Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH IKGA

HIV/AIDS pada Anak Manifestasi dan Penatalaksanaannya

Oleh: Andita Tissalia (090.6600.693) PPDGS IKGA 2009

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 2010

HIV/ IDS
I. Pengerti n HIV/ IDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus yang apabila masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh. Virus ini pertama kali ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi HIV III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. HIV adalah sejenis Retrovirus RNA yang dalam bentuk aslinya merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Limfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Limfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut1.

Gambar 1 anatomi virus HIV6

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Limfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar

matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak1 Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu

sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Prosesnya hilangnya kekebalan tubuh ini tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu 1: 1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif). 2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif). Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 . Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali, tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 19954.
1

II. Patogenesis Ketika seseorang terinfeksi virus HIV, virus masuk ke sel host membawa enzim reverse transcriptase yang kemudian merubah RNA virus menjadi DNA. Material genetik virus kemudian berkembang biak namun tidak aktif selama beberapa tahun. Ketika bereplikasi virus melekat dengan sel host. Selain itu enzim protease terus bekerja membangun virus infeksius yang kemudian meninggalkan sel host dan menyerang sel lain. Ketika material genetik bertransformasi dan membentuk virus baru, semakin banyak varian HIV yang dihasilkan akibat kesalahan translasi. Varian ini bisa berbeda dengan karakter HIV yang sebenarnya baik dari infeksi maupun kecepatan menjadi AIDS dan kemudian menyebabkan kematian. Terdapat beberapa juta varian yang telah diobservasi pada seorang penderita HIV. Ketidakstabilan HIV menyebabkan HIV dapat beradaptasi dengan lingkungan dan menyebabkan HIV menjadi resisten terhadap obat sehingga hasil penemuan vaksin atau obat yang dapat mengobati penderita HIV tidak pernah sukses7.

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan window period. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini1. Patogenesis infeksi HIV pada anak berbeda dengan orang dewasa, ditandai lebih tingginya kadar muatan virus, progresi penyakit lebih cepat. Manifestasi yang berbeda mungkin berhubungan dengan sistem imun yang belum matang (imature), mengakibatkan berubahnya respon pejamu terhadap infeksi HIV. Perkembangan infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan pasti, sekitar 15-20% mempunyai perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS dan kematian di dalam 4 (empat) tahun pertama4

Gambar 2 - Imunopatogenesis infeksi HIV4

Terdapat klasifikasi yang telah ditetapkan untuk menggambarkan status imunologi anak-anak yang terinfeksi HIV berdasarkan kadar CD44

III. Prevalensi Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori Gunung Es dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui1.

Tabel 1- Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur sampai Desember 2009 (Ditjen PP & PL Depkes RI) 9

Melihat jumlah penderita HIV/AIDS khususnya anak-anak yang makin meningkat, dokter gigi memiliki kemungkinan besar untuk menjumpai anak penderita HIV/AIDS yang belum terdiagnosis selama memberikan pelayanan kesehatan gigi. Manifestasi oral pada anak ini sangat penting untuk diketahui karena seringkali merupakan indikasi klinis pertama bahwa seorang anak terinfeksi HIV, atau anggota keluarga lainnya telah terinfeksi HIV. Selain itu lesi-lesi oral tertentu dapat memprediksi perkembangan penyakit dan status imunologi anak yang terinfeksi HIV pada negara yang tidak menyediakan test laboratorium4

IV. Cara Penularan Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agen, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui1 : 1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. 2. Transmisi Non Seksual 2.1 Transmisi Parenteral 2.1.1. akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi. Disamping itu dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. 2.2. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

V. Jenis Pemeri saan HIV/ IDS Pemeriksaan laboratorium sangat besar peranannya dalam menetapkan diagnosis dan gambaran perjalanan penyakit serta dalam menentukan tindakan pengobatan. Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menunjukkan adanya antigen atau antibodi terhadap HIV didalam darah3. Pemeriksaan yang dilakukan adalah metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot1. Pemeriksaan assay antibodi tidak dapat dilakukan pada anak kurang dari 18 bulan karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti5: a. assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma b. assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma c. assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD) Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis antibodi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah

menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan. Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa. Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak5: a. Uji virologik( DNA, RNA, ICD) untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < 18 bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8 minggu A(I) b. Uji antibodi anti HIV - untuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu atau identifikasi paparan pada bayi A(I), A(IV) - untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18 bulan - untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal. Orang normal tanpa infeksi HIV hasil hitung CD4 adalah 700-1000 sel CD4 dalam setiap tetes darah. Sedangkan penderita HIV dinyatakan dalam kondisi normal atau bisa dikatakan stabil apabila hasil CD4 bernilai diatas 500 dalam setiap tetes darah8. VI. Gejala dan Mani estasi Klinis HIV/ IDS Menurut The WHO Pocketbook of Hospital Care for Children gejala klinis yang biasa ditemukan anak penderita HIV10: a. b. c. d. e. f. g. severe bacterial infections, especially if recurrent persistent or recurrent oral thrush bilateral painless parotid swelling generalized lymphadenopathy other than inguinal hepatosplenomegaly persistent or recurrent fever neurologic dysfunction

Gejala dan kondisi yang sangat spesifik ditemukan pada anak penderita HIV10 : a. b. c. d. e. f. g. h. Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) Oesophageal candidiasis Extrapulmonary cryptococcosis Invasive salmonella infection Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP) Herpes zoster affecting several dermatomes Kaposis sarcoma Lymphoma

i. Rectovaginal or rectovesical fistula Berikut adalah konsensus yang dibuat oleh the Collaborative Workgroup on the Oral Manifestations of Paediatric HIV Infection mengenai klasifikasi lesi oral pada anak-anak4

Tabel 2 - Klasifikasi lesi orofasial pada anak-anak yang terinfeksi HIV4

Sekitar 95% penderita AIDS mengalami manifestasi pada daerah kepala dan leher sebagaimana juga menurut Shiod dan Pinborg 1987. Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV. 1. Infeksi yang paling sering terjadi adalah karena jamur kandida, dapat menyebabkan luka pada sudut mulut, kandidiasis oral, kandidiasis esofagus, bahkan kandidiasis vaginalis. Selain itu dapat juga terjadi cheilitis angularis, yaitu luka pada sudut mulut yang bersifat kronis yang disebabkan oleh kandida. Ulserasi ini dapat berulang pada rongga mulut. Kandidiasis oral adalah suatu bercak putih yang ditimbulkan oleh jamur kandida yang dapat hilang dengan cara dikerok. Kadang kadang berwarna kemerahan. Infeksi jamur kandida juga dapat menyerang esofagus, dengan gambaran klinis yang sama dengan kandidiasis pada oral. Biasanya ditandai dengan nyeri yang hebat pada saat menelan1,3.

Gambar 3 Pseudomembranosis candidosis parah pada penderita HIV11 2. Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada penderita AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus3. 3. Infeksi karena bakteri dapat berupa HIV Necrotizing Gingivitis maupun HIV Periodontitis 3.

Gambar 4 -Necrotizing Ulcerative Gingivitis1

Gambar 5 - Necrotizing Ulcerative Periodontitis12

Karies gigi Penelitian Castro dkk. melaporkan bahwa anak-anak HIV positif memiliki karies yang lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak yang sehat pada kelompok kontrol, baik dmf-t (decay, missing, filled, teeth) maupun dmf-s (decay, missing, filled, surfaces). Kecenderungan tingginya karies sesuai dengan progresi infeksi HIV. Kebanyakan anak-anak dengan keadaan imunokompromis (imunodefisiensi ringan dengan kadar CD4 500-999 dan imunodefisinesi berat dengan kadar CD4 <500) menunjukkan peningkatan karies dibandingkan dengan anakanak yang tidak ada imunodefisiensi. Dan anak-anak yang terinfeksi HIV secara signifikan mempunyai total IgA saliva lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak kontrol dengan HIV negatif. Selain itu dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar IgA saliva pada anak-anak dengan HIV positif dengan status klinisnya4. Infeksi HIV

menyebabkan penurunan progresi kadar limfosit T CD4. Sel ini mempunyai peran yang sangat penting dalam maturasi sistem imun sekretori, diduga bahwa sistem ini berubah pada pasien yang terinfeksi HIV. IgA merupakan immunoglobulin yang utama di dalam saliva, dan penurunan IgA akan memberikan dampak terjadinya karies4 VII. Terapi pada penderita HIV/ IDS Berikut terapi yang disarankan pada penderita HIV anak yang mengalami manifestasi dalam rongga mulut4: KL SIFIKASI Kandidiasis oral Kandidiasis osefagus Penyakit Periodontal PENANGANAN rujuk rumah sakit Tidak mungkin rujuk : Anti jamur topikal rujuk rumah sakit ketokonazole sistemik (10mg/kg/hari), amphotericin B, atau fluconazole 1x 1hari Topikal fluorida harus digunakan jika obat ini diberikan untuk jangka waktu yang panjang pembersihan plak dan kalkulus (scalling) dan root planning obat kumur klorheksidin pada NUG dan NUP diberikan antibiotic seperti metronidazole, amoxicillin/ clavulanate potassium/clindamycin obat antivirus sistemik seperti acyclovir

Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) Pembengkakan kelenjar parotis Xerostomia

Stomatitis aftosa rekuren Oral hairy leukoplakia Pengobatan Anti-retroviral:

zidovudine (AZT) biopsi secara berkala anti inflamasi, analgesik, antibiotik atau steroid salivary stimulant, (permen karet atau permen yang kurang mengandung gula, untuk menghilangkan gejala) pilocarpine Pemberian steroid topical Contoh: fluocinonide, clobetasol propionate Terapi acyclovir secara rutin

a. Obat Penghambat Reverse Transcriptase Nukleosida: Zidovudine, AZT (Retrovir, Avirzid, Adovi, Zidovex); Didanasine, ddl (Videx); Zalcitabine, ddC (Hivid); Stavudine, d4T (Zerit); Lamivudine, 3TC (Lamivox)

b. Obat Penghambat Reverse Transcriptase Non-Nukleosida Nevirapine (Nevirex, Viramune); Efavirenz (Sustiva) c. Obat Penghambat Protease Indinavir (Crixivan), Saquinavir (Invirase), Ritonavir (Norvir), Nelfinavir (Viracept, Nelvex) Pencegahan karies pada anak dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan rutin, penggunaan flouride secara aktif baik secara topikal ataupun sistemik, meningkatkan pencegahan, dan melakukan pit dan fissure sealant.

VIII. Pencegahan Penularan AIDS Untuk Dokter Gigi

Pada dasarnya tindakan pencegahan penularan penyakit harus mencakup lima komponen penting yaitu penjaringan pasien, perlindungan diri, dekontaminasi peralatan, desinfeksi permukaaan lingkaran kerja dan penanganan limbah klinik. Dalam merawat penderita HIV/AIDS, seorang dokter gigi harus selalu waspada, atau yang dikenal dengan sebutan universal precaution.Universal precaution adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Center of Disease Control and Prevention(CDC) di Atlanta pada tahun 1987 yaitu dengan cara memperlakukan seolah-seluruh pasien menderita AIDS3. Tujuannya adalah untuk mencegah transmisi berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah atau carian tubuh lainnya. Adapun bentuk tindakan yang dilakukan antara lain meliputi cuci tangan, pemakaian sarung tangan, cadar, kaca mata, dan mantel kerja. Prosedur cuci tangan dilakukan dengan sabun antiseptik di bawah air mengalir. Persyaratan yang harus dipenuhi sarung tangan adalah terbuat dari bahan yang tidak mengiritasi tangan, tahan bocor, dan memberikan kepekaan yang tinggi bagi pemakainya. Cadar berfungsi untuk melindungi mukosa hidung dan kontaminasi percikan saliva dan darah pada mata karena conjunctiva mata merupakan salah satu port entry sebagian besar infeksi virus. Sedangkan mantel kerja dianjurkan digunakan sewaktu melayani pasien yang setiap saat terkancing baik. Dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan pencemaran mikroorganisme yang melekat pada peralatan medis dan permukaan lingkungan kerja sedemikian rupa sehingga tidak berbahaya. Metode dekontaminasi yang utama adalah penguapan dibawah tekanan (autoklaf), pemanasan kering (oven udara panas), air mendidih dan desinfektan kimia dengan menggunakan hipoklorit atau glutaraldehid 2% pengulasan ,

permukaan kerja dengan klorheksidin 0,5% dalam alcohol atau hipoklorit 1000 bagian perjuta (bpj) dari klorida yang tersedia, dalam setiap sesi atau setiap pergantian pasien . Penanganan limbah klinik yaitu bahan yang menular atau kemungkinan besar menular atau zat-zat yang berbahaya yang berasal dari lingkungan kedokteran dan kedokteran gigi. Sampah ini dikumpulkan untuk dibakar atau ditanam untuk jenis tertentu. Limbah klinik seperti jarum dikumpulkan di dalam wadah plastik berwarna kuning untuk dibakar dan jenis limbah tertentu dikumpulkan untuk ditanam. Apabila terjadi kecelakaan pada saat bekerja, maka langkah langkah yang harus dilalui oleh dokter gigi adalah melaporkannya pada Unit Kesehatan Kerja atau Panitia Nasokomial secepatnya, sehingga dapat dilakukan tindakan selanjutnya. Selain itu langkah langkah yang perlu dilakukan adalah13 : 1. Segera cuci dengan sabun dan air mengalir pada luka tusukan atau irisan 2. Segera bilas dengan guyuran air bila terkena percikan pada mukosa 3. Mata juga diirigasi dengan air bersih, larutan garam fisiologis atau air steril 4. Jari yang tertusuk tidak boleh diisap isap 5. Pemberian profilaksis pasca pajanan secepat mungkin, yaitu pengobatan setelah 72 jam tidak dianjurkan 24 jam, dimana

Tabel 3 penentuan pengobatan profilaksis pasca pajanan13

6. Melakukan tes HIV segera setalah terpajan, kemudian dilanjutkan dengan 3 bulan setelah terpajan, dan terakhir 6 bulan setelah terpajan. Hal ini dilakukan karena ada kalanya penderita masih dalam periode jendela, artinya hasil tes pertama dan kedua masih menunjukkan reaksi (-), padahal dalam tubuh penderita sudah terdapat virus HIV.

IX. Kesimpulan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang ditandai dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam infeksi. AIDS disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penderita yang terinfeksi HIV akan mengalami gejala klinis dan manifestasi di rongga mulut. Manifestasi didalam rongga mulut oleh penderita AIDS terdiri atas serangkaian infeksi oportunistik (kandiasis, NUG, infeksi herpes simpleks) dan neoplasma. Dokter gigi hendaknya mengetahui tentang gejala serta manifestasi penyakit ini dalam rongga mulut sehingga dapat melakukan perawatan terhadap penderita HIV/AIDS ini dengan baik dan sesuai prosedur yang telah ditentukan. Penyakit AIDS tidak ditularkan melalui kontak biasa, namun ditularkan melalui hubungan seksual, kontak dengan darah yang tercemar HIV dan melalui jarum suntik atau alat kedokteran lainnya yang tercemar HIV. Oleh karena itu seorang dokter gigi harus memperhatikan kewaspadaan universal dalam melakukan perawatan terhadap penderita AIDS dan upaya pencegahan penularan yang semaksimal mungkin diprakteknya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan AIDS; 2004 Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah4.pdf 2. Diunduh dari http://www.hemofilia.or.id/artikel.php?col_id=4&coldtl_id=7 3. Pintauli S. Aids dan Pencegahan Penularannya Pada Praktek Dokter Gigi http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-sondang2.pdf 4. Sufiawati I., Prananto FR. Manifestasi Oral Yang Berhubungan dengan Tingkat Imunosupresi pada Anak-Anak yang Terinfeksi HIV/AIDS dan Penatalaksanaannya Diunduh dari http://resources.unpad.ac.id/unpadontent/uploads/publikasi_dosen/manifestasi%20oral%20yang%20berhubungan%20de ngan%20tingkat%20imunosupresi.pdf 5. diunduh dari http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/01/14/88/ 6. diunduh dari http://hiv-net.org/ev1/hiv_aids/hiv.htm 7. diunduh dari http://www.aids-info.ch/files/faltblatt/aids_e.pdf 8. diunduh dari http://aids.about.com/od/technicalquestions/f/cd4.htm 9. diunduh dari http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf 10. Dunne J., Rollins N.What are the Clinical Indicators of HIV Infection in Children diunduh dari http://www.ichrc.org/pdf/ClinHIV.pdf 11. Leao JC.; Ribeiro CMB; Carvalho AAT.; Frezzini C.; Porter,S. Oral complications of HIV disease. Clinics vol.64 no.5 So Paulo May 2009 Diunduh dari http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S180759322009000500014 12. Diunduh dari http://www.hivdent.org/_picturegallery_/NUP119.htm 13. Nasronudin. HIV dan AIDS, pendekatan Biologi Molekuler, klinis, dan sosial. Airlangga University Press. 2007. cetakan pertama. hal 1-3, 11-13, 19

Anda mungkin juga menyukai