pendidikan yang diperoleh melalui riset. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa organisasi isi
ilmu pendidikan, sebagai sebuah sistem konsep terbentuk dari unsur-unsur yang berupa konsep
tentang variabel-variabel pendidikan dan bagian-bagian yang berupa skema konseptual tentang
komponen pendidikan. Model-model teoretis adalah seperangkat konsep-konsep yang saling
berkaitan erat yang membentuk sebuah pandangan tentang kehidupan. Dengan demikian,
berkembanglah berbagai teori substansif tentang metode mengajar.

Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. metode ceramah dari kaum Sofis,

2. metode dialektik dari Socrates,

3. metode scholastisism,

4. metode pengamatan alami, dan

5. metode langkah-langkah formal mengajar dari Herbart.

B. Peranan dalam Perencanaan Program Pendidikan


Filsafat termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan
petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau
paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat
pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-
gejalakependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam
suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti
terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat
disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu
pendidikan (paedagogik).

C. Penerapan Filsafat Pendidikan di Sekolah

Filsafat sebagai teori umum pendidikan dapat diterapkan dalam penentuan kurikulum,
metode, tujuan, serta kedudukan dan peran guru atau pendidik juga anak didiknya. Adanya
berbagai aliran dalam filsafat pendidikan juga menyebabkan berbeda-bedanya kurikulum,
metode, tujuan, serta kedudukan guru dan siswa tersebut dalam struktur pendidikan. Semuanya
tergantung pada mazhab apa yang diterapkan atau dianut oleh para pelakunya. Hanya saja, dalam
hal ini mereka dituntut untuk memiliki kurikulum yang relevan dengan pendidikan ideal, juga
disesuaikan dengan perkembangan jaman dan menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan
pertumbuhan yang normal. Metode pendidikan juga harus mengandung nilai-nilai instrinsik dan
ekstrinsik yang sejalan dengan mata pelajaran dan secara fungsional dapat direalisasikan dalam
kehidupan. Selain itu, tujuan pendidikan tidak hanya terpaku pada salah satu pihak semata,
melainkan untuk seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan. Kedudukan guru dan siswa harus
benar-benar dimengerti oleh keduanya sehingga dapat menjalankan peranannya masing-masing
dengan baik.

BAB V

AKSIOLOGI FILSAFAT DAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A. Aksiologis Sebagai Cabang Filsafat

Nilai-nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, dan religius adalah nilai-nilai keluhuran


hidup manusia. Nilai-nilai keluhuran hidup manusia dibahas oleh cabang filsafat yang disebut
aksiologi. Aksiologi membahas tentang nilai secara teoretis yang mendasar dan filsafati, yaitu
membahas nilai sampai pada hakikatnya. Karena aksiologi membahas tentang nilai secara
filsafati, maka juga disebut philosophy of value (filsafat nilai). Aksiologi adalah cabang Filsafat
yang menganalisis tentang hakikat nilai yang meliputi nilai-nilai kebenaran, keindahan,
kebaikan, dan religius. akikat nilai adalah kualitas yang melekat dan menjadi ciri segala sesuatu
yang ada di alam semesta dihubungkan dengan kehidupan manusia. Nilai bukanlah murni
pandangan pribadi terbatas pada lingkungan manusia. Nilai merupakan bagian dari keseluruhan
situasi metafisis di alam semesta seluruhnya.

B. Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional


Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila, karena nilai-
nilai budaya Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila sebagai landasan
aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia merupakan konsistensi landasan ontologisnya.
Landasan ontologis sistem pendidikan nasional Indonesia adalah pandangan bangsa Indonesia
tentang hakikat keberadaan manusia. Hakikat pribadi kebangsaan Indonesia terdiri atas nilai-nilai
hakikat kemanusiaan dan nilai- nilai tetap yang khusus sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Nilai-
nilai hakikat kemanusiaan menyebabkan bangsa Indonesia dan orang Indonesia sama dengan
bangsa lain dan orang bangsa lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan dapat menjadi ciri khas bangsa-bangsa lain, tetapi kesatuan rumusannya secara
lengkap sebagai Pancasila hanya dimiliki dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarkhi mengenai nilai yang dipandang lebih
penting dan yang dipandang kurang penting. Pendidikan sebagai usaha yang sadar dan sistematis
dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian, dan kemampuan
fisiknya, memunyai tugas untuk mengkaji terus nilai-nilai kebudayaan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pendidikan adalah pengembangan nilai budaya yang telah tertanam dalam
diri anak didik agar tetap relevan dengan perkembangan jaman.

C. Refleksi Kritis Sistem Pendidikan Nasional

Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional bermanfaat untuk menganalisis tentang


penerapan teori-teori pendidikan yang terkait dengan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan
nasional dirumuskan terutama dalam hubungannya dengan nilai-nilai keluhuran hidup. Landasan
aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1
Ayat 3 berisi ketentuan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Ketentuan ini menempatkan tujuan pendidikan nasional menjadi penting, yaitu sebagai
pertimbangan utama untuk merumuskan komponen-komponen pendidikan yang lain terutama
untuk mengevaluasi secara lebih baik mengenai tawaran-tawaran teori-teori yang merupakan
solusi bagi persoalan-persoalan utama pendidikan.

BAB VI

FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER

A. Filsafat Fungsi Pikiran

Kita sekarang sedang dilanda krisis nilai. Orang sibuk berpikir bagaimana mendapatkan
kebutuhan sebanyak-banyaknya dan menjadi orang ternama untuk melindungi diri. Namun
ketika kematian datang menghampirinya bau menyadari bahwa apa yang telah diperjuangkan
selama ini dengan susah payah tidak satu pun yang dapat dibawanya, kecuali sedikit nilai
kebaikan yang pernah dilakukannya terhadap orang lain. Semua yang kita cari akan musnah dan
punah. Harta akan habis, nama akan dilupakan. Hanya kasih sayang dan kearifan yang tidak akan
luntur oleh zaman. Tidak ada warisan yang lebih baik yang dapat diwariskan dalam kehidupan
ini kecuali nilai-nilai kebaikan, kasih sayang, dan ilmu yang membimbing ke jalan Allah yang
membuat generasi sesudah kita dapat berpegang dengannya demi kebaikan hidup mereka. Untuk
itulah pada hakikatnya manusia diberikan pikiran yang perlu terus dikembangkan melalui
pendidikan. Pada akhirnya pendidikanpun menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya nilai
ketika pendidik memberikan layanan pendidikan yang ramah anak, tidak diskriminasi, dan
merangkul setiap perbedaan potensi dan kebutuhan belajar peserta didik yang beragam.

B. Definisi Pendidikan Berkarakter

Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara


sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).

C. Landasan Filsafat Tentang Pendidikan Karakter

Dalam perspektif progresivisme, pendidikan bukanlah sekadar memberikan pengetahuan,


lebih dari itu pendidikan melatih kemampuan berpikir (aspek kognitif). Manusia memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dibanding makhluk lain, yaitu dianugerahi akal dan
kecerdasan.Sehingga dengan akal dan kecerdasan tersebut diharapkan manusia atau seseorang
dapat mengetahui, memahami, dan mengembangkan potensi-potensi yang telah ada pada dirinya
sejak dilahirkan. Akal membuat seseorang bersifat kreatif dan dinamis sebagai bekaldalam
menghadapi dan menyelesaikan problem yang dihadapi sekarang maupun masa depan.

Aliran inilah yang menjadi dasar atau landasan terbentuknya pendidikan karakter.
Pandangan yang mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk
mengatasi masalah-masalah. Progresivisme yang juga menaruh kepercayaan terhadap kebebasan
manusia dalam menentukan hidupnya, serta lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi
kepribadianya. Beberapa hal yang terkandung dalam aliran progresivisme ini kemudian secara
mendalam dipikirkan untuk kemudian memunculkan sebuah paradigma pendidikan yang sedang
menjadi primadona paradigma pendidikan dewasa ini, yang tidak lain adalah pendidikan
karakter.

D. Pandangan Filsafat Pancasila dalam Pendidikan Karakter

Pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter


warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif
kebangsaan yang khas baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan
perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta
olah raga seseorang atau sekelompok orang.

Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan


untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi,
konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional,
dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak
mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi
Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima
sila Pancasila secara utuh dan komprehensif.

E. Peran Filsafat Pendidikan dalam Membangun Manusia Berkarakter

Manusia yang memiliki norma dan aturan yang berkembang dalam kehidupannya adalah
salah satu contoh pembangunan manusia yang berkarakter. Lebih jelas lagi, ketika manusia
tersebut sadar bahwa ilmu yang dipelajari adalah untuk mengangkat marwah dirinya dan negeri
ini. Belajar ilmu pengetahuan adalah belajar dari buah, dimana buah tersebut sebenarnya
memiliki pohon besar yang mampu berbuah tanpa mesti menungggu musim panen. Pohon
tersebut adalah pohon filsafat. Mengkaji filsafat dalam membangun manusia yang berkarakter
secara sempurna sangat diharapkan. Apalagi negeri ini sudah begitu bobrok sehingga kita butuh
sebuah karakter yang kuat. Karakter anti korupsi yang sebenarnya bisa disandingkan dengan
beberapa karakter lainnya. Filsafat ada dalam setiap gerak langkah kita, ilmu adalah jalannya.
Maka manusia yang menguasai filsafat adalah manusia yang berkarakter.

F. Peran Guru Filsafat dalam Pendidikan Karakter di Sekolah

Jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekolah maka guru akan menjadi pioner dan
sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena guru yang memang secara khusus
memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah
kesehatan mental, dengan demikian guru harus sangat akrab dengan program pendidikan
karakter. Guru harus mampu melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru bidang
studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai dari
program pelayanan dasar yang berupa rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi
tentang pendidikan karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan,
membantu orang lain, persahabatan, cara belajar, menejemen konflik, pencegahan penggunaan
narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan individual berupa kemampuan untuk membuat
pilihan, pembuatan keputusan, dan seterusnya. Program pelayanan responsif yang antara lain
berupa kegiatan konseling individu, konseling kelompok. (Dr. H. Amka, 2019)
TUGAS HANDOUT 5 (MEMBUAT LAPORAN BACAAN DARI BUKU GEORGE
KNIGHT)

BAB I

HAKIKAT FILSAFAT DAN PENDIDIKAN

Pertama mengenai Bab I ini kita awali dengan pengertian Filsafat. Secara bahasa kata
Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Namun perlu di catat, bahwa mencintai kebijaksanaan
tidaklah menjadikan seseorang menjadi Filsuf. Kita ketahui Filsafat dalam arti teknis kiranya
paling tepat di pahami sebagai hal meliputi tiga aspek, yaitu sebuah aktivitas, sikap, dan sebuah
keterpaduan isi. Tujuan filsafat pendidkan sendiri adalah mengantarkan semua variable yang
berkecimpung terlibat dalam pendidikan (guru, siswa, kurikulum dll) menuju kontak langsung
dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendasari makna dan tujuan hidup dan pendidikan.

Dalam cabang ilmu filsafat terdapat beberapa cabang yang membahas tentang pendidikan
antara lain, ontologi, epistemology, dan aksiologi. Tiga komponen itu tadi merupakan komponen
dasar dari system lingkup dalam pendidikan. Penulis di sini mencoba untuk menjelaskan satu
persatu tentang cabang ilmu filsafat, yakni:

a. Ontologi

Ontology memiliki pengertian ilmu pengetahuan atau ajaran tentang kebenaran. Ontology
juga sering di sebut dengan metafisika umum yang membahas tentang prinsip paling dasar.
Dalam kaitanyan dengan pendidikan ontology atau metafisika umum membahas tentang kajian
realitas puncak yang di maksudkna di sini adalah pusat konsep apa pun dari pendidikan karena
sangatlah penting bahwa program pendidikan sekolah itu di dasarkan atas fakta dan realitas
daripada atas khayalan atau fantasi, ilusi atau angan-angan kosong. Dalam perkembanganya
dalam pendidikan ontology ini merabah pada pembahasan tentang kurikulum, system
pendidikan, peran guru terhadap murid.

b. Epistemologi

Epistemology merupakan cabang ilmu filsafat yang ke dua setelah ontologi.


Epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu kebenaran atau
mengkaji hakikat, sumber dan validitas (keabsahan) pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan
dalam epistemology meliputi panca indra, wahyu, otoritas, akal-pikir, dan intuisi. Dari sumber-
sumber pengetahuan itu tadi perlu di cernah kembali melalui proses keabsahan pengetahuan yang
bertumpuh pada alat uji kebenaranan yaitu : teori korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Dari
serangkaian system dalam epistemology tadi kita dapat menyimpulkan epistemology merupakan
determinasi utama paham-paham dan praktik-praktek kependidikan.

c. Aksiologi

Aksiologi membahas tentang nilai-nilai. Aksiologi sama seperti metafisika dan


epistemology, berada pada dasar yang sama dari proses pendidikan. Aksiologi mempunyai dua
cabang utama, yaitu etika dan estetika. Dalam etika berkaitan tentang nilai-nilai perilaku moral.
Dalam kaitan pendidikan saat ini etika ataupun perilaku moral sangat di tekankan kepada subjek
didik, karena mengingat dewasa ini semakin merosotnya moral seorang subjek didik. Semisalnya
semakin meningkatnya pelecehan seksual yang di lakukan subjek didik, perilaku membangkang
yang tak pantas kepada pengajar. Semua itu ada dan dapat di atasi melalui adanya pengajaran
ruang lingkup aksiologi yang berkaitan tentang etika. Sedangkan berbicar mengenai estetika,
merupakan nilai yang berusaha mencapai prinsip-prinsip yang memandu kreasi dan apresiasi
terhadap keindahan dan seni. Dalam rana pendidikan yang berkaitan dengan seni atau keindahan
melibatkan unsure gambar (lukisan), lagu atau cerita mungkin membuat kesan mendalam pada
diri seseorang yang tidak pernah dicapai lewat argumen logis. Maka dari itu kebanyakan guru
ternama sangat mengandalkan dinamika estetika dengan pengajaran melalui cerita-cerita.

Kemudian dalam pembahasan Bab I ini penulis membahas tentang makna antara
pendidikan dan belajar. Belajar dapat di rumuskan sebagai proses yang menghasilkan
kemampuan menampilkan tingkah laku manusia yang baru maupun yang berubah. Dari rumusan
ini dapat di artikan bahwa belajar merupakan suatu proses yang berbeda dengan sekolah yang di
batasi oleh ruang lingkup lembaga, belajar dapat di lakukan di manapun dan kapan pun secara
otodidak. Sedangkan pendidikan kiranya merupakan sebagai rangkain dari belajar, yang di
nauggi lingkup lembaga guna mengontrol atau mengola situasi belajar yang di inginkan oleh
pelajar.

Di lihat dari uraian di atas kita bisa melihat Pendidikan sebagai mana belajar, adalah
suatu proses sepanjang hanyat yang bisa di berbagai lingkungan dan konteks yang tak terbatas.
Dan perlu di perjelas lagi bahwa pendidikan berbeda konsep dengan belajar yang lebih luas,
karena pendidikan mencakup gagasan tentang control yang di lakukan oleh pelajar menuju hasil
yang di inginkan.

BAB II

ISU-ISU FILOSOFIS DALAM PENDIDIKAN

a. Metafisika dan Pendidikan


Pendidikan tidak dapat menghindari dunia metafisika karna pada dasarnya metafisika
merupakan pusat bagi konsep apa pun dari pendidikan karena sangatlah penting bahwa program
pendidikan sekolah di dasarkan atas fakta dan realitas bukan sekedar khayalan, ilusi atau angan-
angan kosong. Selanjutnya, dalam buku ini terlihat bahwa kepercayaan metafisis mempunyai
pengaruh langsung terhadap isu-isu pendidikan, semisal isi terpenting dari kurikulum, system
pendidikan apa yang harus dirumuskan di upayakan untuk perkembangan peserta didik dan
masyarakat, kemudian peran guru dan hubungan guru dengan murid. Sebuah contoh spesifik dari
keterkaitan itu dapat di lihat pada pandangan kalangan perenialis (teori pendidikan yang di
hasilkan filsafat Neoskolastisme) tentang murid sebagai subjek yang rasional.

b. Epistemologi dan Pendidikan

Kita ketahui bahwa epistemologi dan metafisika berada pada pusat utama proses edukasi.
System-sistem pendidikan bersinggungan dengan pengetahuan oleh karena itu epistemology
merupakan determinasi utama paham-paham dan praktik-praktik kependidikan. Contoh dari
pengaruh langsung epistemology terhadap pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang pentingnya
ragam sumber pengetahuan yang tercermin pada kurikulum. Di gambarkan dalam suatu system
sekolah di dasarkan pada sains adalah sumber utama pengetahuan maka akan mempunyai
kurikulum dan muatan kurikulum yang secara subtansi berbeda dengan kurikulum sekolah
keagamaan yang berpendapat bahwa wahyu merupakan sumber pengetahuan yang pasti.

Dalam pembahasan kali ini terdapat dilema antara epsitemologi dan metafisis. Persoalan
kita adalah bahwa tidak mungkin membuat penyataan tentang realitas tanpa terlebih dulu
mempunyai teori untuk sampai pada kebenaran, dan sebaliknya, sebuah teori tentang kebenaran
tidak bisa di kembangan tanpa terlebih dulu mempunyai suatu konse realitas. Kesimpulan dilema
metafisi-epistemologi adalah bahwa semua orang hidup dengan iman terhadap kepercayaan-
kepercayaan dasar yang mereka pilih.

c. Aksiologi dan Pendidikan

Aksiologi, seperti metafisika dan epistemologi, berada pada dasar yang sama terhadap
pendidikan. Aspek utama pendidikan adalah pengembangan prefensi-prefensi atau
kecenderungan diri. Ruang kelas merupakan tempat aksiologi di man sang guru tidak bisa
menyembunyikan moral dirinya. Maksudnya, seorang guru mengajar dengan mengunakan moral
kepada peserta didik yang mana kala kelakuan atau pun moral seorang guru akan di tiru oleh
peserta didik.

Aksiologi mempunyai dua cabang ilmu utama yaitu tentang etika dan estetika. Pengertian
dari etika adalah kajian tentang nilai-nilai dan perilaku moral. gambaran etika terhadap
pendidikan meliputi perilaku yang terjadi kepada peserta didik (siswa) maupun pendidik (guru).
Sedangkan pengertian estetika adalah nilai yang berusaha mencari prinsip-prinsip yang
memandu kreasi dan apresiasiterhadap keindahan dan seni. Estetika dalam lingkup pendidikan
cenderung menekankan keindahan dalam suatu hal, semisal ruang kelas, sekolah, dll. Bukan
hanya tentang keindahan dalam hal seni meliputi tentang music, lukisan dan lain sebagainya.

BAB III

FILSAFAT TRADISIONAL DAN PENDIDIKAN

a. Idealisme dan Pendidikan

Idealisme pada intinya adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran,
akal-pikir yang penekananya pada objek-objek dan daya-daya material. Idealisme juga
berpendapat bahwa akal lebih dulu ada dari pada materi. Serta menganggap akal-pikiran adalah
hal yang nyata. Pada alam semesta ini aspek paling penting dari pelajaran adalah inteleknya
(akal-pikir). Kaitan aliran filsafat idealisme dengan pendidikan adalah menyangkut tentang peran
guru yang menepati posisi yang lebih dekat dengan yang Absolut daripada dengan murid, karena
ia mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai dunia puncak dari akal-pikiran. Guru
mempunyai pengetahuan realitas yang lebih luas daripada murid sehingga guru merupakan
panutan dari murid untuk di ikuti baik dalam kehidupan intelektual maupun social.

Materi kajian pembelajaran idealism cenderung menekankan kebenenaran (ide-gagasan),


sehingga kurikulum dalam pendidikan seharusnya di susun dengan kajian yang bergelut dengan
ide-gagasan. Penganut idealism berpendapat bahwa kajian tepat tentang kemanusiaan adalah
manusia. Sebab aliran idealisme menekankan kajian kemnausian agar membantu pelajar dalam
usaha pencarian menemukan sosok manusia dan masyarakat ideal. Kata-kata dari seorang guru
juga merupakan metode dari penjaran idealisme karena dari kata-katalah seorang guru
memunculkan ide-gagasan yang beralih dari satu jiwa (akal-pikir) ke jiwa lainnya. Fungsi social
sekolah, bagi penganut idealism adalah melestarikan warisan budaya dan melampaui
pengetahuan tentang masa lampau.

b. Realisme dan Pendidikan

Realisme merupakan reaksi terhadap keabstrakan dari idealism. Titik tolak dari penganut
realisme adalah bahwa objek-objek dari indra kita muncul dalam bentuk apa adanya terlepas dari
cerapan pengetahuan yang di bangun dari akal pikir. Kebenaran menurut penganut realisme
dinilai sebagai fakta yang dapat diamati. Cerapan indra adalah sarana untuk pemerolehan
pengetahuan. Dapat di pahami bahwa aliran realisme mengunakan metode-metode pengamatan
atau pun pengujian terhadap suatu objek guna menguak kebenaran suatu hal. Realism juga
cenderung condong kepada teori korespondensi untuk mengabsahkan konsepsinya tentang
kebenaran, yaitu kebenran adalah hal yang sesuai dengan situasi actual sebagaimana ditangkap
oleh si prngamat.

Sedangkan realisme mengenai pendidikan berpendapat bahwa, pelajar itu di pandang


sebagai sebuah organisme hidup yang dapat, melalui pengalaman indrawi, menangkap tatanan
alam dunia kemudia samapai pada pergumulan langsung dengan realitas. Sederhananya, pelajar
adalah orang yang dapat merasakan, melihat, medengar, dan mengetahui isi dari dunia ini
melalui indranya. Penganut realisme juga memandang bahwa pelajar sebagai unit yang tunduk
terhadap hokum alam dan oleh karna itu tidak bebas dalam pilihan-pilihannya. Pada intinya
pelajar dapat juga di program sebagaimana seseorang memprogram computer yang tidak akan
menolak jika kita mengoprasikannya. Tentunya pemograman tidak hanya berlangsung sekali
saja, namun di lakukan dengan berkali-kali dengan cara di latih, di binah dan sebagainaya.
Sehingga ia belajar dan mahir dalam membuat respon-respon yang sesuai. Lain halnya dengan
pelajar, makna guru dari filsafat realism, guru sebgai pengamat yang lebih kompleks yang
mengetahui banyak hal tentang hokum-hukum alam semesta ini. Oleh sebab itu, peran guru
adalah member informasi kepada para pelajar dengan cara yang efisien dan menyampaikan
kepada pelajar fakta-fakta kealaman yang telah di buktikan melalui penelitian. Dalam hal
kurikulum penganut realisme menekankan materi tentang dunia fisik yang di ajarkan dalam suatu
cara bahwa keteraturan ysng mendasar alsm ini adalah hal yang tak terbantahkan. Kemudian
metode yang di lakuakan penganut realisme dalam mengajar mengunakan atau memanfaatkan
indra-indra semisal dengan pada saat mengajar mengunakan gambar, bantuan audio-visual,
symbol dan lainnya. Metoe itu agaknya guna membangun penguasaan fakta-fakta dalam rangka
mengembangkan sebuah pemahaman tentang hukum alam.

Sangat jelas bahwa posisi sekolah dalam realism kurang lebih mendekati posisi social
sekolah dalm idealisem. Tujuan sekolah adalah untuk mengalihkan pengetahuan yang di tetapkan
oleh mereka yang mempunyai sebuah konsep jelas tentang sains empiris, hokum alam dan fungsi
dalam alam semesta.

c. Neoskolastisisme dan Pendidikan

Perlu di ketahui bahwa neoskolastisme adalah sebuah pendapat filosofis yang mempunyai
dua cabang. Cabang yang pertama membahas tentang penegakak pendidikan cabang agama yang
sering di sebut sebagai realism skolastik, realism relegius, dan neo-Thomisme gerejawi.
Kemudian bagian kedua cabang sekuler yang membahas tentang humanism rasional, realism
klasik, dan neo-Thomisme sekuler. Neoskolastisisme merupakan sebuah pengungkapan modern
dari suatu filsafat tradisonal. Esensi skolastisime adalah rasionalisme. Neoskolastisisme juga bisa
di sebut merupakan bentuk baru dari skolsdtidime dengan penekanan pada, dan seruan terhadap
rasio manusia.

Dalam masalah pendidikan, neoskolatisme menganggap bahwa pelajar adalah mahluk


rasionla yang memiliki potensi alamiah untuk menggapai kebenaran dan pengetahuan. Kemudian
tanggung jawab sekolah adalah membantu pelajar untuk mengetahui mengembangkan
kemampuan. Kemudian pandagan guru menurut neoskolatisme, hamper sama dengan aliran-
aliran idealisme dan realism, bahwa guru merupakan seorang yang berdisiplin mental yang
memiliki kemampuan mengembangkan rasio, ingatan, dan daya kemauan pada diri anak
didiknya. Sedangkan mengenai kurikulum aliran neoskalstisme memberikan prioritas terhadap
pemupukan aspek-aspek rasional dan intelek manusia agar mampu memahami kebenaran dalam
jagat raya ini.

BAB IV

FILSAFAT-FILSAFAT MODERN DAN PENDIDIKAN

a. Prakmatisme dan Pendidikan

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala
seuatu yang membuktikan dirinya sebagaimana yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat
atau hasil yang bermanfaat secara praktis. Pragmatism pada dasarnya adalah sebuah usaha
epistemologis. Dalam faham prakmatisme ini menghendaki bahwa tidak ada hal yang absolut
dan tidak ada hal yang mutlak, semuanya bisa berubah seiring berjalannya waktu. Apa yang
benar hari ini kemungkinan menjadi tidak benar hari esok karena realitas tidak dapat di pisahkan
dari pengalaman. Manusia hidup dalam pengalaman yang berubah dan terus menerus meluas,
sehinga pengalaman yang di peroleh hari ini bisa saja tidak memungkinkan menjelaskan masalah
di hari yang akan datang. Oleh karena itu, pragmatisme berpendapat bahwa kebenaran hanya
bersifat relatie dan apa yang benar hari ini belum tentu benar di waktu mendatang. Kemudian
mengenani aksiologi pragmatisme secara langsung terkait dengan epistemologinya. Sebagaimana
seorang manusia bertanggung jawab atas sebuah pengetahuan , demikian pula bertanggung
jawab atas nilai-nilai. Nilai-nilai juga bersifat realtif dan tidak bersifat absolute.

Sedangkan dalam hal pendidikan, kalangan pragmatisme berpendapat bahwa pelajar


merupakan subyek yang memiliki pengalaman. Dalam hal ini pelajar mempunyai pengalamna
sehingga dapat menciptakan atau memecahkan suatu hal yang ada pada lingkungannya.
Kalangan pragmatism juga berpendapat pengalaman sekolah adalah sebuah bagian dari hidup
daripada sekadar persiapan untuk hidup. Dari pengalaman yang di dapat dari lingkungan sekolah,
seorang siswa tumbuh dan berkembang sehingga mampu berinteraksi dengan dunia yang
berubah dengan ide-gagasan yang berkembang menjadi sarana untuk bisa hidup berhasil.
Sedangakan konteks guru dalam pandangan pragmatisme, berbeda dengan seorang guru dalam
pengertian filsafat tradisional. Bahwa di jelaskan dalam konteks tradisional, seorang guru yang
mempunyai disiplin mental dengan kemampuan mengembangkan rasio, ingatan dan daya
kemampuan pada diri anak didiknya. Guru dalam aliran pragmatisme hanya dilihat sebagai
pendamping subjek didik dalam pengalaman pendidikan karena seluruh aktivitas kelas setiap
harinya menghadapi dunia yang berubah. Namun dalam tanda kutip seorang guru adalah
pendaping yang berpengalam oleh karena itu bisa di katakana guru sebagai pemandu atau
pengerak anak didik. Mengenai kurikulum, pragmatisme lebih mengedepankan unit-unit yang
alamiah yang tidak menimbulkan penekanan terhadap peserta didik. Pragmatism juga berbicara
menegenai metode yang di lakukan seorang guru kepada anak didik. Menurutnya, seorang anak
didik lebih lebih bagus terlibat aktif dalam suatu pengajar contohnya juga seorang anak hanya
membaca tapi tidak di praktekan itu sama saja dengan membuang-buang waktu. Sehingga yang
di harapkan dalam metode pengajaran menurut pragmatisme ini lebih mengedepankan keaktifan
anak sehingga memperoleh pengalaman yang membuat anak didik mampu lebih baik. Perlu di
catat, bahwa pandangan metode pragmatisme ini tidak mengeyampingkan buku-buku bacaan,
perpus, museum dan lain sebagainya. Akan tetapi peserta didik di tuntut memulai dari dasar dulu
sehingga kiaranya berjalannya waktu bisa menuju ke metode-metode belajar dan dasar
pengalaman orang lain.

b. Eksistensialisme dan Pendidikan

Eksistensialisme adalah salah satu pandangan baru dalam dunia kefilsafatan. Merupakan
produk abad XX. Lebih mengedepankan terkait dengan susastra dan seni. Sehingga tak di
ragukan lagi ini akan berkaitan dengan emosi-emosi manusia daripada intelek. Eksistensi
individu adalah titik bidik pandangan eksistensialisme tentang realitas. Filsafat-filsafat
tradisional menyerahkan keauntetikan manusia kepada sebuah system logis, umat berdasarkan
pada Tuhan, kalangan realis memperhatikan alam karena makna, dan kalangan pragmatisme
bertumpuh pada masyarakat.aliran-aliran itu mengangkat individu dari upaya mengatasi realitas
utama dan krusial dari eksistensi (keberadaan) dirinya sendiri dan maknanya dalam sebuah dunia
tanpa makna terlepas dari eksistensi tadi. Focus filsafat eksistensialisme adalah pada dunia
aksiologi, kalangan eksistensialisme di hadapkan pada peliknya menghasilkan nilai-nilai dari
ketiadaan. Nilai-nilai dalam eksistensialisme cenderung mengarah kepada kebebasan, karena itu
mengapa di katakan menghadapi suatu kepelikan karna di sebabkan beban berat dari kebebasan
untuk membuat keputusan etis individual terjadi karena manusia harus membuat pilihan-
pilihannya sendiri yang berdampak pada tanggung jawab atas pilihan-pilihannya itu. Ia tidak
dapat berdasarkan pada sumber otoritas apapun selain dirinya sendiri.

Menegenai pendidikan, sudah di jelas di awal tadi bahwa ekstitensisme tidak begitu lugas
dan jelas mengenai pendidikan. eksistensialisme menganggap pendidikan adalah hal yang
membahayakan, karena menganggap menghapus system individualitas dan kreatifitas sehingga
akan di takutkan dapat mengahancurkan, membahayakan peserta didik menjadi tenaga
penggerak dalam mesin teknologi industri dan birokrasi modern. Berbicara mengenai sosok guru
dalam pandangan eksistensialismei, sangat berbeda dengan berbicara sosok guru menurut
pandangan filsafat tradisional. Dari pandangan eksistialisme guru hanya sebagai orang yang
memperhatikan keunikan individualitas masing-masing peserta didik. Dalam perannya, guru mau
menghargai aspek-aspek emosional dan irasional individu-individu dan mau berupaya
mengarahkan dengan serius peserta didik ke pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Berbicara mengenai kurikulum, kaum eksisitensialis terbuka atas perubahan. Serta masih
mengunakan dasar-dasar pendidikan filsafat tradisional yang mengenai 3R (membaca, menulis
dan berhitung), sains dan juga kajian social harus di pelajari. Namun perlu di ketahui bahwa
dasar-dasar itu tadi perlu di tampilkan dalam hubungannya dengan perkembangan individu
peserta didik daripada di isolasikan dari makna dan tujuan individu sebagaimana seringkali
terjadi dalam pendidikan tradisional. Inti dari kurikulim ajaran eksistialisme adalah kajian
apapun yang berkaitan dengan individu. Kemudian tentang motodologi bagi kalangan
eksisitensialisme, berkonsep tidak ada ‘pemaksaan’ sehingga subjek didik menemukan metode-
metode yang mengara pada kepercayaan dri sendiri (individu). Perlu di ingat kembali bahwa
eksistensialisme tidak sama sekali menekankan tentang pendidikan atau sekolah. Akan tetapi
lebih mengutamakan penekanan terhadap individu daripada aspek-aspek social eksistensi
manusia.

BAB V

TEORI-TEORI PENDIDIKAN KONTEMPORER

a. Progresivisme

Di awal Bab kita sudah di jelaskan tentang filsafat pragmatisme, dalam hal ini
pragmatisme memunculkan teori progresivisme yang merupakan bagian dari gerakan reformasi
umum social-politik yang menandai kehidupan Amerika di akhir abab XIX dan awal abab XX.
Prinsip-prinsip dalam progresivisme mengenai pendidikan sangat bertentangan dengan aliran
tradisional. Bahwa kita ketahui aliran tradisional mempunyai pemikiran bahwa titik sumbu dari
pendidikan adalah Guru. Tapi sebaliknya, semua itu di balik oleh teori progresivisme
bahwasanya pendidikan menepatkan subjek didik ke dalam titik sumbu sekolah. Dalam buku ini
juga di jelaskan bahwa dalam aliran progresivisme ini menempatkan guru hanya sebagai
pendamping, menasihati dalam keadaan para subjek didik menemui jalan buntu, dan sebagai
pengawal di lingkungan yang baru. sedangkan mengenai subjek didik, aliran progresivisme
berangapan bahwa manusia (subjek didik) bukanlah mahluk yang pasif sehingga di beri ruang
lebih untuk aktif. Karna pada dasarnya manusia adalah mahluk dinamis yang secara alamiah
berkeinginan untuk belajar, jika tidak di buat frustasi oleh orang dewasa. Kemudian dalam buku
ini juga di jelaskan bahwa kepercayaan kalangan progresivisme bahwa sekolha dalah miniatur
dari masyarakat yang lebih luas.

Bahwa di ketahui kaum humanism sedikit banyak mengadopsi prinsip-prinsip


progresivisme. Akan tetapi kaum humanis juga mengadopsi ajaran yang eksistensialisme dalam
stimulus perkembangan. Perlu di ketahui bahwa aliran humanism pendidikan lebih memberikan
penekanan signifikan pada keunikan anak secara perorangan daripada yang telah di ajarkan
kalangan progresifisme yang cenderung memahami anak dalam kaca mata unit social. Penekanan
keunikan anak secara perorangan juga merupakan bentuk geliat ajaran kalangan eksistensialis
yang di anut oleh humanisme.

Dalam prinsip-prinsip humanisme, berkeinginan membebaskan atau mewujudkan subjek


didik dari lingkungan-lingkungan yang bersifat kompetitif, tindak kekerasan dan takut gagal.
Mengigat seumpama seorang subjek didik tertekan akan meghabiskan energy sehingga akan
berpengaruh terhadap kreatifitas seorang subjek didik.
b. perenialisme

Awal kemunculan kalangan perenialisme merupakan reaksi terhadap kalangan


progresivisme. Kalangan perenialisme lebih mengedepankan aliran luhur-menyejahrah serta
mengedepankan ide-gagasan manusia, dengan demikian dapat di katakana bahwa kalangan
perenialisme merupakan pelopor gerakan kembali pada hal absolute. Perenealisme menekankan
arti akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa lalu. Maka dari itu dapat di katakana
bahwa teori perenealisme ini menentang kalangan progresivisme dengan mengunakan pemikir
filsafat tradisional. Karna kita ketahui di dalam progresivisme mengutamakan kebebasan anak
didik dan guru hanya sebagai pendamping. Di jelaskan dalam prisnsip-prinsip perenealisme,
manusia adalah hewan yang berakal (rasio). Kenapa manusia di katakana hewan? Perlu di
ketahui bahwa semua mahluk yang ada di dunia ini, hewan, manusia, tumbuhan semuanya sama
akan tetapi hal yang membedakan hanyalah manusia memiliki akal (rasio). Maka dari itu,
kalangan perenialisme berangapan bahwa pendidikan amat mengutamakan tentang sisi rasional
manusia. Hal utama dalam pembelajaran perenialisme terletak pada aktivitas-aktivitas yang
mendisiplinkan akal pikir. Termasuk berhitung, membaca, berlogika, berfilsafat, merupakan hal
yang membangun intelektual seorang subjek didik. Meskipun tugas-tugas seperti itu sukar di
pandang oleh subjek didik, akan tetapi dari aktivitas-aktivitas itu tadi akan menjadikan subjek
didik tekun dalam bergelut dalam tugas-tugas intelektual yang berat.

c. Esensialisme

Lahirnya esensialisme juga merupakan reaksi terhadap progresivisme dalam hal


pendidikan. Kalangan esensialisme tidak seperti kalangan progresivisme dan perenialisme.
Bahwa di jelaskan dalam progresivisme subjek didik di bebsakn dalam hal apapun guna untuk
perkembanganya. Kemudian perenialisme terlalu aristokratis dan bernada cita-cita
antidemokratis. Kalangan esensialis tidak mempunyai dasar filosofi tunggal, tapi acuan
landasanya menganut faham idealisme dan realisme. Dalam pemikiran esensialisme
memperhatikan fungsi sekolah dalam mengalirkan fakta-fakta dan kebenaran yang telah teruji
daripada melakukan banyak inovasi, serta kembali pada kedisiplinan yang keras serta penkajian
hal-hal dasariah. Dalam prinsip-prinsip esensialisme, sangat memperhatikan pengajaran-
pengajaran pokok yang mengenai hal dasariah dan materi. Semisal mengenai tentang 3R
(membaca, menulis, dan menghitung) amat sangat di tekankan. Kemudian dalam hal kurikulum
esensialisme berbicara sekolah lanjut pertama bertujuan pada pengembanagan kompetensi
dalam sejarah, matematika, sains, dan bahasa-bahasa asing. Perlu di ketahui dari konsepan yang
sangat bagus dari kurikulum pendidikan kelompok esensialisme bukan berarti tanpa cacat, dalam
buku ini di jelaskan bahwa banyak kalangan subjek didik kalangan perguruan tinggi masih
membutuhkan hal yang sangat elementer dari bahasa inggris. Mengenai guru dalam konteks
kalangan esensialisme, bukan merupakan sosok pendamping maupun sosok yang mengikuti
kemauan subjek didik, akan tetapi merupakan sosok yang mengetahui apa kebutuhan peserta
didiknya untuk diketahui serta kenal dengan tatanan logis materi ajar dan cara penyampaian. Di
samping itu, guru harus selalu di hormati karena merupakan perwakilan dari orang dewasa. Jika
tidak ada rasa hormat, guru dapat melakukan kedisiplinan dengan cara menghukum atau
mengondisikan prooses belajar.

d. Rekonstruksionalisme

Hal yang melatar belakangi munculnya teori rekonstruksional bermula pada saat tahun ke
1930 terjadi sebuah decade krisis. Menyebabkan depresi dunia yang meluas melumpuhkan
bangsa-bangsa kapitalis secara ekonomi. Depresi tersebut dapat di gambarkan seperti kelaparan
di tengah kemakmuran. Mengatasih krisis itu salah satu tokoh terkemuka pada zaman itu
menawarkan pendekatan lewat pendidikan. Mengajak pendidik untuk membuang mental
budaknya, kemudia ia menyuruh kalangan professional pendidikan mengorganisir system
sekolah dari tingkat kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi agar kemudian dapat
bermanfaat dalam kepentingan masyarakat luas. Kecenderungan pemikiran tersebut
memunculkan kebalikan dari peran tradisional sekolah dari sebagai pengalih budaya yang
bersifat pasif menuju agen informasi kemasyarakatan yang bersifat aktif. Itu tadi merupakan latar
belakang munculnya teori rekonstruksionalisme.

Dalam buku ini juga menjelaskan prinsip-prinsip rekronstruksionisme, bahwa di ketahui


dalam zaman itu terdapat krisis, yang mengakibatkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam
masyarakat luas. Oleh sebab itu cara mengatasinya juga dengan cara yang penciptaan tatanan
sosil yang menjagat. Lah dari sini lah pendidikan formal menjadi agen utama dalam
rekronstruksi tatanan social. Sekolah-sekolah merefleksikan nilai-nilai social dominan, dalam
pengajarannya. Dalam kalangan rekrontruksi sangat mempercayakan penciptaan tatanan social
melalui peran kekuatan guru dan pendidikan lainnya untuk bertindak sebagai instrument utama
perubahan social. Kemudian dalam metode pengajaran di dasarkan pada prinsip-prinsip
demokrasi agar peserta didik di arahkan pada keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan
social. Dalam buku ini juga di jelakan seumpa terdapat kurikulum yang kontrovesial atau tidak
sesuai dengan apa yang di ajarkan. Guru berhak memilih dan melakukan uji pembuktian, di sisi
lain, guru juga tidak boleh menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mampu
mempertahankan pemikirannya secara public, agar dapat di terima dalam skala yang lebih luas.
Guru juga harus mampu memunculkan kesadaran subjek didik mengenai persoalan-persoalan
social yang terjadi sehingga mendorong subjek didik untuk berfikir kritis dan memberikan solusi.

e. Behaviorisme

Merupakan aliran utama dalam pendidikan semenjak pertengahan abad. Behaviorisme


merupakan salah satu teori psikologi, dalam pengertian lain ia telah batas-batas perhatian
psikologi tradisional dan mengembangkan suatu teori kependidikan yang menyentak.
Behaviorisme berdiri dengan tiga landasar, yakni : idealogis, positivisme, dan materialism.
Behaviorisme merupakan akar dari idealogis, salah satunya realisme filosofis. Sehingga
behaviorisme mempunyai pemikiran tentang mengamati organism yang hidup, termasuk
manusia, dalam rangka mengungkapkan hokum-hukum tingkah laku. Sehingga dapat tersediah
landasan tentang tenknologi tingkah laku. Akar behavioriasme yang kedua adalah positivisme,
dalam buku ini jelaksan salah satu tokoh berpendapat bahwa pengetahuan di bagi menjadi tiga
tahap : 1.tahap primitive, 2.tahap tahap metafisik, 3.tahap positif. La yang di rujuk untuk teori
beharviorisme ini adalah tahap positif yang mempunyai makna bahwa manusia tidak lagi
berupaya melampaui fakta-fakta di luar yang di bisa di amati dan di ukur (roh, jiwa,kesadaran
dll). Akar dari behaviorisme yang ketiga adalah materialisme. Dalam hal ini, materialisme
sangat menolak terhadapat kepercayaan-kepercayaan tentang jiwa, roh dan kesaran. Karena teori
dari materialisme menegaskan bahwa realitas dapat di jelaskan dengan hokum-hukum materi dan
gerak. Dapat di simpulkan dari semua akar pemikiran behaviorisme yang di atas, bahwasanya
behaviorisme ini merupakan teori pendidikan yang membahas tentang sains kemanusiaan yang
meliputi psikologi, cara modifikasi tingkah laku.

Dalam prinsip-prinsip behavioristik di jelaskan bahwa manusia adalah sebuah binatang


yang berkembang tinggi dan ia belajar sebagaimana bintang-binatang lainnya belajar. Kita
ketahui bahwa bab yang lalu berpendapat bahwa manusia adalah hewan yang berasio. Kiranya
benar bahwa manusia adalah sebuah organisme alamiah yang kompleks, akan tetapi ia tetaplah
sebagai bagaian pokok dunia binatang. Behaviorisme secara tidak langsung menerapkan kajian
psikologinya. Teori psikologi tingkah laku adalah mempelajari hokum-hukum tingkah laku.
Kemudian prinsip selanjutnya adalah pendidikan adalah sebuah proses rekayasa tingkah laku.
Maksudnya, manusia dapat dirancang untuk berbuat dalam cara-cara tertentu melalui
lingkungan. Jika seseorang melakukan kesalah maka akan di tindak dengan hukuman.
Sebaliknya, jika seseorang melakukan hal yang berguna maka akan di berikan ganjaran. Proses
tersebut, ganjaran dan hukuman membentuk seseorang untuk bertingkah laku dengan cara
tertentu. Kemudian dalam tugas pendidikan adalah menciptakan lingkungan yang mengarah pada
tingkah laku yang di inginkan. Pada dewasa ini, kita ketahui bahwa banyak anak didik yang tidak
sesuai dengan norma yang ada, oleh sebab itu tugas sekolah sangat berperan guna menciptkan
tingkah laku yang lebih baik. Prinsip yang selanjutnya dalam buku ini adalah peran guru yang
merupakan menciptakan sebuah lingkungan belajar yang efektif. Maksudnya, guru di tuntun bisa
mengelolah kelas dengan baik terutama mengenai subjek didik, misalnya mengenai pemberian
tugas kerja paksa, PR yang memberatkan subjek didik dan seumpama tidak di kerjakan sebagai
konsekuesinya di beri hukuman yang berat maka akan berakitab siswa atau subjek didik akan
menghindar dari kondisi ruang kelas, menjadi agresif dan bisa saja keluar dari sekolah. Maka
dari itu tugas guru adalah menata suatu ruang lingkup belajar yang akan member penguatan
positif terhadap tindakan-tindakan siswa yang di harapkan.

BAB VI

FILSAFAT ANALITIS DAN PENDIDIKAN

a. Gerakan analitis dalam filsafat


Pada mulanya gerakan analitis merupakan bentuk perlawanan terhadap tujuan-tujuan dan
metode-metode filsafat tradisional. Kalangan analitis bukanlah suatu aliran filsafat hanya saja
lebih sering di sebut pendekatan untuk berfilsafat. Aliran analitis ini sering di bicarakan pada
abad XX cenderung mendekati wilaya Negara yang berbahasa inggris, seperti USA maupun
Britania Raya. Gerakan analitis dalam filsafat bukanlah sebuah filsafat sistematik seperti
idealisme dan pragmatism. Gerakan analitis hanya menanggap pernyataan-pernyataan filusuf
terdahulu malah menambah kebinggungan umat manusia. Dalam tanda kutib kebinggungan
melipu ketidaktepatan dalam menggunakan bahasa dan makna-makna yang tak jelas. Sebenarnya
di jaman sebelum abad XX, analisis sudah ada akan tetapi hanya membahas tentang sebuah
sarana klarifikasi bahasa dari pendapat-pendapat filosofis agar dapat di pahami. Sebaliknya,
dalam aliran filsuf analitis berpendapat bahwa penggunaan bahasa yang tepat sebagai tujuan
akhir itu sendiri. Tidak membuat proposisi-proposisi (pendapat) akan tetapi lebh tertarik kepada
klarifikasi makna yang sebenarnya sebenarnya dari pendapat yang di lontarkan orang lain. Perlu
di catat bahwa filsafat analitis adalah sebuah istilah paying yang mencakup sejumlah pemikiran
yang berbeda yang merujuk pada sebutan-sebutan semisal, positivism logis, empirisme logis,
analisis linguisti, atomisme logis dan analisis oxford.

b. Peran Filsafat Analitis Dalam Pendidikan

Di dalam buku ini akan di jelaskan bahwa peran filsafat analitis dalam hubungannya
dengan pendidikan secara radikal berbeda dari keterangan antara aliran-aliran filosofis dengan
kegiatan pendidikan. Karena dalam filsafat analitis menganggap bahwa pernyataan metafisis
adalah tiada bermakna (nonsense) dan membuat binggung. Lah tuduhan kalangan analis adalah
bahwa banyak pernyataan-pernyataan pendidikan itu nonsense. Oleh sebab itu, filsafat analitis
beranggapan bahwa banyak persoalan-persoalan pendidikan adalah pada persoalan-persoalan
bahasa inti. Jadi, bila kita mampu memecahkan persoalan-persoalan bahasa, maka kita dapat
mengurai secara lebih baik persoalan-persoalan pendidikan. Contoh : seorang guru menyuruh
peserta didik untuk membaca salah satu buku pelajar yang bertujuan agar lebih faham dalam
konteks pelajaran itu tadi. Lah tugas kalangan analitis dalam hal ini bukan berupaya mengatakan
apakah seorang anak (subjek didik) harus membaca atau lainnya. Akan tetapi kalangan analitis
akan menguji apa yang di maksud dengan membaca, berpikir, dan belajar. Tugasnya hanya
mengklarifikasi melalui analisis. Jadi dapat di simpulkan bidang kalangan analitis dalam lingkup
pendidikan adalah pengembangan medel-model yang membantu kita mengklarifikasi dan menata
konsep strategi untuk membantu dalam bahasa spesifik.

c. Penilaian Terhadap Filsafat Analitis

Filsafat analitis telah mengembangka filsafat ke pendidikan dalam beragam cara dengan
menjadikan lebih peka terhadap implikasi-implikasi peristilahan pendidikan. Namun, perlu di
ketahui bahwa filsafat analitis tak luput dari kritik, salah satunya filsafat analitis cenderung
menjauhi praduga-praduga epistemologis dan metafisikanya. Sedangkan di satu sisi yang lain,
ketika mereka berpendapat bahwa setiap peristilahan factual atau deskriptif harus ada dalam
bahasa sains dan bahwa proposisi-proposisi harus bisa di verifikasi dengan pengamatan indra,
mereka mengasumsikan sebuah doktrin metafisis sejalan dengan materialisme, realisme, dan
postivisme. Demikianlah, metafisika dan epistemology mereka.

BAB VII

KE ARAH FILSAFAT PERSONAL PENDIDIKAN

a. Perlunya sebuah filsafat personal pendidikan

Setiap person memiliki sebuah filsafat hidup yang kita bawa ke dalam ruang kelas.
Dalam buku ini penulis memberikan contoh bahwa seorang guru menyelenggarakan dan menilai
ujian untuk mendorong siswa menguasai materi pelajaran tidaklah semata-mata hanya untuk
mengukur pengetahuan. Akan tetapi lebih di tujukan kepada subjek didik (siswa) agar terdorong
lebih serius, bersungguh-sungguh dalam mengatasi suatu materi pelajaran dari guru. Penulis juga
menjabarkan fungsi filsafat personal bagi seorang pendidik, agar dapat di renungkan dengan baik
yang kemudian akan membantu untuk 1. Membantu memahami persoalan-persoalan pendidikan
yang paling mendasar 2. Memberdayakan untuk bisa menilai secara lebih baik. 3. Membantu
untuk mengklarifikasi pemikiran tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan 4. Membimbing
untuk mengembangkan sudut pandang yang konsisiten secara internal dan program yang realistis
yang berkaitan tentang lingkungan dunia yang lebih luas.

b. Mengembangkan Filsafat Personal Pendidikan

Setelah di perkenalkan dengan enam filsafat dan delapan teori pendidikan yang di muat
dalam buku ini, dan tela akrab dengan isme-isme yang ada. Setelah mengetahui isme-isme yang
sistematis bukan berarti merupakan akhir dari pemahaman filosofis. Melainkan awal untuk
generasi yang akan datang berupaya untuk selalu memecahkan permasalahan hidup dalam pola
yang terpadu dan koheren. Sebagai seseorang yang mempelajari filsafat pendidikan kita di tuntut
utuk selalu berfikir dan merenung dalam semua hal (pemikiran dan tindakan) yang bertujuan
untuk memiliki pemikiran serta pandangan-pandangan yang teruji. Perlu di sadari, menghasilkan
pandangan-pandangna yang teruji juga harus melakukan praktek-praktek yang di mulai pada diri
sendiri. Seperti contoh di dalam buku ini : kita menguji dengan pandangan kita tentang
pembahasan dalam bab II,mengenai realitas, kebenaran, dan nilai. Setelah merenungkan dan
mendapatkan sebuah pandangan, maka kita berada pada suatu posisi untuk membuat pernyataan
berkaitan dengan apa yang anda percayai sebagai tujuan umum pendidikan. Sebagai seorang
pendidik kita di tuntut untuk selalu berfilsafat melalui praktek-prektek yang sudah di contohkan
di atas serta menginduksi filsafat diri sendiri atau mengembangkan filsafat dalam beberapa cara.
Untuk di terapkan kepada peserta didik, komunitas (masyarakat) dan tentunya diri sendiri.
Tersirat dalam alasan dasar pengajaran filsafat pendidikan yaitu bahwa pekerjaan terbaik yang
berhubungan erat dengan tindak “kecerdasan” daripada dengan kedunguan.

c. Mengimplementasikan Filsafat Personal Pendidikan


Penulis menjelaskan dalam implementasinya filsafat personal, tanpa filsafat pendidikan,
tidak bisa ada praktik yang bermakna. Dengan demikian, langkah pertama dalam
mengembangkan praktik adalah upaya logis meningkatkan pemikiran tentang apa yang sedang di
kerjakan dan mengapa mengerjakannya. Banyak faktor yang mempengaruhi praktek pendidikan,
faktor ekonomi, social, politik dan lain sebagainya. Filsafat pendidikan hanyalah salah satu dari
unsur-unsur fondasional yang “membingkai” proses pendidikan. Filsafat pendidikan hanyalah
sebuah dasar pijakan untuk system (praktek) pendidikan yang lebih maju. Mengingat jaman
semakin berkembang di susul dengan teknologi yang berkembang sangat pesat. Hasil semacam
itu merupakan penjabaran dari filsafat pendidikan.

(Knight, 2007)

TUGAS HANDOUT 6 (MEMBUAT LAPORAN BACAAN DARI HANDOUT


KEMUDIAN DIPERKUAT DENGAN JURNAL)

Pendidikan IPS merupakan praktik pendidikan, yakni praktik tentang pendidikan ilmu-
ilmu sosial agar para peserta didik mampu memahami masalah-masalah sosial dan dapat
mengatasinya serta mengambil keputusan tepat terhadap masalah yang dihadapi dalam
kehidupannya.
Unsur-unsur dalam filsafat pendidikan IPS yang harus diteliti :
1. Perkembangan Sosial
Manusia adalah individu yang nyata, yang dapat dilihat dari kerja mereka atau dari
kondisi riil kehidupan mereka. Itulah hakekat keberadaan manusia dan hakekat hasil kerja
mereka. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara empiris. Sebagai makhluk individu, manusia
dapat dilihat dari kondisi riil kehidupannya. Manusia dan masyarakat hidup, berubah dan
berkembang dari cara mereka membuat barang-barang material untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Kesadaran Sosial
Kesadaran Sosial dilahirkan dari keadaan sosial, yaitu ide, gagasan dan pikiran yang ada
pada manusia. Itu adalah realisasi dari interaksi antara manusia dalam kegiatannya memproduksi
barang-barang material atau dalam keadaan sosial atau dalam kehidupan riilnya. Manusia adalah
produsen gagasan-gagasan rohaniah yang dinyatakan dalam kata-kata, misalnya dalam filsafat,
hukum, ajaran moral, ideologi, dsb.
3. Ideologi Sosial
Ideologi Sosial adalah bangunan atas suatu masyarakat, yaitu seistem keyakinan yang
dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Ideologi itu berdasarkan pada basis.
4. Perjuangan sosial
Perjuangan Sosial ialah tindakan masyarakat untuk mengubah sistem sosial yang berlaku
sesuai dengan perkembangan tenaga produktif masyarakat.
5. Perubahan Sosial
Perubahan Sosial ialah bergantinya sistem politik dan sosial suatu masyakarat, pada
umumnya melalui revolusi. Negara dan revolusi merupakan dua sisi pada satu keping mata uang.
Negara lahir karena adanya revolusi, dan revolusi lahir karena adanya negara yang menindas
rakyatnya.
6. Pimpinan Sosial.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat, setiap kelompok (golongan) manusia ada yang
menjadi pemimpin dan ada yang menjadi pengikut (massa), Pemimpin dan massa merupakan
dua sisi dari keping mata uang, artinya pemimpin dan massa itu merupakan satu kesatuan yang
utuh yang tidak dapat dipisahkan. IPS sebagai kajian akademik merupakan perkembangan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan bidak praktik pendidikan. Komitmen kelompok
masyarakat yang ingin mengembangkan pengetahuan sosial dan humaniora yang dikemas secara
psikologis untuk tujuan pendidikan dan kajian sosial serta humaniora untuk program pendidikan
tingkat sekolah. Pendidikan IPS merupakan kemasan pengetahuan yang telah dipertimbangkan
secara psikologis untuk kepentingan pendidikan.

Contoh tentang pembelajaran Pendidikan IPS :


1. Pendidikan IPS harus secara fungsional berhubungan dengan kebutuhan dan minat dari yang
ada sekarang, seperti masalah dmokrasi, HAM, keadilan, krisis, konflik, kesejahteraan
kelangkaan, pengelolaan, wabah, bencana, globalisasi dan lain-lain.2. Isi studi sosial IPS harus
diatur mengenai tolik dan permasalahan-permasalahan yang disajikan, sebaiknya juga subyek
yang disajikan harus berhubungan dan dikombinasikan (terpadu) untuk penyelidikan
kontemporer, sehingga dapat tercapai yang efektif.
3. Metode pembelajaran IPS terkait dengan kehidupannya.4. Masalah yang dipelajari harus
merupakan seleksi dari beberapa sumber dan pengetahuan, serta sesuai kebutuhan murid dan
masyarakat umumnya.
Dalam pemikiran Somantri, PIPS sebagai disiplin ilmu terintegrasi ‘synthetic discipline’
merupakan sebuah disiplin ilmu dan program pendidikan disiplin ilmu bidang studi yang ter-
integrasi. Ia merupakan merger atau sinergi antara dua atau lebih disiplin ilmu yang setara untuk
tujuan PIPS. PIPS sebagai disiplin ilmu terintegrasi merupakan identitas, jati-diri, ciri khas, dan
faculty culture FPIPS dan pascasarjana PIPS. PIPS sebagai DPIPS memiliki status akdemik
sebagai advance knowledge, middle studies, dan primary structure. PIPS sebagai program PDIPS
memiliki status akademik sebagai PDIPS untuk jenjang pendidikan tinggi, dan PDIPS untuk
jenjang pendidikan sekolah.Karakter PIPS sebagai disiplin ilmu ter-integrasi telah memberikan
landasan teoretis filosofis untuk mensintesiskan tiga paradigma IPS sebagai pendidikan
kewarganegaraan secara simultan, yakni: (1) tradisi pendidikan ke-warganegaraan yang
menekankan pada pewarisan nilai, sikap dan perilaku warga negara yang baik; (2) tradisi IIS
yang menekankan pada pemahaman dan penguasaan konsep-konsep IIS; dan (3) tradisi berpikir
kritis-reflektif, yang menekankan pada penguasaan bahan dan masalah yang terjadi dalam
masyarakat secara reflektif. (Muhammad Imam Farisi)
Dalam perspektif filosofis essensialisme IPS pada dasarkanya adalah pendidikan
keilmuan. Sekolah mengajarkan disiplin ilmu kepada siswa. Intelektualisme adalah tujuan paling
mendasar dari setiap upaya pendidikan IPS. Intelektualisme merupakan kemampuan seseorang
memecahkan berbagai persoalan secara keilmuan. Pendidikan IPS mengajarkan disiplin ilmu-
ilmu sosial secara terpisah sesuai dengan ciri keilmuan masing-masing.

Filsafat progresivisme dan rekonstruktionisme menjadi pijakan akademik bahwa IPS


merupakan integrasi dari ilmu-ilmu sosial dan dibelajarkan secara terpadu. Filsafat ini juga
memberikan penguatan jati diri IPS sebagai pengetahuan sintetik apriori yang menekankan pada
proses pembelajaran pada situated cognition.

Jati diri IPS dan pembelajarannya adalah pembelajaran IPS bukan sekedar learning for
schooling, tetapi learning for llving pula. IPS menekankan pada konsep tidak sekedar digali dari
disiplin ilmu pendukungnya tetapi dikenali dan ditemukan di masyarakatnya sehingga IPS dapat
menghadirkan pengetahuan yang mewujdukan kesadaran kritis, kesadaran reflektif peserta didik
dan tidak mengalinasi peserta didik dari masyarakat di sekitarnya.

REFERENSI
Dr. H. Amka, M. (2019). Filsafat Pendidikan. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Knight, G. R. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.

Muhammad Imam Farisi, A. M. (n.d.). Pendidikan IPS Sebagai "Synthetic Disipline": Kajian Epistimologis
Atas Pemikiran Nu'man Somantri. 12.

Anda mungkin juga menyukai