Anda di halaman 1dari 9

A. Pendahuluan Pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi impian semua negara. Banyak negara berkembang gagal.

Sedikit yang berhasil. Salah satunya adalah Korea Selatan. Menurut mantan Menteri Pendidikan Korea Byong Man Anh (2011), fokus ke pendidikan tinggi mendorong pemerintah menciptakan sistem penerimaan mahasiswa baru yang tidak hanya bertumpu pada tes tertulis, tetapi juga pada kreatifitas dan potensi calon mahasiswa. Dia menambahkan, kemajuan pendidikan di negerinya dimulai tahun 1960-an, ketika kepemimpinan negeri itu bercita-cita melahirkan sarjana di bidang-bidang profesional dan iptek. Padahal saat itu, Kami seperti Afghanistan hari ini, ujarnya (Anh, 2011: p. 2). Pilihan memperkuat pendidikan tinggi itu lebih sulit dan mahal, namun hasilnya akan berjangka panjang. Korea menjadi salah satu contoh kemajuan ekonomi yang berkelanjutan karena didukung oleh warga negara yang terdidik dan mumpuni. Menurut Anh, Korea saat ini memiliki tingkat buta huruf terendah, tingkat matrikulasi universitas tertinggi, tingkat pengangguran 3,3%, dan peringkat 1 untuk matematika, peringkat 2 untuk membaca, dan peringkat 3 untuk sains. Pendidikan tinggi yang berhasil memang menciptakan efek samping pengangguran terdidik. Inilah yang sangat ditakutkan, dan menjadi momok buat pemerintah manapun untuk mengembangkan pendidikan tinggi. Yang salah di sini adalah ketakutan terhadap pendidikan tinggi tersebut tidak proporsional. Seharusnya, kita bertanya: pendidikan tinggi yang seperti apa? Kita mestinya memiliki visi yang baik tentang pembangunan nasional, arah dan tujuan republik ini, yang akan menjadi panduan untuk kebijakan pendidikan nasional. Kita menyayangkan kebijakan pemerintah yang bertumpu pada Millenium Development Goals (MDGs) yang di sisi pendidikan lebih mengutamakan SD dan SMP. Pilihan itu tidak salah, karena masyarakat Indonesia secara umum masih berpendidikan SD. Namun, pilihan ini membuat negara kita siap hanya menjadi tenaga kasar di dalam proses pembangunan ekonomi. Kenapa? Lulusan SD dan SMP, bahkan SMA atau SMK sekalipun, hanya mampu mengisi pekerjaan yang sifatnya teknis, pertukangan, klerikal, dan mengandalkan tenaga fisik, bukan fikir. Secara tidak langsung, kita mewujudkan mitos bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa kuli. Makalah ini akan membahas tantangan pendidikan tinggi di masa depan, dengan tiga topik utama. Pertama, pendidikan tinggi harus mengembangkan kompetensi global. Kedua, mampu melahirkan kelas menengah baru yang siap bersaing secara global. Kedua, pendidikan tinggi teknik dan pertanian harus melahirkan technopreneur yang mumpuni. Ketiga, pendidikan tinggi teknik dan pertanian harus menanamkan etika dan integritas ke setiap lulusannya agar menjadi warga negara yang berakhlak mulia. Pendidikan teknologi pertanian atau agroindustri sudah berkembang jauh dari sejak berdirinya di tahun 1980-an. Masyarakat kita kini menikmati hasilnya. Meskipun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama ikhtiar kita semua meraih nilai tambah yang sebesar-besarnya dari pengolahan kekayaan alam Indonesia. Semangat perjuangan ini harus terus dihidupkan. Dalam situasi dan kondisi sekarang, kita membutuhkan technopereneur dari kalangan generasi muda untuk menjadi motor penggerak ekonomi bangsa. Keberhasilan mereka tidak hanya berhenti pada kemakmuran perorangan, ataupun keluarga, tetapi juga akan memakmurkan bangsa dan negara Indonesia, sekaligus memperkuat sistem politik dan demokrasi. Insya Allah, kita akan menjadi bangsa yang besar, makmur, adil, sejahtera, dan amanah. B. Pendidikan tinggi harus mengembangkan kompetensi global

Persaingan antar-negara sudah menjadi kenyataan. Kita sebagai lembaga pendidikan tinggi harus mampu memenangkan persaingan itu, paling tidak bertahan. Indonesia merupakan pasar yang besar di dunia, karena dari segi sumberdaya manusia sangat besar. Data populasi terakhir menunjukkan jumlah penduduk kita tercatat sekitar 245 juta jiwa. Mereka memiliki potensi ekonomi sangat besar sebagai tenaga professional dan terlatih (skilled labor). Gambar 1. Peringkat 4 populasi dunia (2011) dan nomor 1 negara muslim (2010)

Kita sangat jarang menyebut penduduk atau sumberdaya manusia sebagai kekayaan alam. Padahal, merekalah sebenarnya kekayaan alam tersebut. Tentunya dengan catatan: mereka mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Salah satu kunci keberhasilan menaikkan kualitas SDM adalah melalui pendidikan tinggi. Di sinilah persoalan yang relevan dengan tema makalah ini. Pendidikan tinggi harus memiliki tujuan yang pasti, misalnya mencetak lulusan yang memiliki kompetensi global. Apa saja kompetensi global tersebut? Banyak sekali definisi kompetensi global, antara lain: a person with a grasp of global systems, global issues, the dynamics of how things are interrelated and interconnected in the world, and how society can best address global issues. (Ron Moffatt, Director of the San Diego State University International Student Center; dalam Willard, nd) Tabel 1 lebih jauh mendeskripsikan kompetensi global tersebut dalam 20 aspek. Seluruh aspek tersebut, menurut studi Willard (nd), dapat diperas ke dalam dua aspek utama: kemandirian dan kemampuan memecahkan masalah.

Penggunaan taksonomi Bloom di kurikulum TIN-IPB sudah tepat, terutama untuk aspek kognitif. Seperti diketahui, Bloom menggunakan tiga kategori untuk pembelajaran, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari sisi kognitif, tampaknya hanya dua yang menonjol, yaitu penguasaan pengetahuan (mastery of knowledge) dan kemampuan menerapkan kreatifitas dalam desain sistem dan sejenisnya (ability to apply creativity). Kemampuan mahasiswa TIN yang sudah tinggi di tiga ilmu, yaitu matematika, fisika, dan kimia menjadi kunci keberhasilan mereka dalam penguasaan pengetahuan sains dan teknologi. Dari patok-duga kompetensi dengan UPM Malaysia, tampak bahwa penguasaan kognitif bukan kemampuan yang utama lagi. Dari 14 kompetensi, hanya dua yang mengacu ke kognitif, selebihnya psikomotorik dan afektif. Konsep Bloom dalam menelaah keahlian kognitif yang hendak dikuasai memang relatif tertinggal. Walaupun demikian, kita harus mengakui kepraktisan dari strata taksonomi Bloom dalam mengelompokkan daya pikir manusia. Gambar 2 menunjukkan strata Bloom tersebut dan pergeserannya dari saat diluncurkan 1956 hingga revisi pada 2001. Setelah hampir 50 tahun, para pakar pendidikan sepakat mengganti aktifitas evaluasi di bawah sintesa atau berkreasi. Kemampuan menciptakan sesuatu atau sering disebut sebagai kreatifitas memang lebih penting dari sekedar melakukan evaluasi. Menurut Wilson (2001), revisi yang dibuat Anderson and Krathwohl (2000) tersebut memudahkan guru atau dosen mengukur hubungan antara instruksi dan proses kognitif. Contohnya, kalau dulu proses kognitif tertinggi evaluasi (kata benda) menurut Bloom versi 1956 menekankan kepada aspek kemampuan untuk menilai, mengecek, dan mengkritisi bahan ajar untuk keperluan tertentu, maka menciptakan (kata kerja) menurut taksonomi Bloom versi 2001 berarti menempatkan berbagai elemen menjadi sesuatu yang koheren dan fungsional. Kompetensi berbasis kognitif ini sudah mencukupi, karena sasarannya adalah mahasiswa menguasai bidang keilmuannya di puncak taksonomi. Gambar 2. Pergeseran taksonomi Bloom (Wilson, 2001)

Kompetensi kognitif saja tidak cukup. Pengalaman empirik memberikan indikasi bahwa lulusan TIN-IPB sudah pasti memiliki sebagian besar kompetensi kognitif tersebut. Walaupun demikian, setidaknya menurut Suprihatin dan Mangunwidjaja (2011), para pemangku kepentingan menyebut kelemahan lulusan TIN-IPB dari sisi afektif, yaitu komunikasi, kemampuan bahasa asing, sikap mandiri atau terlalu percaya diri. Satu tambahan kelemahan lagi adalah mereka sering berpindah kerja. Di sisi kurikulum, TIN-IPB justru memiliki kandungan kompetensi dari aspek afektif yang sangat dominan: enam dari 14 kompetensi atau hampir 50% dari seluruh kompetensi. Itupun masih ditambah tiga karakter yang seluruhnya masuk kategori afektif, yaitu: 1. Moral, etika, dan profesionalisme yang tinggi. 2. Tanggungjawab sosial dan kesadaran lingkungan. 3. Sikap mental entrepreneur (inovatif, visioner, kreatif, inisiatif, motivasi tinggi, disiplin, komitmen, orientasi manfaat, menghargai waktu, peka terhadap peluang bisnis). (Suprihatin & Mangunwidjaja, 2011: p. 6) Langkah berikutnya adalah mengemas kompetensi kognitif dan afektif menjadi kompetensi global. Menurut Baswedan (2011), kompetensi global terdiri dari empat, yaitu: (1) Ketrampilan kelas dunia (World class skills), (2) Memiliki akar ke-Indonesia-an yang kuat (Strong Indonesian roots), (3) Menghargai keberagaman (Respect diversity), dan (4) ketrampilan komunikasi/bahasa (Communication/language skills). Ketrampilan kelas dunia di poin 1 sebagian besar mengandung kompetensi kognitif. Berbeda dari model Willard, konsep kompetensi global Baswedan mempertimbangkan aspek ke-Indonesia-an dalam poin 2.

Akar ini mengandung pemahaman tentang masyarakat dan budaya Indonesia yang relatif unik. Sebagai contoh, bagaimana kita memahami konsep gotong-royong atau ekonomi kerakyatan yang tidak ada duanya di dunia? Pemahaman yang baik, bahkan lebih jauh lagi sebagai akar, akan membuat generasi muda Indonesia yang sudah dididik di TIN-IPB dan perguruan tinggi lainnya dapat menjadi aset yang sangat berharga bagi bangsa kita. Salah satu kegiatan akademik atau non-akademik adalah Kuliah Kerja Nyata atau Praktek Lapang. Aktifitas semacam itu membuat mahasiswa sadar benar akan kondisi bangsa dan masyarakatnya secara dekat dan langsung. Poin 3 menekankan pada aspek kedewasaan dan kebijaksanaan si lulusan atas keberagaman masyarakat, baik di Indonesia ataupun di dunia. Tidak hanya pemahaman, si lulusan juga harus menghargai perbedaan tersebut. Dalam kompetensi ini, si mahasiswa melihat perbedaan secara positif dan menerimanya dengan tulus. Jadi, kesadaran akan perbedaan tidak hanya di mulut, tetapi juga di hati. Kompetensi ini memerlukan latihan yang intensif. Kegiatan yang ideal adalah menempatkan si mahasiswa di suatu tempat yang sangat berbeda dari tempat asalnya, seperti di luar negeri. Kenapa? Dia akan merasakan posisi baru sebagai orang asing, mungkin menjadi kelompok minoritas, dan menyesuaikan dengan situasi setempat. Seperti pepatah dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung atau When in Rome, act like the Roman does. Poin 4 berisi kemampuan komunikasi yang dalam arti luas juga meliputi kepiawaian menggunakan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, Arab, dan Mandarin. Secara inheren, kemampuan afektif ada di poin 2, 3, dan 4. C. Pendidikan tinggi agroindustri dan konstruktivisme Aristoteles menyatakan bahwa nilai tidak bisa hanya melalui pengajaran. Dia berpendapat bahwa murid harus mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat menguasainya, karena melibatkan ketrampilan rasional, emosi, dan sosial (Kraut, 2010). Pengajaran nilai, misalnya anti-korupsi, memang akhirnya harus berangkat dari konsep demikian. Salah satu pendekatan yang paling sesuai adalah konstruktivisme. Dalam konsep konstruktivisme, proses belajar menggunakan pengetahuan yang sudah ada di anak didik. Salah satu penerapannya adalah pembelajaran berpusat anak-didik (student-centered learning). Penerapan mata kuliah wajib Anti-Korupsi di Universitas Paramadina sejak 2008 bertujuan menerapkan nilai-nilai baik yang baik terkandung dari materi pembelajaran harus diberi konteks dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari si mahasiswa. Menurut Sofia & Herdiansyah (2011), mahasiswa yang mengambil matakuliah Anti-Korupsi memiliki keyakinan positif terhadap sikap anti-korupsi dan selanjutnya memiliki kecenderungan untuk berperilaku anti-korupsi. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara kepercayaan terhadap kebiasaan (behavioral beliefs), sikap terhadap kebiasaan (attitude toward behavior), dan kecenderungan perilaku. Gambar 3. Hubungan Kepercayaan, Sikap, dan Perilaku Anti-korupsi Sumber: Sofia & Herdiansyah (2011): p. 7. Salah satu faham pembelajaran yang sesuai untuk ikhtiar mengajarkan etika adalah konstruktivisme. Faham yang dicetuskan oleh John Dewey (1916) itu menekankan bahwa proses belajar dimulai dari isi pikiran si anak didik. Pemahaman akan sesuatu fenomena alam sebaiknya berawal dari pemahaman si anak itu sendiri terhadap fenomena alam yang dimaksud. Contohnya, kalau si anak didik akan belajar tentang nilai rata-rata sekumpulan bilangan, maka

dia harus menguasai operasi penjumlahan, kemudian pembagian. Apabila dia belum menguasai pengetahuan sebelumnya (pre-requisite), maka dia akan banyak mengalami kesulitan untuk memahami pengetahuan baru. Opini Dewey tersebut menjadi terobosan di awal abad ke-20 terhadap proses pembelajaran lama yang mengasumsikan anak didik itu tidak tahu apa-apa. Vygotsky menyebut syarat pemahaman dasar itu dengan istilah Zone of Proximal Development. Menurut Chaiklin (2003), di zona inilah fokus perhatian diberikan untuk melihat hubungan antara instruksi dan perkembangan (pemahaman). Lebih sederhananya, anak didik akan memahami konsep yang lebih sulit apabila ada orang lain (guru atau dosen) yang lebih ahli yang mengajarinya. Lebih kurang, pemikiran Dewey dan Vygotsky inilah yang melahirkan konsep pembelajaran konstruktivisme. Gambar 4. Fondasi Pengajaran dan Pembelajaran Konstruktivisme

Gambar 3 menunjukkan derajat keterlibatan anak didik dan jumlah pengetahuan yang diingat. Tampak bahwa semakin tinggi derajat keterlibatan anak didik, maka makin besar porsi materi yang akan diingat oleh si anak didik. Kemudian, semakin aktif si anak didik dalam proses pembelajaran, maka semakin banyak pula materi yang akan diingatnya. Ada dua kegiatan paling puncak dalam proses pembelajaran aktif, yaitu simulasi dunia nyata dan mengerjakan dunia nyata. Dalam mengajarkan nilai positif (etika), maka proses pembelajaran yang cocok adalah dengan metode belajar aktif, dengan simulasi dunia nyata. Misalnya, si anak didik diberi tugas mengobservasi tindak pidana korupsi. Hasil laporan mahasiswa Universitas Paramadina menunjukkan kejadian korupsi mulai dari kelahiran sampai liang kubur yang terjadi di kehidupan

sehari-hari masyarakat Indonesia. Kami berspekulasi bahwa mahasiswa yang di awal kuliah tidak dapat membedakan tindak pidana korupsi, atau bahkan menganggap korupsi itu bagian dari kehidupan normal sehari-hari, kemudian mengalami transformasi menjadi lebih faham (kognitif) melalui sesi kuliah. Kemudian, mereka berdiskusi dengan penegak hukum dan pakar korupsi, lalu menghadiri sidang-sidang pengadilan Tipikor di Jakarta Selatan. Dengan berjalannya waktu di titik akhir semester mengerjakan tugas-tugas lapangan mengamati tindak korupsi di tengah masyarakat, si mahasiswa bergeser lagi menjadi lebih bersikap anti-korupsi. Persoalannya, hasil akhir matakuliah ini belum menjamin bahwa mahasiswa kelak akan terus demikian. Riset Sofia & Herdiansyah (2011) menunjukkan norma subyektif si mahasiswa akan sangat dipengaruhi oleh norma lingkungan sosialnya. Di sinilah kunci temuan yang dapat diterapkan ke pelajaran afektif lainnya. Kita dapat mengajarkan nilai positif dan afektif secara baik, namun hasil akhirnya akan ditentukan oleh lingkungan tempat si mahasiswa atau lulusan tersebut bekerja. Demikian juga dengan tujuan pendidikan tinggi agroindustri yang ingin melahirkan lulusan yang berjiwa technopreneurship. Menurut Suprihatin & Mangunwidjaja (2011), ciri sarjana yang berjiwa technopreneurship adalah Kreatif, Inovatif, Berani mengambil risiko, dan Mandiri. Sebuah perguruan tinggi harus memiliki proses akademik dan non-akademik yang integratif agar mampu menghasilkan sarjana technopreneurship. Technopreneurship sebenarnya meliputi aktifitas yang cukup luas dalam tiga kategori, yaitu bisnis, sosial, dan publik (pemerintahan). Pertama, technopreneurship bisnis yang sudah kita kenal, yaitu mendirikan usaha dengan memanfaatkan kemampuan teknologi untuk mengolah bahan mentah yang relative murah sehingga menjadi produk yang bernilai jual tinggi. Ada unsur kenaikan nilai tambah yang signifikan dalam kategori technopreneurship bisnis ini. Kedua, technopreneurship sosial, yang mengusahakan peningkatan kualitas hidup masyarakat (social well-being) melalui pemanfaatan teknologi. Contohnya, pengolahan limbah dengan teknologi yang lebih baik sehingga meningkatkan kualitas air, tanah, dan udara di suatu wilayah. Ketiga, technopreneurship publik (pemerintahan), yang menekankan peningkatan peran pemegang otoritas (pemerintah, BUMN, dan lembaga sejenis) dalam meningkatkan kualitas kinerjanya dengan pemanfaatan teknologi. Dengan demikian, pendidikan tinggi agroindustri harus melihat technopreneurship secara komprehensif, karena tidak semua output (sarjana) memiliki outcome (technipreneurship) yang sama. C.1. Transkripsi Paralel (Dual-transript) Proses pendidikan tinggi yang baik mengandung unsur akademik dan non-akademik. Idealnya, ada arahan kepada mahasiswa untuk berprestasi di dua bidang tersebut. Persoalannya, bagaimana mendorong mahasiswa untuk berprestasi di keduanya? Salah satu caranya adalah dengan penerapan kewajiban melakukan kegiatan non-akademik atau pengembangan potensi diri. Ada universitas yang berinisiatif menerapkan kebijakan dual-transcript. Dalam kebijakan ini, mahasiswa diwajibkan mengumpulkan poin dari kegiatan-kegiatan non-akademik, seperti ketua BEM, ketua panitia wisuda, ketua panitia orientasi, ketua organisasi kemahasiswaan, peserta workshop, dan sebagainya. Setiap aktifitas mendapat poin tertentu sesuai criteria yang ditetapkan universitas. Mahasiswa harus mengumpulkan poin dari kegiatan-kegiatan ekstra tersebut dalam jumlah tertentu sebagai syarat untuk mengikuti ujian skripsi. Dengan kebijakan ini, universitas atau program studi secara langsung dapat mendesain aktifitas dan poin sesuai dengan visi dan misinya. C.2. Program Inkubasi Technopreneurship

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Pepatah itu sesuai dengan pemikiran Dewey (1916) yang menyatakan bahwa anak didik akan belajar lebih baik melalui kegiatan atau pengalaman. Program ini berbeda dengan PL (Praktek Lapang) yang menurut Suprihatin & Mangunwidjaja (2011) member manfaat besar ke mahasiswa dalam bentuk: menambah pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan kerja di industri/kawasan agroindustri, dan menumbuhkan kemampuan technopreneurship (p. 15). Manfaat dari PL memang besar, terutama dari sisi pengalaman dari dunia nyata. Namun hal ini belum cukup, mengingat target PL sebenarnya adalah membandingkan (compare and contrast) antara pengetahuan di bangku kuliah dan kegiatan nyata agroindustri. Aktifitas pembelajaran ini masuk ke kategori seeing on location di Gambar 4 di atas. Efeknya tidak akan besar buat proses pembelajaran. Akan lebih efektif apabila perguruan tinggi memberikan fasilitas modal awal kepada mahasiswa yang berminat untuk membuka usaha sendiri di bidang agroindustri. Ada banyak industry mapan yang bersedia menjadi donor atau penyandang dana untuk kegiatan seperti ini. Kalau kita lihat di Gambar 4 di atas, mahasiswa yang membuka usaha sendiri dengan modal awal dari perguruan tinggi ini akan berada di level tertinggi proses pembelajarannya: simulasi atau bahkan kegiatan nyata di lapangan (simulating and doing the real thing). Ada proses pematangan dirinya sebagai pengusaha, pejuang masyarakat madani, atau pekerja pemerintahan yang mumpuni sesuai tiga kategori technopreneurship tadi. C.3. Program Penguasaan Bahasa Asing Penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, sudah sangat mutlak saat ini. Hubungan antar-negara di dunia sudah semakin lancar dan bebas. Pasar terbuka ASEAN akan segera berjalan pada tahun 2015. Siapkah sarjana-sarjana kita mengisi posisi-posisi kepemimpinan di berbagai perusahaan besar di kawasan Jalan Sudirman di Jakarta? Analoginya demikian: pada tahun 1945 saat kemerdekaan RI diproklamirkan, orang Indonesia yang tidak dapat berbahasa Indonesia akan tersingkirkan. Di negara baru itu, kemampuan berbahasa Indonesia (Melayu) sangat mutlak, sehingga banyak orang daerah yang bersusah payah belajar bahasa Indonesia. Sekarang, hal yang sama terjadi, tetapi kali ini kemampuan berbahasa Inggris. Sarjana kita boleh saja memiliki NMR 4.0 dan menguasai softskills, namun kalau gagap berbahasa Inggris, dia akan sulit bersaing untuk masuk Unilever, Nestle, atau Danone Aqua. Tidak mau menjadi professional? Boleh saja, namun kalau dia menjadi pengusaha, dia harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris kalau mau membidik pasar ekspor. Jadi, kemampuan bahasa Inggris sudah mutlak perlu buat para calon sarjana kita. Bagaimana caranya? Beberapa universitas memberikan standar skor TOEFL untuk kelulusan. Itu sudah bagus, meskipun belum cukup. Akan lebih baik kalau lingkungan kampus menerapkan English Day, atau segala sesuatu dengan atmosfir berbahasa Inggris. Contohnya, kawasan berbahasa Inggris, kelas berbahasa Inggris, matakuliah berbahasa Inggris, dan sebagainya. Kebijakan program studi terhadap pembiasaan berbahasa Inggris itu dapat dipertajam dengan pelatihan penulisan bahasa Inggris dan diskusi ilmiah dalam bahasa Inggris. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan pada peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, sekaligus mengembangkan atmosfir yang menghapus kesan bahwa bahasa Inggris itu bahasa asing. Banyak pesantren sudah menerapkan prinsip atmosfir bahasa asing tersebut, dan terbukti berhasil. Kebijakan tersebut di luar proyek yang bersifat fisik, misalnya membangun lab bahasa asing. Jadi, kegiatan menanamkan bahasa asing harus berjalan di dalam dan di luar kelas atau lab tersebut. D. Penutup

Indonesia membutuhkan sarjana agroindustri yang mumpuni. Sarjana agroindustri yang memiliki kualitas technopreneurship akan menjamin ketahanan republik ini dalam arena persaingan global. Perjuangan perguruan tinggi dalam menghasilkan sarjana seperti itu harus menggunakan metode baru yang di luar kebiasaan. Penerapan konsep pengalaman sebagai inti dari pembelajaran menjadi sangat penting. Proses pembelajaran pengetahuan sains secara kognitif saja tidak cukup, karena mahasiswa harus menguasai ketrampilan lunak (softskills) dan kematangan diri dalam soal etika dan moral. Pendidikan tinggi yang baik menerapkan metode yang mendorong mahasiswa belajar dari kejadian nyata, melalui observasi, simulasi, atau melakukan kegiatan nyata itu sendiri. Kebijakan perguruan tinggi yang mencatat dan mendorong mahasiswa melakukan kegiatan nonakademik harus diteruskan. Konsep dual-transcript yang mewajibkan mahasiswa melakukan kegiatan non-akademik dan akademik secara seimbang sudah waktunya diterapkan. Dari kebijakan itu, perguruan tinggi dapat melakukan rekayasa secara sistematis untuk mewujudkan sarjana sesuai dengan visi dan misinya. Kemampuan komunikasi dalam bahasa asing sudah menjadi syarat mutlak saat ini. Oleh sebab itu, perguruan tinggi agroindustri dapat menyiapkan sistem kampus yang merangsang seluruh civitas academica untuk menggunakan bahasa asing. Bahasa adalah alat komunikasi antarpribadi dan sosial. Oleh sebab itu, kebijakan yang bertumpu kepada perangkat keras sebaiknya dilengkapi dengan kebijakan yang sifatnya mendorong tumbuhnya komunitas untuk berbahasa asing tersebut. Tantangan Indonesia dalam agroindustri sangat besar di masa depan, begitupun peluangnya. Perguruan tinggi agroindustri harus mempu menjawab tantangan tersebut dengan kemampuan sendiri. Sudah bukan masanya lagi kita berharap dari pemerintah. Semua pemikiran di atas mengandalkan kepada kemampuan masyarakat madani (civil society) yang mandiri dan bebas dari campur tangan pemerintah. Kita harus berada di pihak rakyat dalam membina mereka agar mampu bertahan di tengah gemuruhnya ekonomi pasar saat ini. Indonesia seharusnya membanggakan kekayaan manusianya, bukan sumber daya alamnya. Sarjana technopreneurship yang mumpuni di bidang bisnis, sosial, dan publik akan mampu memberdayakan masyarakat dalam menghadapi tantangan global tersebut.

Oleh Totok Amin Soefijanto, Ed.D1

Anda mungkin juga menyukai