Anda di halaman 1dari 2

Radikalisme dan Humanisme Theosentris

Oleh Jaja Jamaludin


Staf Pengajar Universitas Bosowa

Aksi terorisme berupa bom bunuh diri terjadi lagi. Kini episentrum ledakan bom bunuh diri itu
terjadi di jantung kantor aparat setempat, markas polisi resort Kota Medan. Sebagaimana di
rilis Media Indonesia (13/11) di Polrestabbes Medan pada Rabu (13/11) sekitar pukul 08.45
WIB terjadi ledakan yang diduga bom bunuh diri oleh seseorang yang menggunakan atribut
ojek daring. Ledakan itu berada di sekitar kantin Polrestabes Medan.

Entah untuk kali keberapa aksi terorisme ini terjadi. Terorisme dapat dikatakan merupakan
residu atas problem Humanisme Theosentris yang bukan saja belum tuntas, tetapi juga
karena mengalami kegagalan dalam pengejawantahannya. Hal itu terjadi baik pada tataran
kultural maupun konstitusional. Dalam tataran kultural, idiologi terorisme yang diinisialisasi
pandangan radikalisme bahkan pasca reformasi bukannya mengecil, justru menjalar ke
berbagai arah hingga ke kampus-kampus terkemuka. Secara konstitusional, Negara bukan
saja gagal merespon bahkan mengantisipasi gerakan terorisme, melainkan tampak tidak
memiliki ketegasan konstitusional. Larut marutnya pembahasan dan pengesahan UU
antiterosisme adalah fakta apodiktik (tak-terbantahkan) untuk hal ini.

Tahun lalu, melalui akun resmi Facebook,  Presiden Joko Widodo menyampaikan rasa
prihatin  atas aksi terorisme di Surabaya dan Sidoarjo yang melibatkan anak-anak di bawah
umur. Sebagiamana dimuat HU Kompas edisi 20 Mei 2018, Jokowi mengatakan serangkaian
aksi terorisme yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo beberapa waktu lalu itu melibatkan anak-
anak di bawah umur. Bahkan Presiden secara tegas mengatkan bersihkan Lembaga
Pendidikan dari dari idiologi sesat terorisme.

Pernyataan ini sangat menarik bagi dunia pendidikan. Setidaknya ada dua pertanyaan
pertama Apakah pendidikan nasional kita memiliki perspektif anti terorisme? Pertanyan
kedua Mampukah Pendidikan Nasional menjadi penghalau idiologi radikalisme dan terorisme?
Atau justru telah menjadi katalisator yang efektif bagi pertumbuhan penganut idiologi
terorisme?

Pendidikan Anti-terorism
Keutuhan sebagai bangsa yang plural sebenarnya telah sangat kuat diletakkan sebagai
bagian dari tujuan pendidikan nasional kita. Pada tataran konseptual, pendidikan nasional
kita menegaskan ulang pengembangan karakter untuk mampu hidup berdampingan dalam
masyarakat plural. Disinilah barangkali system pendidikan nasional kita belum mampu
mengejawantahkan prinsip-prinsip humanism theosentris dalam proses pendidikan nasional
secara empiris. Pendidikan nasional kita boleh jadi terjebak pada jurang pragmatisme
mekanistik yang serba parsial. Tampaknya, salah satu pilihan yang sangat realistic merespon
harapan presiden adalah system pendidikan nasional melakukan reorientasi paradigmatic
khususnya pada tataran problem-problem humanism theosentris sebagai keniscayaan
pluralism.

Humanisme Theosentris
Sebagaimana kita pahami bersama, humanisme telah tercatat sebagai gerakan pemikiran
filsafat yang menjunjung tinggi nilai-nilai serta kedudukan manusia. Humanisme telah
tertandai sebagai gerakan pemikiran (filsafat) yang sangat kukuh dalam usaha menjadikan
manusia sebagai kriteria atau ukuran segala sesuatu, “antropo-sentris”. Secara umum,
humanisme berarti paham yang berusaha menghidupkan rasa perikemanusiaan agar tercipta
hubungan dan pergaulan hidup yang lebih baik, dengan menjadikan manusia sebagai objek
studi.

Sementara itu, theosentris merupakan suatu karakteristik yang memusatkan segala-galanya


pada Tuhan. Cara pandang teosentris ini dianggap terlalu mengagung-agungkan ajaran
doktriner, dan menutup kran-kran pengkajian keilmuan yang mengandalkan rasionalitas.
Paradigma ini pada gilirannya membakukan sebuah dogmatisme-ortodoks yang statis, yang
dilawankan dengan intelektualisme-heterodoks yang dinamis. Karena itu, istilah
“teosentris” an sich pada dasarnya memiliki konotasi yang kurang baik. Idiologi terorisme
kerap sembunyi dibalik perspektif theosentris ini, terlepas agama apapun dari penganut
idiologi terorisme ini.

Tetapi, belakangan istilah teosentris kembali digulirkan oleh sementara kalangan untuk
meredam kepongahan modernisme yang terlalu antroposentris, positivistis, pragmatis,
materialistis, dan rasionalistis. Modernisme dipandang telah melahirkan manusia-manusia
kerdil yang melihat kebenaran dan kebahagiaan hanya dari sudut pandang yang sekuler.
Paradigma teosentris pun lalu disinyalir akan mampu mengembalikan Tuhan di benak setiap
manusia.

Sintesa dari dua perspektif di atas sampai pada sebuah gagasan humanisme yang dibangun
berdasarkan kesadaran kosmis manusia untuk mencapai kesejatian nilai (ruhani) dan
religousitas. Dimensi humanisme sebagai suatu refleksi kritis yang kukuh mempersoalkan
spiritualitas sebagai kodrat alami (sunnatullah) kemanusiaannya. Nilai ketuhanan (teologis)
yang termanifestasikan dalam semangat humanisme mengarah pada satu tujuan, yaitu
kepada nilai-nilai yang esensial: kesejatian atau keabadian. Iinilah humanisme-theosentris.

Aksioliogi humanisme theosentris meniscayakan toleransi dalam pluralism sebagai


penghormatan humanism universal. Toleransi merupakan cerminan kesadaran sikap
terhadap realitas yang plural. Semangat toleransi dalam pemikiran ini adalah konsekuensi
atas peran manusia sebagai khalifah fil Ard.

Founding father kita, bahkan telah jauh meletakkan kesadaran humanism theosentris sebagai
keterpaduan falsafah keTuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Beradab dalam
Pancasila sebagai falsafah Negara-bangsa. Itulah sebabnya terorisme dengan seluruh
tindakan derivatifnya telah secara sempurna melanggar falsafah kebangsaan kita.

-------
Penulis Tinggal Di Villa Pantai Biru Tanjung Bunga Makassar sulawesi selatan
whattApp : +6285881548814

Anda mungkin juga menyukai