Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PSIKOLOGI TEORI & DINAMIKA KEPRIBADIAN

TEORI PSIKODINAMIKA : SULLIVAN (INTERPERSONAL)

OLEH KELOMPOK 6 :

1. NINDRI MULIANI (201810230311352)


2. RAHMAT AZHARI BAKRI (201810230311373)
3. SALSABILA QATRUNNADA (201810230311402)
4. SILVI RAHAJENG P. (201810230311404)

DOSEN PENGAMPU :
1. DJUDIAH, Dra, M. Si, Dr
2. AHMAD SULAIMAN, S. Psi. M. Ed., CPEP

ASISTEN :
KANYA PRADISHA ANINDITA

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Kecemasan dialami oleh setiap individu dalam setiap fase perkembangan.
Umumnya, dalam perkembangan menuju kedewasaan seorang anak akan melalui
beberapa fase tertentu. Dalam setiap fase perkembangan terjadi kecemasan yang lebih
bersifat spesifik untuk fase tersebut. Menurut Sullivan, tahap perkembangan yang
paling menentukan sesungguhnya pada masa praremaja bukan pada masa kanak –
kanak awal. Sullivan percaya bahwa manusia dapat mencapai perkembangan yang
sehat saat mereka mampu merasakan keintiman dan gairah terhadap orang lain yang
sama. Walaupun hubungan Sullivan dengan orang lain jarang memuaskan. Sebagai
seorang anak, ia sendirian dan terasingkan secara fisik. Sebagai remaja, ia mengalami
setidaknya satu periode skizofrenia, dan sebagai orang dewasa ia mengalami hubungan
interpersonal superfisial dan ambivian. Meskipun dengan atau mungkin karena
kesulitan – kesulitan interpersonal ini, Sullivan banyak berkontribusi terhadap
pemahaman kepribadian manusia.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana struktur kepribadian menurut Harry Stack Sullivan?
2. Bagaimana dinamika kepribadian menurut Harry Stack Sullivan?
3. Bagaimana perkembangan kepribadian menurut Harry Stack Sullivan?
4. Bagaimana gangguan psikologis dan psikoterapi menurut Harry Stack Sullivan?

III. TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui struktur kepribadian yang dikembangkan oleh Harry Stack
Sullivan
2. Untuk memahami dinamika kepribadian yang dikembangkan oleh Harry Stack
Sullivan
3. Untuk memahami perkembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Harry
Stack Sullivan
4. Untuk mengetahui gangguan psikologis dan psikoterapi menurut Harry Stack
Sullivan
PEMBAHASAN

A. STRUKTUR KEPRIBADIAN
Menurut Sullivan dalam teorinya ada beberapa aspek kepribadian yang nyatanya
stabil dalam waktu yang lama, antara lain : dinamisme, personifikasi, sistem self, dan
proses kognitif
1. DINAMISME (THE DYNAMISM)
Dinamisme adalah pola khas tingkah laku (transformasi energi baik itu secara
terbuka maupun tersembunyi) yang menjadi ciri khas seseorang karena terjadi
berulang dan menetap, sehingga kurang lebih sama dengan kebiasaan. Dinamisme
yang melayani kebutuhan kepuasan organisme melibatkan bagian tubuh, reseptor,
efektor, dan sistem saraf. Misalnya seperti ketika makan melibatkan mulut dan otot
leher. Sedangkan dinamisme yang tidak berhubungan dengan bagian tubuh, tetapi
menjadi ciri khas antar pribadi. Suatu kebiasaan bagaimana mereaksikan orang lain
baik dalam perasaa, sikap, maupun tingkah laku terbuka. Contohnya seperti
dinamisme nafsu, dinamisme ketakutan, dinamisme dengki, dinamisme sistem diri
(dalam Fiest & Fiest, 2014).
a. Kedengkian
Menurut Sullivan, kedengkian adalah dinamisme disjungtif akan
kejahatan dan kebencian yang ditandai oleh perasaan hidup di antara musuh
– musuh. Kedengkian timbul sekitar dua atau tiga tahun. Ketika orang tua
berusaha mengendalikan tingkah laku anak dengan rasa sakit fisik dan
teguran, sebagian anak akan belajar untuk menahan ungkapan kebutuhan
akan kelembutan dan untuk melindungi diri mereka sendiri dengan
mengadopsi sikap benci. Tindakan dengki dapat berupa sifat penakut,
kenakalan, kekejaman, dan tingkah laku asosial dan antisosial lainnya (dalam
Fiest & Fiest, 2014).
b. Keintiman
Keintiman tumbuh dari kebutuhan sebelumnya akan kelembutan,
namun lebih spesifik dan melibatkan hubungan interpersonal antara dua
orang dengan status kurang lebih setara. Keintiman adalah dinamisme
dengan sifat integrasi yang cenderung untuk menarik reaksi penuh cinta dari
orang lain, oleh karena itu keintiman membantu mengurangi kecemasan dan
kesendirian (dalam Fiest & Fiest, 2014).
c. Berahi
Berahi adalah kecenderungan mengasingkan, tidak membutuhkan
siapapun untuk memenuhinya. Berahi menampilkan dirinya sebagi tingkah
laku otoerotis (autoerotic) bahkan ketika seseorang menjadi objek birahi
orang lain. Berahi khususnya merupakan dinamisme yang sangat kuat selama
masa remaja, di mana pada masa itu berahi biasanya menyebabkan rasa
percaya diri seseorang berkurang. Usaha dalam aktivitas berahi biasanya
ditolak oleh orang lain sehingga meningkatkan kecemasan dan mengurangi
rasa percaya diri. Sebagai tambahan, berahi sering menganggu hubungan
intim khususnya di masa remaja karena mudah sekali disalahartikian sebagai
ketertarikan seksual (dalam Fiest & Fiest, 2014).
d. Sistem Diri (Self System)
Sistem diri merupakan bagian dinamisme yang paling kompleks.
Suatu pola tingkah laku yang konsisten yang mempertahankan keamanan
interpersonal dengan menghindari atau mengurangi kecemasan. Sistem ini
mulai berkembang mulai dari usia 12 – 18 bulan ketika anak mulai belajar
tingkah laku mana yang berhubungan dengan peningkatan atau penurunan
kecemasan (dalam Alwisol, 2014).
Ketika self system berkembang, orang mulai membentuk gambaran
diri atau personifikasi yang konsisten. Setiap pengalaman interpersonal yang
dianggapnya bertentangan dengan sistem dirinya, maka itu berarti
mengancam keamanan dirinya. Dampaknya, orang yang berusaha
mempertahankan diri melawan perbedaan interpersonal itu memakai oprasi
keamanan (security operations) ; suatu proses yang bertujuan untuk
memperkecil perasaan tidak aman atau perasaan akibat dari ancaman
terhadap sistem diri. Orang cenderung tidak mengakui atau mengubah
pengalaman interpersonal yang bertentangan dengan personifikasi dirinya.
Misalnya orang yang menganggap dirinya kompeten dalam bidang bahasa
inggris namun orang lain menganggap sebaliknya bahwa dia tidak kompeten.
Maka dia akan mengatakan orang tersebutlah yang bodoh atau sedang
bergurau. Ada beberapa macam operasi keamanan yang dipakai sejak usia
bayi, seperti disosiasi, inatensi, apati, dan pertahanan tidur (dalam Alwisol,
2014).
Dua operasi aman yang penting adalah keberceraian dan
ketidakacuhan selektif. Keberceraian (dissociation) atau perpisahan
mencakup semua dorongan, keinginan, dan kebutuhan yang tidak dibiarkan
masuk ke dalam kesadaran. Ketidakacuhan selektif (inattention selective)
merupakan penolakan untuk melihat apa yang tidak ingin kita lihat atau
orang memilih mana pengalaman yang akan diperhatikan dan mana yang
tidak akan diperhatikan (dalam Fiest & Fiest, 2014).
2. PERSONIFIKASI (PERSONIFICATION)
Personifikasi adalah suatu gambaran mengenai diri atau orang lain yang
dibangun berdasarkan pengalaman yang menimbulkan kepuasan atau kecemasan.
Hubungan interpersonal yang memberi kepuasan cenderung akan membangkitkan
image positif dan sebaliknya yang memberi kecemasan membangkitkan image
negative (dalam Alwisol, 2014). Sullivan menggambarkan tiga personifikasi dasar
yang berkembang skala masa bayi – ibu yang buruk, ibu yang baik, saya dan teman
khayalan selama masa kanak – kanak (dalam Fiest & Fiest, 2014).
a. Ibu yang Buruk, Ibu yang Baik
Personifikasi ibu yang buruk, sebenarnya tumbuh dari pengalaman
bayi terhadap puting – buruk, yaitu puting yang tidak memuaskan kebutuhan
akan rasa lapar. Tidak penting puting tersebut adalah milik ibu atau botol
yang dipegang oleh ibu, ayah, perawat, atau orang lain. Karena personifikasi
ini bukan gambaran ibu yang nyata, namun hanya representasi samar dari
bayi akan keadaan disusui yang tidak selayaknya. Personifikasi ibu yang baik
akan diperoleh dan dibentuk bayi ketika kelembutan dan tingkah laku
kooperatif dari seseorang yang keibuan (dalam Fiest & Fiest, 2014).
b. Personifikasi Saya
Selama masa pertengahan bayi, seorang anak memperoleh tiga
personifikasi saya. Saya yang buruk, saya yang baik, dan bukan saya.
Personifikasi saya yang buruk tampil dari pengalaman – pengalaman
kecemasan akibat perlakuan ibu atau pengalaman dihukum. Personifikasi
saya yang baik dihasilkan dari pengalaman bayi dari perhargaan dan
persetujuan misalkan pengalaman dihadiahi dengan kepuasan makan atau
menerima ungkapan kelembutan dari ibu. Pengalaman ini mengurangi
kecemasan dan menumbuhkan personifikasi saya yang baik. Akan tetapi, jika
bayi mendapatkan kecemasan berat mendadak ini dapat menyebabkan bayi
membentuk personifikasi bukan saya. Personifikasi bukan saya yang samar-
samar juga ditemukan saat dewasa dan diungkapkan dalam mimpi, episode
skizofrenia, dan reaksi tercerai lainnya (dalam Fiest & Fiest, 2014).
c. Personifikasi Eidetik
Tidak semua hubungan interpersonal terjadi dengan orang nyata.
Sebagian adalah personifikasi eidetik, yaitu sifat tidak nyata atau teman
khayalan yang banyak diciptakan oleh anak dengan tujuan melindungi rasa
percaya diri mereka. Sullivan percaya bahwa teman khayalan sama
pentingnya dengan perkembangan anak sebagaimana teman nyata (dalam
Fiest & Fiest, 2014).
Personifikasi eidetik dapat menciptakan konflik dalam hubungan
interpersonal ketika manusia memproyeksikan sifat khayalan yang
merupakan sisa dari hubungan terdahulu. Personifikasi ini juga mengganggu
komunikasi dan mencegah manusia untuk berfungsi pada tingkat kognisi
yang sama (dalam Fiest & Fiest, 2014).
3. TINGKAT KOGNISI
Menurut Sullivan proses atau pengalaman kognisi seseorang dapat
dikelompokan menjadi tiga macam : prototaksis, parataksis, dan sintaksis yang
mengacu pada cara merasa, membayangkan, dan memahami. Yang berarti masa
depan bergantung pada ingatan pada masa lalu dan kesan pada masa sekarang
(dalam Fiest & Fiest, 2014).
 Prototaksis
Merupakan pengalaman paling awal dimana arus kesadaran
(pengindraan, bayangan, dan perasaan) mengalir kedalam jiwa tanpa
pengertian “Sebelum” dan “Sesudah”. Pengalaman ini tidak dapat
dikomunikasikan dengan orang lain oleh karena itu mereka sulit untuk
digambarkan atau dijabarkan. Contoh : mengisap atau menangis Si bayi tidak
tahu alasan dari tindakan tersebut dan tidak melihat hubungan antara
tindakan tersebut dan terpuaskannya rasa lapar jadi dapat disimpulkan bahwa
tindakan prototaksis adalah tindakan tanpa sadar (dalam Fiest & Fiest, 2014).
Pada orang dewasa pengalaman prototaksis berbentuk sensasi-sensasi
sementara, bayangan, perasaan, suasana hati, dan kesan. Pegalaman
prototaksis pada orang dewasa ini tetap menjadi bagian dari kehidupan
mental dan menjadikannya sebagai pengalaman (dalam Fiest & Fiest, 2014).
 Parataksis
Pengalaman ini merupakan pegalaman pralogis yang timbul biasanya
karena orang berasumsi bahwa dua kejadian atau peristiwa yang terjadi
bersamaan dan mempunyai detail memiliki hubungan sebab-akibat. Oleh
karena itu pengalamn parataksis ini dapat dikomunikasikan dengan orang
lain dalam bentuk yang telah diubah. Contoh : anak yang dikondisikan untuk
mengatakan “tolong” untuk mendapat permen. Bila “permen” dan “tolong”
muncul bersamaan beberapa kali, anak tersebut akan mendapat kesimpulan
tidak logis bahwa permohonannya mendatangkan permen. Kesimpulan ini
adalah Distorsi Parataksis (Keyakinan tak logis) akan ada hubungan sebab-
akibat antar dua kejadian dalan waktu dekat atau bersamaan (dalam Fiest &
Fiest, 2014).
 Sintaksis
Merupakan pengalaman berfikir logis dan realistik. Sintaksis juga
menghasilkan hubungan logis antar pengalaman dan memungkinkan orang
berkomunikasi satu dengan lainnya khususnya dalam bahasa kata dan
bilangan. Normalnya, sintaksis mulai mendominasi sejak usia 4-10 tahun
(dalam Alwisol, 2014).

B. DINAMIKA KEPRIBADIAN
Sullivan memandang kehidupan manusia sebagai system energi, dimana
perhatian utamanya adalah bagaimana menghilangkan tegangan yang ditimbulkan oleh
keinginan dan kecemasan. Energi dapat berbentuk ketegangan (tension) atau dalam
bentuk tingkah laku itu sendiri (energy transformation) (dalam Alwisol, 2014).
1. KETEGANGAN
Ketegangan adalah potensi tindakan yang mungkin atau tidak mungkin
dialami dalam kesadaran. Oleh karena itu tidak semua itu ketegangan dirasakan
secara sadar. Banyak ketegangan, seperti rasa cemas, firasat, kebosanan, rasa lapar,
dan hasrat seksual dirasakan, namun tidak selalu pada tingkat kesadaran. Faktanya,
kemungkinan semua ketegangan yang dirasakan merupakan distorsi setidaknya
dari sebagian kenyataan. Sullivan menyebutkan dua jenis ketegangan yaitu
kebutuhan dan kecemasan. Kebutuhan biasanya menghasilkan tindakan produktif,
sedangkan kecemasan menghasilkan tingkah laku nonproduktif dan bersifat
disintegrasi (dalam Fiest & Fiest, 2014).
a. Kebutuhan
Kebutuhan adalah ketegangan yang dibawa oleh ketidakseimbangan
biologis antara seseorang dengan lingkungan fisiokimiawi, baik di dalam
maupun luar organisme. Kebutuhan interpersonal yang paling mendasar
adalah kelembutan (tenderness). Berbeda dengan kebutuhan lainnya,
kelembutan membutuhkan tindakan paling tidak dari dua orang (dalam
Fiest & Fiest, 2014).
Kelembutan adalah kebutuhan umum karena berkaitan dengan
kesejahteraan seseorang secara menyeluruh. Kebutuhan-kebutuhan umum,
termasuk oksigen, dan air berlawaana dengan kebutuhan zona khusus
(zonal needs) yang timbul dari area tertentu pada tubuh. Beberapa area
tubuh berfungsi dalam memenuhi kebutuhan umum maupun zona khusus.
Contohnya, mulut memuaskan kebutuhan umum dengan memasukkan
makanan dan oksigen, namun juga memenuhi kebutuhan zona khusus untuk
kegiatan oral (dalam Fiest & Fiest, 2014).
Dalam kehidupan awal, berbagai zona tubuh mulai memainkan peran
signifikan dan kekal dalam hubungan interpersonal. Sementara memenuhi
kebutuhan umum akan makanan, air, dan seterusnya, seorang mengeluarkan
energi lebih dari seharusnya, energi yang melampaui batas tersebut diubah
bentuk menjadi ragam karakteristik konsisten, yang sullivan sebut
dinamisme (dalam Fiest & Fiest, 2014).
b. Kecemasan
Kecemasan merupakan tipe kedua dari ketegangan, akan tetapi
kecemasan itu berbeda dengan ketegangan dikarenakan kecemasan lebih
bersifat memisahkan dan untuk menghilangkanya dibutuhkan tindakan
yang konsisten dan jelas, dengan kata lain jikalau tegangan menghasilkan
tingkahlaku untuk dapat mengatasinya dan supaya mendapat perasaan yang
lega dan nyaman, kecemasan menurut Sullivan dalam Alwisol (154, 2009)
justru menghasilkan tingkahlaku yang menjelaskan bahwa kecemasan dapat
menghasilkan perilaku (dalam Fiest & Fiest, 2014):
1) Mencegah manusia belajar dari kesalahan.
2) Mengejar harapan harapan tidak pasti dan mengejar rasa nyaman.
3) Membuat manusia tidak belajar dari kesalahan.
Dari hal-hal tersebut dapat ditarik benang merah antara kecemasan
adalah perilaku yang menyimpang dari norma yang seharusnya. Sebagai
contoh kecemasan saat menghadapi ujian nasional adalah suatu keadaan
emosional yang menganggap ujian nasional sebagai momok
membahayakan yang membuat siswa gagal menyeleaikan atau tidak lulus
(dalam Yunita, 2013). Menurut Sullivan (1953) kecemasan di transfer dari
orang tua ke anak melalui proses empati (dalam Fiest & Fiest, 2014).
Kecemasan adalah pengganggu utama yang menghambat
perkembangan hubungan interpersonal yang sehat. (Sullivan (1953b)
menyamakan kecemasan sebagai pukulan keras pada kepala. Oleh karena
itu kecemasan dapat membuat manusia tidak mampu belajar, merusak
ingatan dan menyempitkan sudut pandang dan dapat menyebabkan amnesia
total. Oleh karena itu sullivan berkata “keberadaan kecemasan jauh lebih
buruk daripada ketidakberadaannya” yang berarti berarti kecemasan
cenderung tidak ingin di kehendaki dan di inginkan (dalam Fiest & Fiest,
2014).
Sullivan sangat membedakan kecemasan dan rasa takut, pertama
kecemasan biasanya bersumber dari situasi interpersonal yang komplek dan
hanya tampak samar dalam kesadarannya (rasa takut). Kedua, kecemasan
tidak memiliki nilai positif dan berubah bentuk menjadi ketegangan (rasa
marah atau takut). Ketiga, kecemasan menghambat terpuaskannya
kebutuhan tapi terkadang rasa takut dapat membantu memenuhi kebutuhan
tertentu. Oleh karena hal ini sullivan mengatakan definisi “kecemasan
sebagai ketegangan yang bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhan
dan bertentangan dengan tindakan yang membuat mereka merasa nyaman”
(dalam Fiest & Fiest, 2014).
2. TRANSFORMASI ENERGI
Transformasi energi sering disebut sebagai ketegangan yang diubah bentuk
menjadi tindakan baik tersembunyi maupun terbuka yang mengacu pada tingkah
laku kita yang bertujuan memuaskan kebutuhan dan mengurangi kecemasan yang
meruka sumber utama tegangan, akan tetapi tidak semua transformasi energi
terlihat jelas sebagai tindakan terbuka tetapi juga sebagian berbentuk emosi,
pikiran atau tingkah laku tersembunyi yang dapat disembunyikan dari orang lain.
Tingkah laku dalam transformasi energi meliputi gerakan yang tidak terduga atau
kasat mata dan kegiatan mental seperti perasaan dan fikiran, pesepsi, dan ingatan.
Oleh karena itu Sullivan mengatakan bahwa untuk dapat mengurangi tegangan itu
dapat dipelajari dan ditentukan oleh masyarakat atau lingkungan di tempat
seseorang itu tinggal dan dibesarkan, dan apa yang ditemukan pada masa lalu dapat
diredakan oleh pola transformasi energi. Mungkin insting dapat berpengaruh atau
sebagai pemicu kebutuhan tegangan tapi transformasi energi tidak dipengaruhi oleh
insting dan lebih sebagai hasil belajar (dalam Fiest & Fiest, 2014).

C. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Sullivan membagi usia manusia menjadi tujuh tahap perkembangan, masing –
masing mempunyai peran penting dalam membentuk kepribadian. Di setiap tahap
perkembangan orang menghadapi masalah hubungan interpersonal yang berbeda – beda,
sehingga bentuk bahaya yang berasal dari hubungan interpersonal itu juga berbeda –
beda (dalam Alwisol, 2014).
Perubahan kepribadian dapat terjadi kapan pun, namun cenderung terjadi selama
masa transisi dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Sebenarnya, periode permulaan ini
lebih penting dari tahapan itu sendiri. Pengalaman tidak diacuhkan oleh lingkungan dapat
memasuki sistem diri selama masa transisi. Dalam teorinya Sullivan mengatakan bahwa
“Sebagaimana satu pengalaman melalui salah satu ambang tahap perkembangan yang
kurang lebih dapat dipastikan ini, semua yang telah hilang sebelumnya secara masuk
akal menjadi terbuka bagi pengaruh”. Tujuh masa atau tahapan perkembangan yang
dikemukakan Sullivan adalah masa bayi, kanak – kanak, juvenil, praremaja, remaja awal,
remaja akhir, dan dewasa (dalam Fiest & Fiest, 2014).
1. BAYI (INFANCY) : 0 – 18 BULAN
Masa bayi dimulai saat lahir dan berlanjut hingga anak mengembangkan
kemampuan bicara yang fasih atau sintaksis. Sullivan percaya bahwa bayi
menjadi manusia berkat kelembutan kasih sayang yang diterima dari seseorang
yang keibuan. Bayi tidak mungkin bertahan hidup tanpa seseorang yang keibuan
yang memberinya makanan, kehangatan, kontak fisik, dan membersihkan
kotorannya (dalam Fiest & Fiest, 2014)
Hubungan empati antara ibu dan anak menyebabkan perkembangan
kecemasan dalam diri bayi. Kecemasan ibu mungkin timbul dari salah satu
pengalamannya yang beragam, namun kecemasan pertama bayi selalu
dihubungkan dengan situasi perawatan dan zona oral. Tidak seperti pada ibu,
tingkah laku yang dapat dilakukan bayi tidak mampu mengatasi kecemasan. Jadi
kapanpun bayi merasa cemas, mereka akan mencoba cara apapun untuk
mengurangi kecemasan atau pun memuaskan kebutuhan makanannya. Usaha ini
biasanya mencakup menolak puting susu ibu (atau puting botol), namun tidak
dapat mengurangi kecemasan. Pada akhirnya, bayi akan membedakan antara
puting yang baik, bukan puting dan puting yang buruk (dalam Fiest & Fiest,
2014).
a. Puting Bagus (Good nipple) : Puting yang lembut penuh kasih sayang dan
menjanjikan kepuasan fisik (bisa jadi. Good nipple tidak memuaskan
karena diberikan saat bayi tidak merasa lapar).
b. Bukan Puting (Not - nipple) : Dianggap puting yang salah karena tidak
mengeluarkan air susu, bahkan merupakan tanda penolakan dan isyarat
mencari puting yang lain.
c. Puting Buruk (Bad nipple) : Puting dari ibu yang cemas, tidak memberi
kasih sayang dan kepuasan fisik (dalam Alwisol, 2014).
Pengalaman makan itu akan membentuk personifikasi ibu, puting bagus
menjadi ibu baik (Good mother) dan bukan puting atau puting buruk menjadi ibu
buruk (Bad mother). Personifikasi ibu menjadi awal dari personifikasi diri
sendiri. Bayi mulai membentuk gambaran saya baik, bukan saya, dan saya buruk
(Good me – Not me – Bad me) yang menjadi dasar pemahaman diri. Pada sekitar
pertengahan masa bayi, bayi mulai belajar berkomunikasi melalui bahasa. Pada
awalnya, bahasa mereka tidak tervalidasi atau tidak dapat difahami. Masa bayi ini
ditandai dengan bahasa autistik. Komunikasi awal terjadi dalam bentuk
ungkapan wajah dan membunyikan berbagai fonem. Keduanya dipelajari dengan
menirukan, hingga akhirnya muncul gerakan isyarat dan suara ucapan yang
memiliki makna sama, baik bagi bayi maupun orang lain. Komunikasi ini
menandai awal bahasa sintaksis dan akhir dari masa bayi (dalam Alwisol, 2014).
2. TAHAP KANAK – KANAK (CHILDHOOD) : 1,5 – 4 TAHUN
Tahap kanak – kanak dimulai dengan perkembangan bicara dan belajar
berfikir sintaksis, serta perluasan kebutuhan untuk bergaul dengan teman atau
kelompok sebaya (dalam Alwisol, 2014). Selama tahap ini, sang ibu tetap
menjadi orang lain yang paling signifikan, namun perannya berbeda dengan
ketika masa bayi. Personifikasi ganda akan ibu sekarang melebur menjadi satu
dengan persepsi anak akan ibu yang menjadi lebih kongruen dengan ibu “nyata”.
Walaupun demikian, personifikasi ibu yang baik dan buruk biasanya ditahan di
tingkat parataksis. Selain memadukan kedua personifikasi ibu, anak membedakan
berbagai orang yang sebelumnya membentuk konsep seorang keibuan,
memisahkan ibu dan ayah dan melihat bahwa mereka memiliki peran yang
berbeda (dalam Fiest & Fiest, 2014).
Anak mulai belajar menyembunyikan aspek tingkah laku yang diyakininya
dapat menimbulkan kecemasan atau hukuman. Misalnya, mereka belajar
melakukan rasionalisasi (memberi alasan palsu) mengenai segala hal yang sudah
mereka kerjakan atau sedang mereka rencanakan. Mereka memiliki tampilan
seolah – olah (As if perfomance), yakni :
a. Dramatisasi (Dramatization) : Permainan peran seolah – olah dewasa,
belajar mengidentifikasikan diri dengan orang tuanya, bagaimana
bertingkahlaku yang dapat diterima. Misalnya, anak berperan sebagai
orang tuanya dan menghukum boneka yang bertingkahlaku yang tidak ia
inginkan.
b. Bergaya Sibuk (Preoccupation) : Anak belajar konsentrasi pada satu
kegiatan yang membuat mereka bisa menghindari sesuatu yang menekan
dirinya. Misalnya, anak mencoba menghindar dari kecemasan mendapat
komentar secara pedas dari orang tuanya dengan menyibukkan diri dengan
koleksi musiknya.
c. Transformasi Jahat (Malevolent Transformation) : Perasaan bahwa dirinya
hidup ditengah – tengah musuh, sehingga hidupnya penuh rasa kecurigaan
dan ketidak percayaan bahkan sampai tingkah laku yang paranoid. Ini
terjadi karena dramatisasi dan preoccupational (yang kalau dipakai
sekedarnya dapat membantu anak tumbuh dan berkembang) dipakai
secara berlebihan ketika anak dihadapkan pada kecemasan yang sangat,
untuk mempertahankan diri dari bahaya yeng terlibat dengan orang lain.
d. Sublimasi Taksadar (Unwitting Sublimation) : Mengganti sesuatu atau
aktivitas (Taksadar atau unwitting) yang dapat menimbulkan kecemasan
dengan aktivitas yang dapat diterima secara sosial (dalam Alwisol, 2014).
Masa anak juga ditandai dengan akulturasi yang cepat. Disamping
menguasai bahasa, anak belajar pola kultural dalam kebersihan, latihan
menggunakan toilet, kebiasaan makan, dan harapan peran seksual (dalam
Alwisol, 2014).
Masa kanak – kanak ditandai dengan emosi yang timbal balik, anak bisa
menerima ataupun memberi kasih sayang. Hubungannya dengan ibu menjadi
lebih pribadi, dan tidak lagi satu sisi. Ibu tidak lagi dinilai sebagai ibu baik
ataupun buruk berdasarkan pemberian makan, tetapi anak mengevaluasi apakah
ibu menunjukkan perasaan kasih sayang timbal balik (mengembangkan hubungan
didasarkan pada kebutuhan kepuasan bersama) atau ibu menunjukkan sikap
menolak (dalam Alwisol, 2014).
Anak – anak usia prasekolah sering memiliki hubungan signifikan lainnya
(Teman khayalan). Teman khayalan ini memungkinkan anak untuk memiliki
hubungan yang aman dan kokoh yang hanya menghasilkan sedikit kecemasan.
Orang tua kadang mengamati anaknya berbicara dengan teman khayalan mereka,
menyebut namanya, dan bahkan mungkin memaksa untuk adanya tempat
tambahan di meja makan, menyediakan ruang di mobil, atau di tempat tidur untuk
teman mereka. Sullivan mengatakan bahwa memiliki teman khayalan bukanlah
tanda ketidakstabilan atau patologi, namun kejadian positif yang membantu anak
agar siap menghadapi keintiman dengan teman nyata selama tahapan praremaja.
Teman khayalan ini menawarkan kesempatan bagi anak untuk berinteraksi
dengan orang lain yang aman dan tidak akan meningkatkan kecemasan mereka .
hubungan yang nyaman dan tidak mengancam dengan teman khayalan ini
memungkinkan anak jadi lebih mandiri dari orang tua maupun dalam berteman
(dalam Fiest & Fiest, 2014).
Sikap kedengkian akan mencapai puncak selama prasekolah, dan hal ini
memberikan anak – anak perasaan kuat akan hidup di trmpat musuh atau lawan.
Di saat yang bersamaan, anak – anak belajar bahwa masyarakat telah
menempatkan batasan – batasan tertentu dalam kebebasan mereka. Dengan
batasan – batasan dan dari pengalaman yang disetujui dan tidak disetujui, anak –
anak mengembangkan dinamisme diri yang membantu mereka mengatasi
kecemasan dan menstabilkan kepribadian mereka (dalam Fiest & Fiest, 2014).
3. JUVENILE : 4 – 10 TAHUN
Tahap juvenile berlangsung saat anak bersekolah di sekolah dasar.
Perkembangan penting dalam tahap ini supaya anak dapat meloncat ke sosial
yang ada di depannya, anak belajar kompetisi, kompromi, kerjasama, dan
memahami makna perasaan kelompok (dalam Alwisol, 2014).
Selama masa juvenile, anak – anak berhubungan dengan anak lain yang
dianggap setara. Anak laki – laki dan perempuan bermain dengan satu sama lain
tanpa menganggap jenis kelamin teman bermainnya. Anak di usia ini mulai
membedakan diri diantara mereka sendiri dan orang dewasa (dalam Alwisol,
2014).
Mereka mendapat pengalaman dengan otoritas di luar rumah. Tahap ini
juga ditandai dengan munculnya konsepsi tentang orientasi hidup, yaitu suatu
rumusan atau wawasan tentang :
a. Kecenderungan atau kebutuhan untuk berintegrasi yang biasanya memberi
ciri pada hubungan antar pribadinya,
b. Keadaan – keadaan yang cocok untuk pemuasan kebutuhuan dan relatif
bebas dari kecemasan,
c. Tujuan - tujuan jangka panjang yang untuk mencapainya orang perlu
menangguhkan kesempatan – kesempatan menikmati kepuasan jangka
pendek (dalam Alwisol. 2014)
Perkembangan negatif yang penting pada tahap ini adalah belajar stereotip,
ostrasisme, dan disparajemen (stereotype, ostracism, and disparagement).
a. Stereotip atau prasangka adalah meniru atau memakai personifikasi
mengenai orang atau kelompok orang yang diturunkan antar generasi.
b. Ostrasisme atau pengasingan adalah pengalaman anak diisolasi secara
paksa, dikeluarkan/diasingkan dari kelompok sebaya karena perbedaan sifat
individual dengan kelompok.
c. Disparajemen atau penghinaan adalah meremehkan atau menjatuhkan orang
lain, yang nantinya akan berpengaruh merusak hubungan interpersonal pada
usia dewasa (dalam Alwisol, 2014).
Di akhir tahapan juvenile, seorang anak seharusnya sudah mengembangkan
orientasi terhadap hidup yang memudahkannya untuk secara konsisten mengatasi
kecemasan, memuaskan kebutuhan kelembutan dan zona khusus, serta merancang
tujuan berdasarkan ingatan dantinjauan masa depan. Menurut Sullivan, Orientasi
terhadap hidup ini menyiapkan seseorang untuk hubungan interpersonal lebih
dalam di masa yang akan datang (dalam Fiest & Fiest, 2014).
4. MASA PRAREMAJA (PREADOLESCENCE) : 8/10 – 12 TAHUN
Periode ini tergolong singkat namun sangat penting. Preadolesen ditandai
oleh awal kemampuan bergaul akrab dengan orang lain bercirikan persamaan
yang nyata dan saling memperhatikan. Mereka membutuhkan Chum; teman akrab
dari jenis kelamin yang sama, teman yang dapat menjadi tempat mencurahkan isi
hati, serta memecahkan masalah hidup. Kebahagiaan, rasa aman atau kebutuhan
untuk bebas dari kecemasan, tetap aktif selama remaja awal. Oleh karena itu,
keintiman, berahi, dan rasa aman sering berlawanan satu sama lain, menimbulkan
stress dan konflik pada remaja muda dalam setidaknya tiga cara (dalam Alwisol,
2014). .
Pengalaman selama praremaja penting untuk perkembangan kepribadian
masa depan. Apabila anak-anak tidak belajar mengenai keintiman pada masa ini,
maka mereka cenderung tetap kecil dalam pertumbuhan kepribadian nanti. Akan
tetapi, pengaruh negatif sebelumnya dapat diperlunak dengan efek positif
hubungan intim. Bahkan sikap dengki dapat dibuat berbalik dan masalah juvenil
lainnya, dapat dihilangkan dengan pencapaian keintiman. Kesalahan pada periode
sebelumnya dapat diperbaiki pada masa ini, namun masalah pada masa ini akan
sulit diatasi saat periode selanjutnya (dalam Fiest & Fiest, 2014).
5. MASA REMAJA AWAL (EARLY ADOLESCENCE) : 12 – 16 TAHUN
Perubahan fisik usia pubertas mengembangkan hasrat seksual pada
periode awal adolesen. Pada tahap ini pola aktivitas seksual yang memuaskan
seharusnya sudah dapat dimiliki. Banyak problem yang muncul pada periode ini
merefleksikan konflik antar tiga kebutuhan dasar : keamanan, keintiman, dan
kepuasan seksual (dalam Alwisol, 2014).
Oleh karena dinamisme birahi ini biologis, maka ia meluap saat pubertas
terlepas dari kesiapan interpersonal individu untuk dinamisme ini. Seperti lelaki
yang melihat wanita sebagai objek seksual tanpa minat apapun atau seorang
wanita menggoda lelaki secara seksual tanpa kemampuan untuk berhubungan
dengannya pada tingkat intim (dalam Fiest & Fiest, 2014).
Sullivan percaya bahwa remaja awal adalah titik balik dalam
perkembangan kepribadian. Seseorang dapat keluar dari tahapan ini atas perintah
keintiman dan dinamisme birahi. Walaupun penyesuaian seksual penting untuk
perkembangan kepribadian, Sullivan berpendapat bahwa pokok permasalahan
terletak pada pergaulan dengan orang lain (dalam Fiest & Fiest, 2014).
6. MASA REMAJA AKHIR (LATE ADOLESCENCE) : 16 – 20 TAHUN
Masa remaja akhir mulai ketika orang muda mampu merasakan keintiman
dan terhadap orang yang sama dan berakhir dengan masa dewasa ketika mereka
mencapai hubungan cinta yang abadi. Jika orang memasuki tahap ini dengan
inflasi sistem-self, mereka mungkin mengalami beberapa masalah dalam tahap ini
(dalam Fiest & Fiest, 2014).
Ciri khas dari remaja akhir adalah peleburan keintiman dan birahi. Usaha-
usaha yang sulit akan eksplorasi diri pada saat remaja awal berkembang, menjadi
pola tetap akan aktivitas seksual dimana orang yang dicintai menjadi objek dari
ketertarikan birahi. Lawan jenis bukan lagi objek seksual, namun sebagai sosok
yang dicintai tanpa pamrih. Berbeda dengan tahapan sebelumnya yang diiringi
perubahan biologis, remaja awal sepenuhnya ditentukan oleh hub. Interpersonal
(dalam Fiest & Fiest, 2014).
Remaja akhir yang sukses mencakup tumbuhnya gaya sintaksis. Mereka
belajar dari yang lain bagaimana hidup dalam dunia dewasa, namun perjalanan
yang sukses di tahapan-tahapn sebelumnta memfasilitasi penyesuaian ini. Apabila
masa perkembangan sebelumnya tidak sukses,maka mereka tiba di remaja akhir
tanpa interpersonal intim, pola tak konsisten akan aktiitas seksual, dan kebutuhan
besar untuk mempertahankan operasi rasa aman. Mereka sangat bergantung pada
gaya parasintaksis untuk menghindari kecemasan dan berjuang untuk pertahankan
rasa percaya diri melalui ketidakacuhan selektif, keberceraian dan gejala neurotik.
Memercayai bahwa cinta adalah kondisi universal bagi anak muda, mereka sering
tertekan untuk "jatuh cinta". Akan tetapi, hanya orang dewasa yang memiliki
kemampuan untuk mencintai (dalam Fiest & Fiest, 2014).
7. MASA DEWASA
Keberhasilan melewati masa remaja akhir, akan mencapai puncak di masa
dewasa, yaitu periode ketika manusia dapat mencapai hubungan cinta dengan
setidaknya satu orang yang signifikan. Sullivan percaya bahwa dewasa matang di
luar lingkup psikiatri interpersonal; orang yang sudah mencapai kemampuan
untuk mencintai tidak membutuhkan konsultasi psikiatris. Menurut Sullivan
dewasa matang adalah persepsi dari kecemasan, kebutuhan, dan rasa aman orang
lain. Ketiganya beroperasi lebih banyak pada tingkat sintaksis dan mendapati
bahwa hidup itu menarik dan menyengkan (dalam Fiest & Fiest, 2014).

D. GANGGUAN PSIKOLOGIS
Sullivan percaya bahwa gangguan psikologis itu berasal dari interpersonal dan
dapat dipahami hanya dengan mengacu pada lingkungan sosial pasien. Tidak ada yang
unik dari kesulitan psikologis; mereka semua berasal dari masalah interpersonal sejenis
yang dihadapi semua orang. Sebagian besar kerja awal terapeutik Sullivan dengan
pasien skizofrenia dan banyak kuliah dan tulisannya sesudah itu mengenai skizofrenia.
Petama, mencakup semua gejala yang berasal dari penyebab organik dan oleh karena itu
di luar studi psikiatri interpersonal. Kelas kedua, mencakup semua gangguan skizofrenia
yang didasari faktor-faktor situasional. Gangguan-gangguan ini menjadi pusat perhatian
Sullivan karena merupakan satu-satunya yang dapat diubah melalui psikiatri
interpersonal (dalam Fiest & Fiest, 2014).
PSIKOTERAPI
Teori Sullivan menunjuk kesulitan hubungan interpersonal sebagai penyebab
gangguan mental, sehingga prosedur terapinya berpusat kepada usaha untuk
memperbaiki hubungan interelasi pasien. Untuk memfasilitasi proses ini, terapis bekerja
sebagai pengamat partisipan, menjadi bagian dari hubungan interpersonal, bertatap muka
dengan pasien dan memberikan kesempatan pada pasien untuk mencapai komunikasi
santaksis dengan manusia. Ketika psikoterapinya diterapkan di St.Elizabeth Hospital,
prosentasi kliennya yang menjadi lebih baik sangat tinggi. Ini membuktikan bahwa
psikosis itu bukan semata-mata hanya karena kelainan fisik dan hubungan interpersonal
adalah intisari pertumbuhan psikologis (dalam Fiest & Fiest, 2014).
Terapi Sullivan bertujuan untuk mengungkap kesulitan pasien dalam
berhubungan dengan orang lain. Untuk mencapai tujuan ini, terapis membantu pasien
untuk menyerahkan rasa aman mereka berhadapan dengan orang lain dan menyadari
bahwa mereka bisa mencapai kesehatan mental hanya melalui hubungan pribadi
tervalidasi dalam mufakat. Ramuan terapeutik dalam proses ini adalah hubungan tatap
muka antara pasien dengan yang lain pada tingkat sintaksis (dalam Fiest & Fiest, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2014). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Feist Jess, F. G. (2014). Teori Kepribadian Edisi 7 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.

Yunita, E. (2013). Penerapan Spiritual Emosional Freedom Technique dalam Bimbingan Kelompok
untuk Menurunkan Kecemasan Siswa SMA dalam Menghadapi Ujian Nasional. Jurnal BK
Unesa Vol. 3 (1).

Anda mungkin juga menyukai