Anda di halaman 1dari 10

Bab 1

APA ITU FILSAFAT MANUSIA?

1.1. Nama Filsafat Manusia


1.2. Tempat Filsafat Manusia dalam filsafat
1.3. Definisi
1.4. Obyek
1.5. Filsafat Manusia dan Ilmu-ilmu lain
1.6. Pola-pola Pemikiran Filsafat Manusia
1.6.1. Pola Biologis
1.6.2. Pola Sosial Budaya
1.6.3. Pola Psikologis
1.6.4. Pola Teologis
1.7. Manfaat Belajar Filsafat Manusia

1.1. Nama Filsafat Manusia


Sebagai cabang dari disiplin filsafat, filsafat manusia sering disebut antropologi
filsafat (philosophical anthropology), psikologi filosofis, psikologi rasional, atau psikologi
metafisik. Kata antropologi (digunakan pertama kali di fakultas filsafat di universitas-
universitas di Jerman pada akhir abad 16) berarti studi sistematis tentang manusia sebagai
makluk fisik dan moral. Maka antropologi filsafat berarti studi sistematis tentang manusia
dalam filsafat atau dengan metode refleksif yang merupakan ciri filsafat.
Nama psikologi rasional dan psikologi metafisik digunakan untuk membedakannya
dengan psikologi ilmiah (psikologi eksperimental/empiris). Meskipun demikian istilah
psikologi rasional kurang tepat karena dengan “psikologi” diandaikan bahwa yang dipelajari
adalah jiwa (psike) manusia, padahal manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Dalam mata
kuliah ini kita menggunakan istilah filsafat manusia atau antropologi filosofis.
Ada dua ungkapan yang dianggap sebagai moto filsafat manusia, yakni “manusia
adalah ukuran segala-galanya” (man is the measure of all things), dan “kenallah dirimu”
(know thyself). Ungkapan pertama berasal dari Protagoras, seorang filsuf sofis di Yunani,
sedangkan ungkapan kedua berasal dari orakel Delphi, yang kemudian juga ditegaskan
kembali oleh Heraclitus dan khususnya Socrates.

1.2. Tempat Filsafat Manusia dalam Filsafat


Filsafat manusia merupakan salah satu cabang filsafat. Untuk mengenal tempat
filsafat manusia dalam filsafat, kita perlu mengenal terlebih dulu cabang-cabang filsafat.
Berikut dikemukakan pembagian filsafat.

Pembagian Secara Umum

No. Cabang Filsafat Obyek Studi


1 Ontologi hakikat realitas secara umum
2 Epistemologi pengetahuan
3 Psikologi Rasional manusia
4 Theodicea First Cause (Tuhan)
5 Logika correct thinking
6 Etika tindakan manusia
7 Filsafat Politik tujuan sosial manusia/negara
8 Aksiologi nilai
9 Estetika keindahan

Pembagian Filsafat Menurut Aristoteles

No. Cabang Filsafat


1 Propaedeutic/Introductory Logics
2 Speculative Philosophy Physics
Mathematics
Metaphysics
3 Practical Philosophy Ethics
Politics
4 Poetical Philosophy Art

Pembagian Menurut Thomas Aquinas

Propaedeutic Logic

Philosophy of Nature Cosmology


Psychology
Speculative Philosophy. of Mathematics -
Philosophy Philosophy of Being Ontology
Natural Theology

Philosophy of Art -

Practical Philosophy Philosophy of Morals Ethics


Political Philosophy

Pembagian Menurut Christian Wolff

Metaphysics General -
Special Ontology
Psychology
Cosmology
Theodicy

Normative Sciences Logic -


Ethics General
Special
Aesthetics -

Pembagian Filsafat Menurut Jonathan Dolhenty


(pembagian modern yang direvisi)

Descriptive Metaphysics Ontology


Philosophy Psychology
Cosmology
Theodicy
Criteriology Logic
Epistemology
Axiology ---

Normative Ethics Individual ---


Philosophy Social ---
Special Medical
Scientific
Legal
Business
Politics --- ---
Aesthetics --- ---

Applied - As applied to Phil. of Law


Philosophy disciplines Phil. of History
and knowledge Phil. of Science
Phil. of Religion
Phil. of Mathematics
Phil. of Education

- As applied Philosophical consulting for


to institutions institutions
Philosophical counseling for
individuals

Dalam pembagian di atas, Aristoteles tidak menyebut psikologi rasional. Aquinas


menganggap psikologi rasional sebagai bagian dari filsafat alam (philosophy of nature).
Sebaliknya Wolff dan Dolhenty menganggap psikologi rasional sebagai bagian dari
metafisika khusus.

1.3. Definisi Filsafat Manusia


Filsafat adalah ilmu spekulatif yang mempelajari seluruh realitas (being as being) dan
memformulasikan prinsip-prinsip serta hukum-hukumnya. Ilmu (science) adalah “bentuk
pengetahuan yang pasti, nyata, dan terorganisasi (certain, evident, and organized body of
knowledge) yang muncul dari prinsip-prinsip. Dengan ilmu kita memahami bahwa sesuatu itu
benar, mengapa ia benar, dan bahwa ia tak bisa menjadi suatu yang lain.
Sebagian besar pengetahuan kita yang nyata bersifat faktual. Misalnya, kemarin
hujan; kursi ini keras; kapur ini putih. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang terorganisasi
(atau unified), dan unsur-unsur pengorganisasi dasarnya adalah prinsip-prinsip yang
mengawali ilmu. Sebagian besar pengetahuan kita juga hanyalah pendapat (opini). Misalnya,
adalah pendapatku bahwa akan turun hujan sore ini. Sebaliknya ilmu adalah pengetahuan
yang pasti (certain) dan nyata (evident): entah dengan evidensi dan kepastian prinsip-prinsip
pertama atau menjadi nyata oleh penalaran kepada konklusi-konklusi dari prinsip-prinsip itu,
sehingga konklusi-konklusi dilihat dari terang prinsip-prinsip.
Ilmu dibagi dalam dua kelompok, yakni ilmu-ilmu praktis dan ilmu-ilmu spekulatif.
Ilmu-ilmu praktis pertama-tama mencari kebenaran sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan
yang lain. Misalnya, ilmu rekayasa (engineering) mencakup studi tentang tekanan dan
ketegangan (stresses and strains) yang bertujuan agar jembatan, gedung, atau struktur
bangunan lain menjadi kokoh sehingga tidak mudah roboh.
Sebaliknya ilmu spekulatif pertama-tama mencari kebenaran sebagai tujuan itu
sendiri, hanya untuk mengerti sesuatu, yakni memuaskan keinginan intelektual akan
kebenaran. Jadi ilmu spekulatif mencari kebenaran demi dirinya sendiri, bukan sebagai alat
untuk memperoleh suatu yang lain. Filsafat adalah ilmu spekulatif, dan filsafat manusia
adalah salah satu cabangnya.
Britannica Concise Encyclopedia mendefinisikan antropologi filsafat (filsafat
manusia) sbb: “study of human nature conducted by the methods of philosophy”. Dijelaskan
selanjutnya: “It is concerned with questions such as the status of human beings in the
universe, the purpose or meaning of human life, and whether humanity can be made an
object of systematic study.”
Jadi, filsafat manusia adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat manusia secara
refleksif/spekulatif. Manusia yang dipelajari adalah manusia seutuhnya, sepenuhnya. Dengan
kata lain manusia sebagai manusia (man as man). Yang dipelajari ialah manusia secara
keseluruhan, dengan menggunakan metode refleksif atau spekulatif.
Jadi, filsafat manusia tidak mempelajari manusia dari aspek tertentu, secara sepotong-
sepotong, bagian demi bagian. Filsafat manusia mempelajari manusia seutuhnya. Filsafat
manusia mempelajari manusia sebagai manusia (manusia qua manusia). Metode yang
digunakan bukan empiris seperti pada psikologi atau sosiologi, melainkan metode spekulatif.
Berarti hanya dengan menggunakan rasio atau penalaran.
Sebagai studi sistematis tentang manusia, filsafat manusia memusatkan perhatian pada
pertanyaan tentang kedudukan manusia di jagad raya, tujuan atau makna kehidupan manusia,
dan tentu saja isu-isu tentang apakah memang ada makna seperti itu dan apakah manusia
dapat dijadikan obyek studi sistematis.
Apa saja yang dipelajari di bawah ungkapan antropologi filsafat juga bergantung pada
konsep tentang hakikat dan cakupan filsafat. Kita tahu hingga abad 19 ilmu fisika, kimia, dan
biologi masih termasuk filsafat alam. Kini ilmu-ilmu itu sudah memisahkan diri dari filsafat.
Itu berarti konsep tentang filsafat juga sudah berubah.
Pada abad 20 arti yang terkandung dalam istilah antropologi filsafat sudah menjadi
lebih sempit dibanding pada abad-abad sebelumnya. Ada empat pengertian tentang
antropologi filsafat yang diterima dewasa ini, yakni (1) studi tentang manusia; (2) orientasi
filosofis khusus yang dikenal sebagai humanisme di mana studi tentang manusia merupakan
dasar bagi semua yang lain – ini menonjol sejak masa renesans; (3) bentuk humanisme
khusus yang menjadikan kondisi manusia (being-in-the-world) sebagai titik anjak; (4) studi
tentang manusia yang dianggap tidak ilmiah.
Pengertian yang terakhir disuarakan oleh kaum antihumanisme yang berpendapat
antropologi filsafat hanya bisa ada kalau konsep subyek manusia individual ditolak. Bagi
mereka humanisme hanya menghasilkan antropologi filosofis yang tidak ilmiah.
Dalam sejarah filsafat, sering dibedakan pertanyaan: manusia itu siapa (who is man)
dan manusia itu apa (what is man)? Pertanyaan pertama menyoroti manusia dari sudut
pandang pengalaman manusia itu sendiri. Kata ganti tanya “siapa” mengandaikan adanya
kesadaran bahwa manusia adalah makluk yang unik. Pertanyaan kedua ingin mencari tempat
atau wadah manusia di dalam seluruh realitas (di sini sang filsuf menempatkan diri di luar
realitas dan meninjau realitas itu secara obyektif). Kedua pertanyaan itu tidak bertentangan
tetapi saling mengisi dalam memberikan definisi tentang manusia.

1.4. Obyek Filsafat Manusia


Setiap ilmu mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa
yang diselidiki. Obyek formal adalah sudut pandang (angle, point of view) dalam menyelidiki
obyek material serta metode yang digunakan. Ilmu-ilmu berbeda dalam hal obyek formal, dan
banyak yang sama dalam obyek material. Misalnya manusia sebagai obyek material dipelajari
oleh psikologi, sosiologi, ekonomi, biologi, embriologi, antropologi, etnologi, dan
sebagainya. Tetapi ilmu-ilmu itu saling berbeda karena obyek formalnya.
Berdasarkan definisi di atas obyek material filsafat manusia ialah manusia, sedangkan
obyek formalnya adalah inti hakikat manusia, manusia secara keseluruhan, manusia yang
utuh (manusia qua manusia), Hakikat manusia berarti struktur manusia yang paling
fundamental. Struktur fundamental itu tidak bersifat fisik, dan hanya dapat diketahui lewat
daya pikir manusia. Struktur fundamental itu merupakan prinsip adanya(principle d’etre)
yang hanya dapat ditangkap secara intelektual. Tentang ini Leahy memberikan penjelasan
sebagai berikut: “Apa yang oleh sang filsuf ingin dimengerti dan dikatakan tentang manusia
ialah bukan bentuk fisiknya yang dapat diamati, dibayangkan, digambar, diukur; juga bukan
bagian ini atau fungsi itu dari bentuk fisik ini, tetapi struktur metafisiknya, tanpanya manusia
tak dapat dipikirkan”.

1.5. Filsafat manusia dan Ilmu-ilmu lain


Dalam mata kuliah ini, yang dimaksud dengan “ilmu-ilmu lain” ialah ilmu-ilmu yang
obyek materialnya (subject matter) adalah manusia, seperti psikilogi, sosiologi, teologi,
sejarah, dan kedokteran.
Ada perbedaan antara filsafat dan ilmu-ilmu lain dalam mempelajari manusia. Ilmu-
ilmu lain mempelajari manusia hanya dari aspek tertentu, filsafat mempelajari manusia dari
semua aspek (manusia sebagai manusia, man as man, man qua man), sedalan-dalamnya.
Filsafat mempelajari manusia secara spekulatif/refleksif, sedangkan ilmu-ilmu lain secara
empiris.
Psikologi: mempelajari tingkah laku (behaviour) manusia. Ia mempelajari hanya satu
bagian/segi dari manusia. Filsafat manusia mempelajari hakikat terdalam manusia sebagai
kesatuan jiwa dan tubuh. Dengan kata lain, filsafat manusia mempelajari manusia sebagai
manusia (man as man), manusia seutuhnya, manusia dari segala aspeknya.
Sosiologi: mempelajari manusia dalam interaksi dengan manusia lain. Psikologi
menekankan individu manusia, sedangkan sosiologi menyoroti manusia sebagai makluk yang
hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Interaksi antarmanusia dan anterkelompok
itulah yang menjadi kepentingan sosiologi. Jadi filsafat manusia mempelajari manusia dalam
segala aspeknya, baik individual maupun sosial.
Teologi: ilmu tentang Tuhan (science of god). Obyek material teologi ialah Tuhan dan
seluruh ciptaan, termasuk manusia, dalam relasinya dengan Tuhan (omnia pertractantur in
sacra doctrina sub ratione Dei, vel quia sunt ipse Deus, vel quia habent ordinem ad Deum ut
ad principium et finem).
Teologi dibedakan atas teologi naturalis dan teologi supernaturalis. Teologi naturalis
sejak abad 19 disebut juga theodicea. Obyek formal teologi naturalis ialah Tuhan sejauh
dikenal oleh akal budi. Sedangkan obyek formal teologi supernatural ialah Tuhan sejauh
dikenal oleh iman dari wahyu.
Perbedaan teologi naturalis dan supernaturalis: (a) dalam hal prinsip pengenalan: akal
budi manusia (ratio naturalis) vs akal budi yang diterangi iman (ratio fide illustrata); (b)
dalam hal sarana pengenalan: studi tentang makluk ciptaan (ea quae facta sunt) vs wahyu
ilahi (revelatio divina); (c) dalam hal obyek formal: Tuhan sebagai Pencipta dan Tuhan
(Deus unus, Creator et dominus) vs Allah yang satu dan tiga (Deus Unus et Trinus).
Sejarah: mempelajari tentang bagaimana manusia hidup di zaman dulu. Sejarah
menjelaskan, misalnya, mengapa dan bagaimana nenek moyang kita hidup dan berperihidup.
Ini akan memungkinkan kita mengerti situasi mereka di masa yang sudah lama lewat itu.
Tetapi sejarah hanya memberikan fakta-fakta tentang individu-individu atau kelompok-
kelompok masyarakat purba. Tidak lebih dari itu. Filsafat manusia justru memberikan
pengertian tentang inti hakikat manusia, pelaku sejarah yang dipelajari dalam sejarah itu.
Kedokteran: mempelajari tentang manusia yang sakit secara fisik. Jadi, yang
diteropong ialah struktur fisik manusia. Tapi filsafat hendak meneropong manusia sebagai
suatu keutuhan fundamental, tanpa membedakan yang sakit atau sehat.
Setiap ilmu mempunyai obyek material (apa yang dipelajari) dan obyek formal (sudut
pandang, view point, angle dalam mempelajari OM). Berbagai ilmu mempelajari manusia,
tapi karena perbedaan metode, mempelajari manusia dari sudut pandang berbeda dan
terbatas. Misalnya, filsafat manusia (man as man), anatomi (aspek struktural), antropologi
(asal usul), psikiatri (kesehatan mental), psikologi (perilaku), sosiologi (interaksi sosial),
ekonomi (pemenuhan kebutuhan), sejarah (masa lampau). Jadi, ilmu2 itu mempunyai OM
yang sama (manusia), tapi OF-nya berbeda. Ikhtiar perbedaan filsafat manusia dan ilmu-ilmu
lain dapat disimak pada tabel berikut.

No Ilmu OM OF Keterangan Metode

1 Fils. Manusia Manusia Man as man Seluruh manusia Refleksif


2 Anatomi Manusia Sebagian manusia Struktur fisik Empiris
3 Antropologi Manusia Sebagian manusia Budaya Empiris
4 Psikologi Manusia Sebagian manusia Perilaku Empiris
5 Sosiologi Manusia Sebagian manusia Interaksi sosial Empiris
6 Ekonomi Manusia Sebagian manusia Pemenuhan Empiris
kebutuhan
7 Sejarah Manusia Sebagian manusia Masa lampau Empiris

1.6. Pola-pola Pemikiran Filsafat Manusia


Manusia memiliki banyak dimensi sehingga tak dapat dijelaskan dari satu segi saja.
Oleh sebab itu perlu kerjasama antara berbagai disiplin ilmu untuk mengungkap hakikat
manusia dan menjelaskan misteri manusia. Manusia adalah makluk yang menyimpan banyak
rahasia (homo absconditus) sehingga hanya dapat diungkap atas kerjasama berbagai ilmu.
Sejauh ini dikenal beberapa pola pemikiran tentang manusia sebagai hasil kerjasama
lintas-ilmu. Pola-pola itu ialah pola biologis, sosial budaya, psikologis, dan teologis. Berikut
diuraikan secara ringkas pola-pola tersebut.

1.6.1. Pola Biologis


Pola ini mengacu pada biologi. Manusia dan kemampuan kreatifnya diteropong
menurut struktur fisiologisnya. Dimensi budaya (seperti ciri khas manusia sebagai animal
symbolicum yang dapat diabstraksi) dilihat sebagai fungsi khas dari susunan fisiologisnya.
Pola ini dikembangkan oleh Buytendijk, A. Portman, dan A. Gehlen.
Berdasarkan penelitiannya di bidang psikologi dan fisiologi, Buytendijk
mendefinisikan manusia sebagai makluk yang mampu melakukan abstraksi, simbolisasi, dan
penyusunan logis simbol-simbol. Portman berpendapat bahwa meskipun ada kesamaan antara
hewan dan manusia, tetapi manusia memiliki kekhasan seperti bahasa, posisi tubuh vertikal,
dan ritme pertumbuhan manusia yang merupakan hasil dari kerja sama proses keturunan dan
sosial budaya. Manusia bersifat terbuka, sedangkan hewan bersifat tertutup dan deterministik.
Portman melihat manusia sebagai internalitas, yaitu sebagai pusat kegiatan intern
yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan manusia
lain.

1.6.2. Pola Sosial Budaya


Pola ini melihat manusia sebagai makluk yang mempunyai kemampuan untuk
membentuk sejarah. Manusia memiliki kodrat yang tidak seragam, tetapi berwajah banyak.
Pola ini merupakan hasil kerjasama ilmu-ilmu seperti sejarah kebudayaan, sosiologi
kebudayaan, dan filsafat sejarah. Tokoh-tokohnya antara lain Arnold Gehlen, Erich
Rothacker, dan Ernst Cassirer.
Pola ini masih berkaitan dengan pola biologis. Gehlen, misalnya, mengatakan
kebudayaan manusia ditimbulkan akibat kelemahan fisik manusia dibanding hewan. Karena
manusia tidak dilengkapi kekayaan insting dan sarana-sarana alamiah untuk membela diri,
maka ia melakukan kegiatan-kegiatan kreatif sebagai reaksi terhadap tantangan lingkungan.
Maka manusia mengubah lingkungan alamiah menjadi lingkup atau sistem tindakan yang
bermakna yang dilestarikan dalam institusi-institusi kebudayaan dan bahasa. Lingkup budaya
manusia merupakan usaha untuk mempertahankan diri di dunia.

1.6.3. Pola Psikologis


Pola ini mengacu pada pandangan psikologi tentang manusia. Filsafat manusia
merumuskan beberapa asumsi dasar tentang manusia dengan menggunakan konsep-konsep
ilmu psikologi. Pandangan filosofis tentang manusia didasarkan pada hasil penelitian
deskriptif tentang kasus-kasus pribadi seperti gejala tertawa, menangis, mengkhayal, rasa
malu, cinta, ketakutan, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya antara lain Plessner, Ludwig
Binswanger, Erwin Straus, dan Erich Fromm.
Menurut Plessner, kemampuan manusia untuk tertawa dan menangis disebabkan oleh
posisi eksentrisnya, yaitu kesanggupan manusia untuk mengamati, menilai, dan menanggapi
situasi hidupnya.

1.6.4. Pola Teologis


Dalam pola ini manusia dilihat sebagai makluk yang berdialog dengan Tuhan. Pola ini
menekankan manusia sebagai makluk yang memiliki keterbukaan, individualitas dan bersifat
sosial. Untuk menjelaskan, misalnya, mengapa manusia menemui kesulitan dalam memilih
yang benar, dikatakan bahwa hal itu disebabkan karena manusia adalah makluk yang
dihadapkan pada pertentangan antara rahmat dan dosa.
Tokoh-tokohnya antara lain Martin Buber, Emil Brunner, dan Dietrich Bonhoeffer.
Mereka berpendapat bahwa untuk mengenal dan memahami wahyu Tuhan, tidak cukup
hanya dengan logika intelek, tetapi yang dibutuhkan adalah logika hati.

1.7. Manfaat Belajar Filsafat Manusia


Secara umum manfaat belajar filsafat manusia tak dapat dilepaskan dari manfaat
belajar filsafat itu sendiri. Thiroux dalam buku Philosophy, Theory and Practice (1985)
menggarisbawahi paling kurang empat manfaat belajar filsafat yakni:
Pertama, filsafat membuat orang lebih sadar dan kreatif. Berfilsafat berarti
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keyakinan dan teori. Dengan demikian, orang
menjadi lebih sadar akan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Orang menjadi lebih
berkembang, wawasan observasi dan kontemplasinya bertambah, dan orang belajar untuk
berfikir dan bertindak lebih kreatif.
Kedua, filsafat menumbuhkan dan memupuk sikap toleran. Dengan selalu
mempertanyakan keyakinan dan teori, termasuk teorinya sendiri, orang makin menyadari
betapa sulit dan kompleksnya masalah-masalah kehidupan. Sebuah teori atau keyakinan tidak
dapat memberikan jawaban memuaskan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup. Dengan
demikian, orang belajar menghargai teori dan keyakinan orang lain. Pandangan kita dan
pandangan orang lain, yang memang berbeda, bisa saja menawarkan jalan keluar yang baik.
Jadi, belajar filsafat membuat kita toleran terhadap perbedaan.
Ketiga, filsafat memberikan metode sistematis untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan. Filsafat mengajarkan bagaimana menyusun argumen yang valid, bagaimana
menghindari logical fallacies. Dengan kata lain, filsafat mengajarkan bagaimana bernalar
secara logis.
Keempat, filsafat membuat kita jadi lebih konsisten. Jika kita mempertanyakan
sesuatu secara mendasar, menganalisis, dan mengevaluasi segalanya secara cermat, kita akan
menjadi lebih konsisten dalam kehidupan. Bertanya, menganalisis dan mengevaluasi
bertujuan memperoleh konsistensi sehingga kita menghadapi kehidupan dan
permasalahannya secara rasional dan teratur. Hidup tidak cukup dihadapi dengan reaksi
spontan tanpa memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai acuan.
Ilmu-ilmu non-filsafat mempelajari manusia dari aspek tertentu saja, sedangkan
filsafat manusia menyoroti manusia sebagai manusia (man as man). Maka gambaran manusia
yang dihasilkan oleh filsafat lebih utuh. Meskipun demikian untuk memperoleh pemahaman
yang lebih utuh tentang manusia diperlukan secara mutlak kerja sama lintas-ilmu. Manfaat
belajar filsafat akan lebih mudah dipahami bila kita menyimak pernyataan Alexis Carrel dan
Ernst Cassirer tentang krisis pengenalan diri manusia.
Alexis Carrel adalah seorang ahli bedah dan ahli biologi asal Prancis pemenang Nobel
Kedokteran 1912. Dia bekerja di Rockefeller Institute for Medical Research, New York. Pada
tahun 1936 Carrel dan C. Lindbergh menemukan “pompa perfusi” yang dinamakan jantung
buatan.
Di bagian awal bukunya yang berjudul Man, The Unknown (1939) Carrel
menyayangkan kenyataan pesatnya perkembangan ilmu-ilmu tentang benda mati dan
diabaikannya kehidupan. Manusia telah menguasai dengan sempurna alam materi, tapi belum
mengenali dirinya sendiri. “Masyarakat modern telah dibangun secara acak, menurut peluang
penemuan-penemuan ilmiah dan atas dasar ideologi-ideologi palsu, tanpa menghiraukan
hakikat tubuh dan jiwa manusia. Kita telah menjadi korban ilusi yang mencelakakan – ilusi
bahwa kita mampu membebaskan diri dari hukum-hukum alam. Kita lupa bahwa alam tidak
pernah memaafkan,” tulis Carrel. Maka menurut Carrel, yang dibutuhkan sekarang adalah
pengetahuan yang lebih baik tentang manusia. Bab 1 bukunya itu berjudul “Kebutuhan akan
pengetahuan yang lebih baik tentang manusia”. Pengetahuan yang lebih baik itu hanya bisa
dicapai lewat kerja sama ilmu- ilmu.
Menurut Carrel, manusia masih menyimpan sejuta misteri. Kita belum mampu
memahami manusia sebagai keseluruhan. Sebagian besar pertanyaan tentang manusia masih
belum terjawab. Sebagian besar dunia-dalam manusia tetap tidak dikenal. Apa hakikat
keberlangsungan hidup kita, waktu psikologis dan waktu fisiologis manusia? Carrel menulis
dalam bukunya:
“Kita adalah gabungan dari jaringan-jaringan, organ-organ, cairan-
cairan tubuh, dan kesadaran. Namun hubungan antara kesadaran dan
cerebrum (otak besar) masih tetap merupakan misteri… Seberapa jauh
kekuatan kehendak dapat memodifikasi organisme? Dengan cara apa
pikiran dipengaruhi oleh kondisi organ-organ? Melalui cara manakah
ciri-ciri organis dan mental, yang diwarisi oleh setiap individu, dapat
diubah melalui pola hidup, dan oleh substansi kimia yang terkandung
di dalam makanan, iklim, serta disiplin-disiplin moral dan fisiologis?...
Kita tidak tahu bagaimana kesadaran moral, kearifan, dan keberanian
dapat dikembangkan… Bentuk energi macam apakah yang ada di balik
komunikasi telepatis? Tak dapat disangkal, faktor-faktor fisiologis dan
mental tertentu menentukan kebahagiaan atau kesedihan, sukses atau
kegagalan. Tapi, faktor-faktor apa? Kita tidak tahu. Kita tak mungkin
mengajarkan kepada seseorang kecakapan untuk meraih kebahagiaan.
Sebab kita belum tahu lingkungan macam apa yang paling sesuai bagi
perkembangan optimal manusia beradab. Apakah mungkin menekan
perjuangan, usaha, dan penderitaan yang berasal dari formasi
fisiologis dan spiritual kita? Bagaimana kita dapat mencegah
degenerasi umat manusia di dalam peradaban modern?... Cukup
jelaslah, bahwa penyempurnaan semua ilmu yang berobyek manusia
belum memadai, dan bahwa pengetahuan kita mengenai diri kita
sendiri ini masih sangat dangkal.”
Singkatnya, manusia adalah makluk yang belum dikenal, makluk yang diselimuti
misteri, seperti bunyi judul bukunya Man, the Unknown. Manusia, kata Carrel, adalah suatu
keseluruhan dari kompleksitas ekstrem yang tak dapat dibagi-bagi. Tak mungkin diperoleh
representasi sederhana tentang dirinya. Tak ada satu pun metode yang dapat memahami
manusia dalam keutuhannya, bagian-bagiannya, maupun hubungannya dengan dunia luar.
Untuk menganalisis diri manusia kita harus menggunakan berbagai teknik, dan karenanya
kita harus memanfaatkan beraneka ilmu.
Misalnya, untuk mempelajari pengaruh faktor psikologis pada seseorang harus
dipergunakan metode kedokteran, fisiologi, fisika dan kimia. Kalau seseorang mendapat
kabar buruk, maka kejadian psikologis ini mengakibatkan serentak penderitaan moral,
pergolakan jiwa, gangguan peredaran darah, perubahan rona kulit, perubahan kimia fisis pada
darah dan lain-lain. Untuk menghadapi manusia harus digunakan metode dan konsep
berbagai ilmu. Tak seorang ilmuwan mampu menguasai semua teknik untuk mempelajari
satu manusia. Karena itu kemajuan ilmu tentang manusia memerlukan usaha serempak dari
berbagai spesialis, kata Carrel.
Apa yang dikatakan Carrel itu memang harus digarisbawahi. Tetapi Carrel juga harus
dikritik karena dia menolak filsafat. Dia mengatakan filsafat merupakan salah satu biang
keladi kekacauan pengetahuan tentang manusia. “kekacauan pengetahuan tentang diri
manusia terutama bersumber pada adanya – di samping fakta-fakta nyata – sisa-sisa sistem
ilmiah, filsafat, dan keagamaan… sepanjang masa, umat manusia merenungkan dirinya
melalui lensa yang diwarnai oleh doktrin-doktrin, kepercayaan-kepercayaan dan ilusi-ilusi.
Gagasan-gagasan yang sumbang dan tak akurat ini harus dibuang,” kata Carrel. Apa yang
dikatakan Carrel harus ditolak sebab filsafat justru meneropong manusia dari berbagai
aspeknya sehingga diperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang manusia.
Menurut Carrel, penelitian yang seksama tentang manusia sudah menjadi kebutuhan
yang tak terelakkan. Skema-skema klasik ternyata miskin karena kita tidak pernah memahami
manusia secara keseluruhan dengan ketajaman penggalian yang memadai. Dia setuju dengan
Descartes (dalam buku Discourse on Method) yang membagi subyek penelitian menjadi
sebanyak-banyaknya agar dapat disusun sebuah daftar lengkap dari setiap bagian. Untuk
memahami manusia metode kualitatif dan kuantitatif harus digunakan bersama-sama.
Kita harus menimbang semua aspek tentang manusia, baik aspek kimia fisis,
anatomis, fisiologis, intelektual, moral, seni, metafisis, keagamaan, ekonomi dan sosial.
Setiap spesialis, kata Carrel, yakin bahwa dia memahami manusia secara keseluruhan,
padahal kenyataannya dia hanya memahami sebagian kecil saja dari manusia. Ilmu tentang
manusia harus memanfaatkan semua ilmu lain. Kemajuan ilmu tentang manusia
membutuhkan usaha serempak dari berbagai spesialis karena semakin jagoan seorang
spesialis semakin ia membahayakan.
Ernst Cassirer, filsuf Jerman penganut Neo-Kantianisme, mengatakan bahwa dewasa
ini manusia mengalami krisis pengenalan diri. Berbagai ilmu sudah memberikan teori yang
bertujuan membuktikan kesatuan dan keseragaman kodrat manusia. Tapi teori-teori itu justru
meragukan kesatuan kodrat manusia. Setiap filsuf yakin telah menemukan dorongan utama
dan kemampuan utama manusia (ide pokok, Taine), tapi karakter kemampuan utama ini
berbeda bahkan saling bertentangan pada semua teori itu. Tiap pemikiran memberikan
gambarannya sendiri tentang manusia. Mereka bercorak empiristik. Mereka membeberkan
fakta-fakta, tapi interpretasi mereka atas fakta-fakta itu sudah memuat asumsi yang
sewenang-wenang. Nietzsche mencanangkan kehendak untuk berkuasa, Freud menemukan
naluri seksual, Marx bicara tentang naluri ekonomi. Jadi fakta-fakta itu dibentang-bentang
dalam ranjang agar cocok dengan pola yang telah diandaikan.
Teori modern tentang manusia kehilangan fokusnya, kata Cassirer. Kini para teolog,
ilmuwan, politikawan, sosiolog, biolog, psikolog, etnolog, ekonom, mendekati masalah itu
dari sudut pandangan masing-masing. Tidak mungkin menggabungkan segala perspektif itu.
Dalam satu bidang saja ada perbedaan prinsip ilmiah yang diikuti. Tiap orang berbuat
menurut pikirannya sendiri (trahit sua quemque voluptas).
Menurut Cassirer, tidak pernah ada begitu banyak sumber pengetahuan tentang kodrat
manusia seperti di zaman sekarang. Psikologi, etnologi, antropologi, dan sejarah telah
menumpuk fakta-fakta begitu banyak yang masih terus bertambah. Instrumen-instrumen
teknis untuk observasi dan percobaan sudah diperbaiki. Daya analisis kita semakin tajam dan
mendalam. Tapi kita belum menemukan metode untuk menguasai dan mengorganisasi bahan-
bahan itu. Kelimpahan kita akan fakta-fakta tidak dengan sendirinya berarti kelimpahan akan
pemikiran-pemikiran (baca juga pandangan Cassirer di bab 2).
Pandangan Carrel dan Cassirer yang dikutip di sini dapat memberikan dorongan untuk
mempelajari filsafat manusia, karena lewat filsafat manusia diteropong secara utuh.
Meskipun demikian itu tidak berarti bahwa dengan belajar filsafat manusia, gambaran
manusia menjadi terang-benderang. Sama sekali tidak. Manusia nampaknya akan tetap
menyimpan sejuta misteri. Dia akan tetap menjadi makluk yang penuh misteri.

Referensi:
1. Abel, Reuben (1976), Man Is the Measure, London: The Free Press.
2. Carrel, Alexis (1935), Man the Unknown, New York.
3. Cassirer, Ernst (1987), Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia (terjemahan), Jakarta:
Gramedia.
4. Leahy, Louis (1984), Manusia Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia.
5. Vaske, Martin O (1963), An Introduction to Metaphysics, New York: McGraw-Hill Book Company Inc.
6. Encyclopedia Britanica.

Anda mungkin juga menyukai