1
Pembagian Filsafat Menurut Aristoteles
Poetical Philosophy
Propaedeuti Logic
c Philosophy of Nature Cosmology
Psychology
Philosophy. of -
Mathematics Ontology
Speculative Philosophy of Being Natural Theology
Philosophy
-
Philosophy of Art
Ethics
Philosophy of Morals Political
Practical Philosophy
Philosophy
Metaphysic General -
s Special Ontology
Psychology
Cosmology
Theodicy
Logic -
Normative Ethics General
Sciences Special
Aesthetics -
2
Pembagian Secara Umum
No. Cabang Filsafat Obyek Studi
1 Ontologi hakikat realitas secara umum
2 Epistemologi pengetahuan
3 Psikologi Rasional manusia
4 Theodicea First Cause (Tuhan)
5 Logika correct thinking
6 Etika tindakan manusia
7 Filsafat Politik tujuan sosial manusia/negara
8 Aksiologi nilai
9 Estetika keindahan
Axiology ---
3
individuals
4
Jadi, filsafat manusia tidak mempelajari manusia dari aspek tertentu, secara
sepotong-sepotong, bagian demi bagian. Filsafat manusia mempelajari manusia
seutuhnya. Filsafat manusia mempelajari manusia sebagai manusia (manusia qua
manusia). Metode yang digunakan bukan empiris seperti pada psikologi atau sosiologi,
melainkan metode spekulatif. Berarti hanya dengan menggunakan rasio atau penalaran.
Sebagai studi sistematis tentang manusia, filsafat manusia memusatkan perhatian
pada pertanyaan tentang kedudukan manusia di jagad raya, tujuan atau makna kehidupan
manusia, dan tentu saja isu-isu tentang apakah memang ada makna seperti itu dan apakah
manusia dapat dijadikan obyek studi sistematis.
Apa saja yang dipelajari di bawah ungkapan antropologi filsafat juga bergantung
pada konsep tentang hakikat dan cakupan filsafat. Hingga abad 19 ilmu fisika, kimia, dan
biologi masih termasuk filsafat alam. Kini ilmu-ilmu itu sudah memisahkan diri dari
filsafat. Itu berarti konsep tentang filsafat juga sudah berubah.
Pada abad 20 arti yang terkandung dalam istilah antropologi filsafat sudah
menjadi lebih sempit dibanding pada abad-abad sebelumnya. Ada empat pengertian
tentang antropologi filsafat yang diterima dewasa ini, yakni (1) studi tentang manusia; (2)
orientasi filosofis khusus yang dikenal sebagai humanisme di mana studi tentang manusia
merupakan dasar bagi semua yang lain – ini menonjol sejak masa renesans; (3) bentuk
humanisme khusus yang menjadikan kondisi manusia (being-in-the-world) sebagai titik
anjak; (4) studi tentang manusia yang tidak ilmiah (empiris).
Pengertian yang terakhir disuarakan oleh kaum antihumanisme yang berpendapat
antropologi filsafat hanya bisa ada kalau konsep subyek manusia individual ditolak. Bagi
mereka humanisme hanya menghasilkan antropologi filosofis yang tidak ilmiah.
Dalam sejarah filsafat, sering dibedakan pertanyaan: manusia itu siapa (who is
man) dan manusia itu apa (what is man)? Pertanyaan pertama menyoroti manusia dari
sudut pandang pengalaman manusia itu sendiri. Kata ganti tanya “siapa” mengandaikan
adanya kesadaran bahwa manusia adalah makluk yang unik. Pertanyaan kedua ingin
mencari tempat atau wadah manusia di dalam seluruh realitas (di sini sang filsuf
menempatkan diri di luar realitas dan meninjau realitas itu secara obyektif). Kedua
pertanyaan itu tidak bertentangan tetapi saling mengisi dalam memberikan definisi
tentang manusia.
5
Tentang ini Leahy memberikan penjelasan sebagai berikut: “Apa yang oleh sang
filsuf ingin dimengerti dan dikatakan tentang manusia ialah bukan bentuk fisiknya yang
dapat diamati, dibayangkan, digambar, diukur; juga bukan bagian ini atau fungsi itu dari
bentuk fisik ini, tetapi struktur metafisiknya, tanpanya manusia tak dapat dipikirkan”.
6
Kedokteran: mempelajari tentang manusia yang sakit secara fisik. Jadi, yang
diteropong ialah struktur fisik manusia. Tapi filsafat hendak meneropong manusia
sebagai suatu keutuhan fundamental, tanpa membedakan yang sakit atau sehat.
Setiap ilmu mempunyai obyek material (apa yang dipelajari) dan obyek formal
(sudut pandang, view point, angle dalam mempelajari OM). Berbagai ilmu mempelajari
manusia, tapi karena perbedaan metode, mempelajari manusia dari sudut pandang
berbeda dan terbatas. Misalnya, filsafat manusia (man as man), anatomi (aspek
struktural), antropologi (asal usul), psikiatri (kesehatan mental), psikologi (perilaku),
sosiologi (interaksi sosial), ekonomi (pemenuhan kebutuhan), sejarah (masa lampau).
Jadi, ilmu-ilmu itu mempunyai OM yang sama (manusia), tapi OF-nya berbeda. Ikhtiar
perbedaan filsafat manusia dan ilmu-ilmu lain dapat disimak pada tabel berikut.
7
Berdasarkan penelitiannya di bidang psikologi dan fisiologi, Buytendijk
mendefinisikan manusia sebagai makluk yang mampu melakukan abstraksi, simbolisasi,
dan penyusunan logis simbol-simbol. Portman berpendapat bahwa meskipun ada
kesamaan antara hewan dan manusia, tetapi manusia memiliki kekhasan seperti bahasa,
posisi tubuh vertikal, dan ritme pertumbuhan manusia yang merupakan hasil dari kerja
sama proses keturunan dan sosial budaya. Manusia bersifat terbuka, sedangkan hewan
bersifat tertutup dan deterministik.
Portman melihat manusia sebagai internalitas, yaitu sebagai pusat kegiatan intern
yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan
manusia lain.
8
1.7. Manfaat Belajar Filsafat Manusia
Secara umum manfaat belajar filsafat manusia tak dapat dilepaskan dari manfaat
belajar filsafat itu sendiri. Thiroux dalam buku Philosophy, Theory and Practice (1985)
menggarisbawahi paling kurang empat manfaat belajar filsafat yakni:
Pertama, filsafat membuat orang lebih sadar dan kreatif. Berfilsafat berarti
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keyakinan dan teori. Dengan demikian, orang
menjadi lebih sadar akan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Orang menjadi lebih
berkembang, wawasan observasi dan kontemplasinya bertambah, dan orang belajar untuk
berfikir dan bertindak lebih kreatif.
Kedua, filsafat menumbuhkan dan memupuk sikap toleran. Dengan selalu
mempertanyakan keyakinan dan teori, termasuk teorinya sendiri, orang makin menyadari
betapa sulit dan kompleksnya masalah-masalah kehidupan. Sebuah teori atau keyakinan
tidak dapat memberikan jawaban memuaskan untuk mengatasi persoalan-persoalan
hidup. Dengan demikian, orang belajar menghargai teori dan keyakinan orang lain.
Pandangan kita dan pandangan orang lain, yang memang berbeda, bisa saja menawarkan
jalan keluar yang baik. Jadi, belajar filsafat membuat kita toleran terhadap perbedaan.
Ketiga, filsafat memberikan metode sistematis untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan. Filsafat mengajarkan bagaimana menyusun argumen yang valid, bagaimana
menghindari logical fallacies. Dengan kata lain, filsafat mengajarkan bagaimana bernalar
secara logis.
Keempat, filsafat membuat kita jadi lebih konsisten. Jika kita mempertanyakan
sesuatu secara mendasar, menganalisis, dan mengevaluasi segalanya secara cermat, kita
akan menjadi lebih konsisten dalam kehidupan. Bertanya, menganalisis dan
mengevaluasi bertujuan memperoleh konsistensi sehingga kita menghadapi kehidupan
dan permasalahannya secara rasional dan teratur. Hidup tidak cukup dihadapi dengan
reaksi spontan tanpa memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai acuan.
Harus ditekankan bahwa manfaat belajar filsafat manusia adalah untuk
memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang manusia. Manusia yang diperoleh adalah
manusia dari segala aspek, bukan hanya dari aspek-aspek tertentu seperti pada ilmu-ilmu
lain (ilmu-ilmu manusia). Ini mungkin tercapai lewat metode refleksif spekulatif.
Seperti telah dijelaskan di atas, ilmu-ilmu non-filsafat mempelajari manusia dari
aspek tertentu saja, sedangkan filsafat manusia menyoroti manusia sebagai manusia (man
as man). Namun ini tidak berarti bahwa dengan belajar filsafat manusia, gambaran
manusia menjadi terang-benderang. Sama sekali tidak. Manusia nampaknya akan tetap
menjadi makluk yang penuh misteri.
Sumber:
1. Abel, Reuben (1976), Man Is the Measure, London: The Free Press.
2. Carrel, Alexis (1935), Man the Unknown, New York.
3. Cassirer, Ernst (1987), Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia
(terjemahan), Jakarta:
Gramedia.
4. Leahy, Louis (1984), Manusia Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia.
9
5. Vaske, Martin O (1963), An Introduction to Metaphysics, New York: McGraw-Hill
Book Company Inc.
6. Encyclopedia Britanica.
10