Anda di halaman 1dari 10

KOGNISI SOSIAL:

Bagaimana Kita Berpikir Mengenai Dunia Sosial Kita

DEFINISI KOGNISI SOSIAL


Kognisi social adalah bagaimana orang berpikir mengenai dirinya sendiri dan
dunia sosial, atau secara spesifik, bagaimana orang memilih, menginterpretasi,
mengingat, dan menggunakan informasi sosial untuk membuat penilaian dan
mengambil keputusan.
Kognisi sosial secara garis besar meliputi kognisi sosial yang otomatis (individu
kurang berpikir) dan kognisi sosial yang terkendali (individu berpikir sungguh-
sunguh).

A. KOGNISI SOSIAL OTOMATIS


Berbeda dengan saat menghadapi lingkungan sosial yang belum dikenal, saat
menghadapi situasi sosial yang sudah dikenal seseorang cenderung berpikir
secara otomatis. BERPIKIR OTOMATIS, berarti berpikir tanpa kesadaran, tanpa
diniatkan, tanpa disengaja, dan tanpa usaha. Berikut ini dijelaskan dua bentuk
berpikir otomatis, yaitu berpikir skematis (berpikir otomati dengan skema) dan
strategi mental jalan pintas.

1. Berpikir Otomatis dengan Skema


Berpikir otomatis membantu kita untuk memahami situasi yang kita hadapi
dengan cara menghubungkan situasi tersebut dengan pengalaman kita
sebelumnya. Secara formal, orang menggunakan SKEMA, yaitu struktur mental
yang mengorganisasikan pengetahuan kita mengenai dunia sosial. Struktur
mental ini memengaruhi bagaimana informasi kita catat, kita pikirkan, dan kita
ingat.

SKEMA: Struktur mental yang digunakan orang untuk mengorganisasikan


pengetahuannya mengenai subjek-subjek atau dunia sosial disekitarnya, dan
memengaruhi bagaimana informasi dicatat, dipikirkan, dan diingat.

Istilah skema ini sangat umum; meliputi pengetahuan kita mengenai berbagai
hal, yaitu: orang lain, diri sendiri, peran sosial (misalnya guru, teknisi, dsb), dan
kejadian-kejadian tertentu (misalnya, apa yang biasa terjadi bila orang berbelanja
di super market).
Dalam tiap-tiap kasus, skema kita berisi pengetahuan dasar dan kesan-kesan
yang kita gunakan untuk mengorganisasikan apa yang kita ketahui dan
menginterpretasi situasi yang baru.

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 1


a. Stereotipe mengenai ras dan senjata
Bila skema diterapkan untuk kelompok, gender, atau ras, seringkali hal ini
menunjuk pada STEREOTIP (dibahas pada bab 13). Stereotip dapat diterapkan
secara cepat dan otomatis bila kita menghadapi orang lain.
Sebagai contoh, telah dilakukan eksperimen untuk menguji apakah stereotip
terhadap orang-orang Amerika keturunan Afrika dapat mempengaruhi persepsi
apakah seseorang membawa senjata atau tidak. Dalam salah satu eksperimen
(Payne, 2001; Payne dkk, 2005), mahasiswa yang tidak berkulit hitam diminta
melihat pasangan-pasangan gambar yang disajikan dengan cepat pada layar
komputer. Pada tiap pasangan gambar, gambar pertama selalu berupa wajah
(orang kulit hitam atau kulit putih), gambar ke dua berupa alat ataupun pestol.
Partisipan (subjek) eksperimen diminta hanya memperhatikan gambar ke dua
dari tiap pasangan gambar, dan diminta memencet tombol tertentu jika tampil
alat atau memencet tombol yang lain jika tampil pestol. Mereka diminta
melakukan dengan cepat dan seteliti mungkin, hanya memiliki waktu setengah
detik untuk mengidentifikasi gambar dan menekan tombol.
Eksperimen ini dilakukan untuk mengetahui apakah ras (warna kulit) dari wajah
pada gambar pertama memengaruhi persepsi partisipan terhadap gambar kedua
(senjata atau alat). Hasilnya secara signifikan menunjukkan bahwa partisipan
lebih banyak melakukan kesalahan mempersepsi alat sebagai pestol bila
didahului dengan tampilan wajah kulit hitam dibanding bila didahului tampilan
wajah kulit putih.
Selain eksperimen di atas masih terdapat eksperimen-eksperimen lain yang
hasilnya serupa, menunjukkan adanya stereotip yang mengaitkan ras kulit hitam
di Amerika dengan perilaku kekerasan.
Selain skema mengenai kelompok orang (ras, gender, dsb), terdapat jenis-jenis
skema yang lain, antara lain: (a) Skema mengenai individu tertentu (misalnya,
apa yang disukai oleh si A); (b) Peran sosial (perilaku yang diharapkan sebagai
ibu, sahabat, dll); (c) Bagaimana orang bertindak dalam situasi tertentu
(misalnya di restoran, di tempat pesta, dsb).

b. Fungsi skema
Meskipun skema dapat negatif, bagaimanapun skema dapat sangat bermanfaat
membantu kita mengorganisasikan dan memahami dunia sekeliling kita, serta
mengisi kesenjangan pengetahuan.
Begitu penting kemampuan untuk menghubungkan pengalaman baru dengan
skema yang telah ada secara kontinyu (terus menerus). Pada penderita gangguan
neurologis Korsakov’s syndrome, mereka kehilangan kemampuan untuk
membangun memori baru dan harus menghadapi berbagai situasi seolah mereka
baru mengalami pertama kali. Ini sangat mengganggu, bahkan mengerikan,

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 2


membuat mereka harus berusaha keras untuk menemukan makna dari
pengalaman mereka.
Skema bermanfaat, khususnya untuk mengurangi kekaburan (ambiguity) bila kita
menghadapi informasi yang memiliki banyak kemungkinan interpretasi.
Misalnya, kita dapat yakin berhadapan dengan perampok bila di tengah
kegelapan ada orang asing mengatakan pada kita: ”Keluarkan dompetmu!”,
bukannya mengira orang tersebut mau mengagumi foto dalam dompet.
Namun demikian skema dapat berbahaya bila kita menerapkannya secara
otomatis seperti dalam eksperimen mengenai stereotip terhadap ras kulit hitam
di atas.

c. Skema sebagai panduan mengingat


Skema juga berfungsi untuk mengisi kekosongan informasi bila kita sedang
mencoba mengingat sesuatu. Rekonstruksi (penyusunan) memori cenderung
konsisten dengan skema.
Misalnya, partisipan dalam penelitian Linda Carli (1999) membaca kisah
berjudul Barbara dalam hubungannya dengan pria bernama Jack. Setelah
berkencan sementara waktu mereka mengisi akhir pekan di tempat bermain ski.
Pada salah satu kondisi eksperimen, cerita diakhiri Jack melamar Barbara, dan
pada kondisi lainnya cerita diakhiri Jack memerkosa Barbara. Dua minggu
kemudian partisipan eksperimen dihadapkan pada tes memori dengan membaca
fakta-fakta mengenai Jack dan Barbara, dan mereka diminta menilai apakah fakta
mengenai Jack dan Barbara itu ada dalam kisah yang pernah mereka baca dua
minggu sebelumnya.
Dalam kondisi eksperimen di mana Jack melamar Barbara, partisipan banyak
lupa akan detail kisah, namun cenderung berpikir bahwa fakta itu (misalnya
”Jack memberi sekotak bunga wawar untuk Barbara) ada dalam cerita. Demikian
pula dalam kondisi eksperimen di mana dikisahkan Jack memerkosa Barbara,
partisipan banyak lupa akan detail kisah, namun cenderung berpikir bahwa fakta
itu (misalnya ”Jack suka mabok”) ada dalam cerita.
Demikianlah, kenyataannya bahwa orang mengisi kekosongan di dalam memori
dengan detail-detail yang sesuai dengan skema, dapat berbahaya (menghasilkan
pemahaman yang salah) dan cenderung sulit berubah.

d. Jenis skema: accessibility & priming


Skema yang muncul di benak kita dan memandu kesan mengenai orang tertentu,
dapat dipengaruhi oleh accessibility, yaitu sejauhmana skema dan konsep-
konsep yang tersedia di baris depan (paling mudah diakses) cenderung kita
gunakan bila kita menilai suatu lingkungan sosial.

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 3


ACCESSIBILITY: sejauhmana skema dan konsep-konsep yang tersedia di
baris depan (paling mudah diakses) cenderung kita gunakan bila kita menilai
suatu lingkungan sosial.

Skema tertentu mudah sekali diakses karena 3 alasan:


(a) Karena merupakan hasil pengalaman masa lalu, sehingga skema ini tetap
aktif dan siap digunakan untuk menginterpretasi situasi yang ambigu.
(b) Berkaitan dengan tujuan kita saat ini. Misalnya, karena sedang belajar
psikologi sosial mengenai stereotip, kita cenderung menyadari stereotip yang
terjadi di lingkungan sosial kita.
(c) Skema dapat diakses sewaktu-waktu karena merupakan hasil pengalaman
yang baru saja dialami. Skema ini dapat diakses dengan adanya informasi
yang memicu. Misalnya, setelah mengalami dirampok, orang mengaktifkan
skema perampokan itu saat melihat orang yang memiliki ciri-ciri sama
dengan si perampok, sehingga ia waspada.
Situasi terakhir (poin c) ini merupakan contoh apa yang disebut PRIMING, yaitu
proses di mana pengalaman yang baru dialami meningkatkan kemudahan
mengakses (accessibility) suatu skema, ciri-ciri, atau konsep.
Eksperimen dari Higgins dkk (1977) berikut ini merupakan contoh dari priming:
- Partisipan diberitahu bahwa mereka akan ambil bagian dalam dua
eksperimen yang satu sama lain tidak berkaitan (meski sebenarnya
merupakan serangkaian penelitian yang berkaitan).
- Dalam eksperimen pertama, sebagian partisipan telah memiliki memori kata-
kata yang dapat digunakan untuk menginterpretasi Donald secara negatif,
dan sebagian lainnya telah mengingat kata-kata yang dapat digunakan untuk
menginterpretasi Donald secara positif.
- Dalam eksperimen kedua dari dua eksperimen tersebut partisipan diminta
membaca paragraf mengenai Donald yang dapat diinterpretasi positif
maupun negatif (netral), dan diminta menyatakan kesan atas Donald.
- Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan yang telah memiliki memori
kata-kata negatif menghasilkan kesan yang jauh lebih negatif mengenai
Donald daripada mereka yang memiliki memori kata-kata positif. Di sisi lain,
partisipan yang telah memiliki memori kata-kata positif menghasilkan kesan
yang jauh lebih positif mengenai Donald.
Priming merupakan contoh yang jelas mengenai pikiran otomatis, karena
terjadinya secara cepat, tidak diniatkan, dan tidak disadari. Ketika menilai orang
lain, orang-orang biasanya tidak sadar bahwa mereka menggunakan konsep atau
skema yang mereka hasilkan dari pengalaman sebelumnya.
Dalam kenyataan priming dapat terjadi dari kata-kata yang hanya sekilas, terlalu
cepat untuk dimengti secara sadar. Tentu saja hal ini berbahaya, terutama bila
menghasilkan kesan yang negatif.

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 4


e. Keajekan skema
Kadang-kadang kita mendengar isu mengenai seseorang yang kemudian
diketahui bahwa isu itu tidak benar. Namun bila isu itu sudah terlanjur
membentuk skema dalam benak kita, meskipun sudah ada informasi baru yang
benar, kita cenderung masih berpegang pada skema itu, sehingga
mempengaruhi persepsi kita mengenai orang ybs. Demikianlah, skema dapat
tetap hidup dengan sendirinya meskipun setelah skema terbentuk ada kejadian
yang mendiskredit (mengoreksi) skema itu.
Berkaitan dengan hal di atas, berkembang istilah yang disebut preseferance effect.
PRESEFERANCE EFFECT menunjuk pada penemuan bahwa keyakinan orang-
orang mengenai dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya cenderung bertahan,
bahkan setelah terdapat bukti yang mendeskredit keyakinan itu.
Contoh preseferance effect: Orang-orang diberitahu bahwa dirinya telah bekerja
dengan sangat baik (umpan balik keberhasilan) atau sebaliknya sangat buruk
(umpan balik kegagalan). Mereka kemudian diberitahu bahwa umpan balik itu
tidak benar, dan tidak berhubungan dengan kenyataan kinerja mereka.
Meskipun demikian, kesan bahwa mereka sangat baik atau sangat buruk
kinerjanya ternyata masih bertahan, meskipun telah diberitahu bahwa umpan
balik itu bohong.

f. Membuat skema kita menjadi kenyataan: The Self-Fulfilling Prophecy


Kita telah melihat bahwa skema relatif menetap; orang cenderung tidak
mengoreksi skema yang telah terbentuk meskipun terdapat kenyataan yang
mendeskredit skema tsb. Namun, bagaimanapun juga manusia bukan penerima
(recipients) informasi yang selalu pasif. Dalam kenyataan orang dapat dengan
tidak sengaja membuat skemanya menjadi kenyataan melalui cara mereka
memperlakukan orang lain. Hal ini

SELF-FULFILLING PROPHECY: keadaan di mana orang memiliki harapan


orang lain itu seperti apa, yang mempengaruhi bagaimana ia bertindak
terhadap orang itu, dan akhirnya menyebabkan orang lain itu berperilaku
sesuai dengan harapannya, membuat harapan itu menjadi kenyataan.

Sebagai contoh, kita berpikir bahwa tetangga baru kita adalah orang yang
sombong (harapan/ teori sosial mengenai seseorang). Selanjutnya saat berpapasan di
jalan kita berjalan melenggang, tidak menyapa (tindakan sesuai dengan harapan).
Melihat kita cuek, tetangga baru kita bertindak cuek juga (orang yang menjadi
target merespon tindakan kita dengan cara sama). Mengetahui respon tetangga yang
cuek seperti itu lalu kita berpikir bahwa apa yang kita duga/harapkan sejak awal

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 5


memang benar. Kita tidak melihat kenyataan bahwa kita berperan menentukan
respon orang itu.

g. Keterbatasan Self-Fulfilling Prophecies


Berbagai eksperimen mengenai self-fulfilling prophecy menggambarkan seolah-
olah kita semua dapat menjadi korban self-fulfilling prophecy dari orang-orang
yang kuat yang salah menilai. Namun, penelitian baru menunjukkan bahwa
meskipun self-fulfilling prophecy memang sering terjadi, ternyata dalam beberapa
kondisi sifat sejati seseorang yang menang dalam interaksi sosial. Misalnya
dalam suatu proses wawancara, self-fulfilling prophecy sangat mungkin terjadi bila
orang yang mewawancarai (interviewer) terganggu (misalnya sambil sibuk
menerima telpon) dan tidak mampu memperhatikan orang yang diwawancara
dengan cermat. Bila pewawancara memiliki motivasi yang tinggu untuk dapat
memperoleh kesan yang akurat mengenai orang yang diwawancara, ia akan
mampu untuk mengesampingkan harapannya sendiri mengenai orang yang
diwawancara, sehingga self-fulfilling prophecy tidak berkembang.

h. Budaya sebagai penentu skema


Sumber utama penentu skema kita adalah faktor budaya di mana kita
dibesarkan. Skema merupakan hal penting di mana budaya menjalankan
pengaruhnya, yaitu melalui penanaman budaya pada struktur mental, yang
sangat mempengaruhi cara kita memahami dan menginterpretasi dunia kita.
Pada Bab V (memahami diri sendiri) kita akan melihat bagaimana orang yang
berbeda budaya memiliki perbedaan skema yang sangat mendasar mengenai
dirinya sendiri dan dunia sosialnya, beserta berbagai konsekuensinya yang
menarik. Saat ini kita melihat bahwa skema yang diajarkan oleh budaya kita
sangat mempengaruhi apa yang kita perhatikan dan kita ingat mengenai dunia
sekeliling kita.
Misalnya, suatu saat kita dibuat heran bila kedatangan tamu orang asing (dari
luar negerii) di negeri kita sendiri. Hal yang menurut kita biasa-biasa saja,
misalnya keberadaan andong (kereta kuda), biasa kita abaikan kalau melihatnya,
ternyata orang asing itu mengaguminya.

2. Strategi Mental dan Jalan Pintas


Dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada keadaan di mana kita
menghadapai berbagai pilihan yang mengharuskan kita membuat penilaian dan
mengambil keputusan. Misalnya saat mau masuk perguruan tinggi, kita
menghadapi daftar ratusan universitas di Indonesia. Tentu saja kita tidak
membaca satu per satu informasi mengenai perguruan tinggi itu, melainkan
memilih beberapa di antaranya untuk dipertimbangkan berdasarkan kriteria

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 6


tertentu (misalnya kualitas, lokasi, biaya). Ini merupakan bentuk jalan pintas
dalam menentukan respon.
Demikianlah kita sering menggunakan strategi mental dan jalan pintas (shortcuts)
yang memudahkan pengambilan keputusan. Jalan pintas ini tidak selalu
menghasilkan keputusan terbaik, namun demikian bagaimanapun memang
efisien dari segi waktu.
Jalan pintas apa yang dilakukan oleh orang-orang? Pertama, menggunakan
skema untuk memahami situasi yang baru. Namun dalam mempertimbangkan
dan mengambil keputusan tertentu kita tidak selalu memiliki skema yang
diperlukan, dan dalam situasi lain mungkin begitu banyak skema yang dapat
diterapkan tanpa kejelasan mana yang tepat. Apa yang kita lakukan?
Dalam situasi demikian orang sering menggunakan jalan pintas yang disebut
judgmental heuristic. Kata heuristic berasal dari bahasa Yunani yang artinya
’menemukan’ (’discover’). Dalam kognisi sosial, HEURISTIC JUDGMENTAL
berarti jalan pintas yang digunakan orang untuk untuk mengambil keputusan
secara cepat dan efisien. Perlu diingat bahwa judgmental heuristic seperti halnya
semua jalan pintas mental dapat menghasilkan keputusan yang tidak akurat.
Terdapat dua jenis judgmental heuristic, yaitu availability heuristic dan
representativeness heuristic.

a. Availability heuristic (Yang mudah datang dalam pikiran)


AVAILABILITY HURISTIC adalah pertimbangan praktis mental di mana orang
mendasarkan penilaiannya pada sesuatu yang mudah muncul dalam pikiran.
Berikut ini contoh eksperimen yang menunjukkan availability heuristic pada dua
kelompok eksperimen.
- Kelompok pertama, orang-orang diminta memikirkan dirinya 6 kali
berperilaku asertif (ASERTIF: mengungkapkan pikiran dan perasan secara apa
adanya dengan rasa menghargai terhadap pihak lain maupun diri sendiri)
yang mudah dilakukan, dan disimpulkan bahwa mereka sangat asertif.
Orang-orang tersebut juga diminta memikirkan dirinya 12 kali berperilaku
asertif dan kenyataannya sulit membuat banyak contoh perilaku asertif yang
mereka lakukan, sehingga disimpulkan mereka tidak asertif. Setelah itu
mereka diminta menilai seberapa asertif dirinya, dan hasilnya mereka
cenderung merasa tidak asertif.
- Kelompok partisipan lain diminta berpikir 6 kali (mudah) dan 12 kali (sulit)
berperilaku tidak asertif, dan ketika diminta menilai seberapa asertif dirinya
hasilnya menunjukkan bahwa mereka cenderung merasa asertif.
- Kesimpulan: Orang-orang dalam dua kondisi eksperimen tersebut sama-sama
menilai dirinya berdasarkan sampel perilaku yang lebih banyak (12 kali). Ini

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 7


menunjukkan terjadinya availability heuristic dalam menilai dan mengambil
keputusan.

b. Representativeness heuristic ( A serupa dengan B)


REPRESENTATIVENESS HEURISTIK adalah jalan pintas mental di mana orang
mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan kesamaan sesuatu itu dengan hal lain
yang sejenis.
Sebagai contoh, saat menjadi mahasiswa baru kita melihat di kampus ada
seorang mahasiswa laki-laki berkulit cenderung gelap, berambut keriting, dan
mengenakan kemeja bermotif etnik dengan warna cerah. Apa yang kita pikirkan
mengenai dirinya? Karena ciri-ciri tersebut merupakan stereotipe orang Papua,
maka kita mungkin menganggap bahwa ia mahasiswa asal Papua.

3. Kekuatan Pikiran Tak Sadar


Hal terpenting dari definisi pikiran otomatis adalah bahwa terjadinya tidak
disadari. Kita mampu untuk berpikir tanpa menyadari bahwa kita sedang
berpikir. Bila hanya menyandarkan pada pikiran sadar yang lebih lambat, tentu
saja kita akan mengalami masalah karena kita sering perlu mengambil keputusan
secara cepat untuk merespon apa yang terjadi di sekitar kita, apa yang perlu
mendapat perhatian, dan yang mana yang menjadi tujuan kita.
Meskipun berpikir otomatis dapat menghasilkan penilaian dan pengambilan
keputusan yang tidak cermat, namun terdapat kenyataan bahwa dengan pikiran
tak sadar kita dapat melakukan tugas-tugas secara lebih baik daripada dengan
pikiran sadar.
Sebagai contoh, misalkan kita sedang mencari apartemen yang cocok untuk
disewa selama kita menempuh studi. Setelah melihat-lihat, kita memepersempit
pilihan dengan menetapkan empat lokasi untuk dipertimbangkan. Kita memiliki
banyak informasi untuk masing-masing dari empat apartemen itu, antara lain
mengenai lokasinya, harga, ukuran, akses internet, dsb. Masing-masing memiliki
aspek pro dan kontra, sehingga sulit untuk memilihnya. Karena keputusan
seperti ini sangat penting, kita mungkin menghabiskan banyak waktu untuk
memikirkannya, menganalisa tiap-tiap alternatif secara sadar untuk
menghasilkan pilihan terbaik.
Namun demikian, sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Dijksterhuis (2004)
menunjukkan adanya kekuatan pikiran tak sadar dalam situasi memilih
apartemen. Dalam eksperimen ini, setelah partisipan menerima banyak
informasi mengenai empat apartemen, mereka dibagi menjadi tiga kelompok
secara random (acak), dan tiap-tiap kelompok mendapat tugas memilih
apartemen dalam kondisi yang berbeda: tiba-tiba, sadar, tak sadar.

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 8


- Dalam kondisi memilih yang tiba-tiba, partisipan diminta segera memilih
apartemen yang menurut mereka terbaik.
- Dalam kondisi pikiran sadar, partisipan diminta berpikir secara cermat
mengenai apartemen itu dalam waktu tiga menit, dan kemudian memilih
mana yang terbaik.
- Dalam kondisi pikiran tak sadar, partisipan diminta berpikir selama tiga
menit mengenai apartemen-apartemen itu dengan diganggu sedemikian rupa
sehingga tidak dapat berpikir mengenai apartemen secara sadar. Dengan
kondisi ini diasumsikan bahwa mereka berpikir mengenai apartemen secara
tak sadar.
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa kelompok yang memilih apartemen
dalam kondisi pikiran tak sadar ternyata yang paling banyak memilih apartemen
terbaik. Mengapa demikian? Eksperimen berikutnya yang dilakukan oleh
Dijksterhuis (2004) maupun Dijksterhuis dan Nordgreen (2005) menunjukkan
bahwa ketika diganggu, orang-orang tetap melakukan tugasnya berpikir, secara
tidak sadar mengorganisir informasi dengan suatu cara yang lebih
memungkinkan mereka menghasilkan keputusan terbaik.
Meskipun hasil eksperimen di atas menunjukkan adanya kekuatan pikiran tak
sadar, namun perlu diingat bahwa penelitian mengenai pikiran tak sadar masih
sangat sedikit, dan kita tidak diharapkan dengan sengaja membuat gangguan
ketika harus mengambil keputusan yang penting.

B. KOGNISI SOSIAL TERKENDALI


Kognisi sosial terkendali atau CONTROLLED THINKING didefinisikan sebagai
pikiran yang disadari, diniatkan, dengan sengaja, dan penuh usaha. Jenis pikiran
yang penuh usaha ini tentu saja lebih memerlukan energi mental. Orang
memiliki kapasitas untuk berpikir secara sadar/terkendali ini hanya mengenai
satu hal dalam suatu waktu. Ketika seseorang sedang berpikir keras untuk
mengerjakan soal matematika, tidak dapat sekaligus berpikir hal penting lainnya.
Kapankah orang menghentikan pikiran otomatis dan mulai berpikir secara lebih
pelan-pelan? Hal tsb dijelaskan berikut ini, yaitu mengenai bernalar
counterfactual dan menekan pikiran.

1. Bernalar Counterfactual
Salh satu kondisi yang memungkinkan adalah terjadinya peristiwa negatif,
misalnya saat memperoleh nilai ujian sangat buruk. Dalam kondisi ini kita
melakukan hal yang disebut countrafactual thinking/ reasoning.
CONTRAFACTUAL THINKING adalah mengubah secara mental beberapa
aspek masa lalu dengan cara mengimajinasikan hal yang telah lalu.

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 9


Pikiran-pikiran counterfactual dapat memiliki pengaruh besar terhadap reaksi
emosi kita dalam menghadapi apa yang terjadi. Semakin mudah mental
membatalkan suatu hasil (membayangkan apa yang telah terjadi seolah tidak
terjadi), semakin kuat reaksi emosional terhadap hal itu.
Countrafactual thinking/ reasoning dapat mengakibatkan efek yang paradoks
terhadap emosi individu. Semakin tinggi harapannya (hal yang dibayangkan
semakin positif), semakin mungkin untuk merasa bersalah.
Sungguh tidak menguntungkan bila countrafactual thinking sering dilakukan, di
mana secara berulang individu berfokus pada peristiwa negative dalam
hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan depresi.

2. Menekan Pikiran dan Pemrosesan Ironis


Menekan pikiran atau THOUGHT SUPPRESSION adalah usaha untuk
menghindari berpikir mengenai sesuatu hal yang ingin kita lupakan.
Ironisnya, hal ini justru dapat berakibat keadaan sebaliknya, yaitu ketika
seseorang mencoba sekuat tenaga untuk tidak berpikir mengenai sesuatu
(misalnya Si A berusaha untuk tidak memikirkan lelucon mengenai orang
pendek ketika pimpinannya yang sangat pendek sedang berdiri di dekatnya),
maka ketika ia tidak dapat lagi menahan, pikiran ini sangat mungkin justru
keluar tanpa dapat dicegah.

3. Meningkatkan Pemikiran Manusia


Salah satu tujuan berpikir terkendali adalah untuk mengoreksi dan
menyeimbangkan (check and balances) pikiran otomatis. Pikiran terkendali
mengambil alih pikiran otomatis bila terjadi kondisi yang tidak seperti biasanya.
Sejauh mana seseorang dapat mengoreksi kesalahan dan berpikir secara lebih
baik? Hal ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan.
Pendekatan pertama, mengajarkan kepada individu untuk lebih rendah hati
mengenai kemampuan penalarannya. Kita seringkali memiliki keyakinan yang
lebih besar mengenai penilaian/keputusan kita daripada kenyataannya.
Pendekatan yang lain adalah mengajarkan prinsip dasar statistik dan metodologi
untuk bernalar secara benar. Prinsip yang dimaksudkan adalah kesiapan pikiran
seperti halnya dalam belajar statistik dan desain metode penelitian, misalnya bila
kita ingin menggeneralisir suatu informasi dari suatu kelompok sampel (menarik
kesimpulan untuk suatu populasi berdasarkan informasi yang didapat dari
sampel), kita harus memiliki ukuran sampel (subjek penelitian) dalam jumlah
besar dan tidak bias.

-- oo0oo --

Handout Psi Sosial II: KOGNISI SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 10

Anda mungkin juga menyukai