Anda di halaman 1dari 11

SASARAN BELAJAR

1. Pandangan hamil diluar nikah berdasarkan hukum dan agama, termasuk syarat-syarat/kriteria sah atau tidaknya sebuah pernikahan berdasarkan agama.
Hamil Diluar Nikah Dari segi Agama Islam Hamil di luar nikah merupakan perbuatan zina dan sangat diharamkan serta berdosa besar bagi yang melakukannya. Perempuan dan laki laki yang berzina maka deralah tiap tiap seorang dari pada mereka seratus rotan dan janganlah belas kasihan kepada kedua duanya karenaini akan mencegah kamu (untuk) menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan sekumpulan daripada orang orang yang beriman. (An-Nur:2) Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina ituadalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-isra : 32). Rukun, Larangan & Syarat Perkawinan/Pernikahan/Menikah/Kawin Agama Islam Dalam menikah dalam ajaran agama islam ada aturan yang perlu dipatuhi oleh calon mempelai serta keluarganya agar perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehingga mendapat ridho dari Allah SWT. Untuk itu mari kita pahami dengan seksama aturan, rukun, pantangan dan persayaratan dalam suatu perkawinan. A. Syarat-Syarat Sah Perkawinan/Pernikahan 1. Mempelai Laki-Laki / Pria - Agama Islam - Tidak dalam paksaan - Pria / laki-laki normal - Tidak punya empat atau lebih istri - Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh - Bukan mahram calon istri - Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi - Cakap hukum dan layak berumah tangga - Tidak ada halangan perkawinan 2. Mempelai Perempuan / Wanita - Beragama Islam - Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian) - Bukan mahram calon suami - Mengizinkan wali untuk menikahkannya - Tidak dalam masa iddah - Tidak sedang bersuami - Belum pernah li'an

- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah 3. Syarat Wali Mempelai Perempuan - Pria beragama islam - Tidak ada halangan atas perwaliannya - Punya hak atas perwaliannya 4. Syarat Bebas Halangan Perkawinan Bagi Kedua Mempelai - Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab) - Tidak ada hubungan persusuan (radla'ah) - Tidak ada hubungan persemendaan (mushaharah) - Tidak Li'an - Si pria punya istri kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya - Tidak dalam ihram haji atau umrah - Tidak berbeda agama - Tidak talak ba'in kubra - Tidak permaduan - Si wanita tidak dalam masa iddah - Si wanita tidak punya suami 5. Syarat-Syarat Syah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan - Pria / Laki-Laki - Berjumlah dua orang - Sudah dewasa / baligh - Mengerti maksud dari akad nikah - Hadir langsung pada acara akad nikah 6. Syarat-Syarat/Persyaratan Akad Nikah Yang Syah : - Ada ijab (penyerahan wali) - Ada qabul (penerimaan calon suami) - Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara. - Ijab dan kabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom haji/umroh.

B. Rukun-Rukun Pernikahan/Perkawinan Sah - Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita - Ada wali pengantin perempuan - Ada dua orang saksi pria dewasa - Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

C. Pantangan / Larangan-Larangan Dalam Pernikahan/Perkawinan - Ada hubungan mahram antara calon mempelai pria dan wanita - Rukun nikah tidak terpenuhi - Ada yang murtad keluar dari agama islam

D. Menurut Undang-Undang Perkawinan - Perkawinan/pernikahan didasari persetujuan kedua calon mempelai - Bagi calon yang berusia di bawah 21 tahun harus punya izin orang tua atau wali yang masih ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau melalui putusan pengadilan - Umur atau usia minimal untuk menikah untuk pria/laki-laki berusia 19 tahun dan untuk wanita/perempuan berumur paling tidak 16 tahun.

Pendapat Ulama tentang menikahi wanita yang hamil diluar nikah Pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab AlMajmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An- Nawawi, jus XVI halaman 253. Pendapat Imam Asy-Syafi'i Adapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy- Syairazi juz II halaman 43. Undang-undang Perkawinan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut: Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, berangkat dari beberapa nash berikut ini : Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR Tabarany dan Daruquthuny). Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Isteriku ini seorang yang suka

berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR Abu Daud dan An- Nasa`i) Pengertian Talak Yang dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali perkawinan. Talak merupakan sesuatu yang disyariatkan. Dan yang menjadi dasarnya adalah Al-Quran dan alHadits serta ijma. Klasifikasi Talak Talak dilihat dari Segi Lafadz Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh talak. Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu, dan semisalnya.

Talak Dilihat dari Sudut Taliq dan Tanjiz Talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : Engkau tertalak. Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya. Talak muallaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak. Hukum talak muallaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya. Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak muallaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah. Talak Dilihat dari Segi Argumentasi Talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haid yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya. Allah SWT berfirman, Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan doa yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (AlBaqarah:229). Talak bidi ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syariat. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak. Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raji, maka ia

diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haid lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya. Talak Tiga Adapun seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim: Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, Sesungguhnya orangorang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka. (Muslom II: 1099 no:1472).

Pandangan Hamil di Luar Nikah Menurut Agama Kristen Dalam agama Kristen, hamil di luar nikah adalah perbuatan zinah karena berasal dari hubungan seks bebas. Hal tersebut dilarang oleh Allah melalui firmanfirmanNya dalam Alkitab. Bahkan, menginginkan seseorang saja sudah merupakan perbuatan zinah. Yesus mengutip hukum Taurat dan memberikan pengajaran bahwa mengingini seseorang secara seksual walaupun belum dilakukan, orang tersebut sudah berbuat zinah. Berikut ayat-ayat Alkitab tentang perzinahan : 1. Matius 5:27 = "Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah." 2. Matius 5:28 = "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya." 3. Keluaran 20:14 = "Jangan berzinah." Berikut ayat dalam Alkitab yang mengatakan tentang hukuman bagi orang yang berbuat zinah : 4. Ulangan 22:23-24 = "Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, 24 maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, .............." Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk melakukan seks bebas berdasarkan hawa nafsu manusia, tapi untuk beranak cucu supaya kita sebagai manusia dapat menjaga dan melindungi ciptaan Allah yang lain. Syarat Pernikahan Menurut Agama Kristen Tuhan sudah menyediakan pilihan pernikahan yang kudus dengan syarat sekali mengikatkan diri harus mau menerima resiko dan menjalani pilihannya sendiri dengan bertanggung jawab. Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dipersatukan olehNya dan terjadi sekali seumur hidup sampai maut yang memisahkan. Meskipun melakukan persetubuhan namun hal ini sudah dianggap sah oleh Tuhan. Syarat pernikahan Kristen yang menikah adalah orang yang percaya kepada Alkitab dan memiliki iman Kristen. Sedang tata cara tiap aliran gereja berbeda-beda,

tapi yang berbeda hanya adatnya saja (prosesi), karena tradisi yang melatarbelakangi berbeda, namun intinya seluruhnya memiliki unsur yang sama. Bahwa 2 orang yang saling mencintai datang membawa dirinya di hadirat Allah, di depan pendeta dan di depan para saksi mengikrarkan janji pernikahan untuk sehidup semati dalam keadaan senang maupun susah, kaya atau miskin, sampai maut memisahkan mereka berdua. Orang yang menikah dikatakanNya bukan lagi dua melainkan sudah menjadi satu daging, maknanya adalah mereka tidak terpisahkan (Mat 19:4-6). Dengan menjaga kesetiaan, saling memegang janji nikah, dan menjadikan Tuhan sebagai nahkoda bahtera pernikahannya maka mereka sudah menyenangkan Allah. Syarat Pernikahan menurut Agama Katolik dan Pandangan Agama Katolik Mengenai Hamil di Luar Nikah Berbicara tentang Prinsip Hukum PERKAWINAN secara Katolik (dalam Kitab Hukum Kanonik 1983) yaitu: Hakikat, tujuan dan sakramentalitas (kekudusan) perkawinan Kan. 1055 - 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. 2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen. Sifat hakiki pernikahan Kan. 1056 Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Pengertian umum tentang Pernikahan Gerejani berdasarkan Kanon 1055 dan 1056 yaitu Arti dan tujuan pernikahan Perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus, covenant) antara seorang pria dan seorang wanita yang dilandasi dengan kesepakatan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Perjanjian nikah antara orang-orang yang dibaptis diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen, yakni menyimbolkan kasih Kristus pada Gereja-Nya. Sedangkan perkawinan antara infideles (tak dibaptis) setelah keduanya menerima baptis, dengan sendirinya menjadi sakramen tanpa perlu adanya pemberkatan khusus. Tujuan dari pernikahan adalah 1) membentuk antara pria dan wanita kebersamaan seluruh hidup, 2) demi kesejahteraan suami istri, 3) demi kelahiran dan pendidikan anak Sifat pernikahan Sifat hakiki pernikahan adalah monogam (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Sifat ini mengikat baik yang pernikahan campur maupun pernikahan sakramental Demikianlah yang menjadi arti, tujuan dan sifat hakiki dari pernikahan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Ini adalah prinsip hukum setiap orang yang dibaptis

(khususnya beragama Katolik). Prinsip hukum ini digunakan untuk melihat kasus yang ditawarkan untuk didiskusikan yaitu Seorang gadis usia 21 th hamil sebelum nikah. Lalu datang meminta solusi agar permasalahannya terselesaikan yaitu: Prinsip dasarnya adalah kehamilan bukanlah syarat mutlak terjadinya pernikahan. Maka, biasanya ada tawaran untuk mempersiapkan kelahiran lebih dulu baru nanti diurus terkait dengan pernikahan karena mereka berada dalam situasi yang tidak ideal untuk menikah. Sehingga, dibantu agar calon ibu ini melahirkan dengan normal dan secara mental dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu. Jika alternatif diatas tidak diterima maka, kami meminta dan menganjurkan untuk perlu dicek beberapa hal yaitu terkait dengan persiapan mental, yaitu ada persiapan pengenalan yang dalam baik mengenai calon maupun keluarganya sehingga keputusan menikah sungguh-sungguh didasarkan pada keputusan pribadi yang bebas tanpa paksaan dari dalam maupun luar. Selain persiapan mental, ada persiapan pengetahuan yaitu mau memasuki hidup berkeluarga tentu membutuhkan pengetahuan seluk beluk mengenai perkawinan (Katolik). Soal ini secara khusus diberikan lewat kursus perkawinan. Persiapan administratif, yaitu persiapan administratif ini baik untuk kepentingan Gereja maupun sipil. Jika, semua proses atau persiapan demi persiapan itu dijalani dengan baik maka kita bisa menikahkan mereka berdua. Tetapi, dalam penyelidikan kanonik biasanya akan ada catatan terkait dengan keadaan calon wanitanya, yaitu pernyataan bahwa dia sedang hamil. Harapannya, mereka memahami arti, tujuan dan hakikat pernikahan sehingga mereka tidak menyesal ketika berada dalam kondisi hamil menikah. Sehingga bukan pertama-tama supaya aib keluarga tertutupi tetapi yang terpenting bahwa mereka berdua (calon suami-istri) semakin siap untuk memasuki hidup berkeluarga Lalu bagaimana dengan kehidupan kerohanian mereka berdua? Mereka berdua tentu berada dalam situasi kedosaan berat maka mereka (jika beragama Katolik) tidak diperkenankan menerima komuni. Jika ingin mendapatkan pengampunan dosa maka yang dibutuhkan adalah menerima sakramen pengampunan dosa. Dengan demikian, mereka akan diampuni dosanya dan diperkenankan lagi untuk menerima komuni.

2. Batasan-batasan Seorang Dokter dalam Penyampaian Kasus Pasien


PASAL 322 KUHP a) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pencariannya baik sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00. b) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut di atas pengaduan orang itu. PASAL 1365 KUHP Seorang dokter berbuat salah kalau tanpa disadari membuka rahasia tentang penderitaannya yang kebetulan terdengar oleh majikan pasien itu, selanjutnya majikan tu melepaskan pegawai tersebut karena takut penyakitnya akan menulari pasien-pasien lainnya. Dengan demikian dokter dapat diajukan ke pengadilan karena pengaduan pasien itu. PASAL 170 KUHP 1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. Hal tersebut membebaskan seorang dokter untuk menjadi saksi ahli dan kewajibannya untuk membuka rahasia jabatan, namun pembebasan itu tidak selalu dating dengan sendirinya. Ada beberapa keadaan yang diharuskan bagi dokter untuk memberi keterangan sesuai dengan ketentuan perundangan. PASAL 50 KUHP Siapapun tak terpidana, jika peristiwa itu dilakukan untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang.

3. Hukum Perdata mengenai diaturnya usia 21 tahun dan diakui sebagai usia dewasa
Hukum Perdata mengenai dan diakuinya usia 21 tahun diatur dalam : KUHP (Pasal 330) Anak adalah mereka yang belum mencapai usia genap 21 tahun dan belum kawin. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus tidak dewasa. Dewasa yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat menentukan jalan hidup atau setiap keputusannya sendiri tanpa harus mendapat perssetujuan dari orang tua atau walinya. Jika kita hubungkan dengan kasus maka otomatis si pasien telah memiliki keputusan sendiri, untuk memberitahukan kabar kehamilannya kepada orang tua atau tidak. Dan dokter tidak berhak memberitahukan hasil pemeriksaan sang pasien kepada siapapun termasuk ibu sang pasien, kecuali apabila telah mendapat persetujuan dari sang pasien. Seperti dalam contoh suatu Tindakan Persetujuan Medik (PTM), maka yang berhak menandatangani persetujuan itu adalah sang pasien sendiri apabila telah berusia 21 tahun. Namun, jika pasien belum berumur 21 tahun maka yang berhak menandatangani Persetujuan tindakan medik tersebut adalah orang tua/wali/keluarga terdekat. Namun apabila terdapat suatu kondisi dimana pasien dalam keadaan tidak sadar atau pingsan serta tidak didampingi keluarga terdekat. Dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera, maka tidak diperlukan persetujuaan dari siapa pun. (pasal II bab IV Permenkes no. 585)

DAFTAR PUSTAKA
www.uinsuska.info/syariah Kitab Hukum Kanonik 1983 Kitab Undang-undang Hukum Pidana UU Perkawinan no. 1 tahun 1974

Anda mungkin juga menyukai