Anda di halaman 1dari 26

PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM TEORI BELAJAR KOGNITIF SOSIAL

Teori belajar kognitif sosial dari Julian Rotter dan Walter Mischel masing-masing
berlandasakan asumsi bahwa faktor kognitif membantu membentuk bagaimana manusia akan
bereaksi terhadap dorongan dari lingkungannya, mereka menyebutkan bahwa ekspektasi
seseorang atas kejadian yang akan datang adalah determinan utama dari suatu perilaku.

Rotter berpendapat bahwa perilaku manusia paling dapat diasosiasikan melalui


pemahaman dari interaksi antara manusia dengan lingkungan yang berarti untuk mereka.
Rotter yakin bahwa tidak ada satu pun individuataupun lingkungan itu sendiri yang
sepernuhnya bertangungjawab atas perilaku.

Teori kogniti sosial Mischel mempunyai banyak kesamaan dengan teori kognitif sosial
Bandura dan teori belajar sosial Rotter. Mischel yakin bahwa faktor kognitif seperti
ekspektasi, persepsi subjektif, nilai, tujuan, dan standar personal mempunyai peranan penting
dalam pembentukan kepribadian.

B. BIOGRAFI JULIAN ROTTER

Julian B. Rotter, pencipta dari skala locus of control, dilahirkan di Brooklyn pada 22
Oktober 1916. Rotter (1993) mendeskripsikan kondisi sosial-ekonomi keluarganya sebagai
“kelas menengah yang cukup nyaman sampai pada Depresi Besar, saat ayahku kehilangan
bisnis alat tulis grosirannya dan kami menjadi bagian dari massa pengangguran selama dua
tahun” (hlm.273-274). Depresi ekonomi mencetuskan minat seumur hidup Rotter atas
ketidakadilan sosial dan mengajarkanya tentang seberapa penting kondisi situasional
memengaruhi perilaku manusia.

Suatu hari Rotter berpaling pada rak buku psikologi tempatnya menemukan buku
Understanding Human Nature oleh Adler (1927), Psychopathology of Everyday Life oleh
Freud (1901/1960), The Human Mind oleh Karl Menninger (1920). Saat memasuki Brooklyn
College, ia sudah sangat tertarik pada psikologi, namun ia memilih untuk mengambil jurusan
kimia karena terlihat terlihat lebih menjanjikan dalam hal pekerjaan selama masa depresi di
tahun 1930-an. Setelah mengetahui jika Adler adalah seorang profesor dalam psikologi medis
di Long Island College of Medicine, ia kemudian menghadiri kuliah medis Adler hingga
pada akhirnya ia mulai mengenal Adler secara personal, yang mengundangnya untuk
menghadiri pertemuan dalam Society for Individual Psychology (Rotter, 1993).

Saat Rotter lulus dari Brooklyn College pada tahun 1937, ia memiliki nilai kredit lebih
banyak di bidang psikologi daripada kimia. Ia kemudian memasuki program pascasarjana
psikologi di University of Iowa, tempatnya menerima gelar master pada 1938. Pada tahun
1941, Rotter menerima gelar Ph.D. dibidang psikologi klinis dari Indiana University.
Pada tahun yang sama, Rotter menerima posisi sebagai psikolog klinis di Norwich State
Hospital di Conercticut yang bertugas memberikan pelatihan pada asisten dan murid magang
dari Unversity of Connecticut dan Wesleyan University. Pada awal Perang Dunia II, ia
masuk militer dan menghabiskan lebih dari tiga tahun. Setelah perang, Rotter kembali ke
Norwich, namun ia mengambil pekerjaan di Ohio State University, tempat ia menarik
sejumlah mahasiswa pascasarjana termasuk Walter Mischel.

Rotter bertugas sebagai ketua Eastern Psychological Association dan pada divisi Sosial
and Personality Psychology dan Clinical Psychology dari American Psychological
Association (APA). Pada tahun 1988 ia menerima penghargaan APA Distinguished
Contibution Award.

C. PENGANTAR TEORI BELAJAR SOSIAL ROTTER

Teori sosial berlandaskan lima hipotesis dasar. Pertama, teori belajar sosial
berasumsi bahwa manusia berinteraksi dengan lingkungan yang berarti untuknya
(Rotter, 1982). Reaksi manusia terhadap stimulus lingkungan bergantung pada arti atau
kepentingan yang mereka kaitkan dengan suatu kejadian. Penguatan tidak bergantung
hanya pada stimulus eksternal, tetapi pada arti yang diberikan oleh kapasitas kognitif dari
manusia.
Asumsi kedua dari Rotter adalah bahwa kepribadian manusia bersifat dipelajari.
Kepribadian tidak diatur atau ditentikan berdasarkan suatu usia perkembangan tertentu,
melainkan dapat diubah atau dimodifikasi selama manusia mampu untuk belajar.
Asumsi ketiga dari teori belajar sosial adalah bahawa kepribadian mempunyai
kesatuan mendasar yang berarti kepribadian manusia mempunyai stabilitas yang relatif.
Mansia belajar untuk mengevaluasi pengalaman baru atas dasar penguatan terdahulu.
Evaluasi yang relatif konsisten ini akan membawa pada stabilitas yang lebih besar
daripada kesatuan kepribadian.
Hipotesis keempat dari Rotter adalah bahwa motivasi terarah berdasarkan tujuan.
Rotter menolak pandangan bahwa manusia pada dasarnya termotivasi untuk menurunkan
ketegangan atau mencari kesenangan, ia bersikeras bahwa penjelasan terbaik dai perilaku
manusia berada pada ekspektasi manusia bahwa perilaku mereka akan mengembangkan
mereka ke arah suatu tujuan.
Asumsi kelima Rotter adalah bahwa manusia mampu untuk mengantisipasi
kejadian. Disamping itu, mereka menggunakan persepsi atas pergerakan ke arah kejadian
yang diantisipasi sebagai kriteria untuk mengevaluasi penguatan. Memulai dengan lima
asumsi umum ini, Rotter kemudian membangun teori kepribadian yang berusaha
memprediksikan perilaku manusia.
D. MEMPREDIKSIKAN PERILAKU SPESIFIK

Rotter mengajukan empat variabel yang harus dianalisis untuk membuat prediksi
yang akurat dalam suatu situasi yang spesifik. Variabel ini adalah potensi perilaku,
ekspektasi,nilai penguatan, dan situasi psikologis. Potensi perilaku merujuk pada
kemungkinan bahwa suatu perilaku akan terjadi dalam situasi tertentu; ekspektasi adalah
ekspektasi sesorang untuk diberikan penguatan; nilai dari penguatan adalah pilihan
seseorang untuk suatu penguatan terterntu; dan situasi psikologis merujuk pada pola
kompleks dari tanda-tanda yang dipersepsikan oleh seseorang selama sutau periode yang
spesifik.

1. Potensi Perilaku
Potensi perilaku (behavioral potential-BP) adalah kemungkinan bahwa suatu
proses tertentu akan terjadi pada suatu waktu dan tempat. Beberapa potensi perilaku
dengan berbagai kekuatan berada dalam situasi psikologis apa pun. Potensi perilaku
dalam situasi apa pun adalah suatu fungsi dari ekspektasi dan nilai penguatan.
Pendekatan kedua atas prediksi adalah untuk mengasumsikan bahwa nilai penguatan
bersifat konstan dan ekspektasi bervariasi. Apabila total penguatan dari setiap perilaku
yang mungkin dilakukan bernilai sama, maka satu perilaku yang memiliki ekspektasi
untuk diberi penguatan paling tinggi akan menjadi yang paling mungkin untuk terjadi.
Rotter menggunakan definisi yang luas untuk perilaku, yang merujuk pada respon
apa pun, implisit, atau eksplisit yang dapat diobservasi atau diukur secara langsung atau
tidak langsung. Konsep komprehensif ini memberikan jalan pada Rotter untuk
menganggap konstruk hipotetis, seperti menggeneralisasikan, memecahkan masalah,
berpikir, menganalisis, dan lain-lain sebagai perilaku.

2. Ekspektasi
Ekspektasi (expectancy-E) merujuk pada ekspektasi seseorang bahwa suatu
penguatan spesifik atau seperangkat penguatan akan terjadi dalam situasi. Probabilitas
tidak ditentukan oleh riwayat individu dengan penguatan seperti yang diajarkan oleh
Skinner, tetapi ditentukan secara subyekif oleh masing-masing orang. Riwayat adalah
suatu faktor yang berkontribusi, tetapi begitu pula dengan pemikiran yang tidak realistis,
ekspektasi meyakini bahwa penguatan atau seperangkat penguatan yang dilakukan akan
mengikuti suatu respons tertentu.
Ekspektasi dapat bersifat umum ataupun spesifik. Ekspektasi umum
(Generalized expectancies-GE) dipelajari melalui pengalaman terdahulu dari suatu
respons tertentu atau respons yang mirip, dan didasari oleh keyakinan bahwa suatu
perilaku tertentu akan diikuti oleh penguatan positif.
Ekspektasi total atas kesuksesan adalah sebuah fungsi dari eskpektasi umum
seseorang dengan ekspektasi spesifiknya. Ekspektasi total menentukan sebagian dari
besaran usaha yang dikeluarkan oleh seseorang dalam mencapai tujuannya. Seseorang
dengan ekspektasi total yang rendah atas kesuksesan dalam mendapatkan pekerjaan yang
bergengsi, mungkin tidak akan melamar untuk pekerjaan tersebut; sementara seseorang
yang dengan ekspektasi total untuk kesuksesan yang tinggi akan mengerahkan usaha
yang keras dan bertahan menghadapi kemunduran untuk mencapai tujuan yang
dianggapnya mungkin diraih

3. Nilai Penguatan

Nilai penguatan (Reinforcement value-RV), yaitu kecenderungan pilihan yang


dijatuhkan seseorang pada suatu penguatan tertentu saat probabilitas terjadinya penguatan
yang berbeda-beda setara. Saat variabel ekpektasi dan situasional diasumsikan sebagai
konstan, perilaku dibentuk oleh preferensi seseorang terhadap penguatan yang mungkin
untuk didapatkan, yaitu nilai penguatan. Dalam kebanyakan situasi, ekspektasi jarang
sekali setara, dan prediksi menjadi sulit karena ekspektasi serta nilai penguatan sama-
sama dapat bervariasi.

Apa yang menentukan nilai penguatan dari suatu kejadian, kondisi, atau tindakan?
Pertama, persepsi seseorang berkontribusi ada nilai postif atau negatif dari suatu
kejadian. Rotter menyebut persepsi ini sebagai penguatan internal (internal
reinforcemenet) dan membedakannya dari penguatan eksternal (eksternal
reinforcement), yang merujuk pada kejadian, kondisi, atau tindakan yang diberikan nilai
oleh masyarakat atau budaya seseorang. Penguatan internal dan eksternal dapat bersifat
harmonis dan selarasatau saling bertentangan satu sama lain.

Kontributor lainnya atas penguatan adalah kebutuhan seseorang. Secara umum


penguatan cenderung akan meningkat nilainya apabila kebutuhan yang akan
dipuaskannya menjadi lebih kuat. Penguatan juga dinilai berdasarkan ekspektasi
konsekuensi dari penguatan di masa depan. Rotter yakin bahwa manusia mampu
menggunakan kognisinya untuk mengantisipasi suatu rangkaian peristiwa yang akan
mengarah kepada suatu tujuan dimasa depan, dan pada tujuan utama yang berkontribusi
pada nilai penguatan dari masing-masing peristiwa dalam rangkaian tersebut.

4. Situasi Psikologis

Variabel keempat dalam rumusan prediksi adalah situasi psikologis


(psychological situation-s) yang didefinisikan sebagai bagian dari dunia internal dan
eksternal yang direspons oleh manusia. Situasi psikologis tidak sama dengan stimulus
eksternal walaupun peristiwa fisik biasanya penting bagi situasi psikologis.

Perilaku bukanlah hasil dari kejadian di dalam lingkungan ataupun sifat pribadi,
melainkan berasal dari interaksi antara manusia dengan lingkungan yang berarti
untuknya. Teori belajar sosial Rotter memberikan hipotesis bahwa interaksi antara
manusia dan lingkungan adalah faktor penting dalam membentuk perilaku. Situasi
psikologis adalah “kumpulan yang kompleks dari tanda-tanda yang saling berinteraksi,
yang beroperasi pada seseorang dalam periode waktu spesifik” (Rotter,1982, hlm. 318).
Manusia tidak berperilaku di dalam suatu ruangan vakum, tetapi bereaksi terhadap tanda-
tanda dari lingkungan yang mereka persepsikan. Situasi psikologis harus diperhitungkan,
bersama-sama dengan ekspektasi dan nilai penguatan, dalam menentukan probabilitas
dari suatu respons.

5. Rumusan Prediksi Dasar

Sebagai cara hipotetis untuk memprediksi perilaku spesifik, Rotter mengajukan


suatu rumusan dasar yang memasukkan keempat variabel prediksi. Rumusan ini
merepresentasikan cara memprediksi yang cenderung idealis daripada realistis, dan tidak
ada nilai pasti yang dapat diambil dari rumusan ini. Oleh karena pengukuran yang akurat
dari masing-masing variabel mungkin berada di luar dari kajian ilmiah mengenai
perilaku manusia, Rotter mengajukan suatu strategi dalam memprediksi perilaku umum.

E. MEMPREDIKSI PERILAKU UMUM

Untuk memprediksikan perilaku umum, kita akan melihat David, yang terlah
bekerja di Hoffmaz’s Hardware Store selama 18 tahun. David telah diinformasikan
bahwa karena bisnis sedang lesu, Mr. Hoffan harus mengurangi jumlah pekerjanya dan
David mungkin akan kehilangan pekerjaannya. Bagaimana kita dapat memprediksikan
perilaku David selanjutnya?

1. Ekspektasi Umum
Pada kondisi tersebut, konsep dari generalisasi (generalization)
dan ekspektaksi general (generalized expectacy) masuk ke dalam teori
Rotter. Apabila dimasa lalu, David terbiasa mendapatkan penghargaan
atas perilakunya yang telah meningkatkan status sosialnya, maka kecil
probabilitasnya bahwa ia akan memohon pada Mr. Hoffman untuk suatu
pekerjaan karena bertentangan dengan peningkatan dengan peningkatan
status sosialnya. Di sisi lain, apabila usahanya terdahulu dalam perilaku
bertanggung jawab dan mandiri telah terbiasa mendapatkan penguatan,
dan apabila ia mampunyai kebebasan dalam bergerak, kemudian
mengasumsikan bahwa ia membutuhkan pekerjaan, maka tinggi
probabilitasnya bahwa ia akan melamar untuk pekerjaan lain, atau apabila
tidak, ia akan tetap berperilaku secara mandiri.
Prediksi tersebut walaupun tidak seakurat prediksi yang lain tetapi
tetap berguna dalam situasi ketika tidak memungkinkan untuk melakukan
kontrol yang ketat dari variabel yang terkait. Memprediksikan reaksi dari
David atas kemungkinan kehilangan pekerjaa, berarti mengetahui
bagaimana ia melihat pilihan-pilihan yang tersedia untuknya dan juga
status dari kebutuhannya saat ini.

2. Kebutuhan
Rotter (1982) mendefinisikan kebutuhan sebagai perilaku atau
seperangkat perilaku yang dilihat orang dapat menggerakkan mereka ke
arah suatu tujuan. Kebutuhan bukan suatu kekurangan atau rangsangan,
tetapi indikator dari tujuan perilaku. Perbedaan antara kebutuhan dan
tujuan hanya bersifat semantik. Saat fokus berada pada lingkungan, Rotter
akan berbicara mengenai tujuan; saat fokus berada pada manusianya, ia
akan berbicara mengenai kebutuhan.
Konsep dari kebutuhan memberikan jalan untuk prediksi yang
lebih umum dari yang disediakan oleh keempat variabel spesifik yang
membentuk rumusan prediksi dasar. Rumusan prediksi dasar
memungkinkan prediksi yang spesifik, dengan asumsi bahwa semua
informasi yang relevan sudah terkumpul. Rumusan tersebut merupakan
rumusan yang lebih tepat untuk penelitian laboratorium yang terkontrol,
tetapi tidak cukup untuk memprediksikanperilaku sehari-hari. Karena
alasan tersebut, Rotter memperkenalkan konsep kebutuhan dan rumusan
prediksi umum yang menyertainya.

 Kategori Kebutuhan
Rotter dan Hochreich (1975) membuat daftar enam kategori kebutuhan,
dengan setiap kategori merepresentasikan sekelompok perilaku yang
berikat secara fungsional; yaitu perilaku yang mengarah pada penguatan
yang sama atau serupa.
 Pengakuan Status Kebutuhan untuk diakui oleh orang lain dan
untuk mendapatkan status di mata orang lain adalah kebutuhan
yang kuat bagi kebanyakan orang.
 Dominasi Kebutuhan untuk mengendalikan perilaku orang lain
disebut dengan dominasi.
 Kemandirian Kemandirian adalah kebutuhan untuk bebas dari
dominasi orang lain.
 Perlindungan-Ketergantungan Seperangkat kebutuhan yang
hampir sangat berkebalikan dengn kemandirian adalah kebutuhan
perlindungan dan ketergantungan.
 Cinta dan Afeksi Kebanyakan orang mempunyai kebutuhan yang
kuat untuk cinta dan afeksi, yaitu kebutuhan untuk diterima oleh
orang lain yang lebih dari sekedar pengakuan dan status, untuk
dapat memasukkan beberapa indikasi bahwa orang lain
mempunyai perasaan positif yang penuh kasih sayang untuk
mereka.
 Kenyamanan Fisik Kenyamanan fisik mungkin adalah kebutuhan
yang paling mendasar, karena kebutuhan lain dipelajari atas
kaitannya dengan kebutuhan ini.

 Komponen Kebutuhan
Kebutuhan kompleks mempunyai tiga komponen penting yang hampir
serupa dengan konsep yang lebih spesifik dari poteni perilaku, ekspektasi
dan nilai penguatan (Rotter,Chance, & Phares, 1972).
 Potensi Kebutuhan Potensi kebutuhan (need potential-NP)
merujuk pada kemungkinan terjadinya seperangkat perilaku yang
berhubungan secara fungsional yang terarah untuk memenuhi
tujuan yang sama atau serupa.
 Kebebasan Bergerak Perilaku ditentukan sebagian oleh
ekspektasi kita; yaitu perkiraan terbaik kita bahwa penguatan
tertentu akan mengikuti suatu respon spesifik. Dalam rumusan
prediksi umum, kebebasan bergerak (freedom of movement-FM)
hampir serupa dengan ekspektasi. Kebebasan bergerak adalah
ekspektasi keseluruhan untuk diberikan penguatan yang dimiliki
seseorang untuk dapat melakukan perilaku yang diarahkan untuk
memuaskan beberapa kebutuhan umum.
 Nilai Kebutuhan Nilai kebutuhan (need values-NV) seseorang
adalah sejauh mana ia memilih seperangkat penguatan daripada
yang lainnya. Rotter, Chance dan Phares (1972) mendefinisikan
nilai kebutuhan sebagai “rata-rata nilai preferensi dari seperangkat
penguatan yang berhubungan secraa fungsional” (hlm. 33). Dalam
rumusan prediksi umum, nilai kebutuhan hampir serupa dengan
nilai penguatan.

3. Rumusan Prediksi Umum

Rumusan prediksi dasar bersifat terbatas pada situasi yang dikontrol


dengan sangat ketat, ketika ekspektasi, nilai penguatan dan situasi
psikologis bersifat relative sederhana dan terpisah.

NP = f (FM + NV)

Persamaan ini berarti bahwa potensi kebutuhan (NP) adalah fungsi dari
kebebasan bergerak (FM) dan nilai kebutuhan (NV). Rumusan ini hampir
serupa dengan rumusan prediksi dasar, dan setiap faktor bersifat parallel
dengan faktor yang sepadan yang terdapat dalam rumusan dasar.
Rumusan prediksi umum Rotter memberikan jalan bagi riwayat
seseorang dalam menggunakan pengalaman yang serupa untuk
mengantisipasi penguatan di masa sekarang, yaitu bahwa mereka
mempunyai ekspektasi yang digeneralisasikan atas kesuksesan. Dua skala
Rotter yang paling popular untuk mengukur mengenai ekspektasi umum
adalah Internal External Control Scale dan Interpesonal Trust Scale.

4. Kontrol Internal dan Eksternal dari Penguatan

Pada bagian inti teori belajar sosial Rotter, terdapat pendirian bahwa
penguatan tidak secara otomatis menempel pada perilaku, tetapi orang
memiliki kemampuan untuk melihat hubungan kausalitas antara perilakunya
sendiri dan kemunculan dari penguat (Rotter, 1954; Rotter & Hochreich,
1975). Seseorang akan berusaha untuk meraih tujuannya karena mempunyai
ekspektasi yang digeneralisasikan bahwa usaha seperti itu akan menghasilkan
kesuksesan.

Selama tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, Rotter mulai tertarik
dengan observasi terhadap banyak orang yang tidak meningkatkan perasaan
kontrol personal mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang
(Rotter, 1990, 1993; Zuroff & Rotter,1985). Rotter (1990) mengajukan bahwa,
baik situasi maupun orangnya berkontribusi pada perasaan control personal.
Oleh karena itu, seseorang dengan ekspektasi umum mengenai sukses dalam
satu situasi, dapat memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam
situasi lainnya.

Untuk dapat mengkaji control internal dan eksternal dari penguatan,


atau lokus kontrol (locus control), Rotter (1966) mengembangkan Internal-
External Control Scale, yang didasari oleh disertai dua mahasiswanya E.Jerry
Phares (1955) dan Willian H.James (1957). Internal-External Control Scale
dari Rotter telah menjadi salah satu topic yang diteliti secara keseluruhan
dalam bidang psikologi dan juga ilmu sosial lainnya, serta telah menghasilkan
beberapa ribu publikasi semenjak awal kemunculannya.

5. Interpersonal Trust Scale

Salah satu contoh dari ekspektasi umum yang telah memunculkan


penelitian dan minat yang cukup besar adalah konsep kepercayaan
antarpribadi (interpersonal trust). Rotter (1980) mendefinisikan
kepercayaan antarpribadi sebagai ekspektasi umum yang dipegang oleh
individu bahwa kata-kata janji, pernyataan diucapkan atau tertulis dari
individu atau kelompok lain dapat diandalkan (hlm.1). Kepercayaan
antarpribadi tidak merujuk pada keyakinan bahwa orang lain pada
dasarnya baik atau bahwa mereka hidup dalam dunia yang tebaik dari
semua yang mungkin. Untuk mengukur perbedaan dalam kepercayaan
antarpribadi, Rotter (1976) mengembangkan Interpersonal Trust Scale
yang menanyakan responden untuk setuju atau tidak setuju dengan 25 item
yang mengkaji kepercayaan antarpribadi dan 15 item pengisi yang
dirancan untuk menutupi tujuan dari instrument.
Rotter (1980) menyimpulkan hasil penelitian yang
mengindikasikan bahwa orang-orang yang mempunyai skor yang tinggi
dalam kepercayaan antarpribadi, berkebalikan dengan yang mempunyai
skor rendah, (1) lebih tidak mungkin untuk berbohong; (2) lebih mungkin
tidak akan berlaku curang atau mencuri; (3) lebih mungkin untuk
memberikan kesempatan keuda untuk orang lain; (4) lebih mungkin untuk
menghargai hak orang lain; (5) lebih tidak mungkin untuk menjadi tidak
bahagia, banyak berkonflik, ataupun tidak dapat menyesuaikan diri dengan
baik; (6) lebih disukai dan popular; (7) lebih dapat dipercaya; (8) tidak
lebih ataupun kurang mudah dipercaya; (9) tidak lebih atau kurang cerdas.
Dengan kata lain, orang dengan kepercayaan yang tinggi tidak mudah
percaya ataupun naïf, dan daripada disakiti dengan sikap dapat dipercaya
mereka, mereka terlihat memiliki banyak karakteristik yang dianggap
orang lain sebagai positif atau diinginkan.

F. PERILAKU MALADAPTIF

Dalam teori belajar Rotter, perilaku maladaptif adalah perilaku bertahan apa pun
yang gagal menggerakkan seseorag untuk menjadi lebih dekat dengan tujuan yang
diinginkan. Perilaku ini biasanya muncul dari kombinasi antara lain kebutuhan yang
tinggi dan kebebasan bergerak yang rendah atau berasal dari tujuan yang diterapkan
dengan terlalu tinggi atau tidak realistis apabila dikaitan dengan kemampuan orang
tersebut dalam mencapainya (Rotter, 1964).

Sebagai contoh, kebutuhan akan cinta dan afeksi adalah realistis, tetapi beberapa
orang mempunyai tujuan yang tidak realistis untuk dapat dicintai oleh semua orang. Oleh
karena itu, nilai kebutuhan mereka tentu saja akan melebihi kebebasan bergerak mereka,
sehingga menghasilkan perilaku yang kemungkinan akan bersifat defensif atau pun
maladaptif. Ketika seseorang menetapkan tujuan mereka terlalu tinggi, mereka tidak
dapat mempelajari perilaku yang produktif karena tujuan mereka berada jauh diluar
jangkauan. Sebagai gantinya, mereka akan belajar untuk menghindari kegagalan atau
bagaimana mempertahankan diri mereka dari rasa sakit yang menyertai kegagalan.
Sebagai contoh, seorang wanita yang memiliki tujuan untuk dicintai semua orang, pada
akhirnya akan tidak diperdulikan atau ditolak seseorang. Untuk mendapatkan cinta,
wanita tersebut mungkin akan menjadi agresif dalam lingkup sosial (strategi tidak
produktif yang merugikan diri sendiri) atau akan menarik diri dari orang lain, yang akan
mencegahnya merasa tersakiti oleh orang lain, namun juga merupakan perilaku yang
tidak produktif.

Menetapkan tujuan terlalu tinggi adalah salah satu dari beberapa kontributor yang
dapat menyebabkan perilaku maladaptif. Penyebab yang sering terjadi lainnya adalah
kebebasan bergerak yang rendah. Orang mungkin memiliki ekspetasi yang rendah untuk
berhasil karena tidak memiliki cukup informasi atau kemampuan untuk melakukan
perilaku yang akan diikuti oleh penguatan positif. Sebagai contoh, seseorang yang
memberikan nilai terhadap cinta, mungkin tidak mempunyai keterampilan antarpribadi
yang cukup untuk mendapatkannya.

Kemungkinan lain orang yang memiliki kebebasan rendah mereka melakukan


generalisasi, dari satu situasi ketika mereka mungkin memang tidak memiliki
kemampuan kepada situasi lain ketika mereka sebenarnya mempunyai kemampuan yang
cukup untuk berhasil. Sebagai contoh, seorang remaja yang memiliki fisik yang lemah
dan tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk menjadi seseorang atlet yang sukses,
dapat dengan salah melihat dirinya tidak mampu untuk bersaing dalam mendapatkan
peran di drama sekolah ataupun untuk menjadi ketua dari klub sosial. Ia dengan tidak
tepat melakukan generalisasi dari ketidakmampuannya dalam bidang olahraga kepada
ketidakmampuan dalam bidang-bidang lain yang tidak berhubungan.

Kesimpulannya, seseorang tidak dapat menyesuaikan diri dang baik biasanya


dicirakan oleh tujuan-tujuan yang tidak realistis, perilaku yang tidak tepat, kemampuan
yang tidak mencukupi, atau ekspetasi yang terlalu rendah untuk dapat melakukan
perilaku yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengautan positif. Walaupan telah
mempelajari cara-cara yang tidak mencukupi untuk dapat menyelesaikan masalah dalam
konteks sosial, mereka dapat menghapus pembelajaran dari perilaku ini dan meraka juga
belajar perilaku-perilaku yang lebih tepat dalam lingkungan sosial terkontrol yang
diberikan oleh psikoterapi.

G. PSIKOTERAPI

Bagi Rotter (1964), permasalahan psikoterapi adalah permasalahan bagaimana


membuat perubahan pada perilaku melalui interaksi antara satu orang dengan orang lain.
Dengan kata lain, permasalahan tersebut adalah permasalahan pembelajaran manusia
dalam situasi sosial. Walaupun mengadaptasi pendekatan pemecahan masalah pada
psikoterapi, Rotter tidak membatasi fokusnya hanya pada solusi cepat pada masalah-
masalah yang mendesak. Perhatiannya lebih fokus pada jangka panjang, mencakup
perubahan orientasi pasien mengenai kehidupan.

Secara umum, tujuan dari terapi Rotter adalah untuk membawa kebebasan
bergerak dan nilai kebutuhan agar selaras, sehingga akan mengurangi perilaku yang
defensif atau menghindar. Terapis mengambil peranan aktif sebagai guru, dan akan
berusaha untuk memenuhi tujuan terapi dengan dua cara dasar: (1) mengubah
kepentingan dari tujuan (2) mengeliminasi ekspetasi yang terlalu rendah atas kesuksesan
(Rotter, 1964, 1970, 1978; Rotter & Hichreich, 1975).

 Mengubah Tujuan

Kebanyakan pasien tidak mampu untuk memecahkan permasalahan hidup


mereka karena berusaha untuk meraih tujuan yang terdistorsi atau tidak tepat.
Peranan terapis adalah untuk membantu pasien-pasien tersebut memahami
ketidaktepatan tujuan mereka dan mengajari meraka cara-cara yang konstruktif
untuk berusaha meraih tujuan yang realistis. Rotter dan Hichreich (1975)
menjabarkan tiga sumber masalah yang mengikuti tujuan yang tidak tepat.

Pertama, akan terjadi konflik antara dua atau lebih dari tujuan yang penting.
Sebagai contoh, remaja sering kali menaruh nilai pada kemandirian dan juga
perlindungan-ketergantungan. Pada sisi lain mereka ingin bebas dari dominasi dan
kontrol orang tua mereka, tetapi di sisi lain mereka mempertahankan kebutuhan
mereka atas orang yang mengasuh mereka untuk memberikan perhatian dan
melindungi mereka.

Sumber permasalahan yang kedua adalah tujuan yang bersifat destruktif.


Beberapa pasien akan bertahan untuk berusaha meraih tujuan yang merusak diri
sendiri yang merupakan akibat yang tidak dapat dihindari dari kegagalan dan
hukuman.

Ketiga, kebanyaka orang merasakan dirinya dalam masalah karena


menempatkan tujuan mereka terlalu tinggi, dan terus menerus merasa frustasi
karena tidak dapat meraih atau melampaui tujuan-tujuan tersebut. Tujuan yang
tinggi akan mengakibatkan kegagalan dan rasa sakit, sehingga daripada
mempelajari cara yang konstruktif untuk mencapai suatu tujuan, orang mulai
belajar cara-cara yang tidak produktif untuk menghindari rasa sakit.

 Mengeliminasi Ekspetasi Rendah

Orang memiliki kebebasan bergerak yang rendah dapat disebabkan oleh tiga
alasan.
Pertama, mereka tidak mempunyai cukup keterampilan atau informasi
yang dibutuhkan untuk mampu berjuang menuju tujuan mereka (Rotter, 1970).
Dengan pasien seperti itu seorang terapis berperan sebagai guru, dengan hangat
dan empati menginstruksikan mereka teknik-teknik yang lebih efektif untuk
memecahkan masalah dan memuaskan kebutuhan.
Kedua dari kebebasan bergerak yang rendah adalah evaluasi yang salah
dari situasi di masa sekarang. Tugas terapis adalah membantu pasien tersebut
membuat perbedaan-perbedaan dan mengajarkan teknik asertif untuk berbagai
situasi yang tepat.
Ketiga, kebebasan gerak yang rendah dapat muncul dari generalisasi yang
tidak tepat. Permasalahannya datang dari generalisasi yang salah dan terapis
memberikan penguatan untuk setiap keberhasialn, sekecil apapun, dalam
hubungan sosial, pencapaian akademis, dan situasi lain. Pasien akhirnya belajar
untuk membedakan antara ketidakmampuan yang realistis di satu bidang dan
perilaku yang berhasil di bidang lain.
Walaupun Rotter menyadari bahwa terapis harus fleksibel dalam
menjalankan teknik-teknik mereka dan harus dapat menggunakan pendekatan
yang berbeda dengan pasien yang berbeda, ia mengajukan beberapa teknik
menarik yang ia rasa efektif. Pertama, mengajari pasien untuk mencari alternatif
bentuk tindakan dalam artian memahami motif dari orang lain. Kedua, membuat
pasien memasuki suatu situasi sosial yang sebelumnya sangat menyakitkan, tetapi
dari pada berbicara sebanyak biasanya mereka diminta untuk tetap diam dan
hanya mengobservasi, dengan observasi ini pasien mempunyai kesempatan yang
lebih baik untuk dapat mempelajari motif mereka. Pada kesimpulannya, Rotter
yaki bahwa seorang terapis harus menjadi partisipan yang aktif dalam interaksi
sosial dengan pasien.

H. PENGANTAR TEORI KEPRIBADIAN MISCHEL

Secara umum, teori kepribadian memiliki dua tipe, yang pertama mereka melihat
kepribadia sebagai entitas dinamis yang termotivasi oleh dorongan, persepsi, kebutuhan,
tujuan, dan ekspetasi. Kedua, mereka melihat kepribadian sebagai fungsi dari sifat atau
disposisi personal yang relatif stabil. Mischel dan rekan-rekannya mengajukan suatu
rekonsiliasi antara pendekatan proses dinamis dengan pendekatan disposisi personal.
Teori kepribadian kognitif-afektif berpandangan bahwa perilaku berasal dari disposisi
personal yang relatif stabil dan proses kognitif-afektif yang berinteraksi dengan situasi
tertentu.

I. BIOGRAFI WALTER MISCHEL

Lahir di Wina, Austria pada 22 Februari 1930. Bersama kakaknya Teodore awalnya
jadi filsuf tumbuh di lingkungan kondusif tak jauh dari rumah Freud. Masa indahnya
terenggut ketika Nazi menginvansi Austria pada 1938. Kemudian Mischel dan
kelurganya pindah ke USA sampai akhirnya menetap di Broklyn sampai masa SD dan
SMP-nya. Sebelum sempat kuliah, ayahnya sakit dan Walter terpaksa bekrja serabutan
sampai akhirnya dia berhasil kuliah di New York University. Dia sangat tertarik pada
seni lukis juga patung dan berbagi hidup menjadi seniman, juga mahasiswa psikologi di
Greenwich Village.

Saat perkuliahan ia muak dengan dosen yang selalu mengajarkan teori psikologi
melalui eksperimen tikus yang menurutnya jauh dari manusia. Setelah lulus dia
melanjutkan program MA psikologi klinis City College of New York. Sembari
mengerjakan tesisnya, dia bekerja sosial di kawasan kumuh Lower East Side, sebuah
pekerjaan yang membuatnya ragu dengan manfaat psikoanalitik. Perkembangan psikologi
sosial kognitifnya memuncak saat mengambil studi doktoral di Ohio State University
pada 1953-1956. Kala itu di kampusnya terbagi menjadi dua kubu, kubu Julian Rotter
dan kubu George Kelly. Dia lebih memilih tidak memihak manapun. Namun belajar dari
keduanya. Rotter mengajarkan pentingnya riset sedangkan Kelly mengajarinya
eksperimen manusia haruslah memperhatikan aspek kognitif dan perasaan.

Selanjutnya Mischel mengajar 2 tahun di Colorado University. Lalu bergabung


dengan Departemen Hubungan Sosial di Havard dan akhirnya menetap di Columbia
University. Di Havard ia bertemu Harriet Nerlove dan menikahinya.

Karya pertamanya adalah Personality and Assesment (1968). Dia menerangkan


bahwa pada kondisi yang tepat orang sanggup memprediksi perilaku mereka tanpa harus
menjalani tes. Sifat adalah alat prediksi perilaku yang sangat lemah karena situasilah
yang mempengaruhi perilaku. Karya terbaiknya adalah Introduction to Personality (1971)
dan sudah direvisi ke-7 pada 2004.

J. LATAR BELAKANG SISTEM KEPRIBADIAN KOGNITIF-AFEKTIF

Beberapa pakar teori yakin bahwa kebanyakan perilaku adalah hasil dari sifat
kepribadian yang relatif stabil. Akan tetapi, Walter Mischel menolak asumsi ini.
Penelitian awalnya membuat percaya bahwa kebanyakan perilaku merupakan fungsi dari
situasi.
 Paradoks Konsistensi
Mischel melihat bahwa orang awam maupun psikolog profesional terlihat
secara intutif meyakini bahwa perilaku manusia relatif konsisten, tetapi bukti
empiris menunjukkan banyak variasi dalam perilaku yang disebut Mischel
sebagai Paradoks konsistensi. Mischel juga berpendapat sebaik-baiknya orang
tersebut hanya separuhnya benar.
 Interaksi Manusia – Situasi
Mischel melihat bahwa manusia bukanlah suatu wadah kosong tanpa ada
sifat kepribadian yang bertahan di dalamnya. Ia mengakui bahwa kebanyakan
orang memiliki suatu konsistensi dalam perilaku mereka, tetapi ia terus
menekankan bahwa situasi mempunyai dampak yang kuat pada perilaku.
Pandangan kondisional menyatakan bahwa perilaku dibentuk oleh
disposisi personal ditambah proses kognitif dan afektif yang spesifik dari orang
tersebut. Sementara teori sifa berpandangan bahwa disposisi global
memprediksikan perilaku, Mischel beragumen bahwa keyakinan, nilai, tujuan,
kognis, dan perasaan dari seseorang berinteraksi dengan disposisi-disposisi
tersebut untuk membentuk perilaku. Sebagai contoh, teori sifat tradisional
berpandangan bahwa manusia dengan sifat rajin biasanya akan berperilaku rajin.
Akan tetapi, Mischel menunjukkan bahwa dalam beragam situasi, seseorang yang
rajin dapat menggunakan sifatnya ini bersama dengan proses kognitif-afektif
lainnya untuk mendapatkan suatu hasil yang spesifik.

K. SISTEM KEPRIBADIAN KOGNITFI-AFEKTIF

Untuk memecahkan paradoks konsistensi terdahulu, Michael dan Shoda (Mischel,


2004. Mischel & Shoda, 1995, 1998, 1999, Shoda & Mischel, 1996 1998) menawarkan
sistem kepribadian kognitif-afektif(cognitive-affective personality system atau
cognitive affective processing system) yang menjelaskan keberagaman dalam berbagai
situasi dan juga stabilitas dari perilaku dalam diri seseoang. Kurangnya konsistensi yang
terlihat dari perilaku seseorang tidak disebabkan oleh kesalahan yang bersifat acak
ataupun situasi. Akan tetapi, perilaku yang berpotensi yang dapat diprediksi , yang
merefleksikan pola variasi stabil didalam diri seseorang. Sistem kepribadian
kognitifafektif memprediksi bahwa perilaku seseorang akan berubah dari satu situasi ke
situasi lainya.
Mischel dan Shoda (Mischel,1999,2004; Mischel & Ayduk,2002; Shoda,
LeeTiernan & Mischel, 2002) meyakini bahwa variasi dalam perilaku dapat dikonsepkan
dalam kerangka berfikir berikut: apabila A, maka X; tetapi apabila B, maka Y. Sebagai
contoh, apabila mark diprovokasi oleh istrinya , maka ia akan bereaksi agresif. Akan
tetapi, saat ‘’apabila’’ berubah, begitu juga dengan ‘’maka.’’ Apabila Mark diprovkasi
oleh atasanya maka ia bereaksi dengan kepatuhan. Perilaku Mark terlihat tidak konsisten
karena ia bereaksi berbeda pada stimulus yang sama. Akan tetapi, Mischel dan Shoda
akan berpendapat bahwa diprovokasi oleh dua orang yang berbeda tidak menyusun
stimulus yang sama. Perilaku Mark tidak berarti tidak konsisten dan dapat merefleksikan
pola seumur hidup yang stabil dalam bereaksi. Intrepetasi ini diyakini Mischel dan Shoda
memecahkan paradox konsistensi, dengan mengikutsertakan riwayat panjang dari variasi
dalam perilaku yang dapat diobservasi dan keyakinan intuitif dari psikologi dan orang
awam bahwa kepribadian relative stabil. Variasi dalam perilaku yang paling sering
diobservasi merupakan bagian penting dalam menyatukan stabilita kepribadian.
Teori ini tidak mengindikasikan bahwa perolaku adalah percabangan dari sifat
kepribadian global yang stabil. Apabila perilaku adalah hasil dari sifat global, maka
hanya ada sedikit variasi individual dalam perilaku. Pola variasinya adalah ciri khas
kepribadian dalam bentuk perilaku (behavioral signature of personality), yaitu bentuk
yang konsisten dari variasi perilakunya dalam situasi tertentu. Kepribadian mempunyai
ciri khas yang bersifat stabil dalam berbagai situasi walaupun saat perilakunya berubah.

 Prediksi Perilaku
Pada Bab 1, kita telah mengedepankan bahwa teori yang efektf harus
dapat disebtukan dalam kerangka apabila-maka, tetapi Mischel (1999,2004)
adalah salah satu dari sedikit pakar teori kepribadian yang melakukanya. Posisi
teoritis dasarnya dalam memprediksi dan menjelaskan dipaparkan sebagai berikut.
‘’apabila kepribadian adalah sistem yang stabil yang memproses informs
mengenai situasi internal ataupun external. Maka mengikuti hal tersebut, saat
individu menghadapi situasi yang berbeda, prtilakunya akan bervariasi dari satu
situasi ke situasi lainya’’. Posisi teoritis ini dapat menghasilkan sejumlah
hipotesis mengenai hasil perilaku. Mischel mengasumsikan bahwa kepribadian
mempunyai stablitas yang bersifat sementara dan perilaku dapat bervariasi dari
satu situasi ke situasi lainya. Ia juga mengasumsikan bahwa prediksi dari perilaku
berada pada pengetahuan mengenai bagaimana dan kapan berbagai unit kognitif-
afektif diaktivasi. Unit ini meliputi pengodean, ekspektasi, keyakinan,
kompetensi, rancangan, dan strategi regulasi diri, serta afek dan tujuan.

 Variable Situasi
Mischel yakin bahwa pengaruh relatif dan variable situasi dan kualitas
pribadi dapat ditentukan dengan mengobservasi keseragaman atau perbedaan dari
reaksi manusia dalam saat situasi tertentu. Saat orang-orang berbeda berperilaku
dalam cara yang sangat serupa, misalnya, saat menonton adegan emosional dalam
film menarik-variable situasi lebih kuat daripada karakteristik pribadi. Pada sisi
lain, kejadian yang terlihat sama, dapat menghasilkan reaksi yang sangat berbeda-
beda karena kualitas pribadi yang mengalahkan variable situasional. Sebagai
contoh, beberapa pekerja dapat sama-sama dipecat dari pekerjaannya, tetapi
perbedaan individu akan mengakibatkan perilaku yang berbeda-beda, bergantung
pada kebutuhan untuk bekerja yang dipersepsikan oleh masing-masing pekerja
tersebut, keyakinan mereka akan ketrampilan mereka
Di awal karirnya, Mischel mengadakan suatu studi yang menunjukkan
bahwa interaksi antara situasi dan berbagai kualitas pribadi adalah determian yang
penting untuk perilaku. Sebagai contoh, dalam salah satu studi, Mischel dan
Ervin Staub (1965) melihat kondisi yang mempengaruhi pilihan seseorang atas
suatu hadiah, dan menemukan bahwa situasi dan ekspektasi seseorang atas
kesuksesan sama-sama penting. Peneliti awalnya meminta anak laki-laki kelas
delapan untuk menilai ekspektasi mereka atas kesuksesan dalam tugas penalaran
verbal dan informasi umum. Setelah para murid mengerjakan beberapa soal,
beberapa murid diberitahukan bahwa mereka telah berhasil dalm mengerjakan
soal tersebut dan beberapa murid gagal dan kelompok ketiga tidak mendapatkan
informasi apapun. Kemudian anak-anak ini di minta untuk memeilih hadiah yang
langsung diberikan, tidak terlalu bernilai, dan tidak berkaitan, dengan hadiah yang
ditunda pemberianya, lebih bernilai, dan berkaitan sesuai dengan teori interaksi
Mischel, murid-murid yang telah diberitahukan bahwa mereka berhasil dalam
tugas serupa diberikan sebelumnya, akan lebih memilih untuk menunggu hadiah
yang lebih bernilai dan berkaitan dengan performa mereka, mereka yang
diinformasikan bahwa telah gagal pada tugas sebelumnya cenderung memilih
hadiah langsung yang tidak terlalu bernilai dan mereka yang tidak menerima
umpan balik mengenai kesuksesan; yaitu murid-murid dalam kelompok tanpa
informasi yang pada awalnya mempunyai ekspektasi yang tinggi atas kesuksesan,
akan membuat keputusan yang serupa dengan mereka yang meyakini bahwa
mereka telah gagal.

Mischel dan rekan-rekanya juga telah menunjukkan bahwa anak-anak


dapat menggunakan proses kognitif mereka untuk merubah situasi yang sulit
menjadi lebih mudah, sebagai contoh Mischel dan Ebbe B. Ebbsen (1970)
menemukan bahwa beberapa anak mampu menggunakan proses kognitif mereka
untuk mengubah situasi kegiatan menunggu yang tidak menyenangnkan. Dalam
penelitian penundaan kepuasan ini, anak-anak taman kanak-kanak diberitahukan
bahwa mereka akan menerima suatu hadiah kecil setelah periode waktu yang
singkat, tetapi hadiah yang lebih besar akan diberikan apabila mereka dapat
menunggu lebih lama. Anak- anak yang mmikirkan hadiahnya memiliki kesulitan
untuk menunggu sementara anak yang dapat menunggu paling lama,
menggunakan distraksi diri untuk menghindari memikirkan hadiahnya. Mischel
menyimpulkan komponen kognitif-afektif yang beragam dari perilaku memilki
peranan dalam menetukan perilaku.

 Unit Kognitif-Afektif
Pada tahun 1973, Mischel menawarkan rangkaian dari lima variable
manusia yang saling bertumpukan dan relative stabil yang berinteraksi dengan
situasi untuk menetukan perilaku. Penelitian selama hampir lebih dari 30 tahun
tersebut membuat mischel dan rekan-rekanya memperluas konsepsi mereka atas
variable-variable ini yang mereka sebut dengan kognitif-afektif. Variable manusia
ini bergeser dari penekanan atas apa yang dimiliki oleh seseorang (misalnya,sifat
global) menjadi apa yang di lakukan seseorang dalam siasi tertentu. Apa yang di
lakukan seseorang meliputi sifat kognitif-afektif seperti saat berpikir dan
membuat rencana
Unit-unit kognitif-afektif meliputi semua aspek psikologin,sosial dan
fisiologis. Unit-unit ini meliput (1) strategi pengodean,(2) kompetensi dan strategi
regulasi diri, (3) ekspektasi dan keyakinan (4) tujuan dan nilai-niai (5) respon
afektif

1) Strategi Pengodean
Satu unit kogniti-afektif penting yang paling mempengaruhi perilaku adalah konstruk
personal dari seseorang dan strategi pengodean (encoding strategies), yaitu cara manusia
mengategorisasikan informasi yang diterima dari stimulus eksternal. Manusia menggunakan
proses kognitif untuk mengubah stimulus ini menjadi konstruk personal, termasuk konsep
diri, pandangan mereka terhadap orang lain, dan cara mereka melihat dunia. Orang yang
berbeda melakukan pengkodean yang berbeda terhadap peristiwa yang sama. Yang
menjelaskan perbedaan individual dalam konstruk personal sebagai contoh, seseorang dapat
bereaksi marah saat dihina, sementara orang lain dapat memilih untuk tidak menghiraukan
hinaan tersebut. Sebagai contoh, seorang wanita menganggap telepon dari sahabatnya adalah
penglaman yang menyenangkan, dapat mengganggapnya gangguan dalam situasi tertentu.

Stimulus input akan berubah secara substansial oleh apa yang secara selektif
diperatikan orang-orang, bagaimana mereka menginterpretasikan pengalaman mereka, dan
cara merek mengkategorisasikan input-input mereka tersebut. Mischele dan mahasiswa P.hd
nya yang terdahulu (1973), Bert Moore, menemukan bahwa anak-anak dapat mengubah
kejadian dalam lingkungan dengang memfokuskan pada beberapa aspek terpilih dari stimulus
input. Dalam penelitian penundaan-kepuasan, anak-anak yang dihadapkan dengan gambar-
gambar hadiah dapat menunggu lebih lama untuk hadiah tersebut daripada anak-anak yang
didorong untuk menghasilkan konstruk kognitif (membayangkan) dari hadiah yang asli
sambil membayang gambar-gambar tersebut.

2) Kompetensi dan Strategi Regulasi Diri

Bagaimana kita berperilaku. Sebagian bergantung pada potensi perilaku yang ada
untuk kita, keyakinan kita atas apa yang dapat kita lakukan, rencana dan strategi untuk
melakukan perilaku tersebut, serta ekspektasi kita atas kesuksesan (Mischele, Cantor, &
Feldman, 1996).Keyakinan atas apa yang dapat kita lakukan berkaitan dengan Competency
kita. Mischele (1990) menggunakan istilah “kompetensi” untuk merujuk pada beragam
informasi yang kita dapatkan mengenai dunia dan hubungan kita dengannya. Dengan
mengobservasi perilaku kta sendiri dan perilaku orang lain, kita belajar apa yang dapat dan
apa yang tidak dapat kita lakukan pada situasi tertentu. Mischele setuju dengan Bandura
bahwa kita tidak memperhatikan semua stimulus yang ada dalam lingkungan kita, tetapi
secara selektif mengkonstruksi atau membangun dunia nyata atas versi kita sendiri. Sebagai
contoh, seorang murid yang cerdas dapat meyakini bahwa ia memiliki kompetensi untuk
berhasil dalam graduate record exam walaupun belum pernah mengimbil tes tersebut.
Kompetensi kognitif, seperti berhasil dalam GRE (Graduate Record Exam) pada
umumnya lebih stabil secara temporer maupun situasional dibandingkan unti-unit kognitif-
afektif lainnya. Oleh karena itu, skor seseorang dalam tes kemampuan mental biasanya tidak
menunjukkan fluktasi yang besar dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi lainnya.
Mischele (1990) berargumen bahwa salah satu alas an dari adanya konsistensi sifat adalah
akibat stabilitas, intelegensi, sifat dasar yang melandasi banyak disposisi personal. Ia
bependapat bahwa kompetensi kognitif, yang diukur dalam tes kemampuan mental
tradisional, telah terbukti sebagai salah satu predictor terbaik dalam penyesuaian konteks
sosial dan intrapersonal, sehingga memberikan tampilan yang stabil pada sifat-sifat sosial dan
intrapersonal. Selain itu, mischele menyebutkan bahwa apabila intelegensi dikaji dengan
penguruna tradisional, yang memasukkan potensi seseorang dalam melihat solusi alternative
dari masalah-masalah.

Mischele yakin bahwa manusia menggunakan regulasi diri (self-regulatory strategist)


untuk mengkontrol perilaku mereka melalui tujuan yang diberikan pada diri sendiri dan
konsekunsi yang dibuat oleh sendiri. Manusia tidak membutuhkan penghargaan dan
hukuman yang bersifat eksternal untuk memberi perilaku ; mereka dapat menentukan tujuan
untuk diri mereka sendiri dan kemudian memberikan penghargaan dan kritik terhadap diri
mereka sendiri berkaitan dengan apakah perilaku tersebut menggerakkan mereka pada
tujuan-tujuan tersebut.

Sistem regulasi manusia membuat mereka mampu untuk merencanakan, memulai,


dan mempertahankan perilaku, bahkan ketika dukungan dari lingkungan lemah atau tidak ada
sama sekali. Tetapi setiap orang juga mampu bertahan tanpa dukungan dari lingkungan
apabila mempunyai tujuan dari nilai yang kuat yang dibuat oleh diri sendiri.Meskipun
demikian, tujuan yang tidak tepat dan strategi yang tidak efektif meningkatkan pada
kecemasan dan meningkatkan kegagalan.

3) Ekspektasi dan Keyakinan

Situasi apapun aan menghasilkan potensi perilaku, tetapi bagimana manusia berperilaku
bergantung pada ekspektasi dan keyakinan spesifik mereka mengenai konsekuensi dari
masing masing kemungkinan perilaku yang berbeda-beda. Pengetahuan hipotesis atau
keyakinan seseorang mengenai hasil dari situasi apapun adalah predictor yang lebih baik atas
perilaku daripada pengetahuan mengenai kemampuan mereka untuk melakukan perilaku.

Dari pengalaman sebelumnya dan dari mengobservasi orang lain, manusia belajar
untuk melakukan perilaku-perilaku yang mereka harapkan akan melakukan suatu pencapaian
yang paling bernilai secara subjektif. Saat seseorang tidak mempunyai informasi mengenai
apa yang dapat diharapkan dari suatu perilaku orang tersebut akan mendapatkan penguatan
yang paling besar pada situasi yang mirip dari masa lalu. Sebagai contoh, seorang mahasiswa
yang belum pernah malukakukan GRE. Tetap saja mempunyai pengalaman mempersiapkan
diri untuk ujian lain. Apa yang dilakukan mahasiswa tersebut? Dalam melakukan persiapan
diri terhadap GRE sebagian diperngaruhi bagaimana perilaku dalam persiapan ujian
sebelumnya menghasilkan pencapaian yang paling bernilai. Seseorang mahasiswa yang
sebelumnya mendapatkan penguatan setelah menggunakan teknik relaksasi diri dalam
mempersiapkan diri untuk ujian akan memiliki ekspektasi bahwa teknik yang sama akan
membantunya berhasil dalam GRE.

Mischele (1990) yakin bahwa salah satu alasan bagi ketidakkonsistenan perilaku
adalah ketidakmampuan memprediksi perilaku orang lain. Kita hanya mempunyai sedikit
keraguan dalam mengatribusikan sifat kepribadian pada orang lain. Namun saat kita melihat
bahwa perilaku mereka tidak sesuai dengan sikap-sikap ini. Kita menjadi kurang yakin
mengenai bagaimana harus bereaksi pada mereka.

4) Tujuan dan Nilai


Manusia tidak bereaksi secara pasif pada situasi, tetapi secara aktif dan terarah pada
tujuan. Mereka merumuskan tujuan, merancang tujuan untuk mencapai tujuan, kemudina
menciptakan situasi mereka sendiri. Tujuan, nilai dan preferensi subjektif dari orang-orang
mempresentasikan unit kognitif-afektif yang keempat. Sebagai contoh, dua mahasiswa
mungkin mempunyai kemampuan akademis yang sama dan ekspektasi terhadap kesuksesan
dalam proses program pasca sarjana yang sama. Akan tetapi, mahasiswa pertama
menempatkan nilai yang lebih dalam memasuki lahan pekerjaan daripada mengambil
program pasca sarjana. Sementara mahasiswa kedua, memilih untuk mengambil program
pasca sarjana daripada langsung mengejar karir. Keduanya mungkin mempunyai banyak
pengalaman serupa selama kuliah, tetapi karena mereka mempunyai tujuan yang berbeda,
merekea membuat keputusan yang sangat berbeda.

Nilai, Tuuan dan Minat, bersama dengan kompetensi, adalah beberapa dari unit
kognitif-afektif yang bersifat stabil. Satu alasan atas konsistensi ini, aspek yang dimiliki unit-
unit ini. Sebagai contoh, seseorang mungkin menempatkan nilai negative pada makanan
tertentu karena mengasosiasikan makanan tersebut dengan perasaan mual yang pernah ia
rasakan saat pernah memakan makanan tersebut. Tanpa pengkondisian balik, perilaku
menghindar ini mungkin akan bertahan akibat dari emosi negative yang dimunculkan oleh
makanan tersebut. Serupa dengan hal tersebut, nilai patriotik dapat bertahan seumur hidup
karena diasosiasikan dengan emosi positif, seperti rasa aman.

5) Respon Aktif
Pada awal tahun 70-an, teori mischele pada dasarnya masih teori kognitif. Teori ini
didasari oleh asumsi bahwa pikiran manusia dan proses kognitif lainnya. Berinteraksi dengan
situasi tertentu untuk menentukan perilaku. Mischele dan rekan-rekannya telah menambhkan
suatu daftar unit-unit kognitif-afektif yang penting. Respons afektif meliputi emis, perasaan,
dan reaksi fisiologis. Mischele melihat respon afektif tidak dapat dipisahkan dari kognisi dan
menilai unit-unit afektif yang terkait lebih dasar daripada unit-unit afektif lainnya.

Oleh karena itu, Respon afektif tidak hadir sendirian. Tidak hanya tidak dapat
dipisahkan dari proses kognitif. Respon afektif juga mempengaruhi asing-masing dari unit-
unit kognitif-afektif lainnya.

Kesimpulannya unit-unit kognitif-afektif yang saling berkaitan, berkontribusi pada


perilaku saat berinteraksi dengan sikap keprbadian yang stabil dan lingkungan yang sempit.
Aspek-aspek yang terpenting dalam variabel ini meliputi (1) Strategi Pengkodean (2)
Kompetensi dan Strategi Regulasi Diri, atau apa yang orang dapat lakukan serta strategi dan
rencana mereka untuk menghasilkan apa yang mereka inginkan (3) Ekspektasi dan
Keyakinan perilaku hasil dan stimulus hasil mengenai suatu situasi (4) Tujuan, Nilai, dan
Preferensi yang subjektif (5) Respons afektif, termasuk perasaan dan emosi, dan juga afek
yang menyertai reaksi fisiologis.

L. PENELITIAN TERKAIT

Gagasan Rotter mengenai control internal dan eksternal telah menghasilkan banyak
penelitian dalam psikologi dengan banyak penelti dengan berbagai disiplin yang merujuk
pada konsep yang digagas oleh Rotter untuk penelitian mereka sendiri. Model CAPS
yang digagas oleh Mischele walaupun terbilang model kepribadian yang cukup baru.

 Locust Control dan Pahlawan Holocaust

Variable kepribadian dapat digunakan untuk memprediksikan hasil yang


tidak terbatas. Beberap prediksi bersifat membosankan dan merupakan rutinitas
seperti apakah la juan akan merebahkan kepalanya selama kuliah yang
membosankan, sementara yang lainnya bersifat luar biasa seperti apakah la juan
meraih gelar P.hd dalam bidang psikologi. Midlarsky berusaha menggunakan
varabel kepribadian untuk memprediksikan siapa yang merupakan pahlawan
holocaust dan siapa yang merupakan penonton selama tahun-tahun tragis pada
masa perang dunia II. Pembunuhan massal atas 6.000.000 yahudi oleh nazi ini
adalah kejadian yang sangat ekstrim dan sangat buruk, sehingga sulit untuk
membayangkan bahwa hanya setengah dari satu persen orang yang berada dalam
territorial yang diduduki NAZI memilih untuk membantu tetangga yahudi saat
kelangsungan hidup dari tetangga tetangga tersebut berada dalam bahaya besar.
Akan tetapi, bahaya yang mengancam mereka yang membantu yahudi setara
dengan bahaya menjadi seorang yahudi. Sehingga tindakan warga non-yahudi
yang menempatka dirinya dalm bahaya untuk membantu tetangga mereka yang
terancam menjadi tindakan heroic dan jarang terjadi.
Untuk meneliti kekuatan dari kepribadian, dalam memprediksikan
tindakan yang heroic dan jarang terjadi seperti itu. Midlarsky dan rekannya
mengumpulkan sampel yang cukup hebat yang meliputi 80% penolong orang
yahudi selama perang dunia ke II. 73 orang penonton yang tinggal di eropa
selama perang dunia ke II, namun tidak menolong orang yahudi, dan sampel
perbandingan dari 43 orang yang berasal dari eropa, namun melakukan migrasi ke
eropa utara sebelum perang dunia ke II dimulai. Partisipan rata-rata berusia 72
tahun saat penelitian tersebut dilakukan, yang berarti kebanyakan dari mereka
berada dalam rentang usia 20 tahun selama perang dunia ke II. Status penolong
diverifikasi ulang berdasarkan testimoni dari orang yang selamat dari holocaust.
Peneliti memasukkan beberapa ariabel kepribadian dalam usaha mereka
untuk memprediksikan siapa yang merupakan seorang pahlawan dan siapa yang
merupakan seorang penonton salah satu variable yang digunakan adalah locus
kendali. Lebih berorientasi pada perasaan control internal diprediksikan memiliki
hubungan dengan menjadi pahlawan holocaust karena seseorang yang seperti itu
yakin bahwa mereka memiliki kendali atas peristiwa pada hidup mereka dan
kesuksesan bukanlah hasil dari keberuntungan dan kesempatan. Orang –orang
dengan control internal adalah orang orang yang mempunyai ekspektasi yang
digeneralisasikan bahwa tindakan mereka menyelamatkan tetangga mereka yang
berada dalam bahaya dapat berhasil. Variabel lain yang dikaji midlarsky dan
rekannya adalah otonomi (rasa kemandirian). Mengambil resiko, tanggung jawab
sosial, perilaku otoriter (terkait dalam mempunyai sikap dan prasangka terhadap
kelompok minoritas dan merupakan kebalikan dari toleransi). Empati, dan
penalaran moral altruistis (tingkatan yang tinggi, membutuhkan penalaran abstrak,
termasuk menggunakan nilai-nilai yang sudah diinternalisasikan). Semua varibel
kepribadian diukur dengan standar berupa laporan diri, dan partisipan mengisi
pengukuran ini saat melakukan wawancara tatap muka dengan salah satu
partisipan di rumah partisipan.
Peneliti bahwa mempunyai perasaan control internal berhubungan positif
dengan semua variable kepribadian yang diukur.Untuk mengkaji prediksi awal
mereka bahwa kepribadian dapat memprediksikan status pahlawan, peneliti
menggunakan presedur statistic yang membuat mereka dapat mengumpulkan
semua partisipan dan kemudian menggunakan skor dari masing-masing
kepribadian untuk memprediksikan kategori empat orang tersebut berasal
mendukung hipotesis dari peneliti.
Analisis lanjutan menunjukkan bahwa merek yang mempertaruhkan hidup
mereka untuk membantu tetangga yang terancam, mempunyai perasaan control
internal yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak membantu.

 Interaksi Manusia-Situasi
Walter Mischel telah melakukan banyak penelitian dalam kompleksitas
yang diasosiasikan dengan kepribadian, situasi, dan perilaku. Penelitian dan teori
belajar kognitif sosial telah menghasilkan lebih bayak lagi penelitian dari banyak
akademisi dalam bidang masing-masing. Penelitian yang paling penting adalah
penelitian terbaru dalam interaksi manusia-situasi. Esensi dari pendekatan ini
dirangkumkan oleh keterkaitan konteksual antara perilaku dan konteks dalam
pernyataan, ‘’apabila saya berada dalam situasi ini maka saya akan melkukan X;
tetapi, apa bila saya ada dalam situasi itu maka saya akan memilih X kemudian
saya melakukan Y’’.
Apa yang ditemukan oleh para peneliti dengan sangat sempurna
mendukung kerangka apabila-maka dari interaksi manusia-situasi. Sebagai
contoh, saat sifat deskripsi untuk mahasiswa fiktif adalah penjilat, partisipan
memprediksikan bahwa mereka akan berperilaku dengan sangat hangat kepada
professor, namun tidak terlalu hangat pada teman sebaya. Dengan kata lain jika
target memiliki status lebih tinggi maka mahasiswa itu akan berperilaku yang
hangat, tetapi jika target tidak memiliki status lebih tinggi maka mahasiswa
tersebut tidak akan berperilaku sangat hangat.
Mischel dan rekan-rekannya berkesimpulan bahwa konseptualisasi
interaksionis kognitif sosial dari lingkungan manusia-situasi adalah cara yang
lebih tepat untuk memahami perilaku manusia daripada pandangan tradisional
‘’tanpa konteks’’ dari kepribadian yang beranggapan bahwa manusia berperilaku
dalam cara yang terbatas tanpa meperdulikan konteks.

 Regulasi-Diri di Sepanjang Kehidupan

Mischel menemukan bahwa anak-anak mampu melawan godaan. Dalam


tinjauan terakhir dari penelitian Walter Mischel dan rekan-rekanya memberikan
bukti bagi yaliditas prdiktif signifikan yang mengejutkan dari bagi hasil sosial,
kognitif, dan kesehatan mental yang penting disepanjang masa kehidupan.
Konsekuensi yang muncul bergam, misalnya banyaknya anak-anak prasekolah
yang mmapu menunggu guna mendapatkan marsmallow memprediksikan skor
SAT yang lebih tinggi secara signifikan, ketika mereka berada di sekolah
menengah atas dan selanjutnya nilai akademinya tinggi.
Mischel dan rekan-rekanya menyimpulkan bahwa mereka yang mampu
menahan godaan demi tujuan jangka panjang dapat melakukanya karena
menerapkan dua strategi pengarahan kembali perhatian dan penyusunan kembali
kognitif.

M. KRITIK TERHADAP TEORI BELAJAR KOGNITIF SOSIAL


Dalam kriteria mengorganisasikan pengetahuan, teori belajar kognitif sosial
memliki nilai diatas rata-rata. Setidaknya secara teoritis, rumusan prediksi umum rotter
dan komponen-komponenya-potensi kebutuhan, kebebasan bergerak, dan nilai
kebutuhan, dapat memberikan kerangka berfikir untuk memhami perilaku manusia.
Apakah teori belajar kognitif sosial bermnfaat dalam mengarahkan tindakan?
Pada kriteria ini, kami menilai cukup tinggi. Gagasan rotter atas psikoterapis cukup
eksplisit dan merupakan panduan yang cukup bagi terapis, tetapi teori kepribadianya
tidak sepraktis itu
Terakhir, apakah teori belajar kognitif sosial memiliki sifat sederhana? Secara
umum, teori ini relative sederhana dan tidak berusaha untuk memberikan penjelasan
tentang semua kepribadian manusia.

N. KONSEP KEMANUSIAAN

Rotter dan Mischel sama-sama melihat manusia sebagai mahluk hidup kognitif
yang presepsinya terhadap kejdian lebih penting daripada kejadian itu sendiri. Manusia
mampu menginterpretasikan kejadian dalam berbagai macam cara, dan persepsi kognitif
ini pada umunya lebih berpengaruh daripada lingkungan dalam menetukan nilai dari
penguatan.
Dalam pembahasan apakah kepribadian dibentuk oleh pengaruh sosial atau
biologis teori belajar kognitif sosial menekankan pada faktor sosial. Rotter, terutama
menekanan pada pentingnya belajar didalam lingkungan sosial. Mischel juga
menekankan pengaruh sosial, juga tidak melewatkan pentingnya faktor genetic.
MAKALAH BEHAVIORISTIK : ROTTER DAN MISCHEL

(TEORI BELAJAR SOSIAL KOGNITIF)

MATA KULIAH TEORI DAN DINAMIKA KEPRIBADIAN

Disusun Oleh:

Kurnia Safitri Ramadhan (201810230311375)

Vicko Rachmadani Yandi H. (201810230311385)

Shaneen Arshanov (201810230311388)

KELOMPOK 10 KELAS G 2018

Dosen Pengampu :

Djudiyah, Dra, M.Si, Dr

Ahmad Sulaiman, S.Psi, M.Ed., CPEP

Fakultas Psikologi

Universitas Muhammadiyah Malang

2019
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Teori belajar kognitif sosial Julian Rotter dan Walter Mischel berlandaskan asumsi
bahwa faktor kognitif membantu membentuk bagaimana manusia akan bereaksi terhadap
dorongan dari lingkungannya. Rotter berpendapat, bahwa perilaku manusia paling dapat
diasosiasikan melalui pemaham dan interaksi antara manusia dengan lingkungan yang
berarti untuk mereka. Mischel meyakini bahwa faktor kognitif seperti ekspektasi,
persepsi subjektif, nilai, tujuan dan standar personal mempunyai peranan yang penting
dalam pembentukan kepribadian.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana gambaran umum mengenai teori belajar kognitif sosial?
2. Bagaimana biografi dari Julian Rotter?
3. Bagaimana pengantar teori belajar sosial Rotter?
4. Bagaimana cara memprediksi perilaku spesifik?
5. Bagaimana cara memprediksi perilaku umum?
6. Apa itu perilaku maladaptif?
7. Apa itu psikoterapi?
8. Bagaimana pengantar teori kepribadian Mischel?
9. Bagaimana biografi Walter Mischel?
10. Bagaimana latar belakang sistem kepribadian kognitif-afektif?
11. Bagaimana sistem kepribadian kognitif-afektif?
12. Bagaimana penelitian yang terkait?
13. Apa kritik terhadap teori belajar kognitif-sosial?
14. Bagaimana konsep kemanusiaannya?
III. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai teori belajar kognitif sosial
2. Untuk mengetahui biografi Julian Rotter
3. Untuk mengetahui pengantar teori belajar sosial Rotter
4. Untuk mengetahui cara memprediksi perilaku spesifik
5. Untuk mengetahui cara memprediksi perilaku umum
6. Untuk mengetahui perilaku maladaptif
7. Untuk mengetahui apa itu psikoterapi
8. Untuk mengetahui pengantar teori kepribadian Mischel
9. Untuk mengetahui biografi Walter Mischel
10. Untuk mengetahui latar belakang sistem kepribadian kognitif-afektif
11. Untuk mengetahui sistem kepribadian kognitig-afektif
12. Untuk mengetahui penelitian yang terkait
13. Utnuk mengetahui apa saja kritik terhadap teori belajar kognitif-sosial
14. Untuk mengetahui konsep kemanusiaannya.

Anda mungkin juga menyukai