Anda di halaman 1dari 10

Bab 1

FILSAFAT MANUSIA: DEFINISI, OBYEK


DAN HUBUNGAN DENGAN ILMU-ILMU LAIN

1.1. Nama Filsafat Manusia


1.2. Tempat Filsafat Manusia dalam filsafat
1.3. Definisi
1.4. Obyek
1.5. Filsafat Manusia dan Ilmu-ilmu lain
1.6. Pola-pola Pemikiran tentang Manusia
1.6.1. Pola Biologis
1.6.2. Pola Sosial Budaya
1.6.3. Pola Psikologis
1.6.4. Pola Teologis
1.7. Manfaat Belajar Filsafat Manusia

1.1. Nama Filsafat Manusia


Sebagai cabang dari disiplin filsafat, filsafat manusia sering disebut antropologi
filsafat (philosophical anthropology), psikologi filosofis/psikologi rasional/psikologi
metafisik. Kata antropologi (digunakan pertama kali di fakultas filsafat di universitas-
universitas di Jerman pada akhir abad 16) berarti studi sistematis tentang manusia sebagai
makluk fisik dan moral. Maka antropologi filsafat berarti studi sistematis tentang manusia
dalam filsafat atau dengan metode refleksif yang merupakan ciri filsafat.
Nama psikologi rasional dan psikologi metafisik digunakan untuk membedakan
filsafat dengan psikologi ilmiah (psikologi eksperimental/empiris). Meskipun demikian
istilah psikologi rasional kurang tepat karena dengan “psikologi” diandaikan bahwa yang
dipelajari adalah jiwa (psike) manusia, padahal manusia adalah kesatuan jiwa-tubuh.
Dalam mata kuliah ini kita menggunakan istilah filsafat manusia atau antropologi
filosofis.
Ada dua ungkapan yang dianggap sebagai moto filsafat manusia, yakni “manusia
adalah ukuran segala-galanya” (man is the measure of all things), dan “kenallah dirimu”
(know thyself). Ungkapan pertama berasal dari Protagoras, seorang filsuf sofis di Yunani,
sedangkan ungkapan kedua berasal dari orakel Delphi, yang kemudian juga ditegaskan
kembali oleh Heraclitus dan khususnya Socrates.

1.2. Tempat Filsafat Manusia dalam Filsafat


Filsafat manusia merupakan salah satu cabang filsafat. Untuk mengenal tempat
filsafat manusia dalam filsafat, kita perlu mengenal terlebih dulu cabang-cabang filsafat.
Berikut dikemukakan pembagian filsafat.

1
Pembagian Filsafat Menurut Aristoteles

No. Cabang Filsafat


1 Propaedeutic/Introdu Logics
2ctory Physics
Speculative Mathematics
Philosophy Metaphysics
3 Ethics
Politics
4 Practical Philosophy Art

Poetical Philosophy

Pembagian Menurut Thomas Aquinas

Propaedeuti Logic
c Philosophy of Nature Cosmology
Psychology
Philosophy. of -
Mathematics Ontology
Speculative Philosophy of Being Natural Theology
Philosophy
-
Philosophy of Art
Ethics
Philosophy of Morals Political
Practical Philosophy
Philosophy

Pembagian Menurut Christian Wolff

Metaphysic General -
s Special Ontology
Psychology
Cosmology
Theodicy

Logic -
Normative Ethics General
Sciences Special
Aesthetics -

2
Pembagian Secara Umum
No. Cabang Filsafat Obyek Studi
1 Ontologi hakikat realitas secara umum
2 Epistemologi pengetahuan
3 Psikologi Rasional manusia
4 Theodicea First Cause (Tuhan)
5 Logika correct thinking
6 Etika tindakan manusia
7 Filsafat Politik tujuan sosial manusia/negara
8 Aksiologi nilai
9 Estetika keindahan

Pembagian Filsafat Menurut Jonathan Dolhenty


(pembagian modern yang direvisi)

Descriptive Metaphysics Ontology


Philosophy Psychology
Cosmology
Theodicy
Criteriology Logic
Epistemology

Axiology ---

Normative Ethics Individual ---


Philosophy Social ---
Special Medical
Scientific
Legal
Business
Politics --- ---
Aesthetics --- ---

Applied - As applied to Phil. of Law


Philosophy disciplines Phil. of History
and knowledge Phil. of Science
Phil. of Religion
Phil. of Mathematics
Phil. of Education

- As applied Philosophical consulting for


to institutions institutions
Philosophical counseling for

3
individuals

Dalam pembagian di atas, Aristoteles tidak menyebut psikologi rasional. Aquinas


menganggap psikologi rasional sebagai bagian dari filsafat alam (philosophy of nature).
Sebaliknya Wolff dan Dolhenty menganggap psikologi rasional sebagai bagian dari
metafisika khusus.

1.3. Definisi Filsafat Manusia


Agar memahami secara lebih mendasar filsafat manusia, terlebih dulu disinggung
tentang definisi filsafat. Filsafat adalah ilmu spekulatif yang mempelajari seluruh realitas
(being as being) dan memformulasikan prinsip-prinsip serta hukum-hukumnya. Filsafat
mempelajari “ada” (being) sebagai realitas paling fundamental. Realitas artinya apa yang
ada (existens). Makanya sering dikatakan filsafat mempelajari ens (esse, being). Manusia
adalah salah satu bagian dari realitas atau being.
Sedangkan ilmu (science) adalah “bentuk pengetahuan yang pasti, nyata, dan
terorganisasi (certain, evident, and organized body of knowledge) yang muncul dari
prinsip-prinsip. Dengan ilmu kita memahami bahwa sesuatu itu benar, mengapa ia benar,
dan bahwa ia tak bisa menjadi suatu yang lain.
Sebagian besar pengetahuan kita yang nyata bersifat faktual. Misalnya, kemarin
hujan; kursi ini keras; kapur ini putih. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang
terorganisasi (atau unified), dan unsur-unsur pengorganisasi dasarnya adalah prinsip-
prinsip yang mengawali ilmu. Sebagian besar pengetahuan kita juga hanyalah pendapat
(opini). Misalnya, adalah pendapatku bahwa akan turun hujan sore ini. Sebaliknya ilmu
adalah pengetahuan yang pasti (certain) dan nyata (evident): entah dengan evidensi dan
kepastian prinsip-prinsip pertama atau menjadi nyata oleh penalaran kepada konklusi-
konklusi dari prinsip-prinsip itu, sehingga konklusi-konklusi dilihat dari terang prinsip-
prinsip.
Ilmu dibagi dalam dua kelompok, yakni ilmu-ilmu praktis dan ilmu-ilmu
spekulatif. Ilmu-ilmu praktis pertama-tama mencari kebenaran sebagai alat untuk
mencapai suatu tujuan yang lain. Misalnya, ilmu rekayasa (engineering) mencakup studi
tentang tekanan dan ketegangan (stresses and strains) yang bertujuan agar jembatan,
gedung, atau struktur bangunan lain menjadi kokoh sehingga tidak mudah roboh.
Sebaliknya ilmu spekulatif pertama-tama mencari kebenaran sebagai tujuan itu
sendiri, hanya untuk mengerti sesuatu, yakni memuaskan keinginan intelektual akan
kebenaran. Jadi ilmu spekulatif mencari kebenaran demi dirinya sendiri, bukan sebagai
alat untuk memperoleh suatu yang lain. Filsafat adalah ilmu spekulatif, dan filsafat
manusia adalah salah satu cabangnya.
Britannica Concise Encyclopedia mendefinisikan antropologi filsafat (filsafat
manusia) sbb: “study of human nature conducted by the methods of philosophy”.
Dijelaskan selanjutnya: “It is concerned with questions such as the status of human
beings in the universe, the purpose or meaning of human life, and whether humanity can
be made an object of systematic study.”
Jadi, filsafat manusia adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat manusia
secara refleksif/spekulatif. Manusia yang dipelajari adalah manusia seutuhnya,
sepenuhnya. Dengan kata lain manusia sebagai manusia (man as man). Yang dipelajari
ialah manusia secara keseluruhan, dengan menggunakan metode refleksif atau spekulatif.

4
Jadi, filsafat manusia tidak mempelajari manusia dari aspek tertentu, secara
sepotong-sepotong, bagian demi bagian. Filsafat manusia mempelajari manusia
seutuhnya. Filsafat manusia mempelajari manusia sebagai manusia (manusia qua
manusia). Metode yang digunakan bukan empiris seperti pada psikologi atau sosiologi,
melainkan metode spekulatif. Berarti hanya dengan menggunakan rasio atau penalaran.
Sebagai studi sistematis tentang manusia, filsafat manusia memusatkan perhatian
pada pertanyaan tentang kedudukan manusia di jagad raya, tujuan atau makna kehidupan
manusia, dan tentu saja isu-isu tentang apakah memang ada makna seperti itu dan apakah
manusia dapat dijadikan obyek studi sistematis.
Apa saja yang dipelajari di bawah ungkapan antropologi filsafat juga bergantung
pada konsep tentang hakikat dan cakupan filsafat. Hingga abad 19 ilmu fisika, kimia, dan
biologi masih termasuk filsafat alam. Kini ilmu-ilmu itu sudah memisahkan diri dari
filsafat. Itu berarti konsep tentang filsafat juga sudah berubah.
Pada abad 20 arti yang terkandung dalam istilah antropologi filsafat sudah
menjadi lebih sempit dibanding pada abad-abad sebelumnya. Ada empat pengertian
tentang antropologi filsafat yang diterima dewasa ini, yakni (1) studi tentang manusia; (2)
orientasi filosofis khusus yang dikenal sebagai humanisme di mana studi tentang manusia
merupakan dasar bagi semua yang lain – ini menonjol sejak masa renesans; (3) bentuk
humanisme khusus yang menjadikan kondisi manusia (being-in-the-world) sebagai titik
anjak; (4) studi tentang manusia yang tidak ilmiah (empiris).
Pengertian yang terakhir disuarakan oleh kaum antihumanisme yang berpendapat
antropologi filsafat hanya bisa ada kalau konsep subyek manusia individual ditolak. Bagi
mereka humanisme hanya menghasilkan antropologi filosofis yang tidak ilmiah.
Dalam sejarah filsafat, sering dibedakan pertanyaan: manusia itu siapa (who is
man) dan manusia itu apa (what is man)? Pertanyaan pertama menyoroti manusia dari
sudut pandang pengalaman manusia itu sendiri. Kata ganti tanya “siapa” mengandaikan
adanya kesadaran bahwa manusia adalah makluk yang unik. Pertanyaan kedua ingin
mencari tempat atau wadah manusia di dalam seluruh realitas (di sini sang filsuf
menempatkan diri di luar realitas dan meninjau realitas itu secara obyektif). Kedua
pertanyaan itu tidak bertentangan tetapi saling mengisi dalam memberikan definisi
tentang manusia.

1.4. Obyek Filsafat Manusia


Ada dua macam obyek ilmu, yakni obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah apa yang diselidiki. Obyek formal adalah sudut pandang (angle, point of
view) dalam menyelidiki obyek material. Ilmu-ilmu berbeda dalam hal obyek formal, dan
banyak yang sama dalam obyek material. Misalnya manusia sebagai obyek material
dipelajari oleh psikologi, sosiologi, ekonomi, biologi, embriologi, antropologi, etnologi,
dan sebagainya. Tetapi ilmu-ilmu itu saling berbeda karena obyek formalnya.
Berdasarkan definisi di atas obyek material filsafat manusia ialah manusia,
sedangkan obyek formalnya adalah manusia secara keseluruhan, manusia dari segala
aspek (man as man, manusia sebagai manusia). Hakikat manusia berarti struktur manusia
yang paling fundamental. Struktur fundamental itu tidak bersifat fisik, dan hanya dapat
diketahui lewat daya pikir manusia. Struktur fundamental itu hanya dapat ditangkap
secara intelektual. Itu merupakan prinsip adanya (principle d’etre).

5
Tentang ini Leahy memberikan penjelasan sebagai berikut: “Apa yang oleh sang
filsuf ingin dimengerti dan dikatakan tentang manusia ialah bukan bentuk fisiknya yang
dapat diamati, dibayangkan, digambar, diukur; juga bukan bagian ini atau fungsi itu dari
bentuk fisik ini, tetapi struktur metafisiknya, tanpanya manusia tak dapat dipikirkan”.

1.5. Filsafat manusia dan Ilmu-ilmu lain


Dalam mata kuliah ini, yang dimaksud dengan “ilmu-ilmu lain” ialah ilmu-ilmu
yang obyek materialnya (subject matter) adalah manusia, seperti psikologi, sosiologi,
teologi, sejarah, dan kedokteran.
Ada perbedaan antara filsafat dan ilmu-ilmu lain dalam mempelajari manusia.
Ilmu-ilmu lain mempelajari manusia hanya dari aspek tertentu, filsafat mempelajari
manusia dari semua aspek (manusia sebagai manusia, man as man, homo qua homo).
Filsafat mempelajari manusia secara spekulatif/refleksif, sedangkan ilmu-ilmu lain secara
empiris. Gambaran tentang manusia dalam filsafat lebih lengkap.
Psikologi: mempelajari tingkah laku (behaviour) manusia. Ia mempelajari hanya
satu bagian/segi dari manusia. Filsafat manusia mempelajari hakikat terdalam manusia
sebagai kesatuan jiwa dan tubuh. Dengan kata lain, filsafat manusia mempelajari manusia
sebagai manusia (man as man), manusia seutuhnya, manusia dari segala aspeknya.
Sosiologi: mempelajari manusia dalam interaksi dengan manusia lain. Psikologi
menekankan individu manusia, sedangkan sosiologi menyoroti manusia sebagai makluk
yang hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Interaksi antarmanusia dan
anterkelompok itulah yang menjadi kepentingan sosiologi. Jadi filsafat manusia
mempelajari manusia dalam segala aspeknya, baik individual maupun sosial.
Teologi: ilmu tentang Tuhan (science of god). Obyek material teologi ialah Tuhan
dan seluruh ciptaan, termasuk manusia, dalam relasinya dengan Tuhan (omnia
pertractantur in sacra doctrina sub ratione Dei, vel quia sunt ipse Deus, vel quia habent
ordinem ad Deum ut ad principium et finem).
Teologi dibedakan atas teologi naturalis dan teologi supernaturalis. Teologi
naturalis sejak abad 19 disebut juga theodicea. Obyek formal teologi naturalis ialah
Tuhan sejauh dikenal oleh akal budi. Sedangkan obyek formal teologi supernatural ialah
Tuhan sejauh dikenal oleh iman dari wahyu.
Perbedaan teologi naturalis dan supernaturalis: (a) dalam hal prinsip pengenalan:
akal budi manusia (ratio naturalis) vs akal budi yang diterangi iman (ratio fide
illustrata); (b) dalam hal sarana pengenalan: studi tentang makluk ciptaan (ea quae facta
sunt) vs wahyu ilahi (revelatio divina); (c) dalam hal obyek formal: Tuhan sebagai
Pencipta dan Tuhan (Deus unus, Creator et dominus) vs Allah yang satu dan tiga (Deus
Unus et Trinus).
Sejarah: mempelajari tentang bagaimana manusia hidup di zaman dulu. Sejarah
menjelaskan, misalnya, mengapa dan bagaimana nenek moyang kita hidup dan
berperihidup sehingga memungkinkan kita mengerti situasi mereka di masa yang sudah
lama lewat itu. Tetapi sejarah hanya memberikan fakta-fakta tentang individu-individu
atau kelompok-kelompok masyarakat purba. Tidak lebih dari itu. Filsafat manusia justru
memberikan pengertian tentang inti hakikat manusia, pelaku sejarah yang dipelajari
dalam sejarah itu.

6
Kedokteran: mempelajari tentang manusia yang sakit secara fisik. Jadi, yang
diteropong ialah struktur fisik manusia. Tapi filsafat hendak meneropong manusia
sebagai suatu keutuhan fundamental, tanpa membedakan yang sakit atau sehat.
Setiap ilmu mempunyai obyek material (apa yang dipelajari) dan obyek formal
(sudut pandang, view point, angle dalam mempelajari OM). Berbagai ilmu mempelajari
manusia, tapi karena perbedaan metode, mempelajari manusia dari sudut pandang
berbeda dan terbatas. Misalnya, filsafat manusia (man as man), anatomi (aspek
struktural), antropologi (asal usul), psikiatri (kesehatan mental), psikologi (perilaku),
sosiologi (interaksi sosial), ekonomi (pemenuhan kebutuhan), sejarah (masa lampau).
Jadi, ilmu-ilmu itu mempunyai OM yang sama (manusia), tapi OF-nya berbeda. Ikhtiar
perbedaan filsafat manusia dan ilmu-ilmu lain dapat disimak pada tabel berikut.

No Ilmu OM OF Keterangan Metode


1 Fils. Manusia Manusia Man as man Seluruh aspek Refleksi/
manusia spekulasi

2 Anatomi Manusia Aspek Struktur fisik Empiris


tertentu
manusia
3 Antropologi Manusia idem Budaya Empiris
4 Psikologi Manusia idem Perilaku Empiris
5 Sosiologi Manusia idem Interaksi sos. Empiris
6 Ekonomi Manusia idem Pemenuhan Empiris
kebutuhan
7 Sejarah Manusia idem Masa lampau Empiris

1.6. Pola-pola Pemikiran Tentang Manusia


Manusia memiliki banyak dimensi sehingga tak dapat dijelaskan dari satu segi
saja. Oleh sebab itu perlu kerjasama antara berbagai disiplin ilmu untuk mengungkap
hakikat manusia dan menjelaskan misteri manusia. Tiap ilmu hanya memandang dan
menjelaskan manusia dari aspek tertentu saja. Karena manusia penuh misteri (homo
absconditus) maka untuk menjelaskan dan memahami siapa itu manusia dibutuhkan
kerjasama berbagai disiplin ilmu.
Filsafat membutuhkan hasil ilmu-ilmu lain, sebaliknya ilmu-ilmu empiris
membutuhkan filsafat. Sejauh ini dikenal beberapa pola pemikiran tentang manusia
sebagai hasil kerjasama antardisiplin ilmu, yaitu manusia dilihat sebagai makluk biologis,
makluk sosial budaya, makluk psikologis, dan makluk teologis.

1.6.1. Manusia sebagai makluk biologis


Pola ini mengacu pada biologi. Manusia dan kemampuan kreatifnya diteropong
menurut struktur fisiologisnya. Dimensi budaya dilihat sebagai fungsi khas dari susunan
fisiologisnya. Pola ini dikembangkan oleh Buytendijk, A. Portman, dan A. Gehlen.

7
Berdasarkan penelitiannya di bidang psikologi dan fisiologi, Buytendijk
mendefinisikan manusia sebagai makluk yang mampu melakukan abstraksi, simbolisasi,
dan penyusunan logis simbol-simbol. Portman berpendapat bahwa meskipun ada
kesamaan antara hewan dan manusia, tetapi manusia memiliki kekhasan seperti bahasa,
posisi tubuh vertikal, dan ritme pertumbuhan manusia yang merupakan hasil dari kerja
sama proses keturunan dan sosial budaya. Manusia bersifat terbuka, sedangkan hewan
bersifat tertutup dan deterministik.
Portman melihat manusia sebagai internalitas, yaitu sebagai pusat kegiatan intern
yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan
manusia lain.

1.6.2. Manusia sebagai makluk Sosial Budaya


Model ini melihat manusia sebagai makluk yang mempunyai kemampuan untuk
membentuk sejarah. Manusia memiliki kodrat yang bukan uniform, tetapi berwajah
banyak. Model ini merupakan hasil kerjasama ilmu-ilmu seperti sejarah kebudayaan,
sosiologi kebudayaan, dan filsafat sejarah. Tokoh-tokohnya antara lain Gehlen,
Rothacker, dan Ernst Cassirer.
Pola ini masih berkaitan dengan pola biologis. Gehlen, misalnya, mengatakan
kebudayaan manusia ditimbulkan akibat kelemahan fisik manusia dibanding hewan.
Karena manusia tidak dilengkapi kekayaan insting dan sarana-sarana alamiah untuk
membela diri, maka ia melakukan kegiatan-kegiatan kreatif sebagai reaksi terhadap
tantangan lingkungan. Maka manusia mengubah lingkungan alamiah menjadi lingkup
atau sistem tindakan yang bermakna yang dilestarikan dalam institusi-institusi
kebudayaan dan bahasa. Lingkup budaya manusia merupakan usaha untuk
mempertahankan diri di dunia.

1.6.3. Manusia sebagai makluk Psikologis


Model ini mengacu pada pandangan psikologi tentang manusia. Filsafat manusia
merumuskan beberapa asumsi dasar tentang manusia dengan menggunakan konsep-
konsep ilmu psikologi. Pandangan filosofis tentang manusia didasarkan pada hasil
penelitian deskriptif tentang kasus-kasus pribadi seperti gejala tertawa, menangis,
mengkhayal, rasa malu, cinta, ketakutan, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya antara lain
Plessner, Ludwig Binswanger, Erwin Straus, dan Erich Fromm.
Menurut Plessner, kemampuan manusia untuk tertawa dan menangis disebabkan
oleh posisi eksentrisnya, yaitu kesanggupan manusia untuk mengamati, menilai, dan
menanggapi situasi hidupnya.

1.6.4. Manusia sebagai makluk Teologis


Dalam pola ini manusia dilihat sebagai makluk yang berdialog dengan Tuhan.
Pola ini menekankan manusia sebagai makluk yang memiliki keterbukaan, individualitas
dan bersifat sosial. Untuk menjelaskan, misalnya, mengapa manusia menemui kesulitan
dalam memilih yang benar, dikatakan bahwa itu disebabkan karena manusia adalah
makluk yang dihadapkan pada pertentangan antara rahmat dan dosa.
Tokoh-tokohnya antara lain Martin Buber, Emil Brunner, dan Dietrich
Bonhoeffer. Mereka berpendapat bahwa untuk mengenal dan memahami wahyu Tuhan,
tidak cukup hanya dengan logika intelek, tetapi yang dibutuhkan adalah logika hati.

8
1.7. Manfaat Belajar Filsafat Manusia
Secara umum manfaat belajar filsafat manusia tak dapat dilepaskan dari manfaat
belajar filsafat itu sendiri. Thiroux dalam buku Philosophy, Theory and Practice (1985)
menggarisbawahi paling kurang empat manfaat belajar filsafat yakni:
Pertama, filsafat membuat orang lebih sadar dan kreatif. Berfilsafat berarti
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keyakinan dan teori. Dengan demikian, orang
menjadi lebih sadar akan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Orang menjadi lebih
berkembang, wawasan observasi dan kontemplasinya bertambah, dan orang belajar untuk
berfikir dan bertindak lebih kreatif.
Kedua, filsafat menumbuhkan dan memupuk sikap toleran. Dengan selalu
mempertanyakan keyakinan dan teori, termasuk teorinya sendiri, orang makin menyadari
betapa sulit dan kompleksnya masalah-masalah kehidupan. Sebuah teori atau keyakinan
tidak dapat memberikan jawaban memuaskan untuk mengatasi persoalan-persoalan
hidup. Dengan demikian, orang belajar menghargai teori dan keyakinan orang lain.
Pandangan kita dan pandangan orang lain, yang memang berbeda, bisa saja menawarkan
jalan keluar yang baik. Jadi, belajar filsafat membuat kita toleran terhadap perbedaan.
Ketiga, filsafat memberikan metode sistematis untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan. Filsafat mengajarkan bagaimana menyusun argumen yang valid, bagaimana
menghindari logical fallacies. Dengan kata lain, filsafat mengajarkan bagaimana bernalar
secara logis.
Keempat, filsafat membuat kita jadi lebih konsisten. Jika kita mempertanyakan
sesuatu secara mendasar, menganalisis, dan mengevaluasi segalanya secara cermat, kita
akan menjadi lebih konsisten dalam kehidupan. Bertanya, menganalisis dan
mengevaluasi bertujuan memperoleh konsistensi sehingga kita menghadapi kehidupan
dan permasalahannya secara rasional dan teratur. Hidup tidak cukup dihadapi dengan
reaksi spontan tanpa memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai acuan.
Harus ditekankan bahwa manfaat belajar filsafat manusia adalah untuk
memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang manusia. Manusia yang diperoleh adalah
manusia dari segala aspek, bukan hanya dari aspek-aspek tertentu seperti pada ilmu-ilmu
lain (ilmu-ilmu manusia). Ini mungkin tercapai lewat metode refleksif spekulatif.
Seperti telah dijelaskan di atas, ilmu-ilmu non-filsafat mempelajari manusia dari
aspek tertentu saja, sedangkan filsafat manusia menyoroti manusia sebagai manusia (man
as man). Namun ini tidak berarti bahwa dengan belajar filsafat manusia, gambaran
manusia menjadi terang-benderang. Sama sekali tidak. Manusia nampaknya akan tetap
menjadi makluk yang penuh misteri.

Sumber:
1. Abel, Reuben (1976), Man Is the Measure, London: The Free Press.
2. Carrel, Alexis (1935), Man the Unknown, New York.
3. Cassirer, Ernst (1987), Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia
(terjemahan), Jakarta:
Gramedia.
4. Leahy, Louis (1984), Manusia Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia.

9
5. Vaske, Martin O (1963), An Introduction to Metaphysics, New York: McGraw-Hill
Book Company Inc.
6. Encyclopedia Britanica.

10

Anda mungkin juga menyukai