Anda di halaman 1dari 3

Meredefinisi Ekosistem Sekolah

Oleh Jaja Jamaludin


Staf Pengajar pada Universitas Bosowa

Sekolah-sekolah telah memulai tahun ajaran baru 2018/2019. Ini artinya, kegiatan
pembelajaran di sekolah telah dimulai kembali. Bagi Siswa baru, tentu segalanya baru.
Sekolah baru, kelas baru, teman baru, bertemu dan memiliki guru baru, pokoknya
segala baru. Dalam kebaruan inilah para siswa baru akan melaksanakan program
sekolah apa yang kita kenal bernama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS)
yang dulu kita kenal dengan nama MOS, Masa Orientasi Sekolah. Perubahan istilah
dari MOS ke MPLS patut diapresiasi, oleh karena atmosfernya bergeser dari yang agak
serem dan kurang humanis bahkan sarat perpeloncoan serta penuh aksi bullying ke
atmosfers yang lebih friendly, nyaman, bersahabat penuh keceriaan dan kebersamaan,
bahkan lebih mengarahkan para siswa baru menemukan pemahaman tentang konsep
“learning how to learn”. Melalui MPLS yang lebih baik sesungguhnya sekolah dapat
melakukan redefinisi ekosistem pendidikan di level sekolah.

Redefinisi Ekosistem Sekolah


Bila kita cermati substansi dan misi dasar Permendibud No 18 tahun 2016 tentang
MPLS, tidak lain bagaimana para siswa menemukan lingkungan baru dan mampu
menemukenali entitas lingkungan sekolah dengan segala potensi dan sumberdaya
sekolah yang dimilikinya. MPLS ini menjadi sangat strategis apabila kita kaitkan dengan
konsep sekolah 5 hari yang belakangan diperbincangkan terkait Permendikbud No 23
tahun 2017 tentang kebijakan fullday school. Dalam hemat penulis, konsep MPLS
dapat menjadi medium bagi para siswa dan sekolah bahkan stakeholder sekolah untuk
meredefinisi tentang ekosistem pendidikan di tingkat sekolah (ekosistem sekolah/school
ecosystem).

Tidak sedikit tanggapan terhadap kebijakan kemendikbud yang tertuang dalam


Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah
itu, lebih melihat dari persoalan praktsis-artificial, seperti problem-problem jumlah hari
sekolah dan jumlah jam pelajaran. Selain itu, kebijakan tersebut terkesan diletakkan
dalam terminologi dimana eksistensi sekolah bersifat ekslusif dari lembaga-lembaga
pendidikan lain termasuk keluarga dan masyarakat. Padahal, kita dapatmenggunakan
perspective alternative, dimana eksistensi sekolah dipandang sebagai bagain dari
ekosistem pendidikan yang melibatkan banyak stakeholdernya. Cara pandang yang
mendikotomi antara sekolah di satu sisi dan lembaga pendidikan lain, termasuk
keluarga dan masyarakat di sisi lain, justru telah menyeret dan menjerumuskan sekolah
formal (baik negeri maupun swasta) di semua jenjang pendidikan pada kegagalan
fundamental, yakni mentrasnformasi peradaban individu pembelajar. Hal ini,
disebabkan justru karenaketiadaan ekosistem pendidikan di level sekolah yang
dibangun secara integrative dan holistic.

Sekolah sebagai Nukleus Ekosistem Pendidikan


Jika kita melihat lebih cermat, konsep dasar yang menjadi pertimbangan kebijakan PP
Kemendikbud No 23 tahun 2017 tersebut, kita akan menemukan sebuah kata kunci
yaitu, “Restorasi Pendidikan Karakter”. Menurut hemat penulis, dalam perspective
pendidikan holistic, dimana domain hasil belajar sangat menekankan perubahan
peradaban (baca : termasuk karakter) individu, komunitas, dan social, maka syarat awal
untuk tercapainya itu dibutuhkan terbentuknya sebuah ekosistem pendidikan di level
sekolah. Ekosistem sekolah dapat terdiri dari entitas sekolah itu sendiri, orang tua
(keluarga) dari sisiwa, lembaga pendidikan informal, seperti pengajian, madrasah,
sanggar, perkumpulan, majelis taklim, pengajian masjid, sekolah minggu di geraja,
kegiatan keagamaan di pura dan sejenisnya. Intinya, seluruh lembaga-lembaga yang
terkait dan bersama-sama memiliki fokus dalam pendidikankarakter anak adalah
bagian yang utuh dan terintegrasi dalam ekosistem system pendidikan di tingkat
sekolah.

Jika kebijakan kemendikmud tersebut diletakkan dalam terminology ekosistem


pendidikan di level sekolah, bukan saja spektakuler tetapi akan menjadi milestone
terbesar dalam sejarah pendidikan nasional. Bayangkan saja jika kebijakan
kemendikmud 5 hari sekolah (fullday School) dapat dilaksanakan dalam terminology
membangun ekosistem Pendidikan, seluruh sumber daya komunitas dan social dalam
ekosistem pendidikan itu akan terintegrasi secara massif dan membangun peradaban
baru.

Sayangnya, kebijakan yang memiliki potensi besar mengubah sejarah pendidikan di


Indonesia ini, terlalu premature. Semua stakeholder yang sejatinya mengambil peran
proaktif, justru malah sebaliknya mempertanyakan kebijakan tersebut. Secara substansi
filosofis jika kita melihat dalam perspective konsep pendidikan holistic, sesungguhnya
kebijakan kemendikbud tentang hari sekolah memiliki potensi perubahan kearah positif
yang besar. Jika menggunakan perspective yang lebih luas, dan mendasar langkah
kemendikbud ini merupakan langkah awal revolusi pendidikan. Sekali lagi, jika hal itu
diletakkan dalam terminology restorasi pendidikan karakter berbasis ekosistem
pendidikan di level sekolah.##wallahu’alam.

Penulis tinggal di Tanjung Bunga Makassar


whatsApp 085881548814

Anda mungkin juga menyukai