Anda di halaman 1dari 9

LABORATORIUM PSIKOLOGI LANJUT

LAPORAN PRAKTIKUM PSIKOLOGI


KOGNITIF FEATURE DETECTION

DISUSUN OLEH

Nama : Farhan Rizki Tanrobak


NPM : 12517192
Kelas : 3PA02
Tutor : Nadhifa Ramadhani P.
No. komputer :

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2020
I. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menguji sampai mana kemampuan
proses kerja otak kita dalam mengatasi fitur pada stimulus sebagai satu
kesatuan dengan keberadaan stimulus yang lain.
II. Point of View
Penting dilakukannya praktikum ini adalah agar kita dapat memahami
materi dan teori juga pengerjaan soal atau test yang ada pada Feature
Detection.
III. Teori Feature Detection
A. Landasan Teori
Teori Feature Detection adalah sel-sel yang kita miliki yang
berada di dalam korteks penglihatan kita yang bergejolak hanya pada
respon-respon stimulus tertentu. Feature Detection ini bergejolak
ketika mereka menerima input ketika kita melihat suatu bentuk
tertentu, warna, sudut, atau bentuk visual lainnya (Hulbert, 2003;
Spillmann, 2014)
Hal yang paling dikenal dalam teori Feature Detection adalah
Pandemonium (Lindsey & Norman, 1972; Selfridge, 1959, dalam
Friendenberg & Silverman,  2012). Ini diambil dari nama mental kecil
“Demons” yang mewakili pemrosesan suatu unit. “Demons” ini akan
“berteriak” ketika merekognisi prosesnya. Pandemonium merupakan
salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern
recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis).
Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan
bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-
pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya
serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang
diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.
Tiga jenis rangsangan yang Hubel dan Wiesel (1959, 1965)
temukan menyebabkan neuron di korteks kucing merespons. Mereka
menemukan neuron yang merespons bar dengan orientasi spesifik, ke
bar dengan orientasi spesifik yang bergerak ke arah tertentu, dan bar
dengan panjang tertentu yang bergerak ke arah tertentu. Neuron yang
merespons jenis rangsangan spesifik ini disebut Feature Detection.
Model Pandemonium Selfridge adalah pendekatan Feature
Detection yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana
persepsi objek dapat dibangun dari pendeteksian elemen – elemen
lainnya. Selfridge menyarankan metafora hierarki demon untuk
menjelaskan bagaimana pemrosesan feature dapat terjadi secara
paralel.
1. Image demon
Mewakili objek eksternal sebagai gambar.
2. Feature demon
Berteriak dengan keras yang mencerminkan betapa miripnya
spesialisasi leature mereka dengan fitur-fitur pada gambar.
3. Cognitive demon
Mewakili kombinasi fitur yang membentuk keseluruhan, pola
yang bermakna dan menjerit dengan keras yang mempengaruhi
jumlah fitur yang ada dalam polanya.
4. Decision demon
Bertugas mendengarkan hasil pandemonium dari cognitive
demon (CD), lalu decision demon (DD) memilih teriakan CD
yang berteriak paling keras sebagai pola yang paling besar
kemungkinan terjadinya.

Idenya adalah bahwa setiap jenis pola disimpan sebagai satu set
fitur dan label yang terkait. Misal, stimulus A disajikan dan
dibandingkan dengan informasi ini disimpan kemudian diidentifikasi
sesuai dengan fitur terbaik. Secara khusus jumlah fitur umum antara
stimulus dan setiap item yang disimpan ditentukan makan stimulus
diberi label yang sesuai dengan serangkaian fitur yang menghasilkan
paling besar fitur tumpang tindih. Misalnya, pola “E” mungkin
disimpan sebagai serangkaian fitur (garis vertical, tiga garis
horizontal) dan akan dikaitkan dengan suara “eee”, label untuk pola
ini dalam bahasa inggris. Jika stimulus dengan fitur yang sama
disajikan, itu kemungkinan besar akan diberi label “eee” karena fitur
tersebut cocok. Beberapa bukti eksperimental mendukung pandangan
ini. Sebuah prediksi logis dari teori feature detection bahwa pola-pola
dengan fitur serupa (misalnya, E dan F) pastinya akan memiliki
kekeliruan untuk satu sama lain lebih sering dari pada pola fitur yang
berbeda (misalnya, E dan W). artinya, tingkat kebingungan persepsi
harus mencerminkan jumlah fitur yang stimulinya memiliki kesamaan.

B. Jurnal Terkait
Penulis : John T. Wixted dan Laura Mickes
Tahun : 2014
Nama jurnal : A Signal-Detection-Based Diagnostic-Feature-
Detection Model of Eyewitness Identification
Isi :
Dalam jurnal ini Gibson (1969) menyatakan langkah penting
dalam pembelajaran persepti yaitu melibatkan Feature Detection.
Contohnya seperti jika seorang yang tidak ahli dimintai melihat hasil
x-ray tumor tidak mungkin orang itu dapat melihat atau mendeteksi
adanya tumor di dalam x-ray tersebut. Oleh karena itu dalam
eksperimen pembelajran persepsi sering menghadirkan benda – benda
serupa untuk memfasilitasi subjek dapat membedakan hal serupa agar
mudah memahami betul perbedaannya dibandingkan subjek diberi
objek tersebut secara berurutan (Gibson, 1969).
Mengapa itu persentasi stimultan dari benda – benda itu
menguntungkan dibanding persentasi beruruta? Karena itu adalah
peluang untuk perbandingan stimulus presentasi yang stimulan beri
dan kessempatan untuk memfasilitasi pembelajaran diskriminasi
terhadap wajar atau objek yang berbeda. Sebagai contohnya Maudy,
Honey, dan Dwyer (2007) menyelidiki kemampuan peserta untuk
membedakan antara pasangan wajah yang dibuat sangat mirip dengan
menggunakan program morphing.
Mereka menemukan bahwa presentasi simultan dari dua wajah
yang serupa pada setiap percobaan menghasilkan dalam kinerja yang
lebih baik dibandingkan dengan saat menghadapi yang serupa
disajikan secara berurutan. Secara teoritis, presentasi simultan dari dua
wajah yang serupa membuatnya lebih mudah untuk mengidentifikasi
mereka fitur khas (dan mengabaikan banyak fitur umum mereka)
dibandingkan dengan ketika wajah disajikan berurutan Kami
mengusulkan bahwa proses serupa melibatkan deteksi fitur khas (dan,
karenanya, diagnostik) berperan penting peran pada saat identifikasi
saksi mata dibuat.
Pertimbangkan, untuk Misalnya, seorang saksi mata yang melihat
seorang pria kulit putih di usia awal 20-an merampok toko minuman
keras. Selain memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin pelaku, saksi
mata mungkin juga memperhatikan pelaku memiliki wajah oval dan
mata kecil. Selanjutnya, bayangkan itu polisi mengidentifikasi
tersangka yang cocok dengan deskripsi umum yang diberikan oleh
saksi mata (yaitu, seorang pria kulit putih berusia awal 20-an) dan
bahwa Polisi menghadirkan tersangka ke saksi mata menggunakan
salah satu showup atau enam orang susunan simultan. Dalam barisan
simultan, semua enam anggota akan cocok dengan deskripsi umum
tersangka yaitu, tersangka dan si bocah semua akan menjadi pemuda
kulit putih. Pertimbangkan empat fitur wajah yang mungkin
dilampirkan saksi mata memberi bobot ketika mencoba memutuskan
apakah tersangka adalah pelakunya. Keempat fitur tersebut adalah
sebagai berikut: usia, ras, bentuk wajah, dan ukuran mata. Dua fitur
pertama (usia dan ras) bersifat non-diagnostik karena dibagi oleh yang
tidak bersalah dan tersangka bersalah.
Fitur-fitur ini dibagikan karena berfungsi sebagai dasar untuk
menangkap tersangka di tempat pertama. Di lain kata, setiap orang
yang tidak memiliki fitur tersebut akan mungkin tidak dijemput oleh
polisi dan disajikan ke saksi mata untuk kemungkinan identifikasi.
Sebaliknya, yang lainnya dua fitur (wajah oval dan mata kecil)
berpotensi diagnostik karena, tidak berfungsi sebagai dasar untuk
menangkap tersangka, mereka cenderung dibagikan oleh tersangka
yang tidak bersalah dan bersalah. Ketika wajah disajikan secara
terpisah dalam sebuah showup atau sebagai bagian dari lineup
berurutan, tidak ada indikasi yang jelas kepada saksi mata bahwa
beberapa fitur bersifat diagnostik dan yang lainnya tidak.
Sejauh ini bahwa fitur-fitur non-diagnostik diberi bobot di
bawahnya keadaan, kemampuan untuk membedakan yang tidak
bersalah dari yang bersalah tersangka akan menderita. Sebaliknya,
dalam barisan simultan, itu segera jelas bagi saksi mata bahwa semua
orang di barisan berbagi fitur non-diagnostik tertentu. Untuk alasan itu,
saksi mata akan didorong untuk melampirkan bobot pada fitur itu
mungkin diagnostik saat mendiskontokan fitur yang tidak terdiagnosis.
Sejauh yang mereka lakukan, kemampuan untuk melakukan
diskriminasi tersangka tidak bersalah dari tersangka bersalah akan
ditingkatkan. Itu adalah esensi dari hipotesis deteksi-Feature
Detection.
IV. Pelaksanaan dan Hasil
A. Langkah – langkah
1. Masuk ke dalam web http://cogscidemos.swarthmore.edu/
2. Lalu Pada sisi kiri web, pilih “Vision Search” pada menu
Experiments
3. Bacalah teori dan instruksi yang tertera pada laman Vision Search
4. Setelah membaca dan memahami instruksi lanjutkan meng-klik
“Try It!”
5. Pada menu parameter, Pilih “full experiment” Kemudian, jumlah
distractors = 2 ; Distractor 1 = q ; Distractor 2 = b ; Target = p
6. Setelah itu pilih “Start Experiment”
7. Dan munculah instruksi lagi baca dengan baik dan perhatikan
8. Gunakan keyboard untuk menjawab
9. Klik spasi untuk melanjutkan kedalam persoalan
10. Klik f jika menemukan huruf “p” ( diantara huruf q dan b )
11. Klik j jika tidak menemukan hurup “p” untuk lanjut kesoal
berikutnya
12. Kemudian setiap kita menjawab soal akan muncul soal seperti ini :

lalu klik spasi kembali untuk lajut ke soal


13. Pada akhir soal akan muncul data yang telah kita jawab setelah itu
kita screen capture bagian tabel dan grafik, kemudian letakkan
pada bagian Bab Hasil Praktikum di laporan
B. Hasil
Berdasarkan praktikum FEATURE DETECTION yang saya
lakukan pada hari selasa, 7 April 2020 didapatkan hasil yang
berbentuk screencapture berikut dibawah ini hasilnya :
C. Pembahasan
Sesuai dengan hasil data yang saya dapatkan setelah praktikum
diketahui saya dapat mengerjekannya dengan mudah. Karena ditinjau
dari hasil tersebut dan juga mengaitkannya dengan teori atau jurnal.
Karena saya dapat mengerjakannya dengan tidak merasa kesulitan saat
mencari huruf “p” diantara gangguan huruf yang mirip terlihat seperti
huruf “p” yaitu huruf “b” dan juga huruf “q”. dan di hampir semua soal
itu saya benar sesuai dengan screencapture yang saya berikan.
V. Kesimpulan
Dari hasil praktikum ini saya memahami Feature Detection
kemampuan visual cortex yang terdapat pada indera manusia yang
berfungsi untuk menerima atau mendeteksi stimulus tertentu. Dengan
percobaan yang menaruh gangguan obejek yang hampir serupa. Pada awal
saya melihat obek atau huruf “p” tersebut yang disebut dengan Image
Demon. Setelah itu saya membedakan dan membayangkan huruf tersebut
bentuknya ada garis lurus dan setengah lingkaran atau bisa disebut juga
dengan Feature Demon. Lalu saya membedakan huruf ini dengan huruf
yang sama seperti huruf “q” dan “b” dan saya menganalisa perbadaannya
yang disebut Cognitive Demon. Kemudian saya dapat memutuskan hasil
dari perbedaan objek tersebut yang disebut Decision Demon.

Daftar Pustaka
Friedenberg, J. Gordon S. 2006. COGNITIVE SCIENCE An Introduction to the
Study of Mind. California : Sage Publications, Inc.
Hill, G. 2001. A Level Psychology Through Diagram. London : OXFORD
UNIVERSITY PRESS.
Goldstein, E, B (Ed.). 2011. Cognitive Psychology CONNECTING MIND,
RESEARCH, AND EVRYDAY EXPERIENCE Third Edition. Canada :
WADSWORTH CENGAGE Learning.
Wixted, J,T, & Mickes, L. (2014). Psychological Review. A Signal-Detection-
Based Diagnostic-Feature-Detection Model of Eyewitness Identification, 121(2),
262-276.

Anda mungkin juga menyukai