Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PAPER MATAKULIAH FILSAFAT PANCASILA

Dosen: Agustinus Wisnu Dewantara, S.S., M.Hum

MARAKNYA TINDAKAN KRIMINALITAS PADA DUNIA PENDIDIKAN


DITINJAU DARI TEORI NEGARA DEMOKRASI

Disusun Oleh:
VERONIKA YUNI SARI
152863

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


WIDYA YUWANA
MADIUN
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas kesempatan yang
diberikan sehingga saya bisa menentukan pilihan untuk menyusun Peper ini. Dengan
adanya Matakuliah ini, saya dapat menerima tugas ini dengan sepenuh hati dan
keseriusan dalam mengerjakan. Maka dengan kesempatan ini, saya akan memaparkan
beberapa permasalahan opini yang menyangkut permasalahan pada bidang pendiddikan
dini. Demokrasi menjadi patokan dimana jaman ini banyak kasus yang terjadi mengenai
permasalahan seperti Kriminalitas, demokrasi dan pelecehan seksualitas diera sekolah-
sekolah maupun kampus. Hal ini muncul dari sistem konstutusi (bentuk Negara), bentuk
Negara saat semakin menjadi acuan Masyarakat Indonesia dalam menentukan aturan
maupun perundangan, terutama sebuah pendidikan, yakni sistem Pendidikan yang
menjadikan aturan sekolah semakin berkembang maupun kemerosotan dibidang
kedisiplinan. Oleh sebab itu maraknya demokrasi antar siswa dan Guru bahkan atau
siswa, guru dan pihak Penanganan Pendidikan di Indonesia.
Dengan ini saya selaku Mahasiswa wajib mendapat info dan mencoba meneliti
sebuah metode kejadian terkini yang terjadi dijaman era Globalisasi saat ini. Melalui
skema Palto, saya mengaitkan sebuah sistem demokrasi ini harus diatasi dengan jiwa
sosial, akal budi atau disebut Pemimpin yang ideal. Sebab pada skema Plato ini
memiliki tatanan Negara yang paling ideal, dengan mengatasi segala masalah
hendaknya dilakukan dengan akal budi dan tujuannya agar tidak menimbulkan
percecokankan pada dunia pendidikan yang meunculkan hal-hal yang berbau
demokrasi, kriminalitas dan lain sebagainya.

2
DAFTAR ISI

Abstrak…………………………………………………………………………………….4

I. Pendahuluan…………………………………………………………………………
…..…..5
I.1 Latar Belakang……………………………………………………………………..
…..5
I.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………..….5
I.3 Tujuan Pembahasan Masalah………………………………………….…………..…..5
II. LANDASANTEORI………………………………………………………………..
….…..6
2.1Demokrasi…………………………………………………………………………..……6
2.2 Skema Plato………………………………………………………………………..…….6
2.3 Pendidikan…………………………………………………………………………..……7
2.4 Kriminalitas ……………………………………………………………………….….…7
2.5 Demokrasi Pendidikan…………………………………………………………….….…8
III. PEMBAHASAN………………………………………………………………………..…..9

3.1 Problematika Pendidikan……………………………………………………………….9


3.2 Masalah-masalah Pokok Pendidikan di Indonesia…………………………………...10
3.3 Masalah Mutu Pendidikan………………………………………………………….11
3.4 Hubungan Antara Sekolah, Guru dan Murid………………………………………11
3.5 Pembagian Kejahatan menurut tipe penjahat………………………………………..12
3.6 Faktor pendorong tindakan Kriminalitas……………………………………………..12
3.7 Upaya Mencegah tindakan Kriminalitas……………………………………………15
3.8 Akibat Melakukan Tindakan Kriminalitas…………………………………………15
3.9 Upaya Mencegah Tindakan Kriminalitas……………………………………………15
IV. PENUTUP…………………………………………………………………………………17
V. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………18

3
ABSTRAK

Kriminalitas merupakan asalnya dari kata “crimen” yang artinya kejahatan, tindak
kriminal, atau juga diartikan suatu tindakan kejahatan, sehingga merupakan tindakan yang
bersifat negatif. Seringkali, tindakan ini akan merugikan banyak pihak dan pelaku
tindakannya disebut sebagai seorang kriminal.
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah
tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap
kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu
kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya
berdasarkan motif politik atau paham. penyimpangan terjadi pembentukan normal dan nilai-
nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat.
Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika
pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau
sekelompok orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan
sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang dapat
menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari
Merton.

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demokrasi pendidikan adalah gagasan atas pandangan hidup yang mengutamakan hak
dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara dalam berlangsungnya
proses pendidikan. Sedangkan di negara-negara yang demokratik, diharapkan sistem
pendidikan pun harus demokratik. Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapat pendidikan di
sekolah sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian pendidikan sangat penting bagi
seluruh bangsa tak terkecuali bagi orang-orang yang kurang mampu melanjutkan ke tingkat
sekolah yang lebih tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan adanya Permasalahan yang akan dibahas, saya akan memberikan beberapa rumusan
masalah pada paper ini berkaitan dengan apa yang akan ditulis dan dibahas secara kongkrit
dengan sebuah Tema “MARAKNYA TINDAKAN KRIMINALITAS PADA DUNIA
PENDIDIKAN DI TINJAU DARI TEORI NEGARA DEMOKRASI” ada pun rumusan itu
ailah :
1.2.1 Apa itu Pendidikan ?
1.2.2 Apa itu Demokrasi ?
1.2.3 Apa itu Kriminalitas ?
1.2.4 apa yang dimaksud dengan Pendidikan demokrasi?
1.2.5 bagaimana cara menemukan titik permasalahan demokrasi pendidikan yang
yang bernuansa Kriminalitas terjadi baru-baru ini?

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah


Dari beberapa rumusan yang telah dikaji, saya akan memaparkan tujuan dari pembahasan
Paper ini :
1.3.1 Dapat meningkatkan minat pembaca mengenai Demokrasi Pendidikan jaman
sekarang dengan teori Negara demokrasi

5
1.3.2 Dapat menjelaskan unsur Kriminalitas Pendidikan seperti apa yang dialami
saat ini
1.3.3 Dapat memahami perbedaan skema Plato dengan unsur demokrasi yang
kurang ideal.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Demokrasi
Demokrasi itu juga menjadi sesuatu taktik budaya dan kekuasaan akal-akalan jika tak
memberi perhatian serius terhadap ekonomi, keadilan dan pemerataan. Di Negara lain
mungkin demokrasi yang mengabadikan eksploitasi elit atas mayoritas dianggap hal lazim
saja. Tetapi Indonesia yang berpancasila, yang di dalam sila-silanya kata “keadilan”
disebutkan sampai dua kali, itu tak beroleh tempat. Demokrasi ini telah dibajak untuk
mengesahkan ketidak-adilan.

2.2 Skema Plato


Mengenai apakah itu Negara mengalir dari skema mengenai apakah itu manusia.
Dengan manusia dimaksudkan adalah “Jiwa”(soul) manusia. Manusia terdiri dari tiga bagian
yakni bagian tertinggi, akal budi (rational/intellective part), bagian roh/semnagat (spired
part), dan bagian yang disebut Appetitive/sebagaimana manusia, demikian juga negara
mencakup klasifikasi para anggotanya semacam itu.
Bagaimana Plato mengagas bentuk-bentuk Negara bagi filsafat Platonian identik
dengan macam-macam karekter manusia. Jika yang memerintah memiliki karakter Freedom-
loving, maka Negara yang terbentuk adalah Democracy. Demokrasi dalam sistem filasafat
kenegaraan Plato tidak sama persis dengan demokrasi dalam artian speperti sekarang ini.
Demokrasi yang dikatakan Plato termasuk dalam bilangan bentuk Negara yang tidak ideal,
karena sistem ini memuja kebebasan, tidak ada pendidikan untuk Virtue, tidak ada harmoni,
tidak ada kesejahteraan. Kebebasan yang dimaksud Plato ialah tanpa hokum. Dalam
demokrasi , hanya rakyat biasa yang tidak memiliki pengetahuan tentang kebijaksanaan apa
pun yang memerintah.
Campuran filsafat dan agama mendefinisikan tradisi spiritualitas Plato yang dikenal
sebagai Platonisme. Pandangan Tuhan sebagai Prinsip Pertama atau Yang Maha Agung

6
daripada seseorang didasarkan pada doktrin platonistik bahwa segala sesuatu yang memiliki
kepribadian dapat diubah dan menjadi milik Alam Bawah, sementara Tuhan adalah prinsip
abadi yang memancarkan bentuk-bentuk yang tidak dapat diubah di Alam Atas. Menurut
Plato, naik ke surga dari "gua" atau dunia bayangan hanya bisa terjadi setelah konversi.

2.3 Pendidikan
Secara umum, pengertian pendidikan adalah suatu proses pembelajaran pengetahuan,
keterampilan, dan kebiasaan sekumpulan manusia yang diwariskan dari satu genereasi ke
generasi selanjutnya melalui pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Ada juga yang
mengatakan definisi pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan secara sistematis
dalam mewujudkan suasana belajar-mengajar agar para peserta didik dapat mengembangkan
potensi dirinya. Dengan adanya pendidikan maka seseorang dapat memiliki kecerdasan,
akhlak mulia, kepribadian, kekuatan spiritual, dan keterampilan yang bermanfaat bagi diri
sendiri dan masyarakat. Dalam bahasa Inggris, kata pendidikan disebut dengan Education
dimana secara etimologis kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu Eductum. Kata
Eductum terdiri dari dua kata, yaitu E yang artinya perkembangan dari dalam keluar, dan
Duco yang artinya sedang berkembang. Sehingga secara etimologis arti pendidikan adalah
proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu. Jadi, secara singkat
pengertian pendidikan adalah suatu proses pembelajaran kepada peserta didik agar memiliki
pemahaman terhadap sesuatu dan membuatnya menjadi seorang manusia yang kritis dalam
berpikir.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus
menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya,
sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Oleh karena
itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri
pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan
sebelumnya, Pendidikan yang menyonsong suatu keteladanan yang diterapkan setiap sekolah,
maupun kedisiplinan. Hal ini mengacu pada hubungan antar Guru dan para Siswa, maka
kerap kali Pendidikan mempunyai permasalahan yang menimbulkan sikap ketidakadilan,
kurang adanya kebebasan dalam aturan sekolah bahkan kriminalitas terhadap Guru maupun
Guru terhadap siswanya.

7
2.4 Kriminalitas
Kriminalitas adalah suatu tindakan  yang melanggar hukum atau suatu tindak
kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut sebagai seorang kriminal. Dan biasanya yang dianggap
kriminal itu seperti maling, pembunuh, perampok dan sebagainya. Dan tingkah laku kriminal
ini bisa dilakukan baik oleh para kaum laki – laki ataupun perempuan, bukan hanya rakyat
biasa yang tidak memiliki banyak ilmu pengetahuan atau yang mempunyai kekurangan harta
seperti orang miskin yang bisa melakukan kriminal, bahkan sekarang ini seperti yang kita
lihat para pejabat, guru dan sebagainya yang memiliki ilmu dan bisa dikatakan mempunyai
kehidupan yang nyaman bisa melakukan tindakan kriminal. Salah satunya yang marak
diberitakan sekarang ini tentang kasus mencabulan oknum guru, baik ditingkat SD, SMP
SMA bahkan perguruan tinggi sekalipun.
Dunia pendidikan adalah suatu dunia tempat dimana anak - anak mencari ilmu dan
bimbingan dari para tenaga pengajar atau guru, tempat dimana seseorang belajar tentang
pengetahuan dan menimba ilmu. Tetapi banyak sekali kita lihat sekarang ini menggunakan
Dunia pendidikan itu sebagai suatu sarana untuk melakukan tindak kejahatan atau
kriminalitas, salah satunya kekerasan seksual atau pelecehan seksual. Dimana  yang
seharusnya itu dunia pendidikan memberikan pendidikan  serta memberikan ilmu yang
bermanfaat kepada para siswa siswi supaya menjadi seorang pribadi yang mampu
mengharumkan nama baik Negaranya dan mampu membela negara nya di dunia modern
kelak. Seperti yang kita ketahui , selain dirumah dan lingkungan masyarakat, sekolah
merupakan tempat dimana anak- anak tumbuh dan berkembang, seperti yang kita ketahui
bersama juga bahwa sekolah itu merupakan pilar penyangga terkuat dari rapuhnya mental
bangsa kita ini. Disekolah banyak sekali program – program yang diterapkan tidak lain
tujuannya hanya untuk mencerdaskan dan membina akhlak dan budi pekerti para siswa, dan
tentunya akan memiliki mental dan pemikiran yang lebih baik. Maraknya kasus kriminalitas
yang melibatkan siswa maupun yang putus sekolah, bahkan para guru yang seharusnya
menjadi contoh dan seharusnya mendidik siswanyapun ikut terlibat dalam kasus kriminalitas.

2.5 Demokrasi Pada Pendidikan


Demokrasi mencakup dua arti baik secara horizontal maupun secara vertikal.
Dimaksudkan dengan demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap anak tidak ada

8
kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan sekolah. Di
Indonesia hal ini jelas sekali tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yaitu:
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Sedangkan demokrasi secara
vertikal adalah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat
pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya. Setelah kita
mengetahui arti demokrasi secara umum ada baiknya kita mengetahui arti pendidikan itu
sendiri. Arti pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai kesempatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Problematika Pendidikan
Lebih dari 100 kasus kekerasan di sekolah, dalam bentuk fisik dan verbal, terjadi
sejak awal 2018 hingga pertengahan Juli ini, menurut data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Kampanye sekolah ramah anak dianggap belum efektif. Dalam catatan
KPAI, sekitar 50% kasus tersebut melibatkan pelajar, baik sebagai korban maupun pelaku.
Sisanya berkaitan dengan pengajar.
Sekolah dasar tercatat paling sering menjadi kekerasan di dunia pendidikan selama tahun
2018, dengan persentase 50%, di susul SMA (34,7%) dan SMP (19,3%). Ada pun kasus yang
terjadi ialah :
 Guru tampar murid di depan kelas: Potret kekerasan dalam pendidikan
 Apa yang Anda lakukan jika anak Anda menjadi pelaku perundungan?

 Sripun, David Beckham, dan lima fakta tentang 'bullying'

Menurut Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, Tetty Sulastri, selama ini guru masih
kerap berdalih menegakkan kedisiplinan saat melakukan kekerasan terhadap peserta didik.
Tetty, yang juga berstatus fasilitator kampanye sekolah ramah anak, menyebut sebagian besar
guru juga belum meninggalkan kebiasaan berkata-kata kasar di dalam kelas. "Sebanyak 90%
pengajar menolak kampanye sekolah ramah anak dengan berkata, dalam praktik belajar-
mengajar penuh kelembutan, kedisiplinan tidak akan muncul.

9
3.2 Masalah-Masalah Pokok Pendidikan di Indonesia
Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi
karena sangat berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beb erapa masalah internal
pendidikan yang dihadapi, antara lain sebagai berikut.
1. Rendahnya pemerataan kesempatan belajar disertai banyaknya peserta didik yang
putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Hal ini identik dengan ciri-ciri kemiskinan.
2. Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA),
matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut
merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.

3. Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standart
yang sudah ditentukan.

4. Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan yang disebut dengan relevansi


pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang
cenderung terus meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya
pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih
di dominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan
efisiensi (padat modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan
kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebuh kecil dibandingkan pertambahan jumlah
lulusan lembaga pendidikan.

Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan moral yang menyebabkan lunturnya


tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial, seperti terjadinya tawuran pelajar dan kenakalan
remaja. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting menjadi landasan akhlak dan
moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada peserta didik sejak dini. Dengan
demikian, hal itu akan menjadi landasan yang kuat bagi kekokohan moral dan etika setelah
terjun ke masyarakat.
Masalah-masalah diatas erat kaitanya dengan kendala seperti keadaan geografis,
demografis, serta sosio-ekonomi besarnya jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah
geografis Indinesia cukup luas. Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang
memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja sistem
pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat

10
mikro lembaga pendidikan, tetapi karena juga menejemen pendidikan pada tingkat makro
seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan.
Sistem dan dan tata kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan
rendahnya mutu sistem pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya
mutu peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan progran yang ditujukan untuk
mengatasi berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik karena fenomena
dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.

3.3 Masalah Mutu Pendidikan


Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti
yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga
penghasil sebagai produsen tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi.
Selanjutnya jika luaran tesebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga
pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja. Lazimnya masih dilakukan
pelatihan dan pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja
dilapangan, dan berkarya.
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan
pendidikan nasioanl dijadikan kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah keluaran dari
sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, anggota masyarakat yang
sosial yang bertanggung jawab.

3.4 Hubungan antara Guru, Sekolah terhadap Murid


Kedudukan seorang anak ketika berada di sekolah akan berubah menjadi seorang murid.
Begitu pula dalam hal siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap si anak?
Seharusnya pula menjadi beban tanggung jawab sekolah, yang dalam hal ini dipegang  guru.
Terutama terhadap anak-anak usia sekolah, yaitu TK, SD, SMP dan SMU, yang secara usia
dan pemikiran masih memiliki keterbatasan kedewasaan dan kemandirian serta masih
tergolong usia anak-anak 18 th sebagaimana Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
Apabila diperhatikan kedudukan seorang guru atau pendidik, sebagaimana pasal 39
ayat 2 Undang-Undang tentang Pendidikan, hanya sebatas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Namun seharusnya tanggung

11
jawab guru tidak boleh berkurang atau tidak sama seperti orang tua. Bahkan, haruslah lebih
baik dibandingkan orang tua si murid agar tujuan dari  pendidkan sekolah dapat tercapai.
Seringkali kelalaian atau kelemahan dari seorang guru terhadap seorang murid selama
berada dalam tanggung jawabnya, justru ia seolah-olah tidak tahu menahu atau dilimpahkan
kepada  si murid sendiri atau bahkan kepada orang tua si murid.   Hal ini malah nampak
seperti sikap cuci tangan atau pelarian dari seorang guru yang harusnya menjadi teladan dan
disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa bintang jasa.

3.5 Pembagian Kejahatan Menurut Tipe Penjahat


Pembagian kejahatan menurut tipe penjahat, yang dilakukan oleh Cecaro Lambroso, ialah
sebagai  berikut :
1. Penjahat sejak lahir dengan sifat-sifat herediter
2. Penjahat dengan kelainan jiwa, misalnya:gila, setengah gila, idiot, debil, imbesil,
dihinggapi histeria, melankoli, epilepsi atau ayan, dementia yaitu lemah pikiran, dementia
praecox atau lemah pikiran yang sangat dini, dan lainlain.
3. Penjahat dirangsang oleh dorongan libido seksualis atau nafsu-nafsu seks.
4. Penjahat karena kesempatan. Misalnya terpaksa melakukan kejahatan karena keadaan yang
luar biasa, dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran kecil. Fia membaginya dalam pseudo-
criminals (pura-pura) dan criminaloids.
5. Penjahat dengan organ-organ jasmani yang normal, namun mempunyai kebiasaan yang
buruk, asosiasi sosial yang abnormal atau menyimpang dari pola kelakuan umum, sehingga
sering melanggar undang-undang dan norma sosial, lalu banyak melakukan kejahatan. 

3.6 Faktor Pendorong Tindakan Kriminalitas


Menurut Kartini Kartono (2005) ada tiga faktor penting yang memainkan peranan
besar dalam membentuk pola kriminal, yaitu sebagai berikut :
1. Jenis makanan memberikan efek dietetis, yang memberikan pengaruh terhadap agresivitas
terhadap manusia. Individu-individu dan kelompok suku bangsa pemakan daging yang
intensif, pada umumnya lebih agresif dan lebih ganas daripada mereka pemakan bahan
tumbuh-tumbuhan. Maka, kecenderungan berbuat kriminal itu lebih banyak terdapat pada
kelompok-kelompok pemakan daging.

12
2. Lingkungan alam yang teduh dan damai di daerah-daerah pedesaan dan pegunungan yang
subur memberikan pengaruh yang menenangkan. Sedang daerah-daerah kota dan industri
yang penuh padat dan bising penuh hiruk-pikuk yang memekakkan, memberikan pengaruh
membingungkan, mengacau menekan/mencekam dan menstimulasi penduduknya menjadi
kanibal-kanibal (kejam, bengis, mendekati kebiadaban), dan jahat.
3. Masyaraka primitif dan masyarakat desa dengan kelompok-kelompok “face to face” yang
masih intim memberikan kontrol sosial dan sanksi-sanksi sosial lebih ketat kepada segenap
warga masyarakatnya. Sedang masyarakat urban yang kompleks, sangat heterogin dan
atomistik itu membuat norma-norma soaial dan sanksi-sanksi sosial menjadi sangat longgar,
sehingga orang cenderung bertingkah laku semau sendiri yang menjurus kepada pola-pola
yang kriminal. 
Sementara menurut Rauf (2002) perilaku yang menyimpang (tindakan kriminalitas) dapat
dipengaruhi oleh tiga kutub, yaitu:
1. Kutub keluarga (rumah tangga), dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan
dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang
kurang sehat/disharmonis keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan
kepribadian menjadi kepribadian antisoasial dan berperilaku menyimpang, lebih besar
dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat/harmonis
(sakinah). Kriteria kondisi keluarga kurang sehat tersebut menurut para ahli adalah, antara
lain :
• Keluarga tidaak utuh (broken home by death, separation, divorce)
• Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di
rumah.
• Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik
(buruk).
• Substitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak, dalam bentuk materi
daripada kejiwaan (psikologis).
Selain daripada kondisi keluarga tersebut diatas, berikut adalah rincian kondisi keluarga yang
merupakan sumber stres pada anak dan remaja :
• Hubungan buruk atau dingin antara ayah dan ibu
• Terdapat gangguan fisik atau mental dalam keluarga
• Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orang tua atau oleh kakek/nenek
• Campur tangan tau perhatian yang berlebihan dari orang rua kepada anak
13
• Sikap orang tua yang dingin dan tak acuh terhadap anak
• Orang tua yang jarang di rumah atau terdapatnya isteri lain
• Kurang stimuli kognitif atau sosial
• Lain-lain misalnya menjadi anak angkat, dirawat di rumah sakit, kehilangan orang
tua, dan sebagainya.
2. Kutub sekolah, kondisi sekolah yang tidak baik dapat mengganggu belajar-mengajar anak
didik, yang pada gilirannya dapat memberikan peluang pada anak didik untuk berperilaku
menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik tersebut, antara lain:
• Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
• Kuantitas dan kualitas tenaga guru yang tidak memadai
• Kuantitas dan kualitas noonguru yang tidak memadai
• Kesejahteraan guru yang tidak memadai
• Kurikulum sekolah yang perlu ditinjau kembali
• Lokasi sekolah di daerah rawan, dan lain sebagainya
3. Kutub masyarakat (kondisi lingkungan sosial), faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak
sehat atau rawan dapat menjadi faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku
menyimpang. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi  dalam dua bagian, yaitu faktor
kerawanan msyarakat dan faktor daerah rawan (gangguan kamtibmas). Kriteria dari kedua
faktor tersebut antara lain :
 Faktor kerawanan masyarakat (lingkungan)
 Tempat-tempat hiburan yang dibuka hingga larut malam bahkan sampai dini hari
 Peredaran alkohol, narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya
 Pengangguran
 Anak-anak putus sekolah/anak jalanan
 Wanita tuna susila (Wts)
 Beredarnya bacaan, tontonan dan lain-lain yang sifatnya pornografis
 Perumahan kumuh dan padat
 Pencemaran lingkungan
 Kesenjangan sosial
 Tindak kekerasan dan kriminalitas
 Daerah rawan (rawan kamtibmas)
 Penyalahgunaan alkohol, narkotika, dan zat adiktif lainnya
14
 Perkelahian perorangan atau kelompok/masal
 Kebut-kebutan
 Pencurian, perampasan, penodongan, pengompasan, perampokan
 Perkosaan
 Pembunuhan
 Tindak kekerasan lain
 Pengrusakan
 Corat-coret

3.7 Akibat Dari Melakukan Tindakan Kriminal


Sebenarnya ada banyak akibat yang ditimbukan dari hal tersebut, diantaranya:
1. Berurusan dengan hukum, dihukum sesuai dengan perbuatannya.
2. Terkena sanksi sosial dari masyarakat mulai dari dikucilkan sampai diasingkan.
3. Terancam dikeluarkan dari bangku sekolah, dan sebagainya

3.8 Upaya Mencegah Tindakan Kriminalitas


Upaya preventif (pencegahan) hendaknya dilakukan di tiga kutub (kutub keluarga, kutub
sekolah dan kutub masyarakat/sosial).
3.8.1 Di rumah/keluarga
Hendaknya semua orang tua mampu menciptakan kondisi keluarga/rumah tangga
yang kondusif bagi perkembangan sehat anak/remaja, dan kriteria keluarga sehat
adalah:
•Kehidupan beragama dalam keluarga
•Mempunyai waktu bersama dalam keluarga
•Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
•Saling menghargai antar anggota keluarga
•Mampu menjaga kesatuan dan keutuhan keluarga
•Mempnyai kemampuan untuk menyelesaikan krisis keluarga secara positif dan
konstruktif.

3.8.2 Di sekolah

15
Hendaknya pengelola sekolah mampu menciptakan kondisi sekolah yang kondusif
bagi proses belajar mengajar anak didik. Kondisi sekolah yang kondusif bagi proses
belajar mengajar diantaranya:
 Sarana dan prasarana sekolah yang memadai
 Kuantitas dan kualitas guru yang memadai, mengembalikan wibawa guru
 Kuantitas dan kualitas tenaga non guru yang memadai
 Kesejahteraan guru (kondisi sosial-ekonomi guru) perlu diperbaiki, tugas
rangkap guru antar sekolah sebaiknya dihindarkan
 Kurikulum sekolah yang terlalu padat/banyak dan kurang relevan hendaknya
ditinjau kembali. Di sekolah bukan semata-mata perkembangan mental-
intelektual (kognitif) anak didik yang diutamakan, melainkan juga
perkembangan mental-emosional dan mental-sosial jangan sampai tidak
diperhatikan.
 Lokasi sekolah hendaknya tidak berada di daerah rawan, jauh dari daerah
perbelanjaan, pusat-pusat hiburan/keramaian.
3.8.3 Di masyarakat/lingkungan sosial
Hendaknya para pamong, aparat kamtibmas, tokoh/pemuka masyarakat mampu
menciptakan kondisi lingkungan hidup yang bebas dari rasa takut, aman dan tentram,
bebas dari segala bentuk kerawanan, misalnya:
 Tempat pemukiman tidak bercampur dengan pusat-pusat perbelanjaan,
hiburan dan sebangsanya.
 Tempat pemukiman bebas wts
 Tempat pemukiman bebas dari tempat-tempat penjualan/peredaran alkohol,
narkotika, dan obat-obat terlarang lainnya (drug fre environment)
 Tempat pemukiman hendaknya bebas polusi, tidak kumuh dan tidak padat
 Tempat pemukiman bebas dari anak-anak jalanan, pengangguran dan
bergadang hingga larut malam, mabuk-mabukan dan tindak menyimpang
lainnya yang dapat mengganggu lingkungan.
 Tempat pemkiman tidak terlalu mencolok satu dengan yang lain agar
kesenjangan sosial dihindari.

16
BAB IV
PENUTUP
Demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan
hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan
antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelolaan pendidikan tanpa memandang
suku, kebangsaan, agama maupun ras. Juga tidak membedakan antara si kaya dan si miskin,
karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu permasalahan
yang terjadi pada sikap hidup Negara yang demokrasi sehingga munculnya kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah
tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Sementara itu, kriminalitas
yang akhir-akhir ini marak dilakukan oleh pelajar merupakan suatu fenomena yang membuat
hati kita miris. Para pelajar yang masih tergolong anak dibawah umur tersebut telah berani
melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji. Mereka mencuri, merusak, memperkosa
bahkan membunuh. Tindakan mereka ini sudah merupakan hal yang melanggar hukum.
Segala penyimpangan yang terjadi ini sebenarnya diakibatkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor internal dalam keluarga, selanjutnya yaitu faktor dari sekolahnya
sendiri yang kurang kondusif, serta yang terakhir adalah faktor dari masyarakat/lingkungan
sosialnya.Untuk itu peranan orang tua dan lingkungan sekitar harus memberikan contoh-
contoh yang baik sebagai kepribadian yang terbentuk akan baik pula.

17
DAFTAR PUSTAKA

Sumber-sumber Pendukung :

- Dewantara W Agustinus, (2010), Filsafat Pancasila (Filsafat Kenegaraan) STKIP


Widya Yuwana Madiun.

- Nadra Yunia, (2011), Kriminalitas Pelajar Universitas Negri Yogyakarta

- https://osf.oi/preprints/inarxiv
- https://osf.io/vmkdq/

- https://osf.io/8rmz6/

18

Anda mungkin juga menyukai