Anda di halaman 1dari 2

Spiritual Pedagogy dalam Perspektif Pendidikan Sains

Oleh Jaja Jamaludin


Ketua Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Bosowa

Problem pendidikan karakter di kalangan remaja usia sekolah telah menjadi kekhawatiran
bersama. Pendidik di sekolah, orang tua di rumah serta masyarakat, mereka telah merasa
berbuat untuk pendidikan putra-putrinya. Namun kenyataan menunjukkan prilaku remaja
seusia sekolah makin mengkhawatirkan. Pada Selasa 4 September 2018 yang lalu, sebuah surat
kabar Online Okezone memuat judul : 29 Pelajar Sempat Pesta Miras Sebelum Bacok Pemuda
hingga Tewas di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ini fakta takterbantahkan (apodiktik)
bahwa pendidikan karakter pada usia remaja tidak berhasil kalau tidak disebut gagal.

Sesungguhnya, tidaklah sulit untuk memahami mengapa para remaja seusia sekolah sekarang
ini lebih sering menabrak, membenturkan dan bahkan menginjak-injak aturan, norma bahkan
Tata Nilai religiusitas. Hal ini terjadi karena pada seluruh ruang waktu dan timeline aktivitas
ramaja seusia sekolah tidak ditemukan proses pendidikan karakter yang mampu
mentransformasi peradaban secara individu, komunal dan sosial.

Spiritual Pedagogy
Karen P. Harlos (2000) dari University of Otago, Selandia Baru mengembangkan pedagogi
spiritual melalui tiga tujuan utama, pertama untuk memeriksa dan menjelaskan apa konsep
spiritualitas yang dianut, Kedua untuk mendorong pendidik untuk mengeksplorasi dan
menerapkan dalam kapasitasnya sendiri dalam perspektif spiritual, dan ketiga untuk
menggambarkan nilai spiritualitas sebagai topik di dalam proses pendidikan. Sementara,
Shihabuddin, 2016 dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) berpendapat
bahwa spiritual pedagogy adalah praktik pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
Kecenderungan ini telah melahirkan bidang kajian baru yang dikenal dengan pedagogik spiritual
(spiritual pedagogy). Dalam pendekatan ini pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan oleh
guru dengan berlandaskan pada nilai yang dijadikan panduan dalam menjalankan profesinya
seperti nilai kasih sayang, keadilan, kesabaran, kerendahan hati, kepekaan, toleransi, dan nilai-
nilai lainnya.
Pendidikan Sains
Pendidikan sains di sekolah sangat strategis dalam mengembangkan pendidikan karakter siswa
melalui pendekatan spiritual pedagogy. Koheren dengan pendapat di atas, pendidikan sains di
kelas-kelas akan mampu mengejawantahkan spiritual pedagogy dengan mengedepankan naar
rasional. Sekadar contoh, nilai-nilai keadilan adalah salah satu Tata Nilai Universal bagi harmoni
peradaban manusia. Nilai-nilai keadilan sejauh ini diajarkan dan dikonsepsi sebagai konsep
yang dogmatis dan formalistik.

Sebagai contoh, hukum Fisika tentang keseimbangan universal sangat sempurna menjadi
medium rasionalisasi nilai-nilai keadilan. Sistem tata surya heliosentris akan terus harmony dan
tidak terjadi kekacauan jika (dan hanya jika) setiap benda langit "taat peran" dan "bersikap adil"
menjalankan eksistensi, peran dan fungsinya serta menempatkan diri dalam kapasitasnya.
Bayangkan apa yang an terjadi, jika, bumi tiba-tiba saja berkecepatan melampau kecepatan
takdirnya (baca : tidak taat peran) sedemikian mengelilingi matahari lebih 365 1/4 hari, maka
seketika itu juga bumi akan mengalami kehancuran dan seluruh "tetangga" nya planet lain,
satelit akan juga kacau dan hancur. Seorang koruptor, ia telah berbuat tidak adil pada dirinya
dan lingkungannya, akibatnya reputasi diri dan keluarga serta sistem sosial bahkan negaranya
menjadi hancur gara-gara tindakan koruptif.

Betapa fundamentalnya ajaran keadilan ini oleh karena jika diabaikan/dilanggar ia akan
menghancurkan. Itulah sebabnya dalam Al-Quran surat Al-Rahmân, kata-kata mîzân memang
dikaitkan dengan keadilan. "Dan langit Ia tinggikan, dan Ia letakkan neraca (keadilan)" (Q., 55:
7). Di sini Tuhan berbicara tentang makro-kosmos, bahwa seluruh alam raya tunduk pada
hukum keseimbangan, sehingga arti sebenarnya adil ialah keseimbangan.

Jadi, dalam perspektif pendidikan sains, bersikap adil bukan saja kewajiban melainkan
kebutuhan umat manusia, dan bukan sekadar pemaknaan dogmatis. Dengan demikian
pendidikan sains tentang hukum keseimbangan haruslah sampai pada apa yang oleh Caknun
(Emha Ainun Nadjib) disebut level refleksi ubudiyah. Oleh karenanya pendidikan sains jelas
berbeda dengan pengajaran sains an sich yang hanya berhenti pada rumus-rumus serta
hitungan formalistik. Lebih dari itu pendidikan sains sejatinya mampu menembus makna
spiritualitas dari penciptaan alam beserta hukum-hukum yang mengaturnya. Tentu banyak lagi
tema-tema pendidikan sains yang memungkinkan menjadi medium dalam mengejawantahkan
spiritual pedagogy. #wallahu'alam#
=========================================
Penulis adalah Ketua Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Bosowa
tinggal di Villa Pantai Biru Tanjung Bunga Makassar
handphone/whatsApp : 085881548814

Anda mungkin juga menyukai