Anda di halaman 1dari 14

METODE PENANAMAN NILAI-NILAI KEIMANAN

DAN KEISLAMAN DALAM PEMBELAJARAN


SAINS1

Oleh: Wendi Zarman

Selama ini sains seringkali dianggap sebagai suatu cabang ilmu yang bebas atau netral
nilai. Namun, sesungguhnya sains sama sekali tidak bebas nilai. Pada kenyataannya pada
sains melekat berbagai berbagai nilai. Nilai-nilai itu dapat berasal dari dalam sains itu
sendiri atau dari luar sains yang kemudian melekat ke dalam sains tersebut.2 UNESCO
(United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), lembaga PBB yang
mengurus pendidikan, sains, dan kebudayaan, mengkonfirmasi bahwa pengajaran sains
bertujuan untuk membangun nilai-nilai rasionalitas dan perilaku saintifik warga negara
masa depan. Nilai-nilai tersebut meliputi:

a) Longing to know and to understand


b) Willingnes to collect data attempt and to find meaning in the excercise
c) Respect for logic and skill and to utilize it
d) Willingness to agree to consider premises
e) Need to consider alternatives and concequences
f) Possibility of increasing happiness and quality of human life by decreasing
hunger, misery, and exploration
g) Replacing human labour by machine and utilization of automation,
computer technology, etc
h) Need for verification
i) Willingness to work for humanity and listen to opposite view points3

1
Disampaikan secara daring dalam program Sekolah Islamisasi Sains, 25-26 April 2020
2
Allchin, Douglas, Values in Science : An Educational Perspective, Science & Education, Kluwer
Academic Publisher, 1999
3
Asia and the Pacific Programme of Educational Innovation for Development, Strategies and Methods for
Teaching Values in The Context of Science and Technology, Bangkok : Unesco Principal Regional Office
for Asia and the Pacific, 1993, hlm 25

1
Al-Attas mengatakan bahwa semua ilmu pada hakikatnya tidaklah netral nilai,
karena setiap ilmu dibentuk oleh pandangan alam (worldview) dari masyarakat tempat
ilmu itu ditumbuhkembangkan.4 Oleh karena itu, Zarkasy menilai pengertian netral yang
selama ini dilekatkan pada sains bukan berarti bahwa sains modern tidak mengandung
nilai-nilai. Paradigma sains modern yang tidak memberi tempat bagi wahyu, agama,
bahkan Tuhan itulah sebenarnya nilai dari sains.5 Jadi, pengertian netral di sini adalah
netral dari pengaruh agama, bukan netral nilai (tidak mempunyai nilai). Dalam pandangan
sains modern, sains dan agama dipandang sebagai dua kutub yang tidak bisa disatukan
karena epistemologi sains bertumpu pada pengamatan dan rasionalitas, sedangkan agama
bersandar kepada kitab suci sehingga sehingga keduanya tidak dapat disatukan.

Islam memiliki pandangan berbeda dengan paham sains modern. Dalam Islam,
agama tidak mesti semestinya dipisahkan dari sains. Kenyataannya, al-Qur’an sebagai
rujukan utama umat Islam banyak sekali membicarakan fenomena alam. An-Nabulsi
menyebutkan bahwa terdapat sekurangnya 1300 ayat, atau sekitar seperlima dari
keseluruhan ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam semesta.6 Sementara itu, menurut
perhitungan Purwanto sekurangnya terdapat 1.108 ayat di al-Qur’an yang dikategorikan
sebagai ayat kauniyyah (ayat tentang alam).7 ‘Abd-Allah Shaḥātah sebagaimana dikutip
Zarkasyi mengungkapkan bahwa terdapat 750 ayat mengenai alam dalam al-Qur’an;
sebagian besarnya turun di periode Mekah.8 Perhitungan-perhitungan lain mungkin
menyebutkan angka yang berbeda mengingat fenomena alam di sini dapat diartikan
secara longgar, sehingga wajar terdapat banyak perbedaan dalam perhitungannya.
Namun, dari tiga perhitungan di atas sudah cukup memadai untuk mengatakan bahwa
alam merupakan persoalan yang banyak diangkat al-Qur’an, bahkan merupakan salah
satu tema kuncinya.

“Teaching is value oriented enterprise. The teaching of value, in fact, is


unavoidable,” demikian kata Fraenkel.9 Artinya, mustahil memisahkan pengajaran
dengan penanaman nilai. Di dalam konteks pendidikan Islam, setiap proses pembelajaran

4
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme , Bandung : PIMPIN, 2011, hlm. 166
5
Zarkasy, Hamid Fahmy, Makna Sains Islam, Islamia vol III no 4, 2008
6
An-Nabulsi, M. Ratib, 7 Pilar Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2010, hlm. 1
7
Purwanto, Agus, Ayat-Ayat Semesta, Bandung : Mizan, 2010
8
Zarkasyi, Hamid Fahmy, al-Ghazālī’s Concept of Causality; with Reference to His Interpretations of
Reality and Knowledge, Terj. Burhan Ali dan Yulianingsih Ridwan (Ponorogo: UNIDA Gontor Press,
2018), h. 33
9
Fraenkel, Jack R., How to Teach About Values : An Analytic Approach, New Jersey : Prentice Hall, 1997,
hlm. 1

2
pada akhirnya adalah upaya penanaman nilai keimanan dan keislaman, karena keduanya
merupakan landasan sikap dan perilaku seseorang. Sayid Sabiq menegaskan, keimanan
bukan sekedar ucapan dalam hati atau keyakinan yang memenuhi hati, tapi menjelma
dalam tingkah laku seseorang.10 Itu berarti adab, akhlak, amal, atau sikap yang baik itu
merupakan buah dari bersemayamnya nilai keimanan dan keislaman. Jika dikaitkan
dengan pembelajaran sains di sekolah, maka materi pembelajaran sains di sekolah
seharusnya tidak hanya terbatas pada pembahasan mengenai fenomena alam, tetapi juga
harus membuka jalan bagi murid untuk semakin bertambah keimanannya kepada Allah
SWT serta meningkat pula pengamalan keislamannya.

Dalam Islam, pembelajaran sains memiliki dua tujuan utama yang keduanya
merefleksikan tujuan penciptaan manusia di muka bumi. Tujuan pertama adalah bahwa
dengan mempelajari sains seseorang dapat semakin mengenal Allah dan bertambah
keimanannya yang melalui hal ini ia mewujudkan tujuan penciptaannya untuk beribadah
kepada Allah.11 Ini merupakan nilai inti yang harus ditanamkan dalam pembelajaran sains
di dalam Islam. Sedangkan tujuan kedua adalah agar pengetahuan sains tersebut dapat
menjadi bekal kehidupannya di dunia dalam merealisasikan tujuan diturunkannya
manusia sebagai wakil Allah (khalifah) Allah di bumi.12

Di negara Indonesia, tujuan kedua secara umum telah diimplementasikan dalam


kurikulum sekolah pada umumnya. Namun, tujuan yang pertama belum secara efektif dan
sistematis diterapkan dalam praktik pembelajaran di sekolah. Padahal, undang-undang
yang berlaku di negara kita mengamanatkan penanaman nilai iman, taqwa, dan akhlak
mulia sebagai tujuan pendidikan.13 Hal ini tidak terlepas dari role model pembelajaran
sains yang digunakan selama ini. Sebagaimana diketahui, pembelajaran sains di sekolah
selama ini praktis mengikuti pola pembelajaran sains di Barat yang memisahkan sains
dan agama. Padahal di dalam Islam alam merupakan ayat-ayat Allah, sehingga hubungan
keduanya di dalam Islam bukan sekedar ada, melainkan juga sangat erat.

Penulis sendiri banyak menemukan guru-guru Muslim yang memiliki semangat


untuk menanamkan nilai-nilai agama dalam pembelajaran sains, namun kesulitan
menerapkannya. Hal itu karena ketiadaan konsep dan model pembelajaran yang sesuai

10
Sabiq, Sayid, Aqidah Islamiyah, Jakarta : Robbani Press, 2006
11
QS. adz-Dzāriyāt [51] : 56
12
QS. al-Baqarah [2] : 30
13
Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen) pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

3
dengan tujuan tersebut di atas. Berikut ini adalah uraian beberapa metode menanamkan
nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam pembelajaran sains.

Langkah Pertama, Terapkan Adab Belajar yang Islami

Proses belajar mengajar hendaknya dilakukan dengan memperhatikan dan


menerapkan adab-adab belajar Islami. Adab dalam hal ini bukan cuma sekedar tuntutan
agama, tetapi merupakan jalan untuk memahami ilmu. Imam al-Ghazali dalam Ihya
‘Ulumuddīn, ilmu dalam Islam adalah sesuatu yang mulia dan menuntut ilmu merupakan
ibadah kepada Allah. Oleh karena itu harus didekati dengan cara yang mulia juga. Imam
Zarnuji mengatakan bahwa betapa banyak pelajar yang bekerja keras menuntut ilmu tapi
tidak mendapat memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajarinya itu. Hal itu disebabkan
karena cara menuntut ilmunya salah.14

Di antara cara yang baik itu adalah selalu memulai pelajaran dengan pujian kepada
Allah sebagai bentuk pengakuan atas segala kebaikan yang telah diberikan-Nya. Tak lupa
juga murid-murid selalu diingatkan untuk banyak bershalawat kepada Rasulullah
ṣallāllahu ‘alaihi wasallam karena melalui beliaulah kita dapat mengenal Islam. Kepada
murid-murid hendaknya ditanamkan sikap ikhlas dalam menuntut ilmu. Keikhlasan
menuntut ilmu itu bukan hanya terbatas dalam ilmu-ilmu agama, tetapi juga pada ilmu-
ilmu selain agama. Mereka harus diingatkan agar menjadikan ilmu tersebut sebagai jalan
untuk mengabdi kepada Allah SWT dan berbuat kebaikan di muka bumi. Para murid juga
hendaknya diingatkan untuk meninggalkan sikap pragmatis dalam menuntut ilmu.
Misalnya, hanya ingin mengejar nilai bagus atau semata untuk mendapat ijazah guna
melamar kerja. Belajar harus dilakukan dengan penuh kesungguhan dan bersabar dengan
dengan berbagai kesulitan ketika mempelajarinya.

Selain itu mereka juga harus menunjukkan rasa hormat dan sopan kepada guru
yang mengajar mereka. Mereka tidak boleh membantah dan mendebat gurunya secara
berlebihan apalagi sampai menyombongkan diri. Adab-adab ini meskipun sederhana
namun perlu ditekankan kepada murid-murid sehingga ilmunya membawa berkah dan
manfaat.15 Oleh karena itu, meskipun yang disampaikan adalah pelajaran IPA, guru

14
Zarnuji, Imam, Tal ‘lim Muta‘allim terj. Indonesia oleh Abdul Kadir Aljufri, Surabaya: Mutiara Ilmu,
2009, hlm. 2.
15
Salah satu rujukan yang baik mengenai hal ini adalah kitab karangan Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin
pada bab adab kesopanan guru dan murid. Selain itu kitab Ta‘lim Muta‘allim karya Imam Zarnuji juga
sangat baik dijadikan sebagai referensi.

4
disarankan menyelipkan banyak nasihat agama kepada murid-murid, terutama yang
berkaitan dengan materi yang diajarkan. Mengutip ayat-ayat Qur’an, hadits, perkataan
ulama, dan juga orang-orang shalih yang relevan dengan materi pembelajaran yang
diberikan sangatlah dianjurkan. Nasihat-nasihat semacam ini seyogyanya tidak hanya
disampaikan terbatas di dalam kelas saja, tetapi juga pada kesempatan di luar kelas.

Langkah Kedua, Koreksilah Teori Sains yang Bertentangan dengan Pandangan


Alam Islam

Ditinjau dari pandangan alam Islam, sebenarnya teori-teori sains masa kini tidak
banyak yang bermasalah. Namun, ada beberapa persoalan filosofi sains di balik teori-
teori tersebut yang perlu diluruskan agar sesuai dengan pandangan alam Islam. Pada
umumnya hal-hal yang bermasalah tersebut adalah berkaitan dengan pandangan
metafisika yang berada di balik teori tersebut seperti pengingkaran terhadap eksistensi
Tuhan, pengingkaran terhadap terhadap peran Tuhan dalam pengaturan alam, asal-usul
alam dan makhluk hidup secara kebetulan, serta andaian bahwa alam ini tidak berawal
dan berakhir.

Misalnya, perihal apa yang kita sebut sebagai hukum alam. Hukum alam dalam
sains modern pada dasarnya adalah sebuah gambaran dalam pikiran bahwa alam ini
memiliki keteraturan sehingga sains dapat berkembang. Islam tidak menolak kenyataan
bahwa alam ini memiliki keteraturan tertentu, itulah yang dikenal sebagai Sunnatullah.
Karena itu, dalam Islam keteraturan itu merupakan hujjah bahwa alam ini ada yang
mengatur (Allah SWT). Namun, dalam filosofi sains modern makna spiritual dari
keteraturan justru dihilangkan, bahkan hukum alam dianggap sebagai lawan dari hukum
Tuhan. Keterpisahan antara Tuhan dan alam ini tercermin dari dialog antara Napoleon
dan Laplace berikut.

Suatu ketika Napoleon menemui Laplace dan berkata, “Tuan Laplace, orang-
orang mengatakan kepada saya bahwa Anda telah menulis buku besar mengenai
sistem alam semesta dan Anda tidak pernah menyebut Sang Pencipta.” Laplace
memberi jawaban yang sangat terkenal, “Saya tidak membutuhkan hipotesis
itu.”16

16
Purwanto, Agus, Ayat-Ayat Semesta, (Bandung: Mizan), 2010, hlm. 191

5
Contoh lain, misalnya tentang hukum gerak Newton. Filsafat alam Newton yang
deterministik seringkali digambarkan dalam ungkapan “Jam Mekanik Newton” (Newton
Mechanistic Clock). Ungkapan ini merupakan sebuah metafora yang mengandaikan alam
ini tak ubahnya seperti sebuah jam besar yang dapat berjalan sendiri di atas fondasi
hukum sebab-akibat. Hal ini tentu berlawanan dengan pandangan alam Islam bahwa alam
ini teratur bukan karena ia bisa mengatur dirinya sendiri (self regulator) tetapi karena ada
yang mengatur, yaitu Allah Yang Maha Kuasa. Sedangkan hukum sebab-akibat itu
sendiri bukanlah suatu yang terlepas dari kuasa Tuhan.

Selain itu juga perlu dikritisi beberapa teori tentang kemunculan makhluk hidup
yang banyak diajarkan di dalam pelajaran sains di sekolah. Di situ diterangkan mengenai
teori makhluk hidup berasal dari benda mati (abiogenesis) dan teori makhluk hidup
berasal dari makhluk hidup (biogenesis). Teori-teori semacam ini, meski tidak harus
dihilangkan dari kurikulum, haruslah diluruskan oleh para guru menurut perspektif
keimanan kepada Tuhan; bahwa seluruh makhluk hidup itu berasal dari Tuhan (ciptaan
Tuhan). Oleh karena itu sangat dianjurkan agar guru tidak hanya menjelaskan tentang
teori-teori saja, tetapi juga harus bersikap kritis terhadap filosofi yang berada dibaliknya.

Langkah Ketiga, Perkaya Materi Ajar dengan Informasi Mengenai Sains dan
Kiprah Ilmuwan di Peradaban Islam Masa Lalu

Banyak penelitian yang mengkonfirmasi bahwa sains modern banyak dipengaruhi


oleh peradaban Islam. Namun, hal ini fakta ini jarang diangkat dalam pembelajaran sains
di sekolah. Salah satu buktinya, hampir tidak ada nama ilmuwan Muslim yang menghiasi
buku pelajaran sains di sekolah saat ini. Ketiadaan nama ilmuwan Muslim beserta
kiprahnya di dunia sains ini dapat memberikan kesan kepada siswa bahwa peradaban
Islam tidak memberi sumbangan apa pun terhadap pengembangan sains. Keadaan ini
berpotensi menghilangkan kebanggaan siswa Muslim terhadap agamanya sendiri.
Bahkan, hal ini dapat menumbuhkan sikap minder terhadap kebudayaan Barat.

Bila hal ini dibiarkan saja, maka hal itu dapat menyebabkan hilangnya keyakinan
para murid terhadap ajaran agamanya. Sebaliknya, mereka akan cenderung memuja-muja
peradaban Barat yang dipandang lebih unggul daripada Islam. untuk mengatasi hal ini
para guru IPA atau sains harus perlu mengangkat peranan tokoh-tokoh ilmuwan Muslim
yang berjasa besar dalam pengembangan sains. Meskipun saat ini umat Islam banyak
tertinggal dalam sains dan teknologi dibandingkan Barat, para pelajar perlu mengetahui

6
bahwa kemajuan sains Barat tersebut diperoleh dari belajar ke dunia Islam sebagaimana
diungkapkan ilmuwan Turki, Cemil Akdogan:

The origin of modern science, or the Scientific Revolution, goes back to Islamic
civilization. As a matter of fact, Muslim were the pioneer of modern science. If
they did not fight among themselves, if Cristian armies did not drive them out of
Spain, and if the Mongol did not attack and destroy parts of Islamic countries in
the thirteenth century, they would (not)17 have been able to create a Descartes, a
Gassendi, a Hume, a Copernicus, and a Tycho Brahe, since we already find the
seeds of the mechanical philosophy, empiricism, the main element of
heliocentrism, and the instrument of Tycho Brahe, in the work of al-Ghazali, of
Ibn al-Shatir, of the astronomer of the Maragha observatory, and of Takiyuddin.
18

Para guru perlu mengangkat kiprah ilmuwan-ilmuwan kenamaan Muslim masa


lalu karena sejarah itu penting untuk membangkitkan kebanggaan dan percaya diri umat
Islam. Selama ini sejarah kegemilangan umat Islam banyak yang tidak mereka ketahui
sehingga banyak di antara mereka yang merasa rendah diri terhadap bangsa Eropa,
Amerika, Jepang, maupun Cina yang saat ini merupakan negara-negara utama di pentas
dunia. Di samping itu, sejarah ini juga dapat menjadi pelajaran bagaimana tradisi belajar
Islami di kalangan ulama Muslim di masa silam, sebab para ulama dan sarjana Islam ini
mewariskan ilmu pengetahuan yang hebat yang diakui oleh dunia di zamannya. Banyak
bukti sejarah yang bisa dikemukakan untuk menunjukkan pengaruh Islam dalam dunia
sains dan teknologi.

Banyak pihak, termasuk orang Islam sendiri, yang meragukan betapa besar
pengaruh peradaban Islam terhadap dunia sains masa kini. Salah satu buktinya adalah
banyaknya istilah-istilah dalam bahasa Arab yang masih digunakan sebagai istilah sains
masa kini. Misalnya, aljabar (sekarang sering disebut aritmetika), azimut (dari kata al-
sumut, pengukuran kedudukan dalam koordinat bola), kamera (dari qamara, artinya
kamar gelap), alkali (dari kata al-qali, unsur kimia golongan 1 dalam tabel periodik),
alkohol (dari al-quhul), alembic (dari kata al-ambik, alat destilasi), algoritma (dari kata

17
Kata ‘not’ sebenarnya tidak terdapat pada rujukan, penambahan kata ini adalah interpretasi penulis sendiri
berdasarkan redaksi teks secara keseluruhan. Kemungkinan penulis buku tersebut terlupa menuliskan kata
ini.
18
Akdogan, Cemil, Science in Islam and The West, (Kuala Lumpur : ISTAC), 2008, hlm. 33-62

7
al-Khawarizm, nama matematikawan Islam terkenal), monsoon (dari kata mawsim, di
Indonesia menjadi musim), dan masih banyak lagi.

Selain itu banyak pencapaian-pencapaian sains di masa keemasan peradaban


Islam jauh mendahului peradaban Barat. Sebagai contoh, tiga universitas terawal di dunia
didirikan di dunia Islam yaitu Universitas Karaouine di Fes Maroko (berdiri 859 M),
Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir (berdiri 975 M), dan Universitas Nizhamiyah di
Isfahan dan Baghdad (berdiri 1065 M). Adapun Universitas pertama di dunia Barat
pertama kali berdiri di Bologna Italia, tahun 1088. Itu artinya orang Barat mengenal
perguruan tinggi 229 tahun lebih belakangan daripada orang-orang Islam. Al-Attas
menyebutkan bahwa konsep universitas di Barat banyak meniru universitas dunia Islam.
Kata universitas sendiri berasal dari universitatem yang merupakan adaptasi dari konsep
kulliyyah yang bermakna menyeluruh (universal) karena lembaga pendidikan tinggi ini
didirikan untuk mendidik manusia universal yang paripurna (insān kamīl) sebagaimana
sosok Nabi Muhammad ṣallāllahu ‘alaihi wasallam.19

Contoh lainnya, dunia Islam telah mengenal teropong sejak lebih dari seribu tahun
yang lalu yaitu berdasarkan buku yang ditulis oleh Ibnu Sahl mengenai lensa dan cermin,
lebih awal 600 tahun dibandingkan teropong Galileo yang baru dikembangkan sekitar
tahun 1600-an.20 Ini adalah beberapa contoh kecil dari sejarah emas dunia Islam dalam
sains dan teknologi. Fakta-fakta semacam ini perlu diungkap bahkan dieksploitasi di
hadapan murid-murid agar tumbuh kebanggaan dalam diri mereka sebagai Muslim.

Langkah Keempat, Sampaikan Hikmah Dibalik Fenomena Alam yang Dikaitkan


dengan Keagungan Allah SWT

Dalam pembelajaran sains hendaknya guru berupaya memberi penjelasan tentang


apa makna tentang teori-teori sains tersebut bagi kehidupannya dan manusia pada
umumnya. Selain itu perlu dijelaskan berbagai hikmah yang bisa dipetik dari setiap
fenomena alam yang dapat menambah keimanan dan ketaqwaan murid. Oleh karena itu,
makna-makna tersebut hendaknya harus selalu dikaitkan dengan keagungan,

19
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Secularisme, terj. Indonesia oleh Khalif Mu’ammar, dkk.
(Bandung: PIMPIN), 2010, 194-195.
20
Ishaq, Mohamad, Menguak Rahasia Alam dengan Fisika, Albama, 2008, hlm. 145. Buku ini adalah buku
pelajaran fisika untuk SMA/MA yang memenangkan juara I dalam Lomba Penulisan Buku MIPA untuk
tingkat Madrasah Aliyah tahun 2007 yang diadakan oleh Departemen Agama RI.

8
kemahakuasaan, kesempurnaan pengetahuan, kesucian, serta kebaikan Allah SWT yang
menciptakan semua itu demi kebaikan hidup manusia.

Misalnya, pembahasan mengenai iklim di bumi berkaitan dengan fenomena


turunnya hujan. Sebagaimana diketahui, suatu benda pada umumnya jika dijatuhkan dari
suatu ketinggian maka semakin dekat jaraknya dengan bumi maka kecepatannya juga
akan terus meningkat. Namun tidak demikian dengan air hujan. Tetesan air hujan yang
berasal dari awan ternyata bergerak dengan kecepatan terminal (terminal velocity) yang
aman ketika sampai di permukaan bumi, yaitu antara 9-10 m/s sehingga tubuh kita tidak
mengalami cedera ketika diterpa oleh air hujan. Padahal, benda lain yang bermassa sama
bila dijatuhkan pada ketinggian yang sama dapat membahayakan tubuh manusia karena
memiliki kelajuan yang sangat tinggi.21 Ini merupakan hikmah yang luar biasa yang Allah
tunjukkan melalui air hujan yang mana air hujan itu diciptakan dengan sedemikian
seksama sehingga tidak membahayakan manusia.

Contoh lainnya, misalnya berkaitan dengan sistem tata surya kita tempat planet
bumi berada. Secara kasat mata kita melihat bahwa matahari dan planet-planet di tata
surya bergerak secara teratur. Namun, temuan matematikawan Perancis, Poincare, pada
tahun 1890 menunjukkan bahwa ternyata sistem tata surya itu merupakan sistem yang
chaos (chaotic system). Sistem yang chaotic adalah sistem yang sangat sangat sensitif
dengan gangguan yang kecil. Artinya, sistem tata surya yang bumi merupakan bagian
darinya merupakan sistem yang rapuh atau tidak stabil. Jika saja planet bumi bergeser
sedikit saja dari orbitnya saat ini maka seluruh kesetimbangan tata surya akan rusak dan
planet-planet pun akan saling bertabrakan. Dari sudut keimanan, posisi-posisi bumi,
bulan, planet-planet, matahari serta benda-benda langit lainnya di tata surya tersebut telah
diatur Allah dengan sedemikian presisinya sehingga terbentuk keteraturan yang luar
biasa. Ini merupakan bukti ketelitian dan kehalusan Allah SWT dalam mengatur alam.

Atau, contoh lainnya juga misalnya, dalam pembelajaran Biologi mengenai tubuh
manusia. Di situ dapat dijelaskan betapa sempurnanya Allah mengatur sistem pertahanan
tubuh sehingga mampu menangkal berbagai macam penyakit yang ditimbulkan oleh
bakteri dan virus. Tanpa sistem ini tubuh manusia akan dengan mudah terserang penyakit.
Yang mengagumkan lagi adalah bahwa bakteri dan virus ini bekerja secara otomatis tanpa
kita sadari, seakan-akan sudah ada yang memberi komando. Dengan cara ini kita dapat

21
Ibid, hlm. 8.

9
membangkitkan kesadaran murid betapa telitinya Allah mengatur alam ini sehingga
semua dapat berjalan secara teratur dan harmonis.

Langkah Kelima, Kaitkan Fenomena Alam dengan Ayat al-Qur’an atau Hadits
yang Relevan

Guru dapat menyertakan beberapa ayat al-Qur’an atau al-Hadits yang terkait
sebagai pelengkap dalam mempelajari suatu teori sains. Seyogyanya sertakan juga
pembahasan tafsirnya dengan merujuk berbagai kitab tafsir yang kredibel. Hal ini untuk
mencegah ayat al-Qur’an ditafsirkan secara liar dan semena-mena. Tujuannya utama
pengaitan ini bukanlah untuk mencocok-cocokkan tafsir ayat tertentu dengan teori-teori
sains, melainkan sebagai sudut pandang lain untuk melengkapi makna yang didapat dari
sains. Sebab, al-Qur’an pada dasarnya merupakan petunjuk hidup, bukanlah kitab yang
berisikan detail-detail ilmu sains, meskipun di dalamnya terkandung isyarat-isyarat sains.
Isyarat-isyarat ini tidak lain merupakan undangan dan dorongan bagi manusia untuk
menyelidikinya..

Misalnya, di dalam fisika dikenal teori tentang fluida. Fluida ada suatu substansi
yang tidak memiliki bentuk yang tetapi mengikuti wadahnya. Contoh fluida diantaranya
adalah air dan udara. Pengetahuan mengenai fluida inilah yang telah memungkinkan
manusia terbang di angkasa menggunakan pesawat udara. Dengan adanya pengetahuan
mengenai fluida ini, benda-benda dapat direkayasa agar mampu mengapung di udara.
Mekanisme terbangnya pesawat ini mirip dengan terbangnya burung yang memanfaatkan
fluida yang menahannya sehingga tidak jatuh ke tanah. Ketika guru membahas fluida,
sertakan juga bahwa Allah telah berfirman dalam al-Qur’an,

‫ت َويَ ْقبِضْنَ ۚ َما يُ ْم ِس ُك ُه َّن إِ ََّّل‬


ٍ ‫صافَّا‬ َّ ‫أ َ َولَ ْم يَ َر ْوا إِلَى‬
َ ‫الطي ِْر فَ ْوقَ ُه ْم‬
‫صير‬ ْ ‫الر ْح َم ُن ۚ ِإنَّهُ ِب ُك ِِّل ش‬
ِ ‫َيءٍ َب‬ َّ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang
mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang
menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha
Melihat segala sesuatu.22

22
QS. Al-Mulk [67] : 19

10
Ayat di atas sama sekali tidak berbicara secara langsung tentang teori fisika
mengenai fluida. Inti dari ayat tersebut adalah mengajak manusia berpikir betapa
mengagumkannya kemampuan terbang burung-burung. Namun kekaguman itu bukan
diarahkan kepada burung, melainkan kepada Allah yang menahannya di udara. Cara
Allah menahan burung-burung tersebut adalah dengan menyediakan fluida udara
memenuhi angkasa bumi. Dengan cara menyertakan ayat al-Qur’an yang dikaitkan
dengan pelajaran tentang fluida akan membuat murid tidak hanya memandang fenomena
alam dalam pandangan sekular (nihil agama), melainkan menyatu dengan kesadaran
keimanannya kepada Allah SWT.

Pengaitan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori sains juga tidak harus dibatasi
pada yang bersifat fenomena dunia materi, tetapi bisa juga menyangkut keyakinan-
keyakinan suprarasional (metafisik) yang berhubungan dengan nilai-nilai keimanan.
Meski suatu ayat al-Qur’an bukan untuk dibuktikan secara eksperimental atau
pengamatan, namun ketika ditegaskan di dalam wahyu dengan dalil yang pasti, maka
kebenarannya hal tersebut menjadi bersifat pasti juga. Hal ini untuk mencegah siswa
terpengaruh paham saintisme, yaitu keyakinan bahwa hanya sesuatu yang terbukti secara
saintifik sajalah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Misalnya, ketika membahas
tentang indra mata hendaknya, disamping membahas hal-hal yang bersifat fisik seputar
organ mata dan fungsinya masing-masing, dibahas juga perihal fungsi mata yang
merupakan alat untuk melihat dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah dan kelak mata
tersebut akan menjadi saksi dari perbuatan manusia nanti di hari akhir.23

Perlu digarisbawahi di sini bahwa pengaitan al-Qur’an (dan Hadits) dengan suatu
pemikiran saintifik harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak muncul kesan bahwa
sains menjadi timbangan untuk menilai kebenaran al-Qur’an, Bahkan sebaliknya, di
dalam epistemologi Islam, al-Qur’anlah yang menjadi ukuran kebenaran sains karena
isinya pasti benar dan tidak ada keraguan di dalamnya.24 Akan tetapi, perlu digarisbawahi
di sini, bahwa meskipun al-Qur’an sebagai informasi (petunjuk) dari Allah, Tuhan Yang
Haq, merupakan hal yang pasti, namun tidak semua ayatnya memiliki makna yang pasti,
jelas, dan tegas (muḥkamāt). Ulama ahli tafsir mengakui bahwa sebagian ayat al-Qur’an
lainnya memiliki tidak pasti atau samar atau bermakna banyak (mutashabiḥāt).

23
QS. Fuṣṣilāt [41] : 20, yang artinya: “Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran,
penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
24
Lihat QS. al-Baqarah [2] : 2

11
Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah yang jelas dalam menafsirkan
fenomena alam dalam kaitannya dengan nash-nash wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah)
sehingga penafsiran tersebut tidak keluar dari prinsip-prinsip keilmuan Islam. Al-Zindani
mengemukakan kaidah-kaidah penafsiran terhadap wahyu yang berkaitan dengan
fenomena alam sebagai berikut.

1. Ilmu Allah itu universal dan kebenarannya bersifat mutlak. Sedangkan ilmu
manusia terbatas dan kebenarannya bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin
salah.
2. Ada nash-nash wahyu yang dilalah (indikasi)-nya pasti, sebagaimana ada juga
realitas ilmu sains alam yang pasti.
3. Dalam wahyu ada nash-nash yang dilalah-nya tidak pasti, begitu pula dalam teori
ilmu-ilmu sains yang ketentuannya tidak pasti.
4. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara yang pasti dari wahyu dan yang pasti
dari ilmu eksperimental. Maka kalaulah pada gejalanya terjadi pertentangan, pasti
ada kesalahan dalam menentukan kepastian salah satunya.
5. Ketika Allah menampakkan kepada hamba-hamba-Nya tanda-tanda kebesaran-
Nya di ufuk dan di dalam diri manusia yang membenarkan ayat-ayat dalam kitab-
Nya atau pada sebagian hadits Rasul-Nya, maka pemahamannya menjadi jelas,
kesesuaiannya menjadi sempurna, penafsirannya menjadi mantap, dan indikasi
lafazh-lafazh nash itu menjadi terbatas dengan apa yang telah ditemukannya pada
realitas alam dan inilah yang dimaksud dengan mukjizat.
6. Sesungguhnya nash-nash wahyu diturunkan dengan lafazh-lafazh yang luas yang
mencakup segala konsep yang benar dalam topik-topiknya yang terus menerus
muncul dari satu generasi ke generasi yang selanjutnya.
7. Jika terjadi pertentangan antara dilalah yang pasti dengan teori sains, maka teori
ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Zat yang ilmu-Nya mencakup
segala sesuatu. Dan jika terjadi kesesuaian antara keduanya maka nash merupakan
pedoman atas kebenaran teori tersebut. Dan jika nash tadi adalah tidak pasti
dilalah-nya sedangkan hakikat alam itu pasti, maka nash itu ditakwilkan.
8. Jika terjadi pertentangan antara realitas sains yang pasti dan hadits yang
ketetapannya tidak pasti, maka hadits yang tidak pasti ketetapannya itu harus

12
ditakwilkan agar sesuai dengan realitas yang pasti. Dan jika tidak terjadi
kesesuaian, maka yang pasti itu didahulukan.25

Sebagai contoh, teori Evolusi sebagai teori sains yang menolak eksistensi Tuhan
sebagai Pencipta (creator) dan Pengatur Yang Maha Cerdas (Intelligent Designer) tidak
dapat diterima sampai kapan pun karena berlawanan dengan ayat al-Qur’an yang dilalah-
nya jelas dan pasti. Hal ini berbeda dengan teori Evolusi sebagai suatu penjelasan
mengenai proses timbulnya variasi makhluk hidup yang disebabkan oleh adanya
perubahan lingkungan. Dengan kata lain tidak semua aspek dalam teori evolusi ditolak.
Sepanjang tidak ada dalil yang dilalah-nya jelas dan pasti yang menghukumi benar
salahnya teori ini, maka ia bisa diterima sebagai dugaan yang terbuka untuk dikoreksi bila
ditemukan fakta-fakta saintifik yang berlawanan.

Langkah Keenam, Mengaitkan Pelajaran Sains dengan Penerapan Ajaran Islam

Disamping melalui pelajaran agama, pelajaran sains sebenarnya dapat juga


dimanfaatkan untuk mengajarkan beberapa aspek syariat Islam yang terkait dengan
materi pelajaran yang tengah dibahas. Pengaitan kedua hal ini diharapkan dapat
menanamkan kesadaran kepada siswa untuk selalu menerapkan ajaran Islam di segala
bidang kehidupannya. Misalnya ketika membahas penyakit yang berkaitan dengan sistem
reproduksi atau seksual manusia seperti sifilis, gonore, herpes genitalis, dan AIDS.
Penyakit-panyakit ini umumnya ditemukan pada orang-orang yang melakukan hubungan
seksual yan menyimpang dari ketentuan syariat Islam seperti perzinahan, hubungan
seksual berganti-ganti pasangan, hubungan seksual dengan dengan pekerja seks atau
wanita tuna susila, dan perilaku homoseksual.

Penjelasan mengenai bahaya perilaku seksual ini merupakan sesuatu yang sangat
penting ditekankan mengingat perilaku seks bebas semakin meluas di kalangan remaja.
Apalagi sekarang sudah semakin berkembang kecenderungan perilaku lesbian, gay,
biseksual, dan transeksual (LGBT). Adanya kenyataan ini seharusnya dapat menjadi
dorongan bagi guru untuk lebih intensif mengingatkan para siswa tentang bahayanya
hubungan seksual yang menyimpang tersebut. Apalagi semua perilaku tersebut
merupakan dosa yang besar di dalam Islam. Selain itu, perlu juga dikemukakan ancaman
Allah terhadap orang yang melanggar larangan Allah ini, atau menjelaskan azab yang

25
al-Zindani, Abdul Majid bin Azil, “Mukjizat Ilmiah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah” dalam Iwan
Kusuma Hamdan, dkk (ed) Mukjizat al-Qur’an dan As Sunnah tentang Iptek, Bandung : Gema Insani Press,
1997, hlm. 26-27

13
Allah, misalnya azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth karena melakukan
hubungan homoseksual.

Contoh lain misalnya ketika membahas pentingnya penghematan air atau sumber
daya alam lainnya. Seyogyanya argumentasi pentingnya penghematan ini tidak hanya
dipaparkan dalam konteks kehidupan dunia, tetapi juga dengan argumentasi agama.
Dalam hal ini, siswa diajak untuk menghemat air bukan semata-mata karena semakin
terbatasnya sumber air, tetapi juga karena Allah melarang manusia untuk hidup berlebih-
lebihan. Dapat pula dikemukakan di sini bahwa Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi
wasallam adalah orang yang selalu berhemat dan menganjurkan umat Islam untuk
memanfaatkan sumber daya alam sesuai keperluan saja. Misalnya, Nabi sendiri
mencontohkan berwudhu dengan menggunakan air yang sangat hemat bahkan beliau
memerintahkan umatnya untuk tidak menggunakan air berlebihan dalam berwudhu,
meskipun berwudhu itu dilakukan di sungai yang banyak airnya.

Begitu juga ketika membahas peristiwa alam seperti gerhana matahari dan bulan.
Di dalam Islam peristiwa gerhana bukan saja sekedar peristiwa alam biasa, tetapi
mengandung ajaran tauhidullah, yaitu agar manusia dapat merenungkan tanda-tanda
kekuasaan Allah. Saat membahas fenomena gerhana ini guru-guru hendaknya
mengingatkan para siswa melaksanakan sunnah-sunnah Nabi saat terjadi gerhana.
Misalnya, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat Islam untuk
memperbanyak doa, memohon ampun, bertakbir, bertasbih, bersedekah, serta
menunaikan shalat gerhana setiap kali peristiwa alam ini terjadi. Gunakan pendekatan ini
pada kasus-kasus lain yang relevan.

Wallahua‘lam bi-aṣṣawāb

14

Anda mungkin juga menyukai