Anda di halaman 1dari 20

KONFORMITAS:

KAPAN DAN MENGAPA TERJADI?

DEFINISI KONFORMITAS
Konformitas (conformity) adalah perubahan perilaku seseorang yang terjadi
karena pengaruh orang lain yang nyata ataupun yang diimajinasikan.
Morton Deutsch dan Harold Gerard (1955) mengajukan dua tipe pengaruh sosial yang
menyebabkan konformitas, yaitu informasional dan normatif.

PENGARUH SOSIAL INFORMASIONAL: KEBUTUHAN UNTUK


MENGETAHUI INFORMASI YANG BENAR
Definisi
Pengaruh sosial informasional (Cialdini, 2000; Cialdini & Goldstein, 2004;
Deutsch & Gerard, 1955) adalah pengaruh orang lain yang mengakibatkan kita
melakukan konformitas karena melihatnya sebagai sumber informasi yang
memandu perilaku kita. Kita melakukan konformitas karena meyakini bahwa
orang lain itu menginterpretasikan situasi yang kabur secara lebih tepat daripada
interpretasi kita sendiri, dan membantu kita untuk memilih tindakan yang tepat.

Ilustrasi
Eksperime Muzafer Sherif (1936): Efek Otokinetik
Efek otokinetik: cahaya yang diam di dalam ruang yang gelap nampak seperti bergerak-
gerak, karena mata kita tidak memiliki titik referensi dari objek lainnya.
Fase 1: Subjek duduk sendiri di ruang gelap, diminta fokus memperhatikan satu
titik bercahaya yang jaraknya 15 kaki. Eksperimenter meminta subjek
mengestimasi (memperkirakan) seberapa jauh titik cahaya itu bergerak-
gerak. Dalam fase ini estimasi subjek bervariasi: ada yang memperkirakan
bergerak-gerak sejauh 2 inci, 4 inci, 10 inci dsb.
Fase 2: Beberapa hari setelah Fase 1, subjek dipasangkan dengan dua orang lain
yang sama-sama memiliki pengelaman diminta mengestimasi gerakan
titik cahaya secara sendirian. Meskipun awalnya masing-masing memiliki
estimasi yang berbeda, namun setelah beberapa kali akhirnya tiap-tiap
kelompok memiliki estimasi yang sama mengenai seberapa jauh titik
cahaya itu bergerak-gerak. Masing-masing menyetujui estimasi dari
kelompoknya.
Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa tiap-tiap orang menjadikan orang
lain sebagai sumber informasi, dan menganggap bahwa estimasi kelompok

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 1


adalah yang benar. Pengaruh sosial informasional ini menghasilkan penerimaan
secara pribadi (private acceptance).

Penerimaan secara pribadi (private acceptance) : konformitas terhadap perilaku


orang lain, di luar keyakinan awal bahwa apa yang mereka katakan atau
lakukan adalah benar.

Meskipun jauh dari keyakinan awal namun orang-orang cenderung mengikuti


begitu saja estimasi kelompok, mungkin supaya tidak nampak bodoh. Hal ini
disebut public compliance.

Public complience : konformitas terhadap perilaku orang lain di depan publik,


tanpa perlu meyakini apa yang dikatakan dan dilakukan oleh kelompoknya.

Untuk memperkuat kesimpulannya, setelah subjek selesai berpastisipasi dalam


ai seberapa jauh titik cahaya itu bergerak-gerak. Hasilnya, tiap-tiap subjek tetap
memberikan jawaban sesuai dengan estimasi dari kelompoknya. Hal ini
didukung oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa setelah satu tahun
kemudian orang-orang tetap mengikuti pendapat kelompoknya (Rohrer, Baron,
Hoffman, & Swander, 1954).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang-orang bersandar satu sama
lain dalam mendefinisikan realitas, dan selanjutnya secara pribadi menerima
hasil estimasi kelompok.

Penelitian Lanjutan
Hasil penelitian Sherif diperluas dengan penelitian lain dengan situasi yang lebih
kongkrit daripada eksperimen Sherif. Misalnya eksperimen Baron, Vandello, &
Brunsman (1996) yang memberikan tugas subjek untuk mengidentifikasi pelaku
kejahatan, yang ditampilkan menggunakan slide (seperti menjadi saksi mata
tindak kejahatan nyata).
Hasilnya tetap sesuai dengan hasil penelitian Sherif, menunjukkan bahwa dalam
situasi yang ambigu (kurang pasti), banyak subjek yang cenderung mengikuti
jawaban orang-orang lain dalam kelompok, meskipun jawaban tersebut salah.
Kecenderungan sepertin ini tentu saja berisiko, karena keputusan kita tidak
akurat.

Ledakan Konformitas Informasional


Dalam situasi krisis, dapat terjadi bentuk konformitas informasional yang
dramatis. Hal ini terjadi bila individu dihadapkan pada ketakutan, situasi

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 2


mengandung berbahaya, di mana ia kurang siap untuk merespon (Killian, 1964).
Misalnya adanya berita terjadinya tsunami di suatu tempat. Orang-orang
mungkin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang harus ia
lakukan. Bila keamanan seseorang terancam, kebutuhan informasi menjadi akut
--- selanjutnya perilaku orang-orang lain menjadi informatif (dijadikan sumber
informasi).
Gustav Le Bon (1895) adalah peneliti yang pertama kali mendokumentasikan
bagaimana emosi dan perilaku dapat menyebar secara cepat melalui suatu
kerumunan (crowd) --- suatu efek yang disebutnya sebagai contagion.

Contagion: Penyebaran emosi dan perilaku secara cepat melalui suatu


kerumunan.
Misalnya, saat peristiwa gempa di daerah Selatan Yogyakarta, tersebar berita
bahwa terjadi tsunami, maka secara serentak orang-orang di kota Yogyakarta
dengan panik berlarian atau memacu kendaraan ke arah utara (Kaliurang)
yang merupakan daerah pegunungan.

Seperti telah kita pelajari, dalam situasi yang kabur, sangat mungkin orang-
orang hanya bersandar pada interpretasi dari orang lain. Padahal, dalam situasi
yang sangat kabur dan kacau, orang-orang lain juga tidak memiliki informasi
yang akurat seperti kita. Bila orang lain menerima informasi yang salah, kita
mengadopsi kesalahannya dan juga menjadi salah interpretasi.
Contoh ekstrim konformitas informasional yang salah arah seperti itu adalah
mass psychogenic illness (Bartholomew & Wessely, 2002; Colligan, Pennebaker, &
Murphy, 1982).

Mass psychogenic illness : Suatu kejadian dalam sekelompok orang, suatu gejala
fisik yang sama, tanpa penyebab fisik yang dikenali.

Sebagai contoh, pada tahun 1998 seorang guru di Tenessee USA melaporkan bau
bensin (gasoline) di kelasnya; dengan cepat ia mengalami sakit kepala, mual,
sesak nafas, dan pusing. Setelah kelas ibu guru itu dievakuasi, orang-orang lain
di sekolah itu melaporkan gejala yang sama. Maka diputuskan untuk
mengevakuasi semua kelas. Semua orang menyaksikan ibu guru itu dan
beberapa murid dievakuasi dengan ambulance. Tenaga-tenaga ahli setempat
tidak menemukan adanya masalah di sekolah tersebut. Aktivitas kelas dimulai
lagi --- dan ada beberapa orang lagi yang melaporkan rasa sakit. Maka para ahli
dari beberapa negara bagian bersama-sama menyelidiki keadaan lingkungan
dan epidemi di sekolah tsb. Hasilnya, sekali lagi tidak ditemukan adanya

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 3


masalah di sekolah tersebut. Ketika sekolah tersebut dibuka kembali, epidemi
penyakit misterius itu telah berakhir (Altman, 2000).
Timothy Jones dkk (2000) dari Depkes Tenessee yang menyelidiki kasus tersebut
(lebih dari 170 murid, guru, dan staf dievakuasi ke rumah sakit tanpa ditemukan
faktor organik yang menjadi penyebab) menyimpulkan bahwa penyebabnya
adalah penyakit psikogenik masa (mass psychogenic illness).
Dalam hal ini kita perlu juga memperhatikan peran media massa (televisi, radio,
koran, internet, e-mail) dalam menyebarkan informasi, yang mungkin memicu
sakit psikogenik massa.

Kapan Orang Melakukan Konformitas terhadap Pengaruh Sosial


Informasional?
Berikut ini adalah beberapa situasi yang paling mungkin menimbulkan
konformitas karena pengaruh sosial informasional.
1. Ketika situasi tidak jelas atau ambigu
Ketidakjelasan merupakan hal yang paling menentukan sejauhmana
seseorang menggunakan orang lain sebagai sumber informasi. Ketika
seseorang tidak mengetahui bagaimana respon yang benar, maka ia mudah
dipengaruhi oleh informasi orang lain. Semakin tidak memiliki informasi,
kita semakin tergantung pada orang lain.
2. Ketika dalam situasi kritis
Dalam situasi krisis kita tidak memiliki waktu cukup untuk memikirkan
tindakan apa yang seharusnya kita ambil; kita harus bertindak dengan cepat.
Jika kita merasa takut, panik, serta tidak tahu apa yang harus dilakukan,
biasanya kita melihat bagaimana orang lain bertindak dan melakukan hal
yang sama dengan orang lain. Padahal orang lain yang kita tiru juga dalam
ketakutan dan panik, sehingga mungkin bertindak tidak rasional.
3. Ketika orang lain adalah ahli
Biasanya, semakin ahli atau semakin berpengetahuan, seseorang semakin
dihargai sebagai pemandu/ panutan dalam situasi yang tidak jelas (ambigu).
Sebagai contoh, ketika penumpang pesawat terbang melihat asap dari mesin
pesawat, maka hal pertama yang ia lihat adalah reaksi dari pramugarinya
(dianggap ahli). Bagaimanapun juga ahli tidak selalu meerupakan sumber
informasi yang dapat diandalkan. Misalnya, mungkin saja pramugari
mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan pesawat tersebut, padahal
sebenarnya pesawat sedang terbakar.

Menolak Pengaruh Sosial Informasional

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 4


Menggantungkan diri pada orang lain dalam mendefinisikan apa yang terjadi,
bisa jadi merupakan langkah yang tepat, namun dapat juga menjadi tragedi,
tergantung kebenaran informasinya. Jadi, kita memerlukan kriteria, kapan dapat
menyatakan bahwa orang lain merupakan sumber informasi yang tepat dan
kapan kita menolak definisi situasi dari orang lain.
Pertama, dengan melihat beberapa contoh, dimungkinkan jika kita menolak
pengaruh sosial informasional yang tidak benar. Misalnya, saat Perang Dunia
tidak semua orang menjadi panik (Cantril, 1940). Sebagian dari mereka memilih
menggunakan strategi pemecahan masalah secara rasional (rational problem
solving); mereka mengecek berbagai situasi melalui siaran-siaran radio dan
menemukan bahwa radio yang berbeda menyiarkan hal yang berbeda.
Mengingat kemungkinan dapat terjadi contagion atau kepanikan massa, mereka
lebih mengandalkan diri sendiri dalam mencari dan menemukan informasi.
Keputusan kita untuk melakukan konformitas terhadap pengaruh informasional
tergantung bagaimana evaluasi kita mengenai tindakan/reaksi dari orang lain:
apakah reaksi dari orang lain lebih syah daripada tindakan kita? Kita perlu
menjawab pertanyaan berikut ini:
Apakah orang lain lebih mengetahui apa yang terjadi daripada apa yang saya
ketahui? Apakah situasi yang ada telah ditangani oleh ahlinya atau seseorang
yang mengetahui lebih banyak daripada diri saya?
Apakah tindakan-tindakan orang lain atau ahli yang ada nampak lebih tepat?
Jika saya melakukan seperti yang mereka lakukan, apakah itu akan melawan
pemahaman umum (common sense) saya atau suara hati saya?

PENGARUH SOSIAL NORMATIF: KEBUTUHAN UNTUK DITERIMA


Banyak remaja bersedia berdiri di atas kereta api menempuh perjalanan jauh
antar kota (misalnya Bonek, pendukung Persibaya). Fenomena ini menunjukkan
bahwa ada hal lain yang mendorong kita melakukan konformitas terhadap
pengaruh sosial selain karena kebutuhan informasional, yaitu: Kita melakukan
konformitas juga supaya a disukai dan diterima oleh kelompok sosial kita. Kita
melakukan konformitas terhadap norma sosial (social norms).

Social norms : Aturan yang implisit atau eksplisit yang dimiliki oleh suatu
kelompok, mengenai perilaku, nilai-nilai, dan keyakinan yang diterima oleh
anggota-anggotanya.

Kelompok memiliki harapan tertentu mengenai bagaimana seharusnya perilaku


anggotanya, dan anggota yang baik melakukan konformitas terhadap aturan

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 5


tersebut. Anggota yang tidak melakukan konformitas dianggap berbeda, sulit,
dan menyimpang.
Anggota yang menyimpang dapat diejek/ditertawakan, dihukum, atau ditolak
anggota kelompok yang lain.
Kita manusia secara alami merupakan suatu spesies sosial. Melalui interaksi
dengan orang lain kita menerima dukungan emosional, afeksi, dan cinta. Ambil
bagian di dalamnya merupakan pengalaman yang menyenangkan. Penelitian
terhadap individu yang terasing dalam waktu yang lama, menunjukkan bahwa
kekurangan kontak sosial merupakan pengalaman yang menimbulkan stres dan
traumatik (Baumister & Leary, 1995; Schachter, 1959; Williams, 2001).
Adanya kebutuhan akan kebersamaan secara sosial (social companionship) yang
fundamental seperti itu, tidaklah mengherankan bahwa kita sering melakukan
konformitas untuk diterima oleh orang lain. Pengaruh sosial normatif ini terjadi
bila pengaruh orang lain mengakibatkan kita melakukan konformitas untuk
disukai dan diterima oleh mereka.

Pengaruh sosial normatif : Pengaruh dari orang lain yang mengakibatkan kita
melakukan konformitas dalam rangka untuk disukai dan diterima oleh
mereka. Jenis konformitas ini menghasilkan kerelaan masyarakat mengikuti
keyakinan dan perilaku kelompoknya, tanpa perlu ada penerimaan secara
pribadi terhadap keyakinan dan perilaku tsb.

Ilustrasi
Eksperimen Asch (1951; 1956)

1 2 3
GARIS STANDAR GARIS PEMBANDING

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 6


Sesi baseline : Subjek dalam kelompok (7-9 orang) diminta untuk menentukan
garis pembanding (kartu sebelah kanan) yang mana yang sama
panjangnya dengan garis standard (kartu di sebelah kiri).
Sesi eksperimen: Subjek dalam kelompok diberi tugas yang sama seperti sesi
baseline, namun di dalam kelompok terdapat seorang pembantu
eksperimenter (confederate) yang menyamar sebagai subjek, yang
mendapat giliran pertama menjawab dan membuat pilihan garis
nomor 1 (yang jelas salah). Percobaan dilakukan sebanyak 12
kali.
Hasil eksperimen: Di luar harapan Asch, meskipun jawaban yang benar sangat
jelas (garis no 2), namun sebanyak 76% dari peserta eksperimen melakukan
konformitas (mengikuti confederate memberikan jawaban salah), setidaknya
dalam satu sesi. Rata-rata subjek melakukan konformitas sebanyak 3 kali (sesi 1-
3) dalam 12 sesi percobaan yang dilakukan.
Seperti halnya penelitian Sherif, penelitian Asch juga menunjukkan bahwa
persepsi visual seseorang sama-sama mudah terpengaruh oleh orang lain.
Perbedaannya, dalam eksperimen Asch subjek sebenarnya dapat melihat dengan
jelas jawaban mana yang benar. Namun terdapat kecenderungan subjek
mengikuti jawaban dari kelompok, meskipun ia tidak yakin dengan jawaban
tersebut. Hal ini disebabkan karena subjek merasakan emosi negatif, perasaan
tidak nyaman dan tertekan bila mengikuti keyakinannya sendiri dan
bertentangan dengan kelompok.
Kesimpulan tersebut didukung oleh penelitian Gregory Berns dkk (2005) yang
menemukan fakta biologis bahwa subjek yang menolak pengaruh sosial normatif
mengalami ketidaksenangan dan ketidaknyamanan. Hasil pengukuran
menggunakan magnetic resonance imaging/ MRI (alat perekam perubahan aktivitas
otak) menemukan sbb:
(1) Pada sesi baseline (subjek tidak dipengaruhi orang lain), otak menunjukkan
aktivitas pada area visual/perseptual (posterior);
(2) Jika subjek melakukan konformitas mengikuti jawaban salah, otak juga
menunjukkan aktivitas pada area visual/perseptual;
(3) Jika subjek mengikuti pilihannya sendiri (tidak mengikuti jawaban salah),
otak tidak menunjukkan aktifitas pada area visual/perseptual melainkan pada
area emosi negatif (amygdala) dan area yang mengatur perilaku sosial (coudate
nucleus sebelah kanan).
Kapan Seseorang Melakukan Konformitas terhadap Pengaruh Sosial
Normatif?
Bibb Latane (1981) mengemukakan teori pengaruh sosial (social impact theory)
untuk menjelaskan variabel-variabel yang menentukan seseorang merespon
pengaruh sosial. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) Strength : seberapa penting

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 7


kelompok itu bagi individu; (2) Immediacy : seberapa dekat kelompok itu dalam
segi ruang dan waktu, ketika kelompok mencoba mempengaruhi individu; (3)
Number : seberapa banyak orang di dalam kelompok.

Social impact theory : Gagasan bahwa konformitas terhadap pengaruh


sosial tergantung pada seberapa pentingnya kelompok, keterdekatan
kelompok, dan jumlah orang dalam kelompok.

Berikut ini uraian lebih rinci yang berkaitan dengan social impact theory:
1. Ketika anggota kelompok berjumlah 3 orang atau lebih

Penelitian Asch dan penelitian-penelitian lain menemukan bahwa


konformitas meningkat bila jumlah anggota lebih banyak; tetapi bila anggota
berjumlah 4 atau 5 orang maka konformitas tidak bertambah lagi secara
signifikan. Jadi, tidak perlu ada kelompok dengan jumlah yang sangat banyak
untuk menciptakan pengaruh sosial normatif.
2. Ketika menganggap kelompoknya penting

Tekanan normatif lebih terasa bila berasal dari individu-individu yang


memiliki hubungan persahabatan dan percintaan. Hal ini karena ada nilai
yang sangat besar atas cinta dan penghargaan, sehingga individu yang
memiliki kelekatan (attachment) yang kuat terhadap kelompok seperti itu akan
lebih terpengaruh oleh pengaruh sosial normatif dibanding individu lain
yang kelekatannya kurang kuat.
3. Ketika ada orang yang tidak beraliansi dengan kelompok

Pengaruh sosial normatif dalam kelompok sangat kuat jika individu-individu


dalam kelompok meyakini hal yang sama. Pentingnya memiliki aliansi
(sekutu) dapat diketahui dari eksperimen Asch (1955), di mana 6 dari 7
confederate memberikan jawaban yang salah dan 1 confederate memberikan
jawaban benar dalam tiap percobaan. Hasilnya, meskipun hanya ada satu
orang yang dapat menjadi sekutu namun subjek cukup terbantu untuk
menolak tekanan normatif. Dalam eksperimen ini subjek yang melakukan
konformitas hanya 6%. Padahal dalam kondisi eksperimen di mana semua
confederate menjawab salah, hasilnya 32% yang melakukan konformitas.
4. Ketika budaya kelompoknya kolektivistik

Milgram yang mereplikasi penelitian Asch di Perancis dan Norwegia


menemukan bahwa partisipan (subjek) di Norwegia memiliki tingkat
konformitas lebih tinggi dibanding partisipan di Perancis. Hal ini nampaknya
karena Norwegia yang memiliki kohesi yang tinggi, ”memiliki perasaan
mendalam di dalam beridentifikasi pada kelompok”; sedangkan Perancis

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 8


memiliki budaya ”jauh dari adanya konsensus dalam kehidupan sosial dan
politik”.
Hasil penelitian meta analisis terhadap 133 eksperimen Asch ”menilai garis”
yang dilakukan dalam 17 negara , ditemukan bahwa nilai-nilai budaya
mempengaruhi pengaruh sosial normatif (Bond & Smith, 1996). Subjek dari
budaya kolektivis (mementingkan kelompok) menunjukkan konformitas
yang lebih tinggi dibanding subjek dari budaya individualis (mementingkan
individu). Dalam budaya kolektivis konformitas dinilai sebagai ciri positif
(yaitu mempromosikan harmoni dan hubungan yang suportif dalam
kelompok); sedangkan di USA yang individualis konformitas dinilai negatif.

Meta analisis : teknik statistik yang memungkinkan kita mengombinasikan


sejumlah besar hasil penelitian sehingga memberikan kesimpulan yang lebih
bermakna.

Perbedaan Gender dalam Konformitas


Hasil enelitian terdahulu (Chrutchfield, 1955) menyatakan bahwa perempuan
memiliki tingkat konformitas lebih tinggi dibanding laki-laki. Bagaimanapun
juga hasil riset yang lebih baru menunjukkan hasil yang lebih kompleks.
Eagly dan Carli (1981): meta analisis terhadap 145 penelitian yang mencakup
21.000 partisipan menemukan bahwa laki-laki kurang dapat dipengaruhi
dibanding perempuan, namun perbedaan tersebut sangat tipis.
Selain itu perbedaan konformitas laki-laki dan perempuan juga tergantung
jenis tekanan konformitasnya. Bila berhadapan dengan tekanan sosial,
perempuan lebih memilih melakukan konformitas dibanding laki-laki.
Menurut Eagly (1987) hal ini berkaitan dengan anggapan dalam masyarakat
bahwa perempuan dianggap lebih mudah menyetujui dan lebih suportif,
sedangkan laki-laki dianggap lebih independen dalam menghadapi tekanan
sosial.
Eagly dan Carli (1981) menemukan bahwa peneliti laki-laki dibanding
peneliti perempuan lebih suka menemukan bahwa laki-laki lebih tidak
mudah terpengaruh. Hal ini membuat peneliti laki-laki dan perempuan
cenderung berbeda dalam memilih jenis tugas dalam eksperimen: memilih
tugas yang familiar (sesuai) dengan gender peneliti.

Pengaruh Minoritas: Kapan Sedikit Orang Mempengaruhi Banyak Orang ?


Mascovici (1985; 1994; Mascovici dkk, 1994) berpendapat bahwa terdapat kondisi
di mana individu atau minoritas dalam kelompok dapat mempengaruhi

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 9


perilaku atau keyakinan mayoritas. Inilah yang disebut sebagai pengaruh
minoritas (minority influence).
Kunci dari pengaruh minoritas adalah konsistensi : Orang-orang yang memiliki
pandangan minoritas harus memiliki pandangan yang tetap sama dari waktu ke
waktu, dan sesama anggota minoritas satu sama lain harus sepakat. Misalnya,
minoritas ilmuwan memunculkan kepedulian terhadap pemanasan global lebih
dari dua dekade yll; dan sekarang hampir semua ilmuwan memberikan
perhatian.

MENGGUNAKAN PENGARUH SOSIAL UNTUK MEMPROMOSIKAN


PERILAKU YANG BERMANFAAT
Konformitas informasional maupun normatif terjadi, termasuk di dalam budaya
individualistis. Jadi, kita dapat menggunakan kecenderungan ini untuk
mempengaruhi orang-orang untuk berperilaku yang baik secara umum.
Cialdini dkk (1991) memberikan saran, pertama-tama kita perlu berfokus pada
jenis norma apa yang beroperasi dalam situasi yang kita hadapi. Dengan
demikian selanjutnya kita dapat mendukung orang-orang untuk melakukan
konformitas yang baik secara sosial.
Terdapat dua jenis norma sosial budaya: injunctive norms dan descriptive norm.
1. Injunctive norms: Persepsi orang-orang mengenai perilaku apa yang disetujui
dan yang tidak disetujui oleh orang lain. Norma ini digunakan untuk
memotivasi perilaku dengan cara menawarkan ganjaran terhadap perilaku
yang normatif dan menawarkan hukuman terhadap perilaku yang tidak
normative.
2. Descreptive norms: Persepsi orang-orang mengenai bagaimana secara aktual
orang-orang berperilaku dalam situasi yang dihadapi, tanpa memperhatikan
apakah perilaku itu disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain. Norma ini
digunakan untuk memotivasi perilaku dengan cara menginformasikan kepada
orang-orang mengenai perilaku apa yang efektif dan adaptif.

________________________________________________________________________
Sumber:
Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6 th edition).
Singapore: Pearson Prentice Hall

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 10


COMPLIANCE

Istilah compliance sering digunakan secara bergantian dengan conformity. Namun


bagaimanapun juga di sini istilah compliance digunakan dalam arti yang lebih
khusus.

Compliance: situasi di mana terdapat perintah langsung dan seseorang


setuju untuk berperilaku memenuhi permintaan itu.

Ini berbeda dengan conformity yang berarti reson terhadap tekanan yang tidak
langsung, respon terhadap tekanan yang dirasakan oleh individu tanpa adanya
perintah langsung.

Contoh:
Bila dalam suatu acara kita memutuskan untuk mengenakan pakaian resmi
karena mengira orang-orang lain juga demikian dan kita tidak ingin nampak
berbeda dengan orang lain, ini berarti conformity.
Bila seseorang meminta kita mengenakan pakaian resmi agar tidak nampak
berbeda dengan orang lain, dan kita mengabulkannya, ini berarti compliance.
Ketika seorang penjual menawarkan suatu barang dan kita setuju membelinya,
ini juga berarti compliance.

Terdapat beberapa bentuk compliance, yang telah dipelajari berdasarkan


peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari: the food in the door
effect, the door in the face effect, the low ball procedure, the lure.

1. The Food in the Door Effect


Praktik the food in the door effect ini banyak terjadi di kalangan para penjual
(salespeople). Dalam psikologi social istilah ini menunjuk pada kenyataan bahwa
seseorang yang telah mengabulkan sebuah permintaan kecil lebih besar
kemungkinannya mengabulkan permintaan berikutnya yang lebih besar, lebih
substansial.

Eksperimen Scott Fraser (1966)


Fraser merancang eksperimen dengan meminta dua orang eksperimenter
(bimbingan Fraser) untuk menghubungi ibu-ibu di daerah pinggiran kota, dan
mengajukan permintaan: permintaan yang pertama lebih kecil dan permintaan
berikutnya lebih besar.

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 11


Fase Pertama: Para ibu diminta memasang pengumuman kecil di pintu
rumahnya, berisi tentang peringatan untuk mengemudi dengan hati-hati
dan untuk menjaga California agar tetap indah.
Fase ke dua (dua minggu kemudian): Eksperimenter lainnya datang ke rumah
tiap-tiap subjek (para ibu yang telah diminta memasang pengumuman
kecil) dan meminta agar dua minggu kemudian mereka masing-masing
memasang billboard besar yang kurang menarik, berisi pesan untuk
menjaga lapangan rumput masing-masing. Sementara itu ada sejumlah
ibu-ibu yang lain (kelompok kontrol) yang langsung menerima
permintaan memasang billboard.
Hasil penelitian menunjukkan adanya food-in-the-door effect yang sangat kuat:
subjek yang menerima permintaan kecil terlebih dahulu lebih banyak
yang bersedia memenuhi permintaan memasang billboard daripada
kelompok kontrol.

Apa yang menyebabkan terjadinya the food-in-the-door effect ?


(a) Penjelasan pertama, menekankan persepsi diri seseorang . Menyetujui untuk
membantu, mungkin membuat seseorang merasa bahwa pada dasarnya ia
orang yang suka menolong. Oleh sebab itu ia cenderung menyetujui
permintaan ke dua, karena berharap hal itu dapat memelihara image (citra)
dirinya sebagai orang yang suka menolong.
(b) Kemungkinan lainnya adalah adanya persepsi bebas memilih . Jika seseorang
ditekan untuk memenuhi permintaan, tidak ada alasan baginya untuk
melakukan atribusi internal (menunjuk sifat pribadinya sebagai penyebab
perilaku). Kenyataannya, bila terdapat tekanan, biasanya justru
memperlemah atau mengeliminir the food-in-the-door effect. Dalam penelitian
ini subjek yang mengalami food-in-the-door effect memenuhi permintaan tanpa
tekanan, memberi dengan kebebasannya untuk memberi.

2. The Door in the Face Effect


Istilah door-in-the-face effect dicetuskan oleh Robert Cialdini dkk, menggambarkan
bahwa seringkali orang yang telah menolak permintaan pertama cenderung
untuk memenuhi permintaan berikutnya (Cialdini et al, 1975).

Terdapat serangkaian situasi yang menentukan terjadinya the door-in-the-face


effect (de Jong, 1979):
(a) Permintaan pertama harus berupa permintaan yang sangat besar sehingga
orang yang menolak tidak memiliki kesimpulan negatif terhadap dirinya.

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 12


(b) Untuk terjadinya the door-in-the-face effect, permintaan kedua harus diajukan
oleh orang yang sama yaitu yang mengajukan permintaan pertama.

Ada istilah yang dekat artinya dengan the door-in-the-face effect, yaitu teknik
that’s not all (Burger, 1986).
Misalnya, situasi ketika kita sedang duduk di rumah dan mendengar suara
ketukan di pintu. Sepasang siswa SMU menawarkan lilin untuk mendapatkan
dana bagi tour yang direncanakan sekolah mereka. “Kami menjual lilin harganya
3$ per lilin”, kata siswa pria. Sebelum kita berkesempatan menjawab, siswa
wanita langsung menimpali mengatakan bahwa untuk kita diperbolehkan
membeli dengan harga 2$. Menurut penelitian Jerry Burger (1986), situasi ini
lebih memungkinkan kita membeli lilin itu daripada ketika kepada kita langsung
ditawarkan harga 2$.

Perbedaan utama antara the door-in-the-face effect dan that’s not all :
Pada the door-in-the-face effect subjek berkesempatan untuk menolak; sedangkan
pada that’s not all tawaran yang lebih menarik diberikan sebelum terjadi respon
menolak atau menerima. Hasil penelitian Burger menemukan bahwa that’s not all
lebih efektif menimbulkan compliance daripada the door-in-the-face effect.

3. The LowBall Procedure


Penemuan lain mengenai compliance yang diperoleh dari para praktisi adalah the
low-ball procedure (Cialdini, Cacioppo, Basset, & Miller. 1978). Biasanya
diterapkan oleh dealer mobil. Teknik melempar bola rendah ini meliputi usaha
untuk menarik pembeli dengan menawarkan harga yang sangat rendah
(misalnya 500$ dibawah harga yang ditawarkan kompetitor). Kemudian setelah
pembeli setuju untuk membeli, kondisi yang telah disepakati dirubah; hasilnya
harganya lebih tinggi dari penawaran sebelumnya. Alasan diberikan, misalnya
bahwa pimpinan menolak karena harga yang pertama itu hanya berlaku untuk
mobil bekas.
Mengapa terjadi the low-ball procedure?
Cialdini (1985) menjelaskan bahwa setelah menerima penawaran pertama,
pembeli membuat komitmen, kemudian mengembangkan serangkaian
pembenaran (justification) terhadap komitmen tersebut. Ketika pembenaran
pertama (harga murah) kemudian dicabut, ia masih tetap mencari pembenaran
untuk mendukung keputusannya membeli produk, meskipun alasan itu
berkembang belakangan.

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 13


3. The Lure
Teknik lain dikembangkan berdasarkan low-balling, oleh Robert Joule dkk (Joule
& Beavois, 1987; Joule et al, 1989) disebut the lure. Teknik ini diawali dengan
penawaran yang sangat rendah, misalnya harga suatu barang turun 50% dari
harga reguler. Ketika seseorang setuju membeli, ternyata warna, ukuran, dan
kualitas yang dikehendaki tidak tersedia. Penjual kemudian memajang barang
yang serupa dengan yang dikehendaki pembeli, namun dengan harga reguler.
Perbedaan antara the lure dengan low-balling: Dalam low-balling harga barang
yang diinginkan dinaikkan, sedangkan pada the lure ditawarkan produk
pengganti ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi.

Mengapa Orang Melakukan Compliance?


Berikut ini terdapat beberapa pendapat mengapa orang melakukan compliance
yang kadang-kadang berupa “trik kotor” itu?
- Penelope Brown & Stephen Levinson’s (1987) mengajukan teori kesopanan.
Compliance mungkin terjadi dalam rangka manajemen kesan yang meliputi
usaha menyelamatkan muka. Menyelamatkan muka, yaitu berperilaku
sedemikian rupa untuk mencegah perubahan kesan orang lain terhadap
dirinya, atau berperilaku tertentu untuk menimbulkan perubahan kesan.
- Karena mindless, yaitu kurang berpikir terhadap permintaan (Langer, 1978b;
1989a)
- Karena adanya kekuasaan (power) (French & Raven, 1959)

Bentuk-bentuk Kekuasaan dan Dasarnya

Bentuk Dasar
Coercive power Kemampuan agen untuk memberikan hukuman
Reward power Kemampuan agen untuk memberikan ganjaran
Expert power Keyakinan target bahwa agen memiliki pengetahuan,
kemampuan, atau keahlian yang tinggi
Legitimate power Target yakin bahwa agen memiliki otoritas untuk
memerintah dan mengambil keputusan
Reverent power Target mengidentifikasi dengan ketertarikan atau hormat
terhadap agen

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 14


KEPATUHAN (OBEDIENCE)

Obedience: merupakan bentuk khusus dari compliance, yaitu respon


terhadap permintaan langsung yang berbentuk perintah.

Dalam kepatuhan terdapat perasaan tertekan untuk menuruti simbol-simbol


otoritas, seperti orang tua, polisi, traffic lights. Namun demikian, obedience juga
dapat membuat kita melakukan tindakan ekstrim dan menyisakan kerusakan
berjangka panjang. Misalnya, pembunuhan besar-besaran di Vietnam oleh
tentara Amerika atau penembakan mahasiswa dalam peristiwa Semanggi I dan II
(1987) merupakan bentuk kepatuhan terhadap pimpinan yang menyisakan
korban yang tak terhapuskan hingga sekarang.

Eksperimen Milgram (1963, 1965)


Situasi eksperimennya berupa situasi belajar. Subjek eksperimen adalah orang
yang dibayar untuk datang di laboratorium (tempat eksperimen) dan bertugas
sebagai guru yang memberikan shock (kejutan) kepada seseorang yang belajar
(diperankan oleh pembantu eksperimenter) bila orang yang belajar tersebut
membuat kesalahan dalam mempelajari suatu daftar pasangan kata-kata. Shock
yang diberikan adalah berupa kejutan listrik yang bertingkat-tingkat voltasenya
(15 s/d 450 volt), diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan dalam belajar.
Semakin banyak kesalahan, maka semakin tinggi voltase kejutan listrik yang
diberikan. Dalam eksperimen ini pembantu eksperimenter yang berperan
sebagai murid seolah-olah benar-benar terkena kejutan listrik dan berpura-pura
mengalami kesakitan ketika subjek menekan tombol listrik sebagai hukuman.
Seolah-olah semakin lama semakin kesakitan, sesuai dengan besarnya voltase
kejutan listrik yang diberikan oleh subjek yang makin lama semakin tinggi. Hasil
dari eksperimen ini adalah: 26 dari 40 subjek (65%) melanjutkan pemberian
kejutan listrik terhadap murid, meskipun mereka yakin bahwa telah menyakiti
orang lain dan menunjukkan ketegangan (gemetar, gugup, dan berkeringat
dingin).
Dalam eksperimen lanjutan, Milgram membuktikan bahwa tingkat kepatuhan
berkurang bila :
(a) Sang guru (subjek) secara fisik didekatkan dengan “murid”,
(b) Kehadiran eksperimenter (yang membayar subjek untuk “bertugas”
sebagai guru) dibuat tidak menonjol.

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 15


Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa adanya konflik antara perintah dan nilai-
nilai pribadi sering diatasi dengan menurunkan tingkat kepatuhan. Jadi ketaatan
akan tinggi bila:
(a) perintah bersesuaian dengan nilai-nilai pribadi,
(b) kehadiran orang yang memerintah sangat menonjol.

Kritik Terhadap Milgram


(a) Hak-hak subjek tidak dilindungi. Mereka tidak diberitahu, dan esperimenter
tidak meminta ijin bahwa eksperimen akan menimbulkan konflik dan stress.
(b) Subjek dapat kehilangan kepercayaan terhadap eksperimenter, universitas
tempat Milgram, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
(c) Yang lebih penting lagi adalah bahwa konsep diri subjek dapat berubah
negatif dalam jangka panjang. Mungkin subjek memandang dirinya sebagai
orang yang kejam.

Menjawab kritik terakhir tersebut Milgram memberikan jawaban:


- Debrifing (penjelasan mengenai tujuan eksperimen) yang diberikan pada
akhir eksperimen telah cukup untuk menurunkan ketegangan-ketegangan,
keraguan, atau kemarahan yang dialami subjek.
- Pada tahun 1974 Milgram melaporkan bahwa berdasarkan interviu yang
dilakukan oleh psikiaris terhadap subjek, dilengkapi dengan uesioner yang
diisi oleh subjek, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat efek yang
merusak dalam jangka panjang.

THE SENSE OF CONTROL

Personal control, yaitu sejauhmana kita merasa memiliki kendali atas


kehidupan kita sendiri, dan sebaliknya sejauhmana orang lain memiliki
kekuatan untuk menentukan kehidupan dan perilaku kita.

Ada orang yang merasa yakin memiliki kendali yang besar terhadap perilakunya
sendiri, namun sebaliknya juga ada orang yang merasa tidak yakin bahwa
dirinya memiliki kendali yang besar terhadap perilakunya sendiri. Demikian
pula theorists (para pengembang teori), berbeda-beda pandangan dalam isu
personal control ini.
(a) Pandangan humanistik: bersandar pada asumsi bahwa kita mengendalikan
hampir sepenuhnya terhadap apa yang kita lakukan
Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 16
(b) B.F. Skinner dan pengikutnya (behavioris): memandang bahwa stimulus
lingkungan yang mengendalikan perilaku kita, yaitu bahwa kita
dikendalikan oleh rewards dan punishment dari lingkungan, dan bahwa
personal control hanyalah imajinasi.
(c) Psikologi Sosial mengambil posisi di antara pandangan umanistik dan
beavioris

The Illusion of Control


Kita seringkali mengembangkan ilusi seolah-olah mengendalikan semua hasil
dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya murni ditentukan oleh kesempatan.
Ellen Langer (1983) telah memaparkan fakta-fakta yang mendukung adanya ilusi
ini.
(a) Berpartisipasi dalam lotere merupakan situasi dimana kemenangan
ditentukan semata-mata oleh kesempatan. Namun demikian banyak orang
yang yakin dapat mengendalikan situasi ini.
Langer (1975) memberikan kesempatan orang-orang membeli lotre seharga $1
dengan kesempatan memenangkan $50. Ada kelompok yang diminta untuk
memilih sendiri tiket lotrenya, dan ada kelompok lain yang menerima tiket
secara acak dari eksperimenter. Sebelum diundi, eksperimenter menawari
apakah ada yang ingin menjual tiket kepada seseorang yang akan
membelinya dengan harga yang lebih tinggi dari harga beli. Hasilnya, subjek
yang menerima tiket secara acak ingin menjual rata-rata dengan harga $ 1.96.
Sebaliknya, subjek yang memilih sendiri tiketnya ingin menjual dengan harga
yang lebih tinggi, rata-rata $8.67, dengan berasumsi bahwa mereka memiliki
kesempatan yang lebih tinggi daripada subjek yang tidak memiliki
kesempatan memilih tiketnya sendiri.
(b) Dalam situasi lain yang ditentukan oleh kesempatan namun tampak seperti
adu ketrampilan, kita lebih yakin mengendalikan hasil permainan kita.
Dalam situasi seperti itu dengan kompetisi, kita lebih yakin akan sukses bila
bertemu dengan kompetitor yang tampak kurang kompeten daripada dengan
kompetitor yang tampak kompeten, meskipun hasilnya sebenarnya murni
ditentukan oleh kesempatan (Langer, 1975). Misalnya, bermain game
berkompetisi dengan anak-anak, kita merasa lebih yakin akan menang.
(c) Keberhasilan dalam suatu tugas, juga merupakan situasi yang menimbulkan
ilusi akan kontrol personal.
Dalam studinya yang lain Langer & Roth (1975) meminta subjek menebak
lemparan koin, dan mengatur sedemikian rupa sehingga keseluruhan hasil
yang diperoleh semua subjek sama persis. Namun demikian ada kelompok
yang terlebih dahulu mengalami sukses dan kemudian gagal; ada yang
terlebih dahulu gagal lalu sukses; dan kelompok ke tiga memperoleh hasil

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 17


secara acak. Hasilnya, subjek yang lebih dahulu mengalami sukses lebih
yakin akan kemampuannya, meramalkan dirinya lebih sukses pada waktu
yang akan datang, dan memandang dirinya lebih rampil. Sukses di awal
nampaknya menciptakan keyakinan dalam kemampuan untuk
mengendalikan perolehan (outcomes).

Konsekuensi Adanya Keyakinan Akan Kontrol


Adanya keyakinan akan kendali diri, membuat dunia sekitar (kehidupan)
nampak lebih dapat diprediksi!

Perbedaan Individu dalam Persepsi akan Kendali Diri


Untuk mengetahui perbedaan individu dalam hal ini kita diperkenalkan pada
konsep locus of control / LOC (pusat kendali) yang pertama kali dikenalkan oleh
Julian Rotter (1996). Rotter menjelaskan bahwa secara umum orang cenderung
meyakini bahwa kendali atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya terutama
ditentukan oleh faktor internal atau sebaliknya ditentukan faktor ekstrnal.
- Orang internal, cenderung yakin bahwa ia memiliki kemampuan untuk
mengendalikan peristiwa-peristiwa hidupnya.
- Orang eksternal, cenderung meyakini bahwa peristiwa-peristiwa dalam
hidupnya terutama ditentukan oleh lingkungan sekitarnya

Meskipun konsep LOC agak kabur, namun hasil-hasil penelitian menunjukkan


bahwa orang-orang berbeda, seringkali secara dramatis, dalam memandang
dunia dan dalam perasaan efektivitasnya menghadapi lingkungan (Phares, 1976;
Strickland, 1977). Misalnya:
- Orang yang yakin bahwa perilakunya lebih dikendalikan secara eksternal,
lebih senang menuruti pengaruh sosial daripada mereka yang yakin bahwa
perilakunya lebih dikendalikan secara internal.
- Di sisi lain orang yang menurut terhadap pengaruh sosial, yang LOCnya lebih
internal akan cenderung mengubah sikap mereka agar konsisten dengan
perilaku, melalui pengurangan disonansi atau mekanisme yang lain.
- Individu-individu dengan LOC internal juga lebih mungkin melakukan
pencegahan bencana alam seperti Tornado daripada orang yang LOCnya
eksternal (Sims & Bumann, 1972).

Reaksi Orang yang Kehilangan Kendali Pribadi


Baik orang yang LOCnya internal maupun eksternal, pada dasarnya semua
orang ingin lebih dapat mengendalikan peristiwa-peristiwa hidupnya. Terdapat
beberapa macam reaksi bila seseorang merasa tidak lagi dapat mengendalikan
hidupnya: psychological reactance, learned helplessness, dan self-induced dependence.

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 18


1. A Theory of Reactance
Jack Brehm (1966; Brehm & Brehm, 1981) mengajukan konsep psychological
reactance untuk menjelaskan reaksi kita atas keadaan kehilangan kendali atau
kehilangan pilihan bebas. Menurut Brehm, reactance adalah kondisi
motivasional yang muncul ketika seseorang merasa bahwa kebebasannya
terhambat atau terancam.

Reactance : kondisi motivasional yang muncul ketika seseorang


merasa bahwa kebebasannya terhambat atau terancam; dorongan
untuk memulihkan kendali atau kebebasan pribadi.

Jadi, terancamnya kebebasan menurut teori ini menciptakan kondisi


psikologis reactance, dan kondisi motivasional ini menyebabkan seseorang
melakukan tindakan yang dapat memulihkan kendali atau kebebasan
pribadi.
 Berikan contoh keadaan yang mencerminkan psychological reactance!!!

2. Learned Helplessness
Keyakinan kita terhadap personal control bersandar pada kenyataan bahwa
apa yang diperoleh (outcomes) dapat diprediksi. (Catatan: isu-isu predictability
dan control berhubungan sangat erat). Namun demikian, bagaimanapun
terdapat situasi dimana terjadi prinsip noncontingency: perilaku-perilaku yang
sama tidak selalu menghasilkan outcomes yang sama, yaitu ketika seseorang
mengalami outcomes yang tidak diharapkan. Martin Seligman (1975)
mendefinisikan learned helplessness sebagai suatu keyakinan bahwa outcomes
(apa yang diperoleh) seseorang tidak tergantung pada tindakan-tindakannya.

Learned helplessness : suatu keyakinan bahwa outcomes seseorang tidak


tergantung pada tindakan-tindakannya.

 Berikan contoh keadaan yang mencerminkan learn-helplessness!!!

3. Self-induced Dependence
Outcomes yang tidak dapat dikendalikan merupakan sumber perasaan
kehilangan kendali. Di samping itu terdapat pula situasi yang dapat
menimbulkan semacam illusion of incompetence (ilusi ketidakkompetenan)

Self-induced Dependence: situasi yang menimbulkan semacam illusion


of incompetence (ilusi ketidakkompetenan)

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 19


Misalnya, seseorang mungkin secara tidak langsung menyatakan bahwa
seseorang tidak kompeten, lalu orang yang dinyatakan tidak kompeten
tersebut meyakini dirinya tidak kompeten.
Langer (1983) menyatakan bahwa sebagian dari para lansia yang mengalami
disfungsi mungkin secara tidak langsung merupakan hasil dari pengalaman
mendapatkan label tidak kompeten (incompetent). Sebagai anggota
masyarakat, kita cenderung untuk mengasumsikan bahwa mereka telah
melewati kondisi primanya, tidak mampu (incapable) dalam berbagai aktivitas
fisik dan mental, dan secara umum bergantung pada bantuan teman, orang-
orang terdekat, serta personel institusional. Asumsi semacam itu bukan
hanya tidak akurat, bahkan menurut Langer dapat menciptakan self-fulfilling
prophecy. Lansia itu sendiri, yang diberi label tergantung, dapat meyakini
label tersebut.
 Berikan contoh lain, keadaan yang mencerminkan self-induced dependence!!!

________________________________________________________________________

Sumber:
Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman L.S. (1993). Social Psychology in the “90s. Pacific
Grove: Brooks/Cole Publishing Company.

Handout Psi Sosial II: PENGARUH SOSIAL/ M.M. Nilam Widyarini 20

Anda mungkin juga menyukai