Anda di halaman 1dari 20

1.1 PENDAHULUAN 1.1.

1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Manusia sebagai subjek hukum dalam menjalankan kehidupannya membuat karya atau ciptaan-ciptaan baik dalam ilmu pengetahuan maupun seni atau bahkan yang tidak terdefinisi sekalipun. Karya atau ciptaan-ciptaan itu konkritnya dapat berbentuk tulisan seperti buku, makalah ataupun artikel atau bentuk karya seni seperti lagu, lukisan maupun film. Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya melalui kegiatan ekonomi, yakni penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses, waktu, inspirasi, pemikiran, dana, dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para Pencipta itu untuk dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang sangat merugikan.1 Secara historis pengaturan tentang HKI di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda yaitu sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1885, Undang-Undang Merek mulai diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan disusul dengan diberlakukannya Undang-Undang Paten pada tahun 1910. Dua tahun kemudian, diberlakukanlah Undang-Undang Hak Cipta yaitu Auteurswet 1912, staadblad No. 600 Tahun 1912 pada tanggal 23 September 1912. Setelah Indonesia merdeka, ketentuan perundang-undangan tentang Hak Cipta yang pertama sekali berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987. Kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 17 Mei 1997. Terakhir adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang berlaku tanggal 29 Juli 2003 yang mencabut berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 1999.

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak-Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), 48

Dalam perkembangannya, Indonesia menghadapi masalah-masalah yang tidak kecil dalam kerangka proses pembangunan yang dewasa ini sedang giat- giatnya dilakukan khususnya di bidang hukum. Ekspansi dari dunia Barat dan kolonial pada khususnya telah memperkenalkan atau bahkan memaksakan berlakunya lembaga-lembaga hukum Barat dan bentuk-bentuk pemerintahannya pada masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu upaya Indonesia untuk menyesuaikan peraturan perundangundangan nasionalnya dengan ketentuan perdagangan global adalah dengan meratifikasi Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (untuk penulisan selanjutnya disebut TRIPs) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia) yang diundangkan pada tanggal 2 Nopember tahun 1994. 2 Dengan pengesahan persetujuan World Trade Organization (untuk penulisan selanjutnya disebut WTO) yang salah satu bagiannya adalah tentang TRIPs, berarti Indonesia harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan di dalam hukum nasionalnya dengan persetujuan WTO tersebut. TRIPs merupakan standard internasional yang harus dipakai berkenan dengan HKI. Persetujuan TRIPs mengatur tentang norma-norma dan standar, dan dalam beberapa hal mendasarkan diri pada prinsip full compliance terhadap konvensi-konvensi HKI yang telah ada dan menggunakannya sebagai basis minimal. Selanjutnya dalam pembangunan hukum di Indonesia pengaruh TRIPs telah dapat dirasakan menjadi pendorong utama di balik aktifnya kegiatan pembentukan undangundang khususnya di bidang HKI. Ketentuan perundang- undangan HKI di Indonesia dapat dikatakan semuanya mengikuti kesepakatan- kesepakatan internasional tersebut

Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia : Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, (Bandung: Alumni, 2008), 24.
2

yang dikuatkan dengan fakta bahwa tujuan ideal dari pembentukan perundangundangan HKI pada umumnya diambil dari teori-teori yang berkaitan dengan gagasan perlindungan HKI itu sendiri. 3 Pengertian Hak Cipta diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir (1) UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yaitu sebagai hak eksklusif bagi pencipta dan penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengertian Hak Cipta tersebut diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Selanjutnya hak eksklusif diartikan sebagai hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya. Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, hak eksklusif itu timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan. Sedangkan yang dimaksud hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan meliputi kegiatan menerjemahkan, menyewakan, mengadaptasi, mengaransemen, mengimpor,

mengalihwujudkan,

menjual,

meminjamkan,

memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka Hak Cipta dapat didefenisikan sebagai hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh Pencipta atau
3

Kebutuhan dan Kenyataan

Pemegang Hak Cipta lainnya yang dalam implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berpijak pada uraian tersebut, diakui maupun tidak, sebenarnya konsep yang menyangkut perlindungan hak cipta bukanlah ide asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, karena konsep tentang hak cipta yang bersifat eksklusif dan tidak berwujud (immateril) sangat berbeda dengan konsep bangsa Indonesia yang pada umumnya di bawah payung pandangan komunal memahami benda sebagai barang yang berwujud (materil). Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya memahami benda sebagai barang yang riil, dapat dilihat, disentuh dan sebagai objek yang nyata. Masyarakat lokal Indonesia adalah masyarakat komunal yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu, meskipun itu tidak berarti pula bahwa individu kehilangan hak-haknya. Konsep pemahaman masyarakat lokal yang bersifat komunal tersebut memiliki perbedaan dengan konsep HKI yang individualistik dalam hal ini memandang hak cipta sebagai hak eksklusif yang diartikan sebagai hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya. Selain adanya perbedaan konsep pemahaman tersebut, pelanggaran hak cipta di Indonesia juga sering tidak terlepas dari faktor ekonomi yang berkisar pada keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para Pemegang Hak Cipta. Pelanggaran tersebut bila terus dibiarkan berlarut-larut akan memberikan dampak yang besar terhadap tatanan kehidupan bangsa baik di bidang ekonomi maupun hukum. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan karya cipta dinilai belum membuahkan hasil yang maksimal. Berbagai macam pelanggaran terus berlangsung seperti pembajakan terhadap karya cipta,

mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Dalam berbagai laporan atau pemberitahuan pers beberapa tahun terakhir sering terdengar kabar semakin besar dan meluasnya pelanggaran terhadap HKI di Indonesia

termasuk hak cipta, bahkan Indonesia disebut sebagai sarang pembajakan hak cipta. Namun apa sebenarnya yang menyebabkan Keadaan tersebut, setelah kita melihat pada tingkat peradaban bangsa Indonesia, ternyata memang diketahuilah bahwa kita belum siap untuk menerima arus pembumian HKI hal ini menyebabkan terjadinya pelanggaran hak cipta yang terdiri dari 2 (dua) macam hak yakni hak ekonomis dan hak moral. Di dalam hak ekonomi tersebut ada hak menyewakan, memperbanyak, atau membuat agar dapat bermanfaat menjadi uang dari Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Hak tersebut menurut HKI memberikan kebebasan yang seluas luasnya kepada pemilik hak untuk memanfaatkan hasil ciptaannya atau memanfaatkan yang hasil ciptaan yang lisensinya ia dapatkan. Sekaligus juga didapat suatu perlindugan hukum terhadap haknya menurut hukum, hak tersebut menjamin si pemilik hak agar tiada lagi orang lain yang dapat memanfaatkan secara ekonomis hasil ciptannya tanpa adanya izin darinya. Terkait dengan penelitian ini, maka untuk ketika kita melihat pada hak-hak komunal bangsa Indonesia ditambah dengan belum siapnya bangsa ini mendapat gempuran pembumian HKI Negara barat maka haruslah dikaji lebih mendalam apakah semua karya, ciptaan, bacaan dll. harus sepenuhnya dilindungi HKI. Karena disisi lain perlindungan ini terlihat sia-sia di negara-negara berkembang dimana kesadaran mereka dan tingkat peradaban yang belum memenuhi syarat sebagai pengemban HKI. Ditambah lagi bahwa ketika melihat fakta dilapangan bahwa jutaan manusia di Indonesia hidup dengan melanggar HKI setiap harinya, baik dengan menjual DVD bajakan, menjual barang dengan merek dagang terkenal yang ternyata merupakan hasil pemalsuan dan pelanggaran hak merek, bahkan hingga memperbanyak buku untuk bahan bacaan mahasiswa yang sehari-hari dilakukan. Tidak hanya itu ketika merujuk kepada masyarakat adat tradisional, dalam menciptakan suatu karya seni rupa maupun karya privat berupa obat-obatan pakaian tradisional lainnya mereka biasa membuat hal tersebut bersama-sama dengan

penduduk yang lain tanpa pernah memikirkan siapa pemilik ide dan mewuudkannya, siapa yang mendapatkan hak atas ciptaan tersebut. Mereka berdalih bahwa karya bersama adalah untuk dimiliki bersama dan untuk kebermanfaatan bersama, sehingga mereka tidaklah sama sekali mempedulikan HKI yang melekat pada hasil ciptaan mereka. Dan yang lebih miris adalah ketika salah seorang diantara mereka mengetahui potensi ekonomis atas ciptaaan bersama suatau karya dari masyarakat hukum adat, salah seorang dari mereka akan mendaftarkan ciptaan tersebut unuk kepentingan ekonomis dirinya sendiri. Padahal untuk terbentuknya karya tersebut tidak murni berasal dari disinya seniri melainkan juga merupakan cipta karya dan karsa dari masyarakat hukum adat secara keseluruhan. Potensi konflik akan hal ini juga sangat tinggi seperti segala macam budaya kita yang diklaim oleh bangsa lain membuat kita seolah olah hendak dijajah kembali dengan diambilmya atau diadopsinya budaya kita oleh bangsa luar. Berangkat dari hal tersebut pemerintah justru terus membumikan HKI di kota-kota besar dengan tujuan untuk melindungi hak atas ciptaan seseorang tanpa mempedulikan nilai komunal yang juga terdapat pada barang ciptaan masyarakat hukum adat. Pembumian itu dinyatakan dalam pembentukan berbagai macam peraturan perundang undangan baik mengenai hak cipta, merek, rahasia dagang dll. Uraian di atas mengindikasikan adanya keterkaitan antara upaya penegakan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dll. dengan faktor budaya masyarakat Indonesia yang belum mengenal adanya perlindungan Hak Cipta sebagai bagian HKI. Budaya masyarakat Indonesia cenderung menganggap bahwa HKI merupakan public domain dan bukan merupakan suatu hak individu. Masyarakat Indonesia sendiri dalam mengapresiasi ketentuan hak cipta dirasakan masih sangat rendah misalnya ada anggapan bahwa perbuatan orang yang melakukan jual-beli barang-barang bajakan tidak dianggap perbuatan yang rendah atau hina. Berbeda dengan misalnya penjual narkoba secara umum sudah dianggap sebagai

musuh masyarakat, sedangkan pembajak hak cipta dan penjual barang-barang bajakan belum dianggap sebagai musuh masyarakat. Padahal, pembajakan hak cipta atau penggandaan secara ilegal produk-produk hak cipta jelas-jelas melanggar hak ekonomi Pencipta yang disebut dengan hak memperbanyak ciptaan atau reproduction right. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang HKI di Indonesia serta efektitasnya jika dikaitkan dengan nilai-nilai kebudayaan lokal Indonesia yang cenderung komunal dan masih belum siap menerima HKI. Berdasarkan artikel-artikel yang peneliti cari mengenai penerapan HKI di Indonesia didapatlah bahwa kenyataannya dalam keseharian pendidikan budaya meng-copy buku pelajaran atas kuliah disbanding membeli, rasionya masih 1:2 yakni kita

anggap di setiap 3 orang yang membeli buku 2 diataranya akan membeli buku tersebut secara asli ke toko buku sedangkan 1 diantaranya lebih tertarik dan mampu utuk meng-copy nya. Mereka beralasan bahwa factor ekonomis-lah yang membuat mereka menjadi Alasan-alasan tersebut merupakan dasar pertimbangan bagi peneliti untuk mengadakan penelitian yang kemudian merumuskannya dengan judul: Efektivitas perlindungan atas HKI di Indonesia, terkait dengan Sifat Komunal Bangsa Indonesia dalam fokus penelitian hukum yang normatis empiris (terapan), yaitu mengkaji perlindungan hukum dalam hal ini ketentuan hukum positip (perundangundangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini, pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu sesuai atau tidak dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan kontrak 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:

1.

Apakah penegakan hukum yang selama ini berlaku telah memberikan

perlindungan secara memadai terhadap HKI khususnya hak-hak komunal bangsa indonesia ? 2. Apakah benar bahwa Indonesia yang terdiri dari beragam masyarakat hukum

adat sudah terlindungi HKI dan dapat diterapkan HKI secara efektif? 1.3 TujuanPenelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami apakah penegakan hukum yang selama ini

berlaku telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap atas kekayaan intelektual di Indonesia. 2. Untuk mengetahui tingkat efektivitas HKI di Indonesia dalam perlindungan

hak-hak masyarakat. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Apabila tujuan sebagaimana dirumuskan di atas tercapai, maka diharapkan penelitian ini memiliki 2 (dua) aspek kegunaan sekaligus: 1. Aspek teoritis; berguna-manfaat dalam mengembangkan konsep

perlindungan dan mekanisme penegakan hukum di bidang hak cipta khususnya HKI. 2. Aspek praktis: walaupun tidak dimaksudkan untuk menghasilkan solusi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan: i. Bahan informasi bagi pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam menanggulangi pelanggaran atas HKI dan pengkajian kembali kepada UU terkait yakni paten, merek, desain indsutri dll. 1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dan menggambarkan (interpretatif) realita atas permasalahan yang ada di lapangan baik berupa uraian kata maupun bentuk tabel yang sifatnya menunjang dalam rangka hasil penelitian di lapangan. 1.5.2 Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolegal (sosio-legal approach). Yaitu melakukan studi tekstual, pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum, dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut merugikan atau menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan dengan cara bagaimana. Melalui pendekatan sosiolegal ini juga bahwa hukum tidak dipandang hanya sebagai peraturan atau kaedah-kaedah saja, akan tetapi meliputi bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat serta bagaimana hukum berinteraksi dengan lingkungan hukum itu diberlakukan. 1.5.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan bertujuan untuk meneliti dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan penelitian tesis ini, yaitu: i. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan-peraturan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya, khususnya Hak Cipta atas karya cipta sinematografi. ii. Bahan Hukum sekunder, yaitu dapat berupa hasil karya tulis, dan hasil penelitian. iii. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus, ensiklopedia, dan artikel

pada majalah, surat kabar, atau internet. Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN UMUM Pengertian HKI. Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Pada prinsipnya, IPR sendiri merupakan perlindungan hukum atas HKI yang kemudian Menurut Abdul Kadir Muhammad, pada dasarnya HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspressikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya yang yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia dan memiliki manfaat ekonomi yang berbentuk nyata biasanya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Pengertian HKI juga dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Sementara, pendapat lain mengemukakan bahwa HKI adalah pengakuan dan penghargaan pada seseorang atau badan hukum atas penemuan atau penciptaan karya intelektual mereka dengan memberikan hak-hak khusus bagi mereka baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Berdasarkan substansinya, HKI berhubungan erat dengan benda tak berwujud serta melindungi karya intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. Berpijak dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa HKI adalah hak yang timbul dan lahir dari hasil kemampuan intelektual manusia dan hak itu mempunyai manfaat ekonomi.

2.2 Perlindungan HKI di Indonesia Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., hukum yang berlaku di negeri Belanda juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas konkordansi. Undang-Undang Hak Cipta saat itu adalah Auteurswet 1912 yang terus berlaku hingga saat Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945. Sejak Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, sebagai negara jajahannya Indonesia diikutsertakan dalam Konvensi tersebut sebagaimana

disebutkan dalam Staatsblad tahun 1914 Nomor 797. Ketika Konvensi Bern ditinjau kembali di Roma pada tanggal 2 Juni 1928, peninjauan itu dinyatakan berlaku pula bagi Indonesia (Staatsblad tahun 1931 Nomor 325). Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Indonesia sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai hak pengarang (hak cipta). Memasuki masa kemerdekaan, ketentuan Auteurswet 1912 ini dipandang sangat ketinggalan zaman, sehingga di dalam praktek mengalami kejanggalan kejanggalan dan dianggap merugikan kepentingan pihak-pihak yang menggantungkan hidupnya kepada hak cipta. Auteurswet di dalam pengaturannya kurang menggariskan keseimbangan yang adil antara hak pencipta untuk mengawasi penyebaran karyanya dan kepentingan umum dalam memelihara penyebaran yang luas, sehingga dirasakan kurang mendorong peningkatan kemajuan ilmu dan seni yang berguna untuk mempercepat pertumbuhan kecerdasan bangsa. Pergantian istilah Auterswet sendiri menjadi Hak Cipta terjadi pada Kongres Kebudayaan di Bandung yang diaksanakan pada tahun 1952.58 Dalam rangka menegaskan perlindungan hak cipta dan menyempurnakan hukum yang berlaku sesuai dengan perkembangan pembangunan, telah beberapa kali diajukan Rancangan Undang-Undang Baru Hak Cipta yaitu tahun 1958, 1966, dan 1972 tetapi tidak berhasil menjadi undang-undang. Indonesia baru berhasil menciptakan Undang-Undang Hak Cipta sendiri pada tahun 1982 yaitu dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. UndangUndang ini sekaligus mencabut Auteurswet 1912 yang dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra, serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan bangsa. Adapun hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut antara lain meliputi: Selain dimasukkannya unsur baru mengingat perkembangan teknologi, diletakkan juga unsur kepribadian Indonesia yang mengayomi baik kepentingan individu maupun masyarakat. Walaupun dikatakan bahwa hak cipta adalah hak khusus, sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, hak cipta mempunyai fungsi sosial dalam arti dapat dibatasi untuk kepentingan umum. Hal ini dapat kiranya dilihat pada kemungkinan membatasi hak cipta demi kepentingan umum dengan keharusan memberikan ganti rugi kepada penciptanya, dan juga dengan diberikannya hak cipta kepada negara atas benda budaya nasional. Untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta, diadakan ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran hak cipta. Pendaftaran ini tidak mutlak diharuskan, karena tanpa pendaftaran pun hak cipta tetap dilindungi. Hanya mengenai hak cipta yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu dalam pembuktian hak ciptanya dari ciptaan yang didaftarkan. Dalam hal ini pengumuman pertama suatu ciptaan diperlakukan sama dengan pendaftaran. Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ternyata masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran terutama dalam bentuk tindak pidana

pembajakan terhadap hak cipta, yang terus menerus berlangsung dari waktu ke waktu. Selanjutnya pada tahun 1987, Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

2.2.2 Pengertian Hak Cipta Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta67 atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Patricia Loughlan, hak cipta merupakan bentuk kepemilikan yang memberikan pemegangnya hak eksklusif untuk mengawasi penggunaan dan memanfaatkan suatu kreasi intelektual, sebagaimana kreasi yang ditetapkan dalam kategori hak cipta, yaitu kesusasteraan, drama, musik dan pekerjaan seni serta rekaman suara, film, radio dan siaran televisi, serta karya tulis yang diperbanyak melalui perbanyakan (penerbitan). Jill McKeough & Andrew Stewart menjelaskan bahwa perlindungan hak cipta merupakan suatu konsep di mana pencipta (artis, musisi, pembuat film) yang memiliki hak untuk memanfaatkan hasil karyanya tanpa memperbolehkan pihak lain untuk meniru hasil karyanya tersebut. Berpijak dari uraian di atas peneliti melihat bahwa hak eksklusif yang diberikan bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu adalah ditujukan sebagai penghargaan atas kreativitas pencipta, dengan demikian dapat terus memacu lahirnya kreativitaskreativitas baru. 2.2.3 Prinsip-prinsip Hak Cipta Prinsip-prinsip dasar yang terdapat pada hak cipta, yaitu: 1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Cipta, yang dimaksud dengan Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersamasama yang atas nama inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan

imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. yang dimaksud dengan ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Dari prinsip ini diturunkan beberapa prinsip yaitu: Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinilitas) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk materil lain. Karena hak cipta adalah hak khusus, tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis). Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui oleh hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. 2.4 Ruang Lingkup Hak Cipta Pada dasarnya, yang dilindungi oleh UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta adalah pencipta yang atas inspirasinya menghasilkan setiap karya dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Perlu ada keahlian pencipta untuk dapat melakukan karya cipta yang dilindungi hak

cipta. Ciptaan yang lahir harus mempunyai bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat pribadi pencipta. Dengan perkataan lain, ciptaan harus mempunyai unsur refleksi pribadi (= alter ego) pencipta. Di dalam hak cipta terdapat keseimbangan antara kepentingan pemilik hak dan kepentingan masyarakat yang tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak cipta (fair dealing) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Bandingkan dengan ketentuan pasal 24 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta bidang-bidang yang dilindungi hak cipta adalah: Ciptaan dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang terdiri dari: a. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. c. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. e. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. h. Arsitektur; Peta;

i. j. k. l.

Seni Batik; Fotografi; Sinematografi; Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa bidang-bidang yang mendapat perlindungan hak cipta di Australia meliputi: a. Karya sastra asli, drama, musik, atau pekerjaan seni; b. Rekaman suara, film, siaran atau program kabel; c. Bahan-bahan cetakan dari edisi suatu terbitan. 2.2.5 Pembatasan Hak Cipta Seperti halnya hak milik perseorangan lainnya, Hak Cipta juga mengenal pembatasan dalam penggunaan atau pemanfaatannya. Menurut Bambang Kesowo tidaklah benar adanya anggapan bahwa Pemegang Hak Cipta boleh memanfaatkannya sesuka hati. 1. Pengumuman dan/atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; 2. Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali bila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang- undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak ; 3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari

kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar, atau sumber sejenis lain dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; 4. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; 5. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan; 6. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya atau sebagian, guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; 7. Perbanyakan suatu ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial; 8. Perbanyakan hasil ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan pusat 2.2.6 Hak Cipta Dan Hak Terkait (Neighbouring Right) Pembahasan hak cipta tidak bisa lepas dari satu bagian yang akhir-akhir ini semakin kokoh sebagai hak yang berdiri sendiri, yaitu hak yang berkaitan dengan hak cipta atau yang lazim disebut sebagai Hak Terkait (Neighbouring Right). Di dunia internasional sudah ada konvensi tersendiri tentang hak terkait, yaitu Konvensi

Roma, sementara di Indonesia pengaturan hak terkait masih menyatu dengan Undang-Undang Hak Cipta. Maksud dan tujuan utama diadakannya Konvensi Roma adalah menetapkan pengaturan secara internasional perlindungan hukum tiga kelompok pemegang hakhak yang yang berkaitan dengan hak cipta yang masing-masing mempunyai hak-hak tersendiri yang dinamakan hak-hak yang berkaitan (Related Right/Neighbouring Right). Tiga kelompok pemegang hak cipta dimaksud adalah: 1. Artis-artis pelaku (Performing Artist), yang dapat terdiri dari penyanyi, aktor, musisi, penari, dan lain-lain pelaku yang mempertunjukkan karya- karya sastra dan seni; 2. 3. Produser-produser rekaman (Producers of Phonogram); Lembaga-lembaga penyiaran (Broadcasting Organization).

Berdekatan dengan Neighbouring Right itu lebih dahulu sudah ada Ciptaan Asli, yang tentunya ada hak ciptanya sehingga golongan yang memiliki hak terkait tersebut menyalurkan karyanya atau memainkan peranannya dari atau berdekatan dengan Ciptaan Aslinya. Jadi tanpa ciptaan aslinya, tidak mungkin ada hak terkait atau Neighbouring Right.

2.2.7 Hak-Hak Pencipta Hak Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki oleh seorang Pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannnya. Hak ekonomi meliputi jenis hak: 1. Hak reproduksi atau penggandaan (reproduction right); 2. Hak adaptasi (adaptation right);

3. Hak distribusi (distribution right); 4. Hak pertunjukan (public performance right); 5. Hak penyiaran (broadcasting right); 6. Hak program kabel (cablecasting right); 7. Droit de suit; 86 8. Hak pinjam masyarakat (public lending right) . Yang terakhir adalah yang dikenal dengan hak penyewaan (rental right), yaitu hak Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer maupun produser rekaman suara berupa hak untuk melarang orang atau pihak lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaannya tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. Hak Moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si Pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental yaitu Prancis. Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang (droit d auteur, author right) terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang Termasuk dalam hak moral adalah hak-hak yang berikut ini: 1. Hak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta supaya namanya tetap dicantumkan pada ciptaannya. 2. Hak untuk tidak melakukan perubahan pada ciptaannya sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kepatutan dalam masyarakat. Adanya pengaturan tentang hak ekonomi dan hak moral dari Pencipta tersebut selaras dengan pernyataan Jill McKeough dan Andrew Stewart yang mengatakan bahwa:

2.2.8 Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta membedakan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan: buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; drama atau drama musikal, tari koreografi; segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung; seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain, alat peraga, peta terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai diberikan jangka waktu perlindungan selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Sementara, untuk ciptaan yang telah disebutkan di atas yang diiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih diberikan perlindungan hak cipta selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. Selanjutnya hak cipta atas ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi, database, data karya hasil pengalihan-wujudan diberikan perlindungan selama (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan diberikan perlindungan selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.

Anda mungkin juga menyukai