Anda di halaman 1dari 4

BAB 43 PLANKTON DAN PERUBAHAN IKLIM

Karena ukurannya mikroskopis, tak dapat dilihat dengan mata telanjang, orang sering mengabaikan atau tak menyadari betapa pentingnya fitoplankton dalam kaitannya dengan iklim global. Fitoplankton, seperti halnya tumbuhan darat, mempunyai kemampuan untuk berfotosintesis dimana CO2 (karbondioksida) dikonsumsi untuk menghasilkan senyawa organik yang merupakan dasar kehidupan bagi hampir semua makhluk hidup di laut. Karena fitoplankton di dunia mempunyai total biomassa yang sangat besar maka akan sangat banyak pula CO2 dari atmosfer yang dapat diserap oleh fitoplankton. Padahal CO2 merupakan salah satu komponen gas rumah kaca (green house gas) yang dapat menyimpan bahang (heat) yang sangat mempengaruhi suhu atmosfer di bumi. Peningkatan konsentrasi inframerah di sistem planet bumi sehingga radiasi tersebut kembali ke planet bumi. Peningkatan konsentrasi inframerah di sistem planet bumi akan menyebabkan peningkatan suhu global. Dengan kata lain makin banyak CO2 di atmosfer bumi makin banyak pula bahang yang terperangkap, dan bumi un semakin panas. Baru belakangan ini orang mendapatkan kejelasan bahwa banyaknya CO2 dari atmosfer yang dapat diserap oleh fitolankton kurang lebih sama banyaknya dengan yang diserap oleh tumbuhan darat seperti hutan, semak, pada rumput dalam seluruhnya. Jadi fitolankton sebenernya sangat berperan dalam pengendalian iklim global. Pengetahuan kita tentang besarnya fitolankton dalam mengendalikan iklim global baru berkembang dalam dekade terakhir ini setelah berkembangnya teknologi satelit yang menggunakan sensor yang dapat mengindera klorofil tumbuhan baik di darat maupun di laut seperti yang dilakukan dalam pemantauan Global Biosphere oleh satelit NASA dengan sensor SeaWifs. Pemantauan atas seluruh laut bumi selama bertahun-tahun dianalisis dan menghasilkan kesimpulan bahwa fitolankton laut dapat menyerap sebanyak 40 milyar hingga 50 milyar ton C (karbon) per tahun. Untuk tumbuhan darat, sebelumnya diperkirakan dapat menyerap sekitar 100 milyar ton C per tahun. Tetapi dengan pendekatan baru, dengan analisis berdasarkan penginderaan satelit, dapat dibuktikan bahwa sebenarnya terlalu tinggi. Karena tumbuhan daratan ternyata hanya meyerap sekitar 52 milyar ton C per tahun. Ini menunjukkan bahwa fitoplankton laut mempunyai kemampuan yang kurang lebih sama dengan kemampuan seluruah tumbuhan darat dalam meyera CO2 dari atmosfer. Ini sekaligus pula menunjukkan betapa besar peran fitoplankton dalam mengendalikan CO2 sebagai gas rumah kaca yang menentukan iklim di bumi ini. Sebagai ilustrasi data diandaikan, bila saja semua fitoplankton laut mati karena kandungan CO2 di atmosfer akan dapat meningkat sampai 35% yang akan mengakibatkan suhu di bumi ini naik sehingga tak layak di huni oleh banyak jasad hidup. Disamping itu dampak ikutannya akan sangat panjang mempengaruhi ekosistem bumi, misalnya dengan naiknnya permukaan laut yang akan menenggelamkan pulau dan kawasan pesisir yang rendah.

Melihat peran akbar fitoplankton sebagai pangkal alir energi dan daur hara dalam ekosistem, serta perannya sebagai pengendali iklim global di planet bumi, maka dapatlah dikatakan bahwa fitoplakton memegang peranan kunci bagi keberadaan kehidupan di bumi ini. Disamping itu, bila ditelusuri sejarah bumi dan asal muasal mulai adanya kehidupan yang menghuni planet bumi ini, banyak para ajhli percaya bahwa bentuk kehidupan yang paling awal di bumi adalah biota sederhana yang hidup di air sebagai plankton. Oleh karen itu tak berlebihanlah bila disebutkan bahwa tiada kehidupan di bumi ini tanpa keberadaan plankton. Gas CO2 di atmosfer, selain yang terdapat secara alami, dapat pula bersumber dari hasil kegiatan manusia terutama dengan penggunaan bakar fosil yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, disamping pembakaran hutan. Asap dari knalpot kendaraan bermotor, buangan gas dari pabrik, berbagai peralatan rumah tangga, ikut menyebabkan meningkatnya CO2 dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer. Dalam kurun waktu 150 tahun sejak revolusi industri (1850) peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, terutama CO2, meningkat dari 290 ppmv (part per miullion by volume) menjadi 350 ppmv. Apabila konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk berubah, diperkirakan 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dari zaman pra industri, atau mencapai sekitar 580 ppmv. Hal tersebut akan dapat mengakibatkan suhu rata-rata bumi meningkat 4,5 oC, yang akan berdampak luar biasa bagi kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. kecenderungan pengingkatan suhu ini (global warming) meruakan bagian dari perubahan global (global change) yang kini menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam berbagai forum internasional karena akan menentukan nasib dan masa depan umat manusia serta lingkungannya. Belakangan ini timbul pertanyaan yang menantang, seberapa jauhkah peran fitoplakton untuk meredam peningkatan CO2 ini? Dapatkah fitoplakton laut dirangsang pertumbuhannya agar dapat lebih banyak menyerap CO2 dalam upaya mengahadapi masalah pemanasan global? Untuk merespon hal ini pada awal tahun 2002 tiga kelompok kerja independen dari Newzealand, Jerman, dan Amerika Serikat mengadakan percobaan memupuk laut dengan unsur besi di Samudera Selatan (dekat Antartika). Pemupukan dengan unsur besi ini dengan alasan bahwa unsur besi sering merupakan faktor pembatas (limiting factor) pertumbuhan fitoplakton di laut. Hasil sementara menunjukkan bahwa dengan menyebarkan 1 ton larutan yang mengandung besi pada area seluas 300 m2 telah menghasilkan kenaikan produktivitas primer fitoplakton sebesar 10 kali lipat dalam waktu 8 minggu. Percobaan di alam ini meskipun memberikan indikasi positif namun tidak serta merta dapat menjawab pertanyaan mendasar yang dapat diterakan secara luas, karena banyak masalah lain yang terkait dengannya yang perlu dikaji dengan penuh kehati-hatian, terutama dampak yang mungkin ditimbulkannya dalam ekosistem global yang sekarang belum dapat diprediksi. Fitoplakton laut tidak saja mempengaruhi iklim global, tetapi juga menerima dampak dari perubahan itu sendiri. Suatu studi yang disponsori oleh NASA telah menunjukkan bahwa produktivitas fitoplakton di dunia kini telah berkurang sejak tahun 1980an, dan karenanya lebih sedikit karbon yang diserap, yang akan mempengaruhi pula daur karbon (Carbon Cycle) di bumi. Penelitian itu

menunjukkan bahwa kemampuan produktivitas bersih fitoplakton (Net Primary Productivity) dunia telah berkurang dengan rata-rata sekitar 6% dalam dua dekade terakhir ini. Ditengarai ini adalah sebagai akibat perubahan iklim global, misalnya karena meningkatnya suhu di atmosfer bumi. Semakin banyak bukti dalam beberapa dekade terakhir ini, dari berbagai penjuru dunia yang menunjukkan bahwa plankton (fitoplakton dan zooplanton) telah menunjukkan perubahan-perubahan secara sistematis baik dalam kelimpahannya maupun dalam struktur komunitasnya sebagai dampak dari perubahan iklim global. Perubahan pola sebaran biota plankton dipercaya dapat merupakan indikator yang baik untuk perubahan iklim global. Bahkan mungkin lebih baik dari variabel lingkungan lainnya, karena respon komunitas plankton yang tidak linear, yang dapat memperbesar (amplify) respon terhadap gangguangangguan lingkungan yang kecil sekalipun. Oleh sebab itu maka banyak perhatian sekarang diberikan pada pentingnya pengumpulan data-data plankton berjangka panjang di berbagai penjuru dunia. Kedepan diharapkan plankton dapat dijadikan sebagai penjaga terdepan yang dapat memberikan petunjuk yang lebih baik akan perubahan iklim global. Perubahan iklim global dan variasi iklim tidak saja memberikan dampak ada fitoplakton, tetapi juga pada zooplankton, bahkan juga pada berbagai bentuk kehidupan lainnya. Fenomena El Nino misalnya, merupakan salah satu contoh bagaimana perubahan iklim akan berdampak sangat besar terhadap plankton dan juga terhadap berbagai komponen ekosistem lainnya. Semua orang menduga El Nino merupakan gejala local yang terjadi di sepanjang Pantai Barat Amerika Selatan, di sepanjang Pantai Peru. Perairan ini dikenal sebagai lokasi upwelling (penaikan air) yang mengakibatkan produktivitas planktonnya sangat tinggi. Tinggi produktivitas plankton di perairan ini merupakan basis yang kuat yang menunjang perikanan anchovy (Engraulis ringens) yang merupakan perikanan terkaya di dunia. Namun pada saat tertentu, bila El Nino tiba, arus air hangat masuk ke perairan ini, dan upwelling pun berhenti. Akibatnya, produksi plankton pun menurun rendah yang dampaknya luar biasa. Perikanan anchovy ambruk, bahkan burung-burung laut pun banyak yang mati karena stok makanan mereka, yang bertumpu pada plankton dan anchovy, menjadi sangat berkurang. Sebagai ilustrasi dapat disebutkan bahwa pada tahun 1970, pada kondisi normal, roduksi anchovy di perairan ini mencapai 12 juta ton, yang setara dengan seperempat total produksi perikanan dunia. Tetapi ketika El Nino melanda perairan ini tahun 1973, produksinya jatuh hingga tinggal 1,5 juta ton. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir, kini dapat ditunjukkan bahwa El Nino bukanlah gejala lokal tetapi merupakan gejala berskala global yang kompleks, yang juga menunjukkan keterpaduan (coupling) antara dinamika yang terjadi di atmosfer dan di laut. Dalam kondisi normal, tekanan udara yang tinggi di Pasifik timur, dan tekanan rendah di Pasifik barat, menyebabkan terjadinya angin pasat (trade wind) yang mendorong arus katulistiwa selatan (south equatorian current) yang mengalir dari timur ke barat. Dalam perjalanannya ke barat, arus ini mengalami pemanasan dan akhirnya akan menumpuk di utara Papua dan membentuk kawasan air hangat (warm water pool) disini. Air hangat dengan udara lembab ini menimbulkan banyak awan hujan yang

menyebabkan Indonesia umumnya mempunyai curah hujan yang tinggi. Sementara itu di Pantai timur pasifik, di depan Peru terjadi air naik (upwelling) untuk mengisi kekosongan air yang ditinggalkan oleh arus Katulistiwa Selatan yang mengakur ke barat menjauhi daratan atau benua Amerika Selatan. Karena sebab-sebab yang belum jelas benar angin pasat ini bisa pada suatu saat mengendur, air hangat yang telah menumpuk di kawasan ini (warm water pool) akan mendorong arus balik ke Pasifik timur dengan mengantarkan air hangat. Selanjutnya air hangat ini setibanya di Pasifik timur akan menghambat atau menghentikan upwelling yang sebelumnya terjadi di perairan ini. Dinamika yang terjadi di Pasifik ini menyebabkan terjadinya osilasi permukaan laut. Ada kondisi normal, air menumpuk di Pasifik barat, menyebabkan muka laut disini lebih tinggi dari di Pasifik timur. Pada saat El Nino, muka laut di Pasifik barat menurun sedangkan di Pasifik timur menaik. Perubahan laut yang tergandeng dengan perubahan iklim ini bagaikan sebuah ungkat angkit, yang jelas dapat dilihat dalam perubahan tekanan udara di selatan katulistiwa. Itulah sebabnya keseluruhan fenemonena ini sering disebut pula sebagai ENSO (El Nini Southern Osciliation). Demikianlah secara sederhana dapat diterangkan timbulnya fenomena El Nino ini. El Nino menyebabkan upwelling yang menjadi tulang punggung produksi perikanan di Pantai Peru dan utara Chili menjadi terhambat hingga berhenti. Dampak ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh El Nino ini luar biasa, karena selain menghancurkan perikanan anchovy stempat, ternyata menyebabkan terjadinya perubahan cuaca di berbagai penjuru dunia. El Nino menyebabkan hujan dan banjir di Peru, sementara di Indonesia kita rasakan sebagai musim kering yang berkepanjangan, yang membuat banyak gagal panen pertanian, meluasnya kebakaran hutan, dan berbagai dampak ikutan lainnya. Bagaimana dampak El Nino pada dinamika plankton di Indonesia belum jelas benar. Tetapi studi yang dilakukan oleh Hindiarti (2003), memberikan petunjuk bahwa ketika terjadinya El Nino tahun 1997, Arlindo (Arus Lintas Indonesia / Indonesia Through Flow) yang merupakan transpor utama air dari Pasifik ke Samudera Hindia lewat selat-selat di Indonesia melemah. Melemahnya Arlindo ini berarti aliran air yang masuk ke Samudera Hindia pun mengendur hingga upwelling yang biasa terjadi di Samudera Hindia di Selatan Jawa Nusa Tenggara Barat akan meningkat. Ini tercermin dari suhunya yang rendah dan disertai kandungan klorofil fitoplankton yang tinggi pada saat terjadinya El Nino. Disamping itu, kajian yang dilakukan di Laut Banda (Moore II dkk., 2004 ; Kinkade dkk., 1997) juga menunjukkan bahwa El Nino memberikan pengaruh meningkatnya produktivitas fitoplankton di perairan ini. Lebih lanjut dikemukakan bahwa El Nino tahun 1997-1998 malah dapat memperkuat dan memperpanjang masa produktif Laut Banda hingga melampaui musim tenggara (south-east monsoon). Informasi awal ini menunjukkan, bila El Nino menyebabkan turunnya produktivitas fitoplankton di Pasifik Timur, sebaliknya justru menyebabkan meningkatnya produktivitas di perairan Indonesia.

Sofiana Fajriah Rahmah 109095000027

Anda mungkin juga menyukai