Anda di halaman 1dari 3

Banjir yang Tak Kunjung Padam1

Selamat bertemu kembali

Pamarentah teu pernah ngeunteung Itulah kata Heru (47), ketika ditanya apa penyebab banjir yang menerjang rumahnya. Banjir sudah 3 hari melanda kawasan perumahan Cieunteung dan sekitarnya. Dan selama 3 hari pula tak ada yang bisa dilakukan oleh Heru, selain menunggu, menunggu, dan berdoa. Ia menunggu hujan benar-benar telah berhenti dan banjir telah surut. Ia pun menunggu, menunggu uluran tangan pemerintah untuk dirinya dan para korban banjir yang lain. Namun selain menunggu ia pun berdoa, berdoa semoga tuhan memutuskan bahwa sekarang ini adalah banjir yang terakhir yang dialaminya, berdoa pula, semoga tuhan menjadikan musibah kali ini sebagai jalan untuk pengampunan dosanya.

Begitulah kesimpulan wawancara dengan Heru (47) dan Endang (52), keduanya merupakan korban banjir yang ditemui di dua tempat berbeda, yakni Heru dari Desa Cipatat, Dayeuhkolot dan Endang dari Cieunteung. Walaupun ditemui ditempat berbeda rupanya dress code mereka sama, pakaian seragam banjir. Yaitu, celana pendek basah, baju lecek dengan lumpur, dan tanpa alas kaki. Begitulah keadaannya, cukup membantu saya untuk tidak bertanya, bapak kena banjir atau tidak?, ia kan?

Ketika mengunjungi kedua tempat tadi terlihat banjir sudah cukup surut, dibanding dengan hari pertama dan kedua. Terlihat pula jalan raya yang merupakan akses satu-satunya ke sana sudah bisa dilewati, walaupun masih sedikit tergenang air. Namun keduanya sama-sama menepis itu, menurutnya banjir ketika siang hari memang sering surut, enya, siang mah surut, malamna naik lagi kata Endang. Biasanya debit air naik lagi ketika habis isya, itu karena dihulu sungai Citarum air mengalami kenaikan yang disebabkan oleh hujan apalgi bila ditambah dengan hujan lokal didaerahnya. Sehingga Heru dan Endang memilih untuk menunda membersihkan rumahnya sampai banjir benar-benar tidak datang lagi. Sekarang, Heru menetap di tetangganya, sedangkan Endang memilih menetap di pengungsian di daerah Baleendah. Sambil sesekali menjenguk rumah tinggalnya.

Judul diadaptasi dari novel Sutan Takdir Alisjahbana yang berjudul Dian yang tak kunjung padam

Yang menarik adalah pernyataan dari Heru. Heru yang mengenakan celana pendek biru langit dengan garis-garis putih kombinasi lumpur, mengatakan ah, siganamah pamarentah teu pernah ngeunteung, mun musim hujan pan sok banjir ari didieu mah, matak tara aneh da ari didieu mah (ah, sepertinya pemerintah tidak pernah berkaca, kan kalau musim hujan disini memang suka banjir, makanya kalau saya tidak pernah aneh). Begitulah jawabanya ketika saya melontarkan pertanyaan mengenai salah satu penyebab banjir. Walaupun sekarang ini sungai Citarum mengalami pengerukan oleh Pemkab, namun menurutnya pengerukan itu tidak tepat waktu, karena waktu pengerukan dekat dengan datangnya musim penghujan, dan belum sepenuhnya dikeruk, terlihat hanya daerah Cieunteung saja yang sudah dikeruk dan mengalami pemasangan tanggul, sedang daerah lain belum sama sekali. Seharusnya pengerukan itu dilakukan ketika akhir banjir tahun lalu, ketika musim panas tiba.

Sebenarnya kesalahan tidak mutlak kepada pemerintah. Lokasi tempat tinggal mereka yang sangat dekat dengan sungai, yang seharusnya menjadi daerah resapan air, malah mereka tempati. Kurangnya kesadaran terhadap kebersihan lingkungan dan semabarangnya orang membuang sampah menjadi faktor lain penyebab banjir.

Hari Libur untuk Wilayah Cieunteung dan Sekitarnya Hari libur merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh kita. Hari dimana segala rutinitas harus ditinggal sejenak untuk sebuah kesenangan singkat. Namun bagaimana bila kita terpaksa libur hanya karena sebuah bencana? Tetap menyenangkan. Itulah yang dirasakan oleh anak-anak di daerah Cieunteung, dan sekitaran Dayeuhkolot.

Ada libur tambahan bagi mereka, libur yang tak pernah ditentukan kapan dimulai dan kapan untuk diakhiri. Libur yang selalu mereka alami setiap tahun, setidaknya selama 3 tahun belakangan ini. Sehingga bisa disebut hari libur khusus, khusus untuk warga cieunteung dan sekitarnya. Bukan hari besar macam idul fitri, libur sekolah, atau hari pahlawan. Tapi hari banjir se-Cieunteung.

Banjir bukan satu-satunya alsan mereka tidak bersekolah, juga ada yang beralasan, karena tidak dikasih bekal oleh orang tuanya yang memilih menyibukan dengan banjir daripada anaknya, bermain sesama teman-teman yang tidak sekolah juga, dan mencari pendapatan lewat jasa angkut dengan perahu atau hanya sekedar jasa dorong motor mogok.

Bisa dirasakan, antara anak-anak dengan banjir yang setiap tahun datang tercipta suatu ikatan batin yang menghasilkan euforia bagi anak-anak. Anak-anak itu tidak peduli betapa orang tua mereka kesusahan untuk mengamankan dan menjaga barang-barang rumah tangga, karena dalam pikiran mereka banjir merupakan wahana bermain semacam kolam renang besar, yang gratis dan tidak ada kantin yang menyediakan makanan yang harganya tidak masuk akal, tinggal tunggu bantuan pemerintah kan?

Itulah anak-anak, kita tak bisa menyalahkan hanya karena pemikiran mereka. Karena yakin, dalam hatinya, mereka menangis, betapa sedih melihat rumahnya telah digulung banjir, pilu karena ia tidak bisa bersekolah, dan menangis melihat orang tua mereka duduk termenung tanpa berbuat apa-apa. Tapi mereka tak dapat menangis, karena satu-satunya alasan mereka menangis adalah bila ada yang memarahinya, nah sekarang, siapa yang marah? Tidak ada kan? (seandainya mereka tahu tuhanlah yang mungkin marah) Jadi tak perlu nangis, toh, tangis merekapun takan merubah banjir yang begitu pahit, menjadi asin. Lagi pula, masa nangis? Kan lagi liburan di kolam renang? Ia kan? Byurrrr...

Anda mungkin juga menyukai